BAB 5 HASIL PENELITIAN

dokumen-dokumen yang mirip
Sanitasi Penyedia Makanan

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN

- 5 - BAB II PERSYARATAN TEKNIS HIGIENE DAN SANITASI

Lampiran 1. Aspek Penilaian GMP dalam Restoran

DAFTAR GAMBAR. Gambar 2.7 Kerangka Teori Gambar 3.1 Kerangka Konsep... 24

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Jasaboga. Usaha pengelolaan makanan yang disajikan di luar tempat usaha atas dasar pesanan yang dilakukan oleh perseorangan atau Badan Usaha.

Gambar lampiran 1: Tempat Pencucian Alat masak dan makan hanya satu bak

LEMBAR KUESIONER UNTUK PENJAMAH MAKANAN LAPAS KELAS IIA BINJAI. Jenis Kelamin : 1.Laki-laki 2. Perempuan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGAWASAN HIGIENE SANITASI MAKANAN DAN MINUMAN DAN PENGERTIAN RESTORAN HOTEL

BAB 1 PENDAHULUAN. termasuk makanan dari jasaboga. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik

KUISIONER PENELITIAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN TINDAKAN MASYARAKAT TENTANG SANITASI DASAR DAN RUMAH SEHAT

Lampiran 1. Kategori Objek Pengamatan. Keterangan. Prinsip I : Pemilihan Bahan Baku Tahu. 1. Kacang kedelai dalam kondisi segar dan tidak busuk

BAB IV HASIL PENELITIAN. Karanganyar terdapat 13 perusahaan tekstil. Salah satu perusahaan di daerah

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS ESA UNGGUL FAKULTAS ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI ILMU GIZI

UNTUK KEPALA SEKOLAH SDN KOTA BINJAI

PENILAIAN PEMERIKSAAN KESEHATAN LINGKUNGAN HYGIENE SANITASI DI RUMAH MAKAN/RESTORAN

I. Data Responden Penjamah Makanan 1. Nama : 2. Umur : 3. Jenis Kelamin : 4. Pendidikan :

BAB I PENDAHULUAN. juga dipengaruhi oleh tidak bersihnya kantin. Jika kantin tidak bersih, maka

LAMPIRAN ORGANISASI PENELITIAN

PEMERIKSAAN KELAIKAN HYGIENE SANITASI RUMAH MAKAN DAN RESTORAN 1. Nama rumah makan/restoran :. 2. Alamat :.

II OBSERVASI. NO OBJEK PENGAMATAN. TOTAL SKOR MASING MASING SETIAP KANTIN BOBOT NILAI LOKASI & BANGUNAN SMA LOKASI : A

II Observasi. No Objek pengamatan. Total skor masing masing setiap kantin Bobot Nilai Lokasi & Bangunan SMA Lokasi : a.

Kuesioner ditujukan kepada karyawan pengolah makanan

1 KUISIONER GAMBARAN HYGIENE SANITASI PENGELOLAAN MAKANAN DAN PEMERIKSAAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Provinsi Gorontalo, yang secara geografis terletak pada 00⁰ ⁰ 35 56

MATERI KESEHATAN LINGKUNGAN

Lampiran 1. Pengukuran tingkat penerapan Good Manufacturing Practice

B. Bangunan 1. Umum Bangunan harus dibuat sesuai dengan peraturan perundangundangan

TL-2271 Sanitasi Berbasis Masyarakat Minggu 3

Pujianto, SE DINAS PERINKOP DAN UMKM KABUPATEN MAGELANG TAHUN 2015

RUMAH SEHAT. Oleh : SUYAMDI, S.H, M.M Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Karanganyar

LEMBAR PERSETUJUAN RESPONDEN (INFORMED CONSENT)

PENGARUH JARAK ANTARA SUMUR DENGAN SUNGAI TERHADAP KUALITAS AIR SUMUR GALI DI DESA TALUMOPATU KECAMATAN MOOTILANGO KABUPATEN GORONTALO

BAB III METODE PENELITIAN

BAB V PEMBAHASAN. higiene sanitasi di perusahaan dan konsep HACCP yang telah diteliti pada tahap

Rumah Sehat. edited by Ratna Farida

Kegiatan tersebut antara lain adalah sebagai berikut:

Lembar Observasi. Hygiene dan Sanitasi Pedagang Minuman Teh Susu Telur (TST) yang Dijual di Kecamatan Medan Area di Kota Medan Tahun 2012

1. Pendahuluan SANITASI LINGKUNGAN RUMAH DAN UPAYA PENGENDALIAN PENYAKIT BERBASIS LINGKUNGAN PADA KAWASAN KUMUH KECAMATAN MEDAN MAIMUN KOTA MEDAN

BAB 5 : PEMBAHASAN. penelitian Ginting (2011) di Puskesmas Siantan Hulu Pontianak Kalimantan Barat mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. bersih, cakupan pemenuhan air bersih bagi masyarakat baik di desa maupun

LEMBAR OBSERVASI PENELTIAN PENYELENGHGARAAN KESEHATAN LINGKUNGANSEKOLAH DASAR (SD) NEGERI DAN SD SWASTA AL-AZHAR DI KECAMATAN MEDAN JOHOR TAHUN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. a. Sebelah Barat : berbatasan dengan Sungai Bulango. b. Sebelah Timur : berbatasan dengan Kelurahan Ipilo

ARTIKEL PENELITIAN HUBUNGAN KONDISI SANITASI DASAR RUMAH DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS REMBANG 2

LAMPIRAN 1 KUESIONER PENJAMAH MAKANAN DI RUMAH MAKAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Air merupakan kebutuhan dasar bagi kehidupan. Tanpa air kehidupan di

Pedoman Sanitasi Rumah Sakit di Indonesia

KUESIONER PENELITIAN PERBEDAAN SANITASI PENGELOLAAN RUMAH MAKAN DAN RESTORAN BERDASARKAN TINGKAT MUTU (GRADE A,B DAN C) DI KOTA MEDAN TAHUN 2013

Lembar Kuesioner Hygiene Sanitasi Pada Pedagang Siomay di Jl. Dr. Mansyur. Padang Bulan Di Kota Medan Tahun Nama : No.

LEMBAR OBSERVASI HIGIENE SANITASI PENGOLAHAN BUBUR AYAM DI KECAMATAN MEDAN SUNGGAL TAHUN

BAB 1 : PENDAHULUAN. dikonsumsi masyarakat dapat menentukan derajat kesehatan masyarakat tersebut. (1) Selain

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Definisi sanitasi menurut WHO adalah usaha pencegahan/

BAB IX SANITASI PABRIK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Pengertian dan Ruang Lingkup Hygiene Sanitasi Makanan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

GAMBARAN HIIGIENE DAN SANITASI SARANA FISIK SERTA PERALATAN PENGOLAHAN BAHAN MAKANAN DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PEMBALAH BATUNG AMUNTAI TAHUN 2013

BAB IV KURSUS HIGIENE SANITASI MAKANAN

Lembar Observasi. Hygiene Petugas Kesehatan BP 4 Medan Tahun sesuai dengan Kepmenkes No. 1204/Menkes/Per/X/2004.

LEMBAR OBSERVASI HYGIENE SANITASI KAPAL

BAB 1 : PENDAHULUAN. oleh makhluk lain misalnya hewan dan tumbuhan. Bagi manusia, air diperlukan untuk

KESEHATAN DAN SANITASI LINGKUNGAN TIM PEMBEKALAN KKN UNDIKSHA 2018

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 715/MENKES/SK/V/2003 TENTANG PERSYARATAN HYGIENE SANITASI JASABOGA

SANITASI DAN KEAMANAN

LAMPIRAN Lampiran 1. Daftar Pertanyaan Keluhan Konsumen

Identitas Responden 1. Nomor Responden : 2. Nama : 3. Jenis Kelamin : 4. Umur : 5. Pendidikan Terakhir : 6. Pekerjaan :

Berapa penghasilan rata-rata keluarga perbulan? a. < Rp b. Rp Rp c. > Rp

DAFTAR PUSTAKA. Anonimous, Mengenal Jenis-jenis Restoran. Diakses tanggal 13 Januari jttcugm.wordpress.com/2008/12/16/restoran/

Lembar Observasi. : Rumah Sakit Umum Daerah Padangsidimpuan

3 METODOLOGI PENELITIAN

G E R A K A N N A S I O N A L B E R S I H N E G E R I K U. Pedoman Teknis RUMAH SAKIT BERSIH. (Disusun dalam rangka Gerakan Nasional Bersih Negeriku)

BAB I PENDAHULUAN. mengindikasikan masih rendahnya cakupan dan kualitas intervensi. kesehatan lingkungan. (Munif Arifin, 2009)

CHECKLIST PEMBINAAN KANTIN SEKOLAH SEHAT SDN 04 LEBAK BULUS

Keputusan Menteri Kesehatan No. 261/MENKES/SK/II/1998 Tentang : Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja

Universitas Sumatera Utara

Lampiran 1. Formulir Persetujuan Partisipasi Dalam Penelitian FORMULIR PERSETUJUAN PARTISIPASI DALAM PENELITIAN (INFORMED CONSENT) NASKAH PENJELASAN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN. Produksi. Pangan Olahan.

HIGIENE SANITASI PANGAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KUESIONER PENELITIAN

GAMBARAN PENGELOLAAN MAKANAN DAN MINUMAN DI INSTALASI GIZI RSUD Dr. SOEDARSO PONTIANAK

HUBUNGAN KONDISI FASILITAS SANITASI DASAR DAN PERSONAL HYGIENE DENGAN KEJADIAN DIARE DI KECAMATAN SEMARANG UTARA KOTA SEMARANG.

PERATURAN DAERAH KOTA BANJAR NOMOR 12 TAHUN 2004 TENTANG PERSYARATAN HYGIENE SANITASI MAKANAN DI TEMPAT PENGELOLAAN MAKANAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A.

PANDUAN MANAJEMEN RESIKO PUSKESMAS CADASARI PEMERINTAH KABUPATEN PANDEGLANG DINAS KESEHATAN UPT PUSKESMAS CADASARI

STUDI HIGIENE SANITASI RESTORAN SUNDA DI KOTA BOGOR ALI MAHDI BUKHORI

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Bohulo. Desa Talumopatu memiliki batas-batas wilayah sebelah Utara berbatasan

BAB 1 PENDAHULUAN. penting diperhatikan baik pengelolaan secara administrasi, pengelolaan habitat hidup,

BAB IV PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

BAB I PENDAHULUAN. penyakit dengan cara menghilangkan atau mengatur faktor-faktor lingkungan

PERATURAN DAERAH KOTA MATARAM NOMOR : 11 TAHUN 2008

Lampiran 1. I. Identitas Kepala Keluarga 1. Nomor : 2. Nama : 3. Umur : Tahun 4. Alamat :

TEKNIK PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. A. Kesimpulan

BAB III METODOLOGI PELAKSANAAN A. Tempat dan Waktu Pelaksanaan Kegiatan penyusunan dan penelitian tugas akhir ini dilakukan di Usaha Kecil Menengah

BAB I PENDAHULUAN. dapat melangsungkan kehidupan selain sandang dan perumahan. Makanan, selain mengandung nilai gizi, juga merupakan media untuk dapat

Program Kesehatan Lingkungan A. Inspeksi Tempat Pengelolaan Makanan (TPM), Tempat-Tempat Umum (TTU) dan Industri

PENGARUH KONSTRUKSI SUMUR TERHADAP KANDUNGAN BAKTERI ESCHERCIA COLI PADA AIR SUMUR GALI DI DESA DOPALAK KECAMATAN PALELEH KABUPATEN BUOL

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 26 TAHUN 2012 TENTANG SERTIFIKASI TEMPAT PENGELOLAAN MAKANAN, TEMPAT-TEMPAT UMUM DAN PENGAWASAN KUALITAS AIR

G E R A K A N N A S I O N A L B E R S I H N E G E R I K U. Pedoman RUMAH SAKIT BERSIH. (Disusun dalam rangka Gerakan Nasional Bersih Negeriku)

Transkripsi:

BAB 5 HASIL PENELITIAN Penelitian ini menggunakan data sekunder sehingga memiliki keterbatasan dalam pengambilan variabel-variabelnya. Laik fisik penilaiannya berdasarkan ketentuan Kepmenkes No. 715 tahun 2003 yakni dengan nilai antara 65 sampai dengan 70 dikatakan laik fisik dengan format terlampir. Variabel penilaian dalam ketentuan tersebut adalah lokasi bangunan fasilitas, pencahayaan, ventilasi, air bersih, air kotor, fasilitas cuci tangan dan toilet, pembuangan sampah, ruangan pengolahan makanan, karyawan, makanan, perlindungan makanan, peralatan makanan dan masak. Tetapi dalam penelitian ini yang diteliti terbatas pada variabel konstruksi bangunan, dinding, langit-langit, ventilasi, penerangan, kualitas fisik air, sumber air bersih, pembuangan air kotor, toilet, tempat sampah, dan pencucian peralatan, serta pelatihan hygiene sanitasi makanan yang pernah diikuti oleh penjamah makanan. 5.1 Analisis Univariat Analisis univariat adalah untuk melihat frekuensi varabel-variabel yang baik berdasarkan hasil wawancara dan observasi seperti beriku :

Tabel 5.1 Persentase Analisis Univariat Masing-masing Variabel Berdasarkan Kepmenkes No.715 Tahun 2003 Penelitian di Universitas X tahun 2008 (n=100) Variabel Persentase Konstruksi bangunan permanen 83 Dinding 76 Langit-langit plafon 64 Ventilasi 100 Penerangan 91 Kualitas fisik air bersih yang memenuhi syarat 97 Sumber air bersih 65 Pembuangan air kotor yang baik 85 Toilet 48 Tempat sampah 24 Pencucian peralatan dalam air mengalir dan menggunakan sabun 82 Pelatihan hygiene sanitasi makan 28 Laik fisik tempat pengolahan makanan 10 Dari Tabel 5.1. dapat dilihat bahwa ventilasi yang baik sesuai dengan Kepmenkes No. 715 tahun 2003 memiliki persentase tertingggi yaitu 100 (100%) ventilasi dalam kedaan bersih dan memadai dan diikuti oleh kualitas fisik air bersih yang memenuhi syarat sebesar 97% dan persentase terendah adalah tempat sampah sebanyak 24 (24%). Analisis univariat juga dilakukan terhadap variabel dependen yakni laik fisik tempat pengolahan makanan untuk melihat berapa besar persentase laik fisik tempat pengolahan makanan Universitas X tahun 2008 yang akan mempengaruhi sertifikasi hygiene sanitasi jasaboga. Dari 100 sampel yang ada hanya 10% saja yang dapat dikatakan laik fisik karena memenuhi standar penilaian yang ada di Kepmenkes No. 715 tahun 2003 yakni 65 70%. Angka 10% tersebut diperoleh dari hasil wawancara dan observasi dengan penilaian yang telah ditentukan dalam Kepmenkes No. 715 tahun 2003 dan arti 10% tersebut adalah bahwa hanya ada 10 sampel dari keseluruhan sampel yakni 100 yang telah laik secara fisik karena nilai yang diperoleh sebesar 65 70.

5.2 Analisis Bivariat 5.2.1 Hubungan Sanitasi Kantin Dengan Laik Fisik Tempat Pengolahan Analisis bivariat adalah untuk melihat hubungan variabel independen yakni sanitasi kantin dengan laik fisik tempat pengolahan makanan. Dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 5.2.1 Hubungan Sanitasi Kantin Dengan Laik Fisik Tempat Pengolahan di Universitas X tahun 2008 (n=100) Laik Fisik Tempat Pengolahan Nilai Sanitasi Kantin Laik Tidak Total N p Baik 0 4 4 1 (0) (100) (100) Tidak 10 86 72 (10,4) (89,6) (100) Dari hasil wawancara dan observasi pada Tabel 5.2.1 terlihat nilai p sebesar 1, maka tidak ada hubungan antara sanitasi kantin dengan laik fisik tempat pengolahan makanan. Untuk memperkuat hasil uji statistik tersebut maka setiap variabel sanitasi kantin seperti konstruksi bangunan, dinding, langit-langit, ventilasi, penerangan, kualitas fisik air, sumber air bersih, pembuangan air kotor, toilet, tempat sampah, dan pencucian peralatan, serta pelatihan hygiene sanitasi makanan yang pernah diikuti oleh penjamah makanan dilakukan uji statistik terhadap laik fisik tempat pengolahan makanan. Dengan demikian hipotesis alternatif yang menyatakan ada hubungan antara sanitasi kantin dengan laik fisik tempat pengolahan makanan ditolak.

5.2.2 Hubungan Konstruksi Bangunan Dengan Laik Fisik Tempat Pengolahan Hasil uji statistik antara konstruksi bangunan dengan laik fisik tempat pengolahan makanan didapat hasil seperti tabel berikut: Tabel 5.2.2 Hubungan Konstruksi Bangunan Dengan Laik Fisik Tempat Pengolahan di Universitas X tahun 2008 (n=100) Konstruksi Bangunan Laik Fisik Tempat Pengolahan Laik Tidak Total N Nilai p Permanen 10 73 83 0,204 (12) (88) (100) Tidak permanen 0 17 17 (0) (100) (100) Berdasarkan Tabel 5.2.2 terlihat bahwa konstruksi bangunan permanen sebesar 12%. Nilai p yang diperoleh sebesar 0,204. Pada variabel konstruksi bangunan sebanyak 10 tempat pengolahan makanan yang memiliki konstruksi bangunan permanen dan dikatakan laik fisik. Tidak ada hubungan antara konstruksi bangunan dengan laik fisik dilihat dari nilai p sebesar 0,204. 5.2.3 Hubungan Dinding Dengan Laik Fisik Tempat Pengolahan Hasil uji statistik antara dinding dengan laik fisik tempat pengolahan makanan didapat hasil seperti tabel berikut: Tabel 5.2.3 Hubungan Dinding Dengan Laik Fisik Tempat Pengolahan di Universitas X tahun 2008 (n=100)

Laik Fisik Tempat Pengolahan Nilai Dinding Laik Tidak Total N p Ada 10 66 76 0,112 (13,2) (86,8) (100) Tidak 0 24 24 (0) (100) (100) Dari Tabel 5.2.3 hubungan antara dinding dengan laik fisik tempat pengolahan makanan terlihat bahwa 13,2% yang memiliki dinding dan laik fisik, sedangkan yang memiliki dinding tetapi tidak laik fisik sebesar 86,8%. Tidak ada hubungan antara dinding dengan laik fisik tempat pengolahan makanan dilihat dari nilai p sebesar 0,112. 5.2.4 Hubungan Langit-langit Dengan Laik Fisik Tempat Pengolahan Hasil uji statistik antara langit-langit dengan laik fisik tempat pengolahan makanan didapat hasil seperti tabel berikut: Tabel 5.2.4 Hubungan Dinding Dengan Laik Fisik Tempat Pengolahan di Universitas X tahun 2008 (n=100) Laik Fisik Tempat Pengolahan Nilai Langit-langit Laik Tidak Total N p Ada 7 57 64 1 (10,9) (89,1) (100) Tidak 3 33 36 (8,3) (91,7) (100) Dari Tabel 5.2.4 terlihat bahwa 64% keberadaan langit-langit dalam kondisi bersih, dan 7% tempat pengolahan makanan terdapat langit-langit dalam kondisi

bersih dan laik fisik. Diperoleh nilai p sebesar 1 yang menyatakan tidak ada hubungan antara langit-langit dengan laik fisik tempat pengolahan makanan. 5.2.5 Hubungan Ventilasi Dengan Laik Fisik Tempat Pengolahan Hasil uji statistik antara ventilasi dengan laik fisik tempat pengolahan makanan didapat hasil seperti tabel berikut: Tabel 5.2.5 Hubungan Ventilasi Dengan Laik Fisik Tempat Pengolahan di Universitas X tahun 2008 (n=100) Laik Fisik Tempat Pengolahan Nilai Ventilasi Laik Tidak Total N p Ada 10 90 100 (10) (90) (100) Tidak 0 0 0 (0) (0) (0) Tabel 5.2.5 terlihat bahwa 100% tempat pengolahan makanan memiliki dan nilai p tidak terllihat. 10% ventilasi dikatakan laik fisik. Data yang tidak bervariasi ini tidak dapat dilihat bagaimana hubungan antara ventilasi dengan laik fisik tempat pengolahan makanan. 5.2.6 Hubungan Penerangan Dengan Laik Fisik Tempat Pengolahan Hasil uji statistik antara penerangan dengan laik fisik tempat pengolahan makanan didapat hasil seperti tabel berikut: Tabel 5.2.6 Hubungan Penerangan Dengan Laik Fisik Tempat Pengolahan di Universitas X tahun 2008 (n=100) Laik Fisik Tempat Pengolahan Nilai Penerangan Laik Tidak Total N p Terang 10 81 91 0,593 (11) (89) (100)

Redup 0 9 9 (10) (90) (100) Tabel 5.2.6 dapat dilihat bahwa 11% penerangan yang terang dan laik fisik, sedangkan 89% penerangan yang terang tetapi tidak laik fisik. Dari hasil Tabel 5.2.5 diperoleh nilai p sebesar 0,593 yang menyatakan tidak ada hubungan antara penerangan dengan laik fisik tempat pengolahan makanan. 5.2.7 Hubungan Kualitas Fisik Air Dengan Laik Fisik Tempat Pengolahan Hasil uji statistik antara kualitas fisik air dengan laik fisik tempat pengolahan makanan didapat hasil seperti tabel berikut: Tabel 5.2.7 Hubungan Kualitas Fisik Air Dengan Laik Fisik Tempat Pengolahan di Universitas X tahun 2008 (n=100) Kualitas Fisik Laik Fisik Tempat Pengolahan Nilai Air Bersih Laik Tidak Total N p Memenuhi Syarat 10 87 97 1 (10,3) (89,7) (100) Tidak Memenuhi Syarat 10 3 3 (10) (100) (100) Tabel 5.2.7 terlihat 10,3% kualitas fisik air yang memenuhi syarat dan laik fisik, sedangkan 89,7% kualitas fisik air yang memenuhi syarat tetapi tidak laik fisik. Hasil uji statistik diperoleh nilai p sebesar 1, maka dapat diartikan tidak ada hubungan antara kualitas fisik air dengan laik fisik tempat pengolahan makanan. 5.2.8 Hubungan Sumber Air Dengan Laik Fisik Tempat Pengolahan

Hasil uji statistik antara sumber air dengan laik fisik tempat pengolahan makanan didapat hasil seperti tabel berikut: Tabel 5.2.8 Hubungan Sumber Air Dengan Laik Fisik Tempat Pengolahan di Universitas X tahun 2008 (n=100) Laik Fisik Tempat Pengolahan Nilai Sumber Air Laik Tidak Total N p Baik 6 59 65 0,737 (9,2) (90,8) (100) Tidak 4 31 35 (11,4) (88,6) (100) Tabel 5.2.8 terlihat bahwa sumber air yang baik dan laik fisik sebesar 9,2%. Pada variabel sumber air sebanyak 90,8% yang baik tetapi tidak laik fisik tempat pengolahan. Tidak ada hubungan antara konstruksi bangunan dengan laik fisik dilihat dari nilai p sebesar 0,737. 5.2.9 Hubungan Saluran Air Kotor Dengan Laik Fisik Tempat Pengolahan Hasil uji statistik antara saluran air kotor dengan laik fisik tempat pengolahan makanan didapat hasil seperti tabel berikut: Tabel 5.2.9 Hubungan Saluran Air Kotor Sumber Air Dengan Laik Fisik Tempat Pengolahan di Universitas X tahun 2008 (n=100) Saluran Air Laik Fisik Tempat Pengolahan Nilai Kotor Laik Tidak Total N p Baik 10 75 85 0,351 (11,8) (88,2) (100) Tidak 0 15 15

(0) (100) (100) Saluran pembuangan air kotor pada Tabel 5.2.9 sebesar 11,8% baik dan laik fisik, tetapi 88,2% saluran air kotor yang baik dan tidak laik fisik. Tidak ada hubungan antara saluran air kotor dengan laik fisik tempat pengolahan makanan karena nilai p yang diperoleh sebesar 0.351. 5.2.10 Hubungan Toilet Dengan Laik Fisik Tempat Pengolahan Hasil uji statistik antara toilet dengan laik fisik tempat pengolahan makanan didapat hasil seperti tabel berikut: Tabel 5.2.10 Hubungan Toilet Dengan Laik Fisik Tempat Pengolahan di Universitas X tahun 2008 (n=100) Laik Fisik Tempat Pengolahan Nilai Toilet Laik Tidak Total N p Ada 7 41 48 0,188 (14,6) (85,4) (100) Tidak 3 49 52 (5,8) (94,2) (100) Tabel 5.2.10 sebesar 14,6% toilet yang laik fisik, sedangkan tempat pengolahan makanan yang tidak memiliki toilet dan laik fisik sebesar 5,8%. Tidak ada hubungan antara keberadaan toilet dengan laik fisik tempat penngolahan makanan karena nilai p yang dipeoleh sebesar 0,188.

5.2.11 Hubungan Tempat Sampah Dengan Laik Fisik Tempat Pengolahan Hasil uji statistik antara tempat sampah dengan laik fisik tempat pengolahan makanan didapat hasil seperti tabel berikut: Tabel 5.2.11 Hubungan Tempat Sampah Dengan Laik Fisik Tempat Pengolahan di Universitas X tahun 2008 (n=100) Laik Fisik Tempat Pengolahan Nilai Tempat Sampah Laik Tidak Total N p Ada 2 22 24 1 (8,3) (91,7) (100) Tidak 8 68 76 (10,5) (89,5) (100) Tabel 5.2.11 menunjukkan keberadaan tempat sampah yang baik sebesar 8,3% dan dikatakan laik fisik tempat pengolahan makanan, sedangkan 91,7 % terdapat tempat sampah tetapi tidak laik fisik. Tidak ada hubungan antara tempat sampah dengan laik fisik tempat pengolahan makanan, hal ini terlihat pada nilai p sebesar 1. 5.2.12 Hubungan Pencucian Peralatan Dengan Laik Fisik Tempat Pengolahan Hasil uji statistik antara pencucian peralatan dengan laik fisik tempat pengolahan makanan didapat hasil seperti tabel berikut: Tabel 5.2.12 Hubungan Pencucian Peralatan Dengan Laik Fisik Tempat Pengolahan di Universitas X tahun 2008 (n=100) Pencucian Laik Fisik Tempat Pengolahan Nilai Peralatan Laik Tidak Total N p Baik 9 73 82 0,685

(11) (89) (100) Tidak 1 17 18 (5,6) (94,4) (100) Tabel 5.2.12 terlihat bahwa pencucian peralatan yang baik dan laik fisik sebesar 11%, sedangkan pencucian peralatan yang baik tetapi tidak laik fisik sebesar 89%. Diperoleh nilai p sebesar 0,685 yang berarti bahwa tidak ada hubungan antara pencucian peralatan dengan laik fisik tempat pengolahan makanan. 5.2.13 Hubungan Pelatihan Dengan Laik Fisik Tempat Pengolahan Hasil uji statistik antara pelatihan hygiene sanitasi makanan yang pernah diikuti oleh penjamah makanan dengan laik fisik tempat pengolahan makanan didapat hasil seperti tabel berikut: Tabel 5.2.13 Hubungan Pelatihan Dengan Laik Fisik Tempat Pengolahan di Universitas X tahun 2008 (n=100) Laik Fisik Tempat Pengolahan Nilai Pelatihan Laik Tidak Total N p Pernah 3 25 28 1 (10,7) (89,3) (100) Belum 7 65 72 (9,7) (90,3) (100) Tabel 5.2.13 dalam pelatihan hygiene sanitasi makanan yang pernah diikuti oleh penjamah makanan sebesar 10,7% yang pernah mengikuti pelatihan dan tempat pengolahan makanannya dikatakan laik fisik, sedangkan yang belum pernah mengikuti pelatihan hygiene sanitasi makanan tetapi tempat pengolahan makanannya sudah laik fisik sebesar 9,7%. Nilai p yang diperoleh sebesar 1 maka tidak ada hubungan antara pelatihan dengan laik fisik tempat pengolahan makanan. Dengan

demikian hipotesis alternatif yang menyatakan ada hubungan antara pelatihan penjamah makanan dengan laik fisik tempat pengolahan makanan ditolak.

BAB 6 PEMBAHASAN Berdasarkan hasil pada Bab 5 maka akan dibahas variabel independen yakni sanitasi kantin dan pelatihan hygiene sanitasi makanan yang pernah diikuti oleh penjamah makanan yang dianggap berhubungan dengan laik fisik tempat pengolahan makanan. Hal ini dapat dilihat berdasarkan nilai P dari analisis yang telah dilakukan. 6.1 Sanitasi Kantin Distribusi konstruksi bangunan tempat pengolahan makanan yang ada di lingkungan kampus Universitas X tahun 2008 yang memiliki bentuk permanen sebesar 83%. Dalam Kepmenkes No. 715 tahun 2003 bahwa bentuk atau konstruksi sarana jualan harus kuat dan selalu dalam keadaan bersih secara fisik dan bebas dari barang-barang sisa atau bekas yang ditempatkan sembarangan. Konstruksi bangunan yang baik diharapkan mampu mengurangi kontaminasi makanan, sehingga makanan yang dijual di tempat pengolahan makanan tersebut aman untuk di konsumsi. Konstruksi bangunan menurut penulis disemua tempat pengolahan makanan sudah baik. Kondisi tersebut harus tetap diperhatikan dan dipertahankan untuk menciptakan makanan yang laik untuk dikonsumsi. Konstruksi bangunan yang permanen mampu mengurangi tingkat pencemaran makanan. Distribusi dinding sarana jualan di tempat pengolahan makanan sebanyak 76% dalam keadaan baik yang dapat terlihat bahwa dinding terbuat dari tembok berwarna terang dan dalam keadaan bersih. Hal ini menurut penulis telah sesuai dengan Kepmenkes No. 715

tahun 2003, yakni dinding permukaan bagian dalamnya halus, kering, atau tidak menyerap air dan mudah dibersihkan. Apabila dinding terkena percikan air, maka setinggi 2 meter dari lantai harus dilapisi bahan kedap air yang permukaannya halus, tidak menahan debu, dan berwarna terang. Penulis berpendapat bahwa kondisi umum dinding sarana jualan sudah baik berdasarkan distribusi pada Tabel 5.1. Langit-langit atau plafon sarana jualan sebesar 64% dalam keadaan baik dan bersih. Hal ini sesuai dengan Kepmenkes No. 715 tahun 2003 yang menyatakan bahwa langit-langit harus menutup atap bangunan, berwarna terang, mudah dibersihkan, dan tinggi langit-langit tidak kurang dari 2,4 meter diatas lantai. Belum ada penelitian yang menyatakan bahwa ada hubungan antara langit-langit dengan laik fisik tempat pengolahan makanan. Adanya perputaran udara dalam ruang ditentukan dengan ventilasi yang tersedia dalam ruangan tersebut. Ventilasi dalam tempat pengolahan makanan di Universitas X tahun 2008 sebesar 100% dalam keadaan baik dan bersih. Hasil analisis pada Tabel 5.1 tersebut sudah memenuhi persyaratan dalam Kepmenkes No. 715 tahun 2003 yang menyatakan bahwa bangunan atau ruangan tempat pengolahan makanan harus dilengkapi dengan ventilasi yang dapat menjaga keadaan nyaman. Ventilasi berguna untuk mencegah udara dalam ruang tidak terlalu panas dan mampu mencegah terjadinya kondensi uap air atau lemak pada lantai, dinding atau langitlangit. Ventilasi juga dapat digunakan untuk menghilangkan bau, asap, dan pencemaran dari ruangan. Penelitian tentang ventilasi telah dilakukan oleh beberapa peneliti seperti Karim (2001) mendapatkan 79,2% industri rumah tangga yang keadaan sarana dan prasarananya sudah memadai. Kusnadi (1997) mendapatakan kondisi ruang industri rumah tangga 77,7% yang kondisinya memadai. Hasil-hasil

penelitian tersebut merupakan penggambaran bahwa ventilasi memiliki nilai yang baik atau memadai dan diperkuat dengan hasil penelitian ini. Keadaan ventilasi pada penelitian ini sudah mencapai 100% berarti sudah memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Kepemenkes No. 715 tahun 2003. Hal ini harus tetap dipertahankan dan terus diawasi oleh pihak universitas dengan memberikan reward terhadap tempat pengolahan makanan yang memiliki ventilasi yang baik dan terpelihara. Kondisi penerangan di tempat pengolahan makanan Universitas X tahun 2008 sebesar 91% dalam kondisi baik. Hal ini terukur dengan kejelasan dalam membaca. Dalam Kepmenkes No. 715 tahun 2003 semua pencahayaan tidak boleh menimbulkan silau dan distribusinya sejauh mungkin menghindarkan bayangan. Laik fisik tempat pengolahan makanan menurut penulis dimungkinkan dipengaruhi oleh faktor pencahayaan walaupun belum ada penelitian tentang hal itu. Kualitas air dilihat dari keadaan fisik dilihat seperti kejernihan, tidak berbau, dan tidak berasa. Kualitas air di tempat pengolahan makanan Universitas X tahun 2008 sebanyak 97% yang telah memenuhi persyaratan kualitas air Kepmenkes No. 907 tahun 2002. Menurut penulis air merupakan sumber untuk segalanya untuk mencuci dan mengolah makanan sehingga kualitas air bersih mungkin saja berpengaruh terhadap laik fisik tempat pengolahan makanan. Air merupakan sumber kehidupan sepertinya hal tersebut tidak dapat disanggah lagi. Dalam penelitian ini distribusi sumber air bersih sebanyak 65% bersumber dari PAM atau sumur gali yang terlindungi di tempat pengolahan makanan Universitas X tahun 2008. Saluran pembuangan air kotor tempat pengolahan makanan Universitas X tahun 2008 sebanyak 85% telah memenuhi syarat hygiene sanitasi dalam Kepmenkes No. 715 tahun 2003 yakni dalam kondisi mengalir. Pembuangan air kotor yang tidak

baik dapat menyebabkan penyakit karena menjadi tempat perindukan bakteri penyakit. (Djaja, 2000) Penelitian sebelumnya saluran pembuangan air seperti dalam Sukmara (2002) yang menemukan sebanyak 97,6% TPM membuang limbah cairnya ke parit yang alirannya lancar. Gumilar (1994) pada penelitian jasaboga golongan A di Bandung mendapatkan 79,5% jasaboga yang sudah baik cara membuang limbah cairnya. Penulis berpendapat bahwa rata-rata tempat pengolahan makanan telah memiliki saluran pembuangan air yang baik dan mengalir. Menurut penulis dengan tingginya persentase hasil penelitian sebelumnya dan sebanding dengan hasil penelitian ini berarti saluran pembuangan air kotor sudah diterapkan dengan baik oleh semua tempat pengolahan makanan. Keberadaan toilet di tempat pengolahan makanan Universitas X tahun 2008 sebanyak 48% dalam keadaan baik dan bersih dan dapat dikatakan memenuhi syarat dalam Kepmenkes No. 715 tahun 2008. Hal ini masih rendah menurut penulis karena kurang dari 50% sampel sehingga kebersihan dan jumlah toilet harus lebih diperhatikan untuk mendukung laik fisik tempat pengolahan makanan. Keberadaan toilet, jamban, dan kamar mandi bagi pengelola dan pengolah makanan sangat penting dalam hal menjamin kebersihan diri para pengolah makanan khususnya di tempat pengolahan dan penyajian makanan. Hal ini dapat mencegah terjadinya kontaminasi makanan dari dan oleh kebersihan diri (terutama tangan) pengolah makanan. (Purnawijayanti, 2001). Menurut penulis keberadaan toilet yang dibawah 50% tersebut wajar, karena tidak mungkin satu tempat pengolahan makanan terdapat toilet. Hal ini juga diperkuat dengan observasi langsung kelapangan.

Hasil penelitian pada Tabel 5.1 melaporkan sebanyak 24% tempat sampah yang tersedia di tempat pengolahan makanan di Universitas X tahun 2008 yang dalam kondisi baik dan tertutup. Tempat sampah seperti kantong plastik, atau bak sampah yang tertutup harus tersedia dalam jumlah yang cukup dan diletakkan sedekat mungkin dengan sumber produksi sampah, namun dapat menghindari kemungkinan tercemarnya makanan oleh sampah. Hal ini tertulis dalam Kepmenkes No. 715 tahun 2003. Rendahnya keberadaan tempat sampah yang baik menurut penulis mungkin saja dikarenakan kondisinya yang tidak memadai seperti pecah dan tidak tertutup. Walaupun hasil penelitian untuk variabel tempat sampah pada tempat pengolahan makanan di Universitas X tahun 2008 menghasikan angka yang kecil yakni sebesar 24% menurut penulis pihak universitas harus lebih memperhatikan tentang keberadaan tempat sampah. Penulis berpendapat dengan kecilnya distribusi tempat sampah pada penelitian ini maka keberadaan tempat sampah sering tidak diperhatikan oleh penjamah makanan. Menurut penulis tempat sampah merupakan sarana sanitasi yang harus dipenuhi oleh pengelola tempat pengolahan makanan. Keberadaan tempat sampah yang baik dan tertutup sesuai dengan Kepemenkes No. 715 tahun 2003 dan hal ini dapat dimungkinkan mempengaruhi laik fisik tempat pengolahan makanan. Cara pencucian atau membersihkan peralatan makan dan minum serta alat pengolah makanan yang baik adalah dalam air yang mengalir dan menggunakan sabun. Fungsi sabun adalah sebagai pembasmi bakteri atau virus yang dapat menyebabkan penyakit. Dalam Kepmenkes No. 715 tahun 2003 pencucian peralatan

harus menggunakan sabun dan disimpan dalam tempat yang terlindung dari kemungkinan pencemaran oleh tikus atau hewan lainnya. Pencucian peralatan pada tempat pengolahan makanan di Universitas X tahun 2008 sebanyak 82% telah memenuhi syarat Kepmenkes No. 715 tahun 2003. Hasil persentase yang tinggi juga ada dalam penelitian Djaja (2000) dilaporkan bahwa sebanyak 84,7% TPM di Jakarta Selatan dilengkapi dengan sarana pencucian peralatan masak dan makan, mencuci dengan air yang mengalir sebanyak 70,6% dan semuanya menggunakan bahan pencuci detergen. Menurut penulis keberadaan dan kondisi pencucian peralatan dengan angka 82% dimungkinkan mempengaruhi laik fisik tempat pengolahan makanan. Pelatihan yang pernah diikuti oleh penjamah makanan yang ada di Universitas X tahun 2008 hanya sebanyak 28%, hal ini menurut penulis mungkin saja disebabkan karena kurangnya sosialisasi tentang pentingnya pelatihan hygiene sanitasi makanan. Penulis berpendapat adanya rotasi penempatan penjamah makanan di Universitas X tahun 2008 mempengaruhi hal tersebut. Dalam Kepmenkes No. 715 tahun 2003 untuk mendapatkan sertifikat hygiene sanitasi jasaboga selain dilakukan pemeriksaan tentang laik fisik tempat pengolahan makanan juga harus memiliki sertifikat kursus hygiene sanitasi makanan yang berlaku secara nasional dan dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 6.2 Hubungan Sanitasi Kantin dengan Laik Fisik Tempat Pengolahan Dalam Purnawijayanti (2001) sanitasi merupakan gambaran lingkungan sekitar. Dengan hasil yang menunjukkan tidak adanya hubungan yang bermakna

antara sanitasi kantin dengan laik fisik kantin pada Tabel 5.2.1 sebanyak 4% tempat pengolahan makanan yang memiliki sanitasi kantin baik, maka menurut penulis sanitasi kantin pada tempat pengolahan makanan mungkin saja mampu mempengaruhi laik fisik tempat pengolahan makanan. Sanitasi kantin dalam penilaiannya dilakukan berdasarkan variabel-variabel seperti konstruksi bangunan, dinding, langit-langit (plafon), ventilasi, penerangan, kualitas fisik air, sumber air bersih, pembuangan air kotor, toilet, tempat sampah, pencucian peralatan, dan pelatihan. Dari hasil analisis yang telah dilakukan dari tiaptiap variabel tersebut hanya variabel lantai yang memiliki hubungan bermakna dengan laik fisik tempat pengolahan makanan. Hasil analisis bivariat sanitasi kantin yang terdiri dari variabel-variabel seperti konstruksi bangunan, dinding, langit-langit (plafon), ventilasi, penerangan, kualitas fisik air, sumber air bersih, pembuangan air kotor, toilet, tempat sampah, pencucian peralatan dengan laik fisik tempat pengolahan makanan menunjukkan nilai p > 0,05. Hal ini berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara sanitasi kantin dengan laik fisik tempat pengolahan makanan. Karena tidak ada hubungan maka nilai OR tidak dapat dilihat. Hal ini menurut penulis walaupun belum ada penelitian yang pernah membahas tentang hubungan sanitasi kantin dengan laik fisik tempat pengolahan makanan, sanitasi kantin dimungkinkan dapat mempengaruhi laik fisik tempat pengolahan makanan. Semua variabel sanitasi kanitn setelah dilakukan uji statistik menghasilkan nilai p > 0,05 yang berarti tidak berhubungan antara sanitasi kantin dengan laik fisik tempat pengolahan makanan. Menurut penulis dikarenakan terbatasnya jumlah

responden yang diambil sebagai sampel. Dalam penelitian ini adalah menggunakan data sekunder, sehingga penulis tidak dapat menambah sampel yang ada. Kemungkinan sanitasi kantin mempengaruhi laik fisik tempat pengolahan makanan, menurut penulis hal ini karena pada Tabel 5.1 persentase sanitasi kantin ada 2 variabel yang masih bernilai dibawah 50% yakni variabel toilet dan tempat sampah yang masing-masing bernilai 48% untuk nilai toilet yang baik dan 24% untuk nilai tempat sampah yang baik kondisinya. Setelah melakukan observasi ternyata memang untuk toilet tidak semua tempat pengolahan makanan memiliki masing-masing toilet, tetapi toilet digunakan secara bersama-sama untuk beberapa tempat pengolahan makanan. Begitu juga dengan tempat sampah, digunakan secara bersama-sama oleh beberapa tempat pengolahan makanan dalam satu fakultas. Peneliti tidak menemukan penelitian lain mengenai laik fisik tempat pengolahan makanan, menurut penulis sanitasi kantin mungkin saja mempengaruhi laik fisik tempat pengolahan makanan. Hal ini terlihat dari semua variabel sanitasi kantin yang memiliki hubungan hanya satu, yaitu variabel lantai. Hasil penelitian ini bertentangan dengan penelitian Polak (2007) yang menyatakan ada hubungan antara sanitasi peralatan terhadap kualitas bakteriologis makanan. 6.2.3 Hubungan Pelatihan Penjamah dengan Laik Fisik Tempat Pengolahan Pada Tabel 5.2.13 berdasarkan uji statistik didapatkan nilai P sebesar 1,000 (p>0,05), maka tidak ada hubungan antara pelatihan penjamah makanan dengan laik fisik tempat pengolahan. Menurut Carel dalam Sachriani (2001), pelatihan

mempunyai pengaruh yang sangat besar dan merupakan suatu alat pemotivasi kuat dalam keselamatan. Dan hal tersebut tidak terbukti dalam penelitian ini karena nilai P yang lebih dari 0,05. Trisari (2003) menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pelatihan dengan perilaku hygiene. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian ini menurut penulis karena distribusi proporsi yang terjadi hanya kebetulan semata. Menurut penulis tidak adanya hubungan pelatihan dengan laik fisik tempat pengolahan makanan dikarenakan pada Tabel 5.1 hanya 28% sampel dari 100 sampel yang pernah mengikuti pelatihan hygiene sanitasi makanan. Sehingga pada penelitian ini belum dapat membuktikan bahwa pelatihan mampu mempengaruhi laik fisik tempat pengolahan makanan. Kurangnya sosialisasi akan pentingnya pelatihan hygiene sanitasi makanan menurut penulis menyebabkan responden yang telah mengikuti pelatihan yang berjumlah sedikit yakni hanya 28%. Menurut Sachriani (2001) penyampaian akan pentingnya pelatihan dengan hygiene perorangan mampu mempengaruhi kualitas makanan, karena diharapkan setelah mengikuti pelatihan para penjamah makanan akan lebih mengerti akan keamanan makanan. Pelatihan dapat dilakukan oleh pihak universitas berkerjasama dengan dinas kesehatan dan dilakukan rutin dan serentak, dan untuk penyampaian informasinya dapat dilakukan dengan memberikan papan khusus seperti majalah dinding. Adanya majalah dinding untuk setiap tempat pengolahan makanan menurut penulis mampu memudahkan penjamah makanan dalam mengakses berita tentang hygiene sanitasi makanan.

Selain itu juga dengan memilih salah satu penjamah makanan sebagai simbol panutan yang telah mengikuti pelatihan hygiene sanitasi makanan untuk tiap-tiap bulan, menurut penulis mampu meningkatkan daya saing untuk melakukan hygiene sanitasi makanan yang terbaik bagi tiap-tiap tempat pengolahan makanan yang ada di lingkungan kampus Universitas X. Dari keseluruhan variabel menunjukkan hasil atau nilai p yang lebih besar dari α 5%. Hipotesis alternatif yang menyatakan hubungan sanitasi kantin dan pelatihan penjamah makanan ditolak atau tidak terbukti pada penelitian ini.