II. KERANGKA KAJIAN 2.1 Usaha Mikro dan Usaha Kecil Usaha Mikro adalah kegiatan ekonomi rakyat berskala kecil dan bersifat tradisional dan informal, dalam arti belum terdaftar, belum tercatat dan belum berbadan hukum, dengan hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 100.000.000 atau kekayaan bersih paling banyak Rp 50.000.000 (Kementrian KUKM, 2005). Biro Pusat Statistik (1993 ) memberikan definisi pembagian skala usaha (difokuskan pada industri manufaktur) berdasarkan kriteria serapan tenaga kerja. Berdasarkan kriteria tersebut usaha dibedakan menjadi : a Industri skala mikro / rumah tangga adalah suatu perusahaan manufaktur yang mempekerjakan tenaga kerja 1-4 orang. b Industri skala kecil adalah adalah suatu perusahaan manufaktur yang mempekerjakan tenaga kerja 5-19 orang. c Industri skala menengah adalah adalah suatu perusahaan manufaktur yang mempekerjakan tenaga kerja 20-99 orang. d Industri skala besar adalah adalah suatu perusahaan manufaktur yang mempekerjakan tenaga kerja 100 orang atau lebih Departemen Perindustrian dan Perdagangan membagi usaha kecil menjadi dua kelompok yaitu industri kecil dan perdagangan kecil. Industri kecil adalah usaha industri yang memiliki investasi peralatan kurang dari Rp 70.000.000, investasi per tenaga kerja maksimal Rp 625.000, jumlah pekerja kurang dari 20 orang serta memiliki asset perusahaan tidak lebih dari Rp 100.000.000 (Sumodiningrat, 1996). Berdasarkan definisi BPS, usaha konveksi di Kelurahan Purwoharjo termasuk dalam kriteria industri skala mikro industri skala menengah. Thee (1996) membuat tiga kategorisasi jenis usaha berdasarkan jenis teknologi yang digunakan yaitu tradisional, semi modern dan modern. Usaha mikro biasanya menggunakan teknogi tradisional. Berdasarkan kategori Thee tersebut, usaha mikro konveksi di Kelurahan Purwoharjo termasuk peralihan dari tradisional ke semi modern karena sudah menggunakan mesin jahit yang digerakkan oleh dinamo (listrik). Sementara itu Yaffey (1992) lebih melihat
8 kategorisasi tahapan perkembangan dari pola-pola pengelolaan keuangan yang diterapkan dalam suatu usaha kecil. Usaha tahap rintisan belum memisahkan pengelolaan keuangan untuk usaha (produksi) dan konsumsi. Usaha tahap berkembang telah memisahkannya. Pada usaha-usaha yang berada pada tahap akumulasi modal, pengelolaan keuangan telah dilakukan secara profesional, dengan adanya perencanaan untuk investasi. Pada tingkat ini suntikan modal diperlukan untuk melakukan reinvestasi bagi pengembangan usaha lebih jauh. Usaha mikro konveksi di kelurahan Purwoharjo, sebagian besar masih pada tahap rintisan (belum memisahkan keuangan untuk produksi dan konsumsi), sisanya sudah masuk tahap berkembang. Berbagai studi dalam pengembangan usaha kecil di Indonesia menunjukkan bahwa usaha kecil mengalami kelemahan hampir di seluruh aspek, seperti pengadaan bahan baku, teknik produksi, manajemen, permodalan, pemasaran dan sumberdaya manusia (Usman, 1997). 2.2 Pemberdayaan Pemberdayaan adalah sebuah proses dengan mana orang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam, berbagai pengontrolan atas dan mempengaruhi terhadap kejadian-kejadian serta lembaga-lembaga yang mempengaruhi kehidupannya. Prinsip pemberdayaan agar dapat mencapai sasarannya adalah dengan menekankan bahwa orang memperoleh keterampilan, pengetahuan, dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya (Parsons et al, 1994). Pemberdayaan adalah suatu cara dengan mana rakyat, organisasi, dan komunitas diarahkan agar mampu menguasai (atau berkuasa atas) kehidupannya (Rappaport, 1984). Pemberdayaan adalah upaya yang dilakukan oleh Pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat dalam bentuk penumbuhan iklim usaha, pembinaan dan pengembangan sehingga Usaha Kecil mampu menumbuhkan dan memperkuat dirinya menjadi usaha yang tangguh dan mandiri. (Undang-Undang Republik Indonesia No 9 Tahun 1995). Pembinaan dan pengembangan adalah upaya yang dilakukan oleh Pemerintah, dunia usaha dan masyarakat melalui pemberian
9 bimbingan dan bantuan perkuatan untuk menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan usaha kecil agar menjadi usaha yang tangguh dan mandiri (Undang-Undang Republik Indonesia No 9 Tahun 1995). Dalam kajian ini pemberdayaan usaha mikro konveksi dilaksanakan secara partisipatif dengan menumbuhkan inisiatif para pengusaha. Ada dua aliran argumen tentang pengembangan industri mikro. Aliran pertama menyebutkan bahwa usaha skala kecil perlu dibuat menjadi usaha skala besar. Akibatnya, intervensi dan kebijakan dalam pengembangan usaha kecil sebagai rekomendasi dari aliran ini, perlu diarahkan untuk mengubah skala usaha kecil menjadi skala usaha besar, baik dari sudut produksi, kapital maupun tenaga kerja (pembesaran skala usaha). Aliran kedua menyodorkan argumen yang sebaliknya, yakni menjadikan usaha kecil semakin solid tanpa perlu menjadi besar. Dengan demikian rekomendasi yang diajukan adalah optimalisasi skala usaha atau menemukan skala usaha yang paling efisien dan produktif (Tambunan, 1997). Pengembangan industri mikro konveksi di Kelurahan Purwoharjo lebih dititikberatkan untuk menggunakan aliran kedua yaitu optimalisasi skala usaha menuju skala usaha yang paling efisien dan produktif bagi usaha mikro konveksi tanpa harus meningkatkan skala usahanya. Banyak ahli yang telah mengamati dan menggeluti perkembangan usaha kecil yang kurang memuaskan dan menarik kesimpulan bahwa kebanyakan kegiatan promosi UKM, yang hingga kini telah diimplementasikan di Indonesia lebih banyak didasarkan pertimbangan pemerataan atau kesejahteraan ketimbang pertimbangan efisiensi. Pertimbangan pemerataan melihat bahwa usaha kecil sebagai usaha yang memang lemah dan tidak mempunyai prospek baik untuk berkembang menjadi usaha yang efisien dan mempunyai daya hidup ekonomi (economic viability) yang baik, namun karena pertimbangan pemerataan, usaha-usaha kecil ini wajib dibantu ( Widyaningrum, 2003). Di sisi lain, pertimbangan efisiensi dalam program promosi usaha kecil menekankan bahwa banyak usaha kecil dapat berkembang menjadi usaha yang efisien dan berdaya saing tinggi, jika diberikan bantuan yang tepat guna (appropriate) bagi mereka. Pendekatan ini melihat bahwa program-program promosi usaha kecil di masa lampau lebih bersifat program top down atau supply driven, yaitu program lebih banyak ditentukan oleh pemerintah tanpa benar-benar memperhatikan kebutuhan riil usaha kecil. Para ahli dan pemerhati usaha kecil menganjurkan bahwa program-program promosi usaha kecil yang
10 baru, baik program kredit maupun program yang memberikan jasa-jasa bisnis (business services) dan pelatihan harus bersifat demand driver, yaitu terutama ditentukan oleh kebutuhan riil usaha kecil. Disamping itu, program-program promosi itu juga harus bersifat market-driven, artinya baik permintaan maupun pemasokan program-program ini akan ditentukan oleh kekuatan pasar dan bukan diwajibkan oleh pemerintah (Widyaningrum, 2003). Berdasarkan argumenargumen tersebut, pemberdayaan usaha mikro konveksi dalam kajian ini tidak menyepakati pendekatan top down supply driven / pemerataan dan lebih cenderung menggunakan pendekatan demand driven dan market driven dengan menyampaikan kebutuhan riil para pengusaha kepada pemerintah agar program pembinaan oleh pemerintah sesuai dengan kebutuhan mereka. 2.3 Pengembangan Kapasitas Pemberdayaan pengusaha mikro konveksi tidak bisa dilepaskan dari pengembangan kapasitas sumberdaya manusianya. Pengembangan kapasitas masyarakat menurut Maskun (1999) merupakan suatu pendekatan pembangunan yang berbasis pada kekuatan-kekuatan dari bawah secara nyata. Kekuatan-kekuatan itu adalah kekuatan sumberdaya alam, sumberdaya ekonomi dan sumberdaya manusia, sehingga menjadi suatu Local capacity. Kapasitas lokal yang dimaksud adalah kapasitas pemerintah daerah, kapasitas kelembagaan swasta, dan kapasitas masyarakat desa terutama dalam bentuk peningkatan kualitas sumberdaya manusia dalam menghadapi tantangan pengembangan potensi alam dan ekonomi setempat. Kapasitas lokal yang dapat dikembangkan dalam pemberdayaan pengusaha mikro konveksi di Kelurahan Purwoharjo, adalah sumberdaya ekonomi berupa kegiatan industri mikro konveksi dan sumberdaya manusia (pengusaha dan tenaga kerja). Kebutuhan penting di sini adalah bagaimana mengembangkan kapasitas masyarakat, yang mencakup kapasitas institusi dan kapasitas sumberdaya manusia. Pemerintah memiliki fungsi menciptakan strategi kebijakan sebagai landasan bagi organisasi lokal untuk mengembangkan kreativitasnya. Pemda Kabupaten Pemalang telah menetapkan dusun Serdadi
11 Kelurahan Purwoharjo sebagai sentra industri mikro konveksi.dalam rangka pengembangan kapasitas dapat dilakukan Upaya-upaya (Eade, 1997) : 1. Mendukung kapasitas tokoh masyarakat untuk mengorganisasikan perubahan, lingkungan, perumahan dan program bantuan darurat. 2. Mendukung kapasitas golongan tak mampu (disabilities), pengembangan pendidikan, pelatihan dan keterampilan, membangun kerja kelompok dan pengembangan jaringan. Pengembangan kapasitas yang dimaksudkan dalam kerangka program nasional mengacu kepada kebutuhan akan : penyesuaian kebijakan-kebijakan dan peraturan-peraturan, reformasi kelembagaan, modifikasi prosedur-prosedur kerja dan mekanisme-mekanisme koordinasi, peningkatkan keterampilan dan kualifikasi sumber daya manusia, perubahan sistem nilai dan sikap atau perilaku sedemikian rupa, sehingga dapat terpenuhinya tuntutan dan kebutuhan otonomi daerah, sebagai suatu cara pendekatan baru ke arah pemerintahan, pengadministrasian dan pengembangan mekanisme-mekanisme partisipatif yang tepat guna memenuhi tuntutan yang lebih demokratis (Bappenas-Depdagri, 2002). Secara umum Pengembangan dan peningkatan Kapasitas meliputi tiga tingkatan agar dapat berjalan secara efektif dan berkelanjutan yaitu : 1. Tingkat sistem, yaitu kerangka peraturan dan kebijakan-kebijakan yang mendukung atau membatasi pencapaian tujuan-tujuan kebijakan tertentu. 2. Tingkat kelembagaan atau entitas, yaitu struktur organisasi, prosesproses pengambilan keputusan dalam organisasi, prosedur-prosedur dan mekanisme-mekanisme kerja, instrumen manajemen, hubunganhubungan dan jaringan antar organisasi dll. 3. Tingkat individu, yaitu tingkat keterampilan, kualifikasi, pengetahuan/ wawasan, sikap (attitude), etika dan motivasi individu-ndividu yang bekerja dalam suatu organisasi. Dalam kerangka pemberdayaan pengusaha mikro konveksi di Kelurahan Purwoharjo, pengembangan kapasitas difokuskan pada tingkat individu (pengusaha) dan tingkat kelembagaan (Koperasi Pengusaha Pakaian Jadi/ KPPJ).
12 2.4 Kerangka Berpikir Profil usaha mikro konveksi di kelurahan Purwoharjo tidak terlepas dari faktor internal dan faktor eksternal yang mempengaruhinya. Faktor internal meliputi modal yang dimiliki dan kapasitas SDM pengusaha. Kapasitas SDM meliputi tingkat pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki, jiwa wira usaha serta kemampuan manajerial. Faktor eksternal yang mempengaruhi usaha mikro meliputi kondisi masyarakat, pemerintah dalam hal program / kebijakan yang ditempuh menyangkut usaha mikro (bantuan modal, pelatihan, pembinaan). Sektor swasta berpengaruh terhadap usaha mikro dalam hal sistem perdagangan (konsinyasi) dan pola kerja sama yang berlaku dalam dunia usaha. Lokasi usaha yang strategis, ketersediaan tenaga kerja serta organisasi yang sudah terbentuk yaitu koperasi. Faktor eksternal dan internal tersebut berpengaruh terhadap permasalahan yang dihadapi oleh pengusaha mikro konveksi. Dari berbagai permasalahan pengusaha mikro yang diidentifikasi kemudian dipilih masalah prioritas yang paling mendesak dan paling memungkinkan untuk ditangani sesuai dengan sumberdaya yang dimiliki oleh para pengusaha. Untuk mengatasi permasalahan diperlukan rancangan strategi dan rancangan program pemberdayaan usaha mikro. Faktor internal dan eksternal tersebut dianalisis menggunakan analisis SWOT bersama masyarakat sehingga menghasilkan alternatif rancangan strategi. Dari beberapa alternatif strategi kemudian dipilih strategi prioritas, kemudian strategi prioritas tersebut dioperasionalkan ke dalam rancangan program yang disusun bersama komunitas pengusaha mikro konveksi Kelurahan Purwoharjo. Tujuan dari rancangan program pemberdayaan tersebut adalah terwujudnya pengusaha kecil yang berdaya yang ditandai dengan peningkatan akses modal, peningkatan akses bahan baku, peningkatan akses pemasaran di tingkat regional, pengembangan jaringan kerjasama, peningkatan kapasitas sumberdaya manusia dan peningkatan akses terhadap informasi pasar (mode, harga dll). Kerangka berpikir kajian ini divisualisasikan dalam Gambar 1.