Penerapan Good Breeding Practice terhadap Produktivitas Ternak... Sundra Dewi P

dokumen-dokumen yang mirip
I PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong

III OBJEK DAN METODE PENELITIAN. Objek penelitian ini adalah peternak sapi potong Peranakan Ongole yang

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... ABSTRAK... ABSTRACT... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR ILUSTRASI... DAFTAR LAMPIRAN...

BIRTH WEIGHT, WEANING WEIGHT AND LINEAR BODY MEASUREMENT OF ONGOLE CROSSED CATTLE AT TWO GROUP PARITIES ABSTRACT

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama : Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :......

PENDAHULUAN. (KPBS) Pangalengan. Jumlah anggota koperasi per januari 2015 sebanyak 3.420

PENDAHULUAN. potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan

STATUS REPRODUKSI DAN ESTIMASI OUTPUT BERBAGAI BANGSA SAPI DI DESA SRIWEDARI, KECAMATAN TEGINENENG, KABUPATEN PESAWARAN

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Prosedur

I. PENDAHULUAN. sapi yang meningkat ini tidak diimbangi oleh peningkatan produksi daging sapi

ANALISIS POTENSI SAPI POTONG BAKALAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

V. PROFIL PETERNAK SAPI DESA SRIGADING. responden memberikan gambaran secara umum tentang keadaan dan latar

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan yang dihadapi Provinsi Jambi salah satunya adalah pemenuhan

OPTIMALISASI USAHA PENGGEMUKAN SAPI DI KAWASAN PERKEBUNAN KOPI

KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1. Peternakan Sapi Potong Skala Rumah Tangga 2.2. Standarisasi Sapi Peranakan Ongole (PO)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. untuk penggemukan dan pembibitan sapi potong. Tahun 2003 Pusat Pembibitan dan

III OBJEK DAN METODE PENELITIAN. dalam anggota KPBS Pangalengan dan memiliki sapi perah produktif.

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2016

PEDOMAN PELAKSANAAN UJI PERFORMAN SAPI POTONG TAHUN 2012

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dibagikan. Menurut Alim dan Nurlina ( 2011) penerimaan peternak terhadap

Lingkup Kegiatan Adapun ruang lingkup dari kegiatan ini yaitu :

PENDAHULUAN. produksi yang dihasilkan oleh peternak rakyat rendah. Peternakan dan Kesehatan Hewan (2012), produksi susu dalam negeri hanya

Pengembangan Kelembagaan Pembibitan Ternak Sapi Melalui Pola Integrasi Tanaman-Ternak

PENGGEMUKAN SAPI POTONG POLA LOW EXTERNAL INPUT SUSTAINABLE AGRICULTURE

ESTIMASI OUTPUT SAPI POTONG DI KABUPATEN SUKOHARJO JAWA TENGAH

Reny Debora Tambunan, Reli Hevrizen dan Akhmad Prabowo. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Lampung ABSTRAK

ANALISIS HASIL USAHA TERNAK SAPI DESA SRIGADING. seperti (kandang, peralatan, bibit, perawatan, pakan, pengobatan, dan tenaga

I. PENDAHULUAN. pasokan sumber protein hewani terutama daging masih belum dapat mengimbangi

I. PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan salah satu penghasil protein hewani, yang dalam

FORMULASI RANSUM PADA USAHA TERNAK SAPI PENGGEMUKAN

V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Keberhasilan Pembangunan Peternakan di Kabupaten Bangka Barat. dalam arti yang luas dan melalui pendekatan yang menyeluruh dan integratif dengan

ANALISIS HARGA POKOK PRODUKSI SAPI POTONG DENGAN SISTEM PEMBIBITAN PADA ANGGOTA KTT TRI ANDINIREJO KELURAHAN BENER KECAMATAN TEGALREJO YOGYAKARTA

METODE. Materi 10,76 12,09 3,19 20,90 53,16

Contak person: ABSTRACT. Keywords: Service per Conception, Days Open, Calving Interval, Conception Rate and Index Fertility

20.1. Mengembangkan Potensi Peternakan Ruminansia Menerapkan Tingkah laku Ternak Ruminansia Menerapkan Penanganan Ternak ruminansia

Budidaya Sapi Potong Berbasis Agroekosistem Perkebunan Kelapa Sawit ANALISIS USAHA Seperti telah dikemukakan pada bab pendahuluan, usaha peternakan sa

EFISIENSI REPRODUKSI SAPI POTONG DI KABUPATEN MOJOKERTO. Oleh : Donny Wahyu, SPt*

PENDAHULUAN Latar belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN

KERAGAAN PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG YANG DIFASILITASI PROGRAM PENYELAMATAN SAPI BETINA PRODUKTIF DI JAWA TENGAH

PEDOMAN TEKNIS PENGEMBANGAN PEMBIBITAN BABI TAHUN 2012 DIREKTORAT PERBIBITAN TERNAK

HASIL DAN PEMBAHASAN

KAJIAN TINGKAT INTEGRASI PADI-SAPI PERAH DI NGANTANG KABUPATEN MALANG

X. REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN BERKELANJUTAN BERBASIS PETERNAKAN SAPI POTONG TERPADU DI KABUPATEN SITUBONDO

TINGKAT KEBERHASILAN INSEMINASI BUATAN SAPI POTONG DI TINJAU DARI ANGKA KONSEPSI DAN SERVICE PER CONCEPTION. Dewi Hastuti

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi

PEMBERIAN PAKAN PADA PENGGEMUKAN SAPI

I. PENDAHULUAN. untuk memenuhi kebutuhan protein hewani adalah sapi perah dengan produk

PENGARUH BANGSA PEJANTAN TERHADAP PERTUMBUHAN PEDET HASIL IB DI WILAYAH KECAMATAN BANTUR KABUPATEN MALANG

I. PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dengan kemajuan teknologi membawa pengaruh pada

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memenuhi kebutuhan manusia. Untuk meningkatkan produktivitas ternak

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. kebutuhan sehingga sebagian masih harus diimpor (Suryana, 2009). Pemenuhan

I. PENDAHULUAN. yang keduanya tidak bisa dilepaskan, bahkan yang saling melengkapi.

PENDUGAAN BOBOT BADAN SAPI PASUNDAN MENGGUNAKAN RUMUS WINTER PADA BERBAGAI SKOR KONDISI TUBUH DI KECAMATAN TEGAL BULEUD KABUPATEN SUKABUMI

Oleh: Rodianto Ismael Banunaek, peternakan, ABSTRAK

BAB I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan

MATERI DAN METODE. Gambar 1. Ternak Domba yang Digunakan

Nomor : Nama pewancara : Tanggal : KUESIONER PETERNAK SAPI BALI DI DESA PA RAPPUNGANTA KABUPATEN TAKALAR, SULAWESEI SELATAN

PERBANDINGAN USAHA PEMBIBITAN SAPI PERANAKAN ONGOLE DENGAN SAPI PERSILANGAN DI DESA BUNIHAYU KECAMATAN JALANCAGAK KABUPATEN SUBANG

HUBUNGAN BOBOT HIDUP INDUK SAAT MELAHIRKAN TERHADAP PERTUMBUHAN PEDET SAPI PO DI FOUNDATION STOCK

I. PENDAHULUAN. yang memiliki potensi hijauan hasil limbah pertanian seperti padi, singkong, dan

PENGARUH SURGE FEEDING TERHADAP TAMPILAN REPRODUKSI SAPI INDUK SILANGAN PERANAKAN ONGOLE (PO) SIMENTAL

PEMANFAATAN JERAMI JAGUNG FERMENTASI PADA SAPI DARA BALI (SISTEM INTEGRASI JAGUNG SAPI)

TINJAUAN PUSTAKA. Gaduhan Sapi Potong. Gaduhan adalah istilah bagi hasil pada bidang peternakan yang biasanya

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Usaha sektor peternakan merupakan bidang usaha yang memberikan

LAPORAN AKHIR PENELITIAN UNGGULAN PERGURUAN TINGGI

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian

ANALISIS POTENSI KERBAU KALANG DI KECAMATAN MUARA WIS, KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA, KALIMANTAN TIMUR

TERNAK KAMBING 1. PENDAHULUAN 2. BIBIT

I. PENDAHULUAN. terpadu dan melanggar kaidah pelestarian lahan dan lingkungan. Eksploitasi lahan

Analisis Biaya dan keuntungan...simon pardede

JURNAL INFO ISSN : PENDAMPINGAN PROGAM PENGUATAN PAKAN INDUK SAPI POTONG DI KABUPATEN BLORA

EVALUATION OF SLAUGHTERED FRIESIAN HOLSTEIN CROSSBREED DIARY COWS IN PRODUCTIVE AGE AT KARANGPLOSO SUB DISTRICT MALANG

PERFORMANS REPRODUKSI SAPI BALI DAN SAPI PO DI KECAMATAN SUNGAI BAHAR

DAFTAR PUSTAKA. AAK Petunjuk Beternak Sapi Potong Dan Kerja. Yogyakarta : Kanisius.

ANALISIS PENGGUNAAN TENAGA KERJA RUMAH TANGGA PADA PEMELIHARAAN DOMBA DI KECAMATAN BUAHDUA KABUPATEN SUMEDANG

Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura

Karakteristik Kuantitatif Sapi Pasundan di Peternakan Rakyat... Dandy Dharma Nugraha KARAKTERISTIK KUANTITATIF SAPI PASUNDAN DI PETERNAKAN RAKYAT

I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia.

MATERI DAN METODE. Gambar 3. Domba yang Digunakan Dalam Penelitian

1. Jenis-jenis Sapi Potong. Beberapa jenis sapi yang digunakan untuk bakalan dalam usaha penggemukan sapi potong di Indonesia adalah :

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Efisiensi Penggunaan Pakan

KARAKTERISASI SIFAT-SIFAT KUANTITATIF KAMBING KOSTA JANTAN DI KABUPATEN PANDEGLANG PROVINSI BANTEN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Bandung Provinsi Jawa Barat. Batas-batas admistratif Desa Margamukti, Utara

Kata kunci : Sapi Peranakan Ongole, Bobot Badan, Ukuran-ukuran Tubuh Keterangan : 1). Pembimbing Utama 2). Pembimbing Pendamping

ANALISIS USAHATANI TERPADU TANAMAN PADI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Kinerja Reproduksi Sapi Perah Peranakan Friesian Holstein (PFH) di Kecamatan Pudak, Kabupaten Ponorogo

menghasilkan keturunan (melahirkan) yang sehat dan dapat tumbuh secara normal. Ternak yang mempunyai kesanggupan menghasilkan keturunan atau dapat

Adrial dan B. Haryanto Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Tengah Jalan G. Obos Km.5 Palangka Raya

TEKNIS BUDIDAYA SAPI POTONG

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Bali

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

PENERAPAN GOOD BREEDING PRACTICE TERHADAP PRODUKTIVITAS TERNAK PADA PETERNAKAN SAPI POTONG RAKYAT (Sensus di Kelompok Peternak Jambu Raharja Desa Sidajaya, Kecamatan Cipunagara, Subang) THE GOOD BREEDING PRACTICE IMPLEMENTATION FOR OF ANIMAL PRODUCTIVITY AT BEEF CATTLE TRADITIONAL FARM (Census in Jambu Raharja group of farmers Sidajaya Village, Sub-district Cipunagara, Subang district) Sundra Dewi Priady*, M. Fatah Wiyatna**, Achmad Firman** Jalan Raya Bandung Sumedang KM 21 Sumedang 45363 *Alumni Tahun 2016 **Staf Pengajar e-mail : sundradewi@ymail.com ABSTRAK Optimalisasi produktivitas sapi PO perlu diupayakan dengan menerapkan standar pembibitan agar menghasilkan bibit yang berkualitas. Penelitian bertujuan untuk mengetahui bagaimana penerapan Good Breeding Practice (GBP) terhadap produktivitas ternak dan pendapatan peternak. Penerapan GBP dianalisis menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP), produktivitas ternak diukur berdasarkan hasil wawancara, catatan peternak dan pengukuran langsung pada ternak sedangkan perhitungan pendapatan menggunakan metode Income Over Feed Cost (IOFC). Hasil penelitian menunjukan penerapan GBP sebesar 55,00% dengan urutan prioritas penerapan GBP yaitu, aspek cara pembibitan, kesehatan ternak, pembinaan dan pengawasan, sarana dan prasarana, pelestarian fungsi lingkungan hidup dan sumber daya manusia. Rata-rata ukuran tubuh sapi PO umur 7-12 bulan lebih kecil namun hanya berbeda tipis dengan penelitian serupa sebelumnya, umur 18-24 bulan termasuk dalam kategori kelas I menurut SNI 7651.5:2015, sedangkan umur > 24 bulan termasuk dalam kategori kelas II. Pendugaan bobot dewasa umur 18-24 bulan yaitu 265,27 kilogram dan umur >24 bulan yaitu 334,01 kilogram. Karakteristik reproduksi sapi PO adalah rata-rata umur pertama kawin 20 bulan, S/C 1,7, lama bunting 283 hari, umur pertama beranak 2,46 tahun, selang waktu kawin pertama setelah beranak 85 hari dan CI 13,50 bulan. Pendapatan peternak berdasarkan IOFC rata-rata sebesar Rp1.347.000/ST/tahun. Kata kunci : Good Breeding Practice, produktivitas, Sapi Peranakan Ongole ABSTRACT Productivity optimalisation Peranakan Ongole cattle should be pursued with apply the standart of breeding to produce the best quality of livestock breeds. This study was aimed to find out the how good breeding practice application should be pursued for of animal productivity and farmer income. This implementation GBP was analyzed by Analytical Hierarchy Process (AHP), productivity of animal be measured of interview result, farmer records and animal direct measurement, but income calculation used an Income Over Feed 1

Cost (IOFC) method. The result of research showed implementation GBP 55,00% with sequence the priority of GBP are breeding, animal health, guidance and supervision, facilities and infrastructure, environmental life and human resources. The average body size PO cattle 7-12 month smaller with the past research, 18-24 month in class I be based on SNI 7651.5:2015, but > 24 monthin in class II. The estimation ofbody weight 18-24 month is 265,67 kilogram and > 24 month is 334,01 kilogram. Reproduction charachteristics PO cattle is average first copulate twenty month, S/C 1,7, pregnants 283 days, first partum 2,46 years old, first service period interval 85 days and CI 13,50 month. The farmer income which is based on IOFC analysis average is Rp Rp1.347.000/AU/years. Keywords : Good Breeding Practice, productivity, Peranakan Ongole Cattle. PENDAHULUAN Provinsi Jawa Barat tepatnya di Kabupaten Subang Kecamatan Cipunagara Desa Sidajaya sebagian besar masyarakatnya memelihara ternak sapi potong karena memiliki nilai strategis bagi peternak untuk mendapatkan keuntungan dari harga jual yang cukup tinggi. Di kawasan ini program bantuan dari pemerintah mengenai penyediaan bibit unggul telah aktif dilakukan salah satunya jenis sapi Peranakan Ongole yang telah banyak dipelihara oleh masyarakat di Desa Sidajaya. Peternak di daerah ini mulai aktif melakukan pengembangan usahanya terutama di bidang pembibitan dengan tergabung dalam suatu kelompok. Permasalahan yang terjadi pada peternak rakyat yaitu keterbatasan sumber daya peternak dalam mengelola usaha peternakan untuk menghasilkan produktivitas ternak yang baik karena cara beternak yang masih dilakukan secara tradisional dan berdampak kepada rendahnya pendapatan yang hanya dapat mencukupi kebutuhan keluarga. Rendahnya pendapatan mengakibatkan peternak kesulitan dalam mengembangkan usahanya, sedangkan permintaan akan konsumsi daging semakin meningkat. Peternak dituntut untuk mulai melakukan perbaikan-perbaikan secara teknis maupun non teknis untuk menghasilkan produktivitas ternak yang lebih baik. Optimalisasi produktivitas dan pendapatan peternak dapat dipelajari dalam hal perbaikan manajemen usaha, hal ini dapat dilakukan dimulai dengan menerapkan standar pemeliharaan yang terpadu dan terarah seperti yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Berkaitan dengan hal tersebut, penelitian perlu dilakukan untuk mengetahui kondisi usaha pembibitan sapi ptotong rakyat beserta capaian produktivitasnya yang berbasis kelompok 2

sehingga, peneliti tertarik untuk membahas penerapan aspek Good Breeding Practice terhadap produktivitas ternak pada peternakan sapi potong rakyat. OBJEK DAN METODE PENELITIAN Objek Penelitian Objek penelitian ini adalah peternak sapi potong Peranakan Ongole yang tergabung dalam kelompok peternak Jambu Raharja di Desa Sidajaya, Kecamatan Cipunagara, Subang, Jawa Barat. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan metode sensus, yaitu suatu penelitian dengan cara menghimpun informasi dari seluruh unit anggota populasi dengan tujuan untuk memperoleh kesimpulan yang bersifat general (Paturochman, 2012). Penentuan Lokasi Penelitian dipilih di kelompok Jambu Raharja Desa Sidajaya, yang merupakan salah satu kawasan sentra peternakan sapi potong di Kecamatan Cipunagara, Subang. Pemeliharaan sapi di kelompok ini telah mengembangkan usaha pembibitan yang di khususkan pada jenis rumpun Peranakan Ongole (PO). Jumlah responden penelitian sebanyak 25 orang dengan populasi ternak sebanyak 85 ekor. Analisis penerapan GBP dilakukan dengan menggunakan metode Analytic Hierarchy Process (AHP). Analytic Hierarchy Process (AHP) merupakan metode pengukuran yang digunakan dalam pengambilan keputusan dari kriteria yang sangat beragam untuk menentukan skala rasio dari perbandingan pasangan yang diskrit maupun kontinu. Metode AHP ini mampu menguraikan suatu permasalahan kompleks dalam struktur hirarki yang terdiri dari tujuan, kriteria dan alternatif (Suyatno, 2011). Bobot nilai sub variabel didapatkan dari nilai maksimum variabel GBP yaitu 100% dan nilai setiap sub variabel diberikan secara proporsional yaitu sebesar 16,67% (100% dibagi jumlah sub variabel) dan selanjutnya di bagi berdasarkan jumlah pertanyaan yang dibuat. Selanjutnya masuk pada tahap perangkingan dengan matriks Pairwise Comparison (perbandingan berpasangan) untuk merangking seluruh prioritas (skala prioritas) dari hasil pengolahan data yang didapatkan dari wawancara dengan responden. 3

Analisis produktivitas ternak dilakukan dengan menggunakan metode analisis deskriptif dengan mengidentifikasi berbagai aspek reproduksi dan produksi untuk mengukur prestasi ternak seperti, umur kawin pertama, periode kebuntingan, selang waktu dapat dikawinka kembali setelah beranak (first service post partus), Calving Interval (CI), Service per conception (S/C) dan beberapa aspek produksi yaitu pengukuran ukuran tubuh sapi seperti lingkar dada, tinggi pundak dan panjang badan serta pendugaan bobot badan dewasa yang dilakukan dengan menggunakan rumus winter. Selanjutnya analisis pendapatan peternak dihitung menggunakan metode IOFC (Income Over Feed Cost) yaitu nilai yang didapat dari penerimaan usaha ternak sapi potong dengan biaya pakan yang dikeluarkan. Berikut cara perhitungan IOFC : IOFC = [ ternak yang dijual x harga jual ternak) ( konsumsi ternak/ekor (kg) x harga pakan (Rp/Kg) x lama pemeliharaan (hari) ] HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Keadaan Umum Daerah Penelitian Desa Sidajaya berada di wilayah Kecamatan Cipunagara Kabupaten Subang Provinsi Jawa Barat. Jumlah penduduk sebanyak 6.457 orang. Batas-batas administratif Desa Sidajaya, Utara berbatasan dengan Desa Tumaritis Kecamatan Haurgeulis, Barat berbatasan dengan Desa Tanjung Sidamulya Kecamatan Cipunagara, Selatan berbatasan dengan Desa Sumur Barang Kecamatan Cibogo dan Timur yang berbatasan dengan Desa Balaraja Kecamatan Gantar. Berdasarkan topografi wilayah, Desa Sidajaya merupakan daerah dataran rendah dengan ketinggian 70 m di atas permukaan laut. Lokasi dengan suhu yang cukup tinggi dengan suhu harian berkisar 28-30 0 C. Total Luas wilayah Desa Sidajaya seluas 1.292.430 Ha. Penggunaan lahan di wilayah ini masih didominasi oleh lahan pertanian berupa sawah dengan luas sekitar 459.000 Ha, lahan perkebunan negara yaitu kebun tebu seluas 280.000 Ha dan luas permukiman sekitar 92.320 Ha. 2. Profil Kelompok Peternak Jambu Raharja Kelompok Jambu Raharja di bentuk pada tanggal 7 September 2010 yang beralamat di Kp. Jambu Desa Sidajaya Kecamatan Cipunagara Kabupaten Subang, Jawa Barat. Sesuai dengan SK Kepala Desa Sidajaya No. 148.1/03/IX/2010 bahwa status kelompok ini merupakan kelas lanjut. Secara legalitas kelompok ini sudah diakui dan memiliki struktur organisasi yang jelas dengan total anggota 25 orang. Penghargaan yang pernah diperoleh 4

kelompok ini yaitu Juara III Lomba Kelompok Agribisnis Peternakan Kategori Ternak Sapi Potong Tahun 2015 tingkat Kabupaten Subang. Berikut adalah rincian jumlah populasi ternak sapi Peranakan Ongole di Kelompok Jambu Raharja di Desa Sidajaya; Tabel 1. Populasi Ternak Sapi Peranakan Ongole di Kelompok Jambu Raharja di Desa Sidajaya Kelompok Umur Jumlah Jumlah berdasar jenis kelamin umur ternak (ekor) Betina (ekor) Jantan (ekor) Pedet 0-6 bulan 5 4 1 Lepas sapih 7-12 bulan 4 3 1 Dara/muda 13-24 bulan 29 28 1 Dewasa > 24 bulan 12 12 Total 50 47 3 Data hasil penelitian memperlihatkan bahwa usia peternak berkisar antara 19-59 tahun dengan usia termuda 30 tahun dan tertua 65 tahun. Persentase terbesar usia peternak kelompok Jambu Raharja berada pada selang usia 50-59 tahun dan urutan terbesar kedua yaitu selang 40-49 tahun. Tingkat pendidikan formal yang dicapai peternak sebagian besar adalah Sekolah Dasar (SD). Peternak anggota kelompok Jambu Raharja sebagian besar tidak menempuh pendidikan sebanyak 12 orang, peternak yang berpendidikan hingga tingkat SD sebanyak 10 orang dengan rata-rata usia 41 tahun dan sekolah menengah rata-rata berusia 37 tahun. Tingkat pendidikan peternak ini tergolong masih rendah. Seperti yang dikemukakan oleh Hoda (2015) bahwa, pendidikan formal merupakan indikator awal yang dapat digunakan untuk mengetahui kemampuan peternak dalam mengadopsi informasi dan inovasi baru, sebab tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan pola pikir dan cara mengatasi masalah yang terjadi. Mata pencaharian utama responden sebesar 88% sebagai petani, hal ini karena dengan tingkat pendidikan yang masih rendah masyarakat menyadari di zaman sekarang ini akan sulit mendapatkan pekerjaan, kurangnya lapangan pekerjaan, lokasi yang sulit dijangkau menuju perkotaan, sehingga masyarakat lebih memilih menjadi petani karena lahan persawahan yang tersedia sangat luas. Sebasar 84% usaha peternakan mayoritas dijadikan sebagai usaha sampingan. Para peternak memiliki pengalaman beternak yang beragam yaitu 8 orang memiliki pengalaman berternak dibawah 5 tahun dan 17 peternak lebih dari lima tahun. Pengalaman dalam usaha beternak akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan keterampilan peternak secara teknis terutama dalam penanganan ternak, sehingga hal ini menjadi faktor pendukung dalam mengembangkan usahanya. Mayoritas peternak hanya mempunyai satu ekor sapi dengan persentase tertinggi yaitu 52%. Hal ini disebabkan karena tujuan usaha 5

ternak yang hanya sebagai tabungan masa depan dan ketidakmampuan peternak secara finansial untuk menambah jumlah populasi yang dipelihara. Mayoritas peternak hanya memiliki satu ekor sapi betina dewasa yaitu sebanyak 13 orang, yang memiliki 2 ekor sapi betina dewasa sebanyak 11 sedangkan yang memiliki 3 ekor sapi betina dewasa hanya 1 orang dari total 25 orang anggota. Penerapan Good Breeding Practice Good Breeding Practice (GBP) terdiri dari enam aspek, yaitu sarana dan prasarana, cara pembibitan, kesehatan ternak, pelestarian fungsi lingkungan hidup, sumber daya manusia serta pembinaan dan pengawasan. Penerapan GBP dan prioritas penerapan GBP oleh peternak anggota kelompok Jambu Raharja disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Rata-rata Persentase dan Prioritas Penerapan Aspek Good Breeding Practice di Kelompok Ternak Jambu Raharja No Aspek Good Breeding Practice Rata-rata Nilai Ranking (%) 1 Sarana dan prasarana 8,66 4 2 Cara pembibitan 12,01 1 3 Kesehatan ternak 11,41 2 4 Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup 7,04 5 5 SDM 6,83 6 6 Pembinaan dan pengawasan 9,06 3 Total 55,00 Tabel 3 menunjukkan, rata-rata persentase penerapan seluruh aspek GBP oleh anggota kelompok Jambu Raharja sebesar 55,00%. Angka tersebut menunjukkan bahwa penerapan tata laksana peternakan yang mengacu pada Pedoman Pembibitan Sapi Potong yang Baik terbilang rendah, terdapat beberapa aspek yang belum dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam pedoman tersebut, kelompok ini masih berada pada tahap pengembangan sehingga berpotensi untuk dapat meningkatkan kualitas dan perbaikan perbaikan secara bertahap. Aspek Sarana Prasarana Sarana dan prasarana menjadi aspek utama yang di bahas dalam Pedoman Pembibitan Sapi Potong yang Baik, karena menjadi faktor utama yang perlu diperhatikan sebelum memulai untuk menjalankan usaha peternakan sapi potong. Rincian penerapan GBP aspek sarana dan prasarana yang dijalankan oleh peternak disajikan pada Tabel 4. 6

Tabel 4. Rata-Rata Persentase Penerapan Good Breeding Practice Aspek Sarana Prasarana No Sub Aspek Sarana Prasarana Penerapan kelompok 1 Kesesuaian dan ketersediaan bibit berdasarkan persyaratan mutu 37,04 2 Ketersediaan prasarana dalam mendukung kegiatan pembibitan 69,17 3 Kelengkapan sarana dan alat penunjang lain dalam usaha 46,59 peternakan 4 Ketersediaan sumber pakan, air dan energi dengan jumlah cukup 42,49 5 Ketersediaan obat hewan sesuai peraturan perundang-undangan 27,78 Rata-rata 44,61 Berdasarkan data Tabel 14 menunjukkan persentase kesesuaian dan ketersediaan bibit berdasarkan persyaratan mutu sebesar 37,04 %. Angka yang terbilang rendah ini disebabkan karena ternak yang dihasilkan dari usaha pembibitan yang dijalankan peternak belum berorientasi untuk menghasilkan bibit sesuai standar dan bersertifikasi. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi budaya, pengetahuan, kemampuan ekonomi dan tujuan pemeliharaan yang diterapkan oleh peternak, karena usaha yang dijalankan peternak skala rumah tangga secara umum hanya sekedar sebagai usaha sampingan. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Ketut (2005) yang menyatakan usaha ternak sapi pada umumnya masih dipelihara sebagai usaha sampingan dimana tujuannya sebagai tabungan. Persentase ketersediaan prasarana dalam mendukung usaha pembibitan di lokasi penelitian sebesar 69,17%. Nilai ini sudah cukup baik diduga karena di dukung oleh kondisi wilayah yang menunjang. Menurut Santosa (2005), dalam hal pemilihan lokasi untuk usaha peternakan sapi potong perlu memperhatikan letak topografi dan geografi, ketersediaan tenaga kerja, ketersediaan bahan pakan, sumber air, transpotasi dan ketersediaan pedet bakalan untuk menunjang keberlangsungan usaha ternak. Kondisi lingkungan di lokasi penelitian memiliki suhu rata-rata 28 0 C dan merupakan daerah dataran rendah. Suhu tersebut berada pada kisaran suhu nyaman untuk berproduksi, namun di saat datangnya musim kemarau suhu akan meningkat mencapai 30 0 C, hal ini akan memicu terjadinya stres panas dan akan berpengaruh negatif terhadap produktivitas. Persentase ketersediaan sumber pakan, air dan energi sebesar 42,49%. Sumber energi yang tersedia seperti listrik untuk penerangan sudah cukup tersedia sesuai kebutuhan namun, sumber air dan hijauan di lokasi ini sering mengalami kekurangan saat musim kemarau datang. Ketersediaan obat hewan sesuai persyaratan hanya sebesar 27,78% hal ini dikarenakan poskeswanas yang tersedia belum memadai, sulit di jangkau dan harga obat yang 7

relatif tinggi, sehingga masih sedikit peternak yang membeli obat ke poskeswanas mereka membeli hanya karena bila terjadi penyakit yang serius. Ketersediaan sarana dan alat penunjang lain pada Tabel 4. sebesar 46,59%. Hal ini terlihat dari sarana produksi berupa kandangdan peralatan yang dimiliki belum lengkap seperti tidak adanya kandang isolasi, tempat minum, dan tempat pengolahan limbah. Kondisi kandang yang dimiliki peternak pada umumnya belum memenuhi standar dan dibangun pada lahan samping atau belakang rumah. Peternak hanya memberikan air minum dalam sehari hanya 2-3 kali dalam ember kecil, jumlah ini dirasa sangat kurang karena sebaiknya air minum disediakan secara ad libitum (Ditjenak, 2014). Gudang pakan yang dimiliki responden sebesar 80%, sebagian besar peternak menyimpan persedian pakan di area dekat kandang, peternak tidak memiliki bangunan khusus yang diperuntukan untuk gudang pakan. Area penyimpanan persediaan pakan tersebut memiliki ventilasi yang baik sehingga dapat mencegah pertumbuhan jamur. Aspek Cara Pembibitan Keberhasilan menjalankan usaha pembibitan sangat ditunjang oleh kemampuan pengelolaan aspek cara pembibitan secara teknis yang bersifat praktis. Serangkaian kegiatan dalam cara pembibitan merupakan kesatuan teknis yang saling berkaitan untuk dapat menghasilkan ternak yang sesuai dengan harapan. Penerapan GBP aspek cara pembibitan yang dijalankan oleh peternak disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Rata-Rata Persentase Penerapan Good Breeding Practice Aspek Cara Pembibitan No. Sub Aspek Cara Pembibitan Penerapan Kelompok 1 Cara pemilihan bibit (seleksi) 75,52 2 Cara pemberian pakan dan menjamin kebutuhan pakan dan air 77,01 3 Manajemen pemeliharaan terhadap ternak berdasarkan 65,76 kelompok umur 4 Teknis pembibitan (perkawinan dan manajemen reproduksi) 81,94 Rata-rata 75,06 Berdasarkan Tabel 5. menunjukan bahwa peternak mengetahui cara pemilihan bibit dengan baik dengan persenatse sebesar 75,52%. Pengetahuan tersebut didapatkan peternak berdasarkan pengalaman secara turun temurun dan di dukung dengan sumber informasi dari beberapa pelatihan dan penyuluhan kepada peternak. Seluruh peternak memperoleh rumput dengan cara menyabit sendiri. Sebesar 77,01 % peternak menjamin kebutuhan pakan dan air baik secara kuantitas ataupun kualitas. Air yang digunakan untuk minum sapi berasal dari sumber yang bersih sehingga air tidak berbau, berasa, dan berwarna. Peternak memberikan 8

pakan dua kali dalam sehari yaitu pagi dan sore dengan total pemberian rata-rata 50-60 kg per hari. Jenis pakan yang diberikan adalah daun tebu, jerami jagung, rumput lapangan tanpa dipotong-potong dahulu ataupun melakukan pengawetan hijauan. Seluruh peternak dalam penelitian ini tidak memberikan konsentrat pada pakan ternak karena masih sulit didapatkan. Pakan tambahan yang sering diberikan peternak antara lain adalah dedak padi. Dedak diberikan rata-rata 1-4 kg per hari yang dicampurkan dalam pakan untuk seluruh populasi yang ada. Proses kawin yang dilakukan dengan cara Inseminasi Buatan dengan bantuan inseminator. Secara umum pengetahuan dan pemahaman peternak mengenai ciri-ciri birahi pada sapi sudah sangat baik yang akan menunjang keberhasilan IB. Menurut Santosa (2006) bahwa apabila peternak maupun petugas IB terlambat dalam mendeteksi birahi serta waktu yang tidak tepat untuk di IB maka akan menyebabkan kegagalan kebuntingan. Hasil penelitian menunjukan, teknis pembibitan terkait perkawinan dan manajemen reproduksi sudah sangat baik yaitu sebesar 81,94%. Peternak mulai mengawinkan sapi dara pada umur 18 24 bulan. Hal ini sesuai dengan pendapat Santosa (2006) bahwa sapi mulai dapat dikawinkan pertama kali pada umur 18-24 bulan. Sapi yang dimiliki oleh peternak secara umum melakukan proses kelahiran sendiri dan mengaku tidak pernah mengalami kesulitan. Bila terjadi gejala kesulitan peternak akan segera menghubungi petugas medis untuk membantu proses kelahiran. Aspek Kesehatan Ternak Aspek kesehatan ternak di dalam GDFP menekankan pada pencegahan dari pada pengobatan.. Pencegahan dilakukan sebagai usaha untuk meningkatkan efisiensi produksi, sedangkan pengobatan dipandang sebagai bentuk penyelamatan ternak dari suatu penyakit yang menurunkan produksi. Rata-rata persentase penerapan GBP aspek kesehatan ternak disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Rata-rata Persentase Penerapan Good Breeding Practice Aspek Kesehatan Ternak No. Sub Aspek Kesehatan Ternak Penerapan Kelompok 1 Pembentukan ternak yang resistan terhadap penyakit 100 2 Pencegahan penyakit masuk ke dalam peternakan 48,73 3 Penerapan manajemen peternakan yang efektif 60,88 4 Penggunaan bahan kimia dan obat ternak sesuai petunjuk 71,41 Rata-rata 70,26 Berdasarkan Tabel 6. rata-rata penerapan GBP aspek kesehatan ternak adalah sebesar 70,26%. Lebih lanjut data memperlihatkan bahwa 100% peternak menjamin bahwa sapi 9

potong yang dipelihara resisten terhadap penyakit. Peternak secara rutin memberikan vaksin kepada sapi potong atas saran dan rekomendasi dokter hewan dan paramedis. Selain pemberian vaksin, pemberian obat cacing (deworming) juga dilakukan oleh paramedis secara berkala. Pemberian vitamin juga dilakukan oleh paramedis antara lain Vitamin A, D, E dan B complex (B12). Hasil wawancara menunjukan masalah penyakit yang hingga kini masih menyerang ternak adalah timpani (kembung), gangguan ektoparasit seperti caplak yang menimbulkan iritasi kulit dan infeksi cacing internal. Berdasarkan hasil penelitian Susanti dan Prabowo (2013), penyakit umum yang sering menyerang ternak sapi diantaranya pink eye, cacingan dan penyakit yang berhubungan dengan gangguan reproduksi antara lain, kesulitan beranak pada kelahiran pertama, sapi keguguran dan retensi plasenta. Pengaturan lalu lintas berupa penyediaan desinfektan dan pakaian khusus untuk masuk ke area peternakan tidak tersedia. Terlihat bahwa, pencegahan penyakit masuk ke dalam peternakan hanya sebesar 48,73% nilai ini paling rendah bila dibandingkan dengan sub aspek kesehatan ternak lainnya. Penerapan manajemen kesehatan ternak yang efektif oleh peternak rata-rata hanya sebesar 60,88%. Hal ini disebabkan peternak mengesampingkan hal yang sangat penting dan mendasar yaitu catatan. Namun, persentase penerapan mengenai penggunaan bahan kimia dan obat ternak sesuai petunjuk sudah cukup baik dengan rata-rata sebesar 71,41%. Peternak menggunakan obat sesuai rekomendasi dokter hewan dan sesuai petunjuk penerapannya, setidaknya peternak sudah memahami cara pengobatan ternak berdasarkan pengalaman dan informasi dari petugas kesehatan. Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup Upaya pelestarian lingkungan perlu dilakukan bagi pelaku usaha peternakan untuk mengurangi dampak lingkungan seperti emisi GRK, perubahan iklim, pencemaran terhadap air, dan hilangnya unsur hara tanah. Rincian penerapan GBP aspek pelestarian fungsi lingkungan hidup dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Rata-rata Persentase Penerapan Good Breeding Practice Aspek Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup No. Sub Aspek Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup Penerapan kelompok 1 Implementasi sistem peternakan ramah lingkungan 44,44 2 Manajemen penanganan limbah 75 3 Menjamin peternakan tidak menimbulkan efek pada lingkungan 56,48 rata-rata 58,64 10

Rata-rata persentase penerapan GDFP aspek lingkungan sebesar 58,64%. Lebih lanjut data menunjukan implementasi sistem peternakan ramah lingkungan sebesar 44,44% hal ini disebabkan rendahnya kesadaran peternak dalam mengolah limbah dan belum menerapkan sistem peternakan berkelanjutan. Pengetahuan yang telah didapatkan dalam sebuah penyuluhan dan pelatihan belum mampu diterapkan oleh peternak. Bantuan dari pemerintah yang telah diterima oleh kelompok berupa tempat dan alat pembuatan biogas belum termanfaatkan secara maksimal oleh seluruh anggota. Lebih lanjut data pada Tabel 7 menunjukan, penerapan manajemen penanganan limbah sebesar 75,00%. Pada umumnya peternak tidak melakukan pengolahan limbah, peternak menjadikan pupuk dari tumpukan kotoran ternak yang sudah mengering, adapun yang membakarnya terlebih dahulu kemudian ditebar ke sawah. Kesadaran akan perlunya pembuangan limbah ternak ke tempat khusus perlu disosialisasikan berkenaan dengan adanya global warming dari emisi gas rumah kaca (GRK) yang dikeluarkan dari kotoran ternak tersebut (Herawati, 2012). Kegiatan sanitasi dan higien masih sangat rendah, dalam hal kebersihan peternak hanya melakukan pembersihan kandang minimal sehari sekali dari kotoran yang menumpuk. Pembersihan kandang dilakukan dengan alasan hanya untuk menghindari bau. Hal ini akan menimbulkan efek negatif terhadap lingkungan, sesuai dengan pendapat Herawati (2012), bahwa aspek yang mempengaruhi besar kecilnya emisi gas adalah budidaya ternak, mencakup perkandangan, pemberian pakan, sanitasi dan pemanfaatan kotoran. Sumber Daya Manusia Peran dari pelaku usaha peternakan sangat menentukan keberlangsungan usaha yang dijalankan. Kemampuan dan keterampilan dari sumber daya manusia sangat diperlukan dalam menunjang keberhasilan usaha. Rincian mengenai rata-rata penerapan sub aspek sumber daya manusia dapat dilihat pada Tabel 8 berikut: Tabel 8. Rata-rata Persentase Penerapan Good Breeding Practice Aspek Sumber Daya Manusia No. Sub Aspek Sumber Daya Manusia Penerapan kelompok 1 Memperhatikan kesehatan pekerja serta pencegahan penularan penyakit 2 Penerapan standar prosedur kerja serta keterampilan di bidang peternakan 66,67 58,22 3 Menjamin keamanan dan keselamatan pekerja 73,61 Rata-rata 65,92 11

Berdasarkan Tabel 8. persentase penerapan GDFP aspek sumber daya manusia sebesar 65,92%. Lebih lanjut data memperlihatkan bahwa penerapan standar prosedur kerja serta keterampilan dalam bidang peternakan memiliki nilai yang sangat rendah dibanding sub aspek lain yaitu sebesar 68,22%. Sedangkan modal utama dalam menjalankan usaha peternakan adalah kemampuan pengelolaan atau manajemen dari pelaku usahanya. Hal ini dipengaruhi oleh tingkat pendidikan peternak. Data menunjukan sebesar 66,67% peternak selaku pengelola kandang memperhatikan kesehatan untuk mencegah penularan penyakit dari manusia ke hewan, tidak jarang sebagian peternak mengabaikan kondisi kesehatan mereka dan tetap melakukan aktivitas di kandang. Dalam hal menjamin keamanan dan keselamatan pekerja didapatkan hasil sebesar 73,61%, hal ini ditunjukan dengan peternak tidak memperkerjakan pekerja/anggota keluarga dibawah usia 18 tahun, menggunakan sepatu boot saat melakukan aktivitas di kandang hanya saja belum dilengkapi dengan pakaian khusus, hal ini disebabkan karena peternak beranggapan bahwa kegiatan peternakan ini sudah menjadi kegiatan rutin sehari-hari dirumahnya sehingga dirasa tidak memerlukan pakaian pelindung khusus. Pembinaan dan Pengawasan Peran pembinaan dari pihak dinas serta pengawasan dari pihak pengawas bibit ternak perlu dilakukan secara rutin di kawasan peternakan rakyat, karena sebagian besar potensi penghasil daging sapi justru berada di tangan peternak skala rumah tangga walaupun keemilikannya cenderung hanya sedikit. Lebih jelasnya data penerapan GBP aspek pembinaan dan pengawasan disajikan pada Tabel 9 berikut: Tabel 9. Rata-rata Persentase Penerapan Good Breeding Practice Aspek Pembinaan dan Pengawasan No. Sub Aspek Pembinaan dan Pengawasan Penerapan kelompok 1 Pelaksanaan pembinaan kepada peternak 85,8 2 Pembinaan mengenai sertifikasi layak bibit 59,26 3 Pengawasan secara langsung maupun tidak langsung dari pihak dinas 81,48 dan peternak Rata-rata 75,51 Berdasarkan hasil perhitungan penerapan sub aspek pembinaan dan pengawasan sebesar 75,51%. Hal ini menunjukkan peran serta dari pihak dinas peternakan setempat sudah cukup aktif. Dibuktikan dengan adanya bentuk pembinaan kepada peternak berupa 12

penyuluhan dan pelatihan mengenai bidang peternakan, adanya program-program pemerintah yang mulai disalurkan kepada kelompok-kelompok peternak di wilayah sekitar. Salah satunya dengan ditetapkannya wilayah kecamatan ini sebagai kawasan sentra peternakan rakyat. Adanya petugas penyuluh, inseminator, petugas medis dan kelembagaan memiliki peranan penting untuk menunjang pengembangan peternakan sapi potong rakyat. Selain itu, peranan dari akademisi, lembaga peneliti serta dukungan dari pemerintah sangat diperlukan oleh peternak skala rakyat. Peternak mengaku sangat membutuhkan binaan dan pendampingan dari berbagai pihak yang bersangkutan. Kelompok Jambu Raharja ini sangat berpotensi untuk dapat dikembangkan menjadi usaha peternakan berkelanjutan yang berorientasi pada perbaikan mutu bibit yang berkualifikasi. Produktivitas Sapi Potong 1. Karakteristik Produksi Berdasarkan data hasil pengukuran di lokasi penelitian nilai rata-rata ukuran lingkar dada, tinggi pundak dan panjang badan pada sapi PO lepas sapih secara berturut-turut adalah 109,50 cm, 97,50 cm, dan 85,75 cm. Ukuran tubuh sapi ini lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil penelitian Ferdianto dkk (2013) yaitu ukuran rata-rata lingkar dada, tinggi pundak dan panjang badan secara berturut-turut adalah 110,37 cm, 98,27 cm, dan 87,67 cm. Aryogi, Prihandini dan Wijono (2006) menyatakan bahwa perbedaan ukuran statistik vital pedet lepas sapih dapat diduga karena pengaruh nutrisi induknya selama menyusui pedet. Hartati dan Dicky (2008) menambahkan bahwa, pertumbuhan pedet prasapih antara lain dipengaruhi oleh sifat mothering ability (sifat keibuan). Berikut adalah data hasil pengukuran terhadap ukuran tubuh ternak berdasarkan kelompok umur : Tabel 10. Rata-Rata Ukuran Tubuh Sapi PO Berdasarkan Kelompok Umur Umur Rata-rata ukuran tubuh (cm) LD TP PB 7-12 bulan 109,50 97,50 85,75 18-24 bulan 142,50 119,86 126,75 > 24 bulan 157,67 127,67 130,17 Keterangan : LD = Lingkar Dada; TP = Tinggi Pundak; PB= Panjang Badan Selanjutnya, Tabel 10 menunjukkan rata-rata ukuran tubuh pada sapi PO dewasa usia 18-24 bulan berdasarkan Tabel 10. secara berturut-turut 142,50 cm, 119,86 cm, dan 126,75 cm. Hasil angka ini sudah memenuhi kriteria dengan standar ukuran kuantitatif sapi PO (SNI 7651.5:2015) termasuk dalam kategori kelas I yaitu dengan ukuran lingkar dada, tinggi 13

pundak dan panjang badan sesuai SNI secara berturut-turut adalah 138 cm, 119 cm, dan 120 cm. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan sapi dara yang dipelihara sudah cukup baik sebagai indikator awal dalam berproduksi. Pertumbuhan ukuran-ukuran tubuh dipengaruhi oleh beberapa hal Hardjosubroto (1994) menyebutkan bahwa karakteristik eksterior merupakan sifat kualitatif dari individu yang dikendalikan satu atau beberapa pasang gen. Sedangkan rata-rata ukuran tubuh pada sapi PO dewasa dengan usia >24 bulan ukuran lingkar adalah 157,67 cm, tinggi pundak sebesar 127,67 cm, dan panjang badan sebesar 130,17 cm. Hasil ini bila dibandingkan dengan standar SNI persyaratan kuantitatif bibit sapi PO betina termasuk dalam kategori kelas II. Namun ukuran sapi di kelompok ini lebih kecil bila dibandingkan dengan hasil penelitian dari Natasasmita dan Mudikdjo (1985) yaitu panjang badan pada sapi Jantan 133 cm dan Betina 132 cm, lingkar dada pada sapi Jantan 172 cm dan Betina 163 cm. Hal ini disebabkan karena induk dengan usia yang semakin tua terlihat lebih kurus, pertumbuhan melambat dan kebutuhan nutrisi yang didapat belum memenuhi kebutuhan karena pakan yang diberikan mayoritas hanya jerami padi kering. Hasil pengukuran selanjutnya terhadap ukuran tubuh dan pendugaan bobot badan induk sapi PO dengan menggunakan rumus winter di sajikan pada Tabel 11. Tabel 11. Rata-rata Ukuran Tubuh dan Pendugaan Bobot Badan Induk Betina Menggunakan Rumus Winter Umur (bulan) Rata-rata ukuran tubuh (cm) Rata-rata (inch) Rumus Winter LD TP PB LD PB BB BB (kg) (Lbs) 18-24 142,50 119,86 126,75 48,92 51,73 586,49 266,03 24 157,67 127,67 130,17 64,35 53,13 736,36 334,01 Keterangan : LD = Lingkar Dada; TP = Tinggi Pundak; PB= Panjang Badan, BB= Bobot Badan Berdasarkan hasil perhitungan pendugaan mengenai bobot badan sapi dengan menggunakan rumus winter pada umur 18-24 bulan sebesar 266,03 kg. Sedangkan untuk sapi dewasa dengan umur > 24 bulan berdasarkan pendugaan bobot badan dengan rumus winter adalah sebesar 334,01 kg. Hasil ini sudah cukup baik diduga karena saat ini sedang memasuki musim panen sehingga ketersediaan hijauan cukup banyak dan jumlah konsumsi pakan yang telah memenuhi kebetuhan 10% dari bobot badan. Natasasmita dan Mudikdjo (1985), menambahkan bahwa bobot badan sapi Jantan dewasa dapat mencapai 350-450 kg, sedangkan sapi Betina dewasa dapat mencapai 300-400 kg. 14

2. Karakteristik Reproduksi Hasil penelitian menunjukan bahwa peternak mengawinkan sapi dara pada umur 18-24 bulan dengan rata-rata sekitar 20 bulan, sehingga pada umur 26-33 bulan dengan rata-rata 30 bulan sapi dara sudah beranak untuk pertama kalinya. Angka ini cukup baik bila dibandingkan dengan hasil penelitian Hardjosoebroto, (1980) yang menunjukan bahwa umur beranak pertama sapi PO rata-rata terjadi pada umur 3,4 tahun. Berikut adalah rincian hasil rata-rata penampilan reproduksi sapi Peranakan Ongole di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Karakteristik Reproduksi Sapi Peranakan Ongole No Uraian Rata-rata 1 Umur kawin pertama (bulan) 20 2 Service per Conception (S/C) 1,7 3 Umur pertama beranak (tahun) 2,46 4 Lama bunting (bulan) 9 bulan 12 hari 5 Calving Interval (bulan) 13,50 6 Selang waktu kawin pertama setelah beranak (hari) 85 Berdasarkan data pada Tabel 12. rata-rata nilai S/C sapi PO di lokasi penelitian adalah 1,7 atau sekitar 1-2 kali injeksi IB. Menurut Santosa, (2006), tingginya nilai S/C disebabkan karena keterlambatan peternak maupun petugas IB dalam mendeteksi birahi serta serta faktor kesuburan ternak yang sangat berpengaruh. Selang kawin pertama setelah beranak di lokasi penelitian adalah 85 hari atau sekitar 3 bulan. Hasil ini sudah cukup baik dan sesuai dengan pendapat AAK (1991) bahwa, sapi-sapi induk sehabis melahirkan dapat dikawinkan kembali setelah 60-90 hari. Hal ini dikarenakan sapi memerlukan waktu untuk memulihkan alat reproduksinya atau dapat disebut dengan istilah involusi uteri. Selanjutnya periode kebuntingan sapi rata-rata 9 bulan 12 hari atau sekitar 282 hari. Hal ini sudah termasuk dalam kategori ideal menurut Toelihere (1981), periode kebuntingan sapi berkisar 280 sampai dengan 285 hari. Calving interval sapi PO di lokasi penelitian berada pada kisaran 13 bulan. Selang beranak yang lama akan menyebabkan waktu untuk memproduksi susu (umur produktif) sapi tersebut berkurang sehingga menurunkan produktivitas. Analisis Pendapatan berdasarkan Income Over Feed Cost IOFC adalah selisih antara pendapatan usaha peternakan terhadap total biaya pakan. Pendapatan ini merupakan perkalian antara nilai produksi peternakan dengan harga jual, sedangkan biaya pakan adalah jumlah biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan ternak 15

tersebut (Prawirokusumo, 1990). Income Over Feed Cost merupakan salah satu cara untuk mengetahui efisiensi biaya yang diperoleh dari hasil penjualan produksi yang hanya dikurangi dengan biaya pakan saja. Biaya produksi lain seperti pengadaan pakan konsentrat, tenaga kerja, kesehatan ternak, dan lain-lain tidak di perhitungkan dalam analisis IOFC ini. Berikut adalah hasil perhitungan pendapatan peternak berdasarkan IOFC peternak dapat dilihat pada Tabel 13: Tabel 13. Income Over Feed Cost Uraian Jumlah Penerimaan Pengeluaran IOFC Anggota 2015 2015 2016 Total (orang) Rp Rp/ST/tahun Rp/ST/tahun Rp/ST/tahun Rp/ST/tahun Total 30 348.000.000 103.112.500 209.387.500 312.500.000 35.500.000 Rata-rata 13.920.000 4.124.500 8.375.500 12.500.000 1.420.000 Berdasarkan data Tabel 13 rata-rata biaya pakan yang dikeluarkan per Satuan Ternak (ST) pada tahun 2015 sebesar Rp 4.197.500 dan mengalami peningkatan dua kali lipat di tahun 206 yaitu sebesar Rp 8.375.500/ST/tahun. Hal ini terjadi sejalan dengan bertambahnya jumlah ternak sapi yang dipelihara. Lebih lanjut data memperlihatkan bahwa hasil rata-rata IOFC yang didapatkan peternak sebesar Rp 1.347.000/ST/tahun yang artinya peternak ratarata mendapatkan keuntungan sebesar Rp 1.347.000 per ekor per tahun. Nilai positif menunjukkan bahwa usaha yang dijalankan mendapatkan keuntungan meskipun nilainya kecil (rendah) dan bersifat fluktuatif bergantung pada kriteria ternak yang dijual dan harga jual yang diperoleh. Berbeda dengan hasil penelitian Nurdiati dkk (2012) yang mampu menghasilkan IOFC dari usaha sapi potong sebesar Rp 3.864.55 per ekor per hari yang melaporkan bahwa nilai income akan sangat dipengaruhi oeh nilai pertambahan bobot badan per hari (PBBH). Peternak (responden) dalam penelitian ini belum memperhitungkan secara detail sampai kepada PBBH, selain itu sistem pemasaran yang dilakukan dengan penaksiran tanpa memperhatkan bobot badan hidup ternaklah yang menyebabkan hasil penjualan pun bernilai rendah. Komposisi kepemilikan sapi potong juga menentukan tingkat pendapatan yang diperoleh peternak. 16

KESIMPULAN 1) Penerapan GBP sebesar 55,00% dengan urutan prioritas penerapan GBP yaitu, aspek cara pembibitan, kesehatan ternak, pembinaan dan pengawasan, sarana dan prasarana, pelestarian fungsi lingkungan hidup dan sumber daya manusia. 2) Hasil rata-rata ukuran tubuh pedet sapi PO umur 7-12 bulan lebih kecil namun hanya berbeda tipis dengan penelitian serupa sebelumnya, umur 18-24 bulan termasuk dalam kategori kelas I menurut SNI 7651.5:2015, sedangkan sapi umur > 24 bulan termasuk dalam kategori kelas II. Pendugaan bobot dewasa sapi PO umur 18-24 bulan yaitu 266,03 kg dan umur >24 bulan yaitu 334,01 kg. Karakteristik reproduksi sapi PO adalah rata-rata umur pertama kawin 20 bulan, S/C 1,7, lama bunting 283 hari, umur pertama beranak 2,46 tahun, selang waktu beranak hingga dikawinkan kembali yaitu 85 hari dan CI 13,50 bulan. 3) Pendapatan peternak berdasarkan Income Over Feed Cost (IOFC) rata-rata sebesar Rp 1.347.000/ST/tahun. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada dosen pembimbing utama Dr. Muhamad Fatah Wiyatna, S.Pt.,M.Si., dan dosen pembimbing anggota Achmad Firman, S.Pt.,M.Si., yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan motivasi, saran, serta bimbingan dalam langkah penulisan dan penyelesaian penyusunan artikel ilmiah ini. DAFTAR PUSTAKA AAK. 1991. Petunjuk Beternak Sapi Potong Dan Kerja. Yogyakarta : Kanisius Aryogi, Prihandini, P.W. dan Wijono, D.B. 2006. Pola Pembibitan Sapi Potong Lokal Peranakan Ongole Pada Kondisi Peternakan Rakyat. Loka Penelitian Sapi Potong. Grati. Pasuruan.BSN. 2015. Bibit Sapi Peranakan Ongole (PO) Bagian 5. SNI- 7651.5:2015. ICS 65.020.30. Badan Standarisasi Nasional. Direktorat Jenderal Peternakan. 2014. Pedoman Pembibitan Sapi Potong yang Baik (Good Breeding Practice). Jakarta. Menteri Pertanian. Ferdianto, Nico, Bambang Soejosopoetro and Sucik Maylinda. 2013. Birth Weight, Weaning Weight And Linear Body Measurement Of Ongole Crossed Cattle At Two Group Parities. Faculty of Animal Husbandry, University of Brawijaya, Malang. 17

Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta. Hartati dan Dicky, M.D. 2008. Hubungan Bobot Hidup Induk Saat Melahirkan Terhadap Pertumbuhan Pedet Sapi PO di Foundation Stock. Seminar NasionalTeknologi Peternakan dan Veteriner. Loka Penelitian Sapi Potong. Herawati, Tati. 2012. Refleksi Sosial Mitigasi Emisi Gas Rumah Kaca Pada Sektor Peternakan di Indonesia. Balai Penelitian Ternak. Bogor. Hoda, A. 2002. Potensi Pengembangan Sapi Potong Pola Usaha Tani Terpadu di Wilayah Maluku Utara. Tesis. Program Pascasarjana Institute Pertanian. Bogor. Ketut Kariyasa. 2005. Sistem Integrasi Tanaman-Ternak Dalam Perspektif Reorientasi Kebijakan Subsidi Pupuk dan Peningkatan Pendapatan Petani. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian. Vol 3 No 1: 68-80. Natasasmita A, Mudikdjo K. 1985. Beternak Sapi Daging. Bogor : Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor (ID). Nurdiati. K.,E. Handayanta dan Lutojo. 2012. Efisiensi Produksi Sapi Potong pada Musim Kemarau di Pternakan Rakyat Daerah Pertanian Lahan Kering Kabupaten Gunung Kidul. Fakultas Pertanian. Universitas Sebelas Maret. Tropical Animal Husbandry Vol. 1.(1). ISSN 2301-9921. Paturochman, M. 2012. Penentuan Jumlah dan Teknik Pengambilan Sampel (untuk Penelitian Sosial Ekonomi). Unpad Press. Bandung 45. Santosa, Undang. 2005. Tata Laksana Pemeliharaan Ternak Sapi. Penerbar Swadaya. Jakarta.. 2006. Manajemen Usaha Ternak Potong. Penebar Swadaya. Jakarta. Susanti. AE., dan Prabowo A. 2013. Identifikasi Masalah Kesehatan Sapi Potong Di Wilayah Pendampingan PSDSK Provinsi Sumatera Selatan. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumsel. Palembang. Suyatno, M. dan A.Sugiarto. 2011. Rancang Bangun Sistem Pendukung Keputusan Untuk Pemilihan Gagasan Dengan Metode Analytical Hierarchy Process (AHP). Thesis. Universitas Diponegoro. Semarang. Toelihere M.R. 1981. Tinjauan Tentang Penyakit Reproduksi Pada Ternak Ruminansia Besar. Proc. Pertemuan ilmiah ruminansia besar. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Bogor. 18