Teknologi dan Pangan ISBN :

dokumen-dokumen yang mirip
PENGARUH POSISI KALENG PADA RETORT TERHADAP NILAI Fo TUNA DAN UDANG

PENENTUAN NILAI Fo GUDEG KALENG (UKURAN 301X205) DENGAN PERBEDAAN LETAK KALENG PADA TAHAP STERILISASI

VI. PENGAWETAN MAKANAN MENGGUNAKAN SUHU TINGGI

MENERAPKAN TEKNIK PENGOLAHAN SUHU TINGGI KD 1 PRINSIP-PRINSIP PENGAWETAN DENGAN PENGOLAHAN

Teti Estiasih - THP - FTP - UB

BLANSING PASTEURISASI DAN STERIISASI

Pengolahan dengan Suhu Tinggi

PENGARUH SUHU DAN WAKTU STERILISASI TERHADAP NILAI F DAN KONDISI FISIK KALENG KEMASAN PADA PENGALENGAN GUDEG

Pengalengan buah dan sayur. Kuliah ITP

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pasteurisasi dan Pendinginan Secara umum proses pasteurisasi adalah suatu proses pemanasan yang relatif

THERMOBAKTERIOLOGI PROF. DR. KRISHNA PURNAWAN CANDRA, M.S. JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS MULAWARMAN

III. METODOLOGI PENELITIAN

Pengawetan dengan Suhu Tinggi

BAB II LANDASAN TEORI

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Prinsip pengawetan. Mencegah/memperlambat kerusakan mikrobial. Mencegah/memperlambat laju proses dekomposisi (autolisis) bahan pangan

PENGENDALIAN HACCP PADA PENGALENGAN IKAN

BAB IV RESPONS MIKROBIA TERHADAP SUHU TINGGI

Keywords : fermentation time, pomacea canaliculata sauce, consumer test

BAB I PENDAHULUAN. Usus sapi merupakan bagian dalam hewan (jeroan) sapi yang dapat. digunakan sebagai sumber bahan makanan hewani. Sebagian masyarakat

KECUKUPAN PROSES STERILISASI KOMERSIAL: Pemahaman dan perhitungannya 2. METODA FORMULA

BAB I PENDAHULUAN. tersusun oleh aneka macam bahan baku dan bahan tambahan (Hariyadi, 2014).

Pengolahan, Pengemasan dan Penyimpanan Hasil Pertanian

PERUBAHAN KANDUNGAN PROTEIN IKAN TUNA SELAMA PROSES PENGALENGAN GULAI TUNA KALENG

Prinsip Kecukupan Proses Thermal

KEMASAN ASEPTIS DAN SISTEM STERILISASI PRODUK

STERILISASI. Teti Estiasih - THP - FTP - UB 1

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Permasalahan

PENENTUAN KONSTANTA PENGERINGAN PATHILO DENGAN MENGGUNAKAN SINAR MATAHARI

BAB II LANDASAN TEORI

PENGAWETAN. Pengawetan Termal Pengawetan Non Thermal. Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian. Pengolahan Non Thermal 1. Pengolahan Non Thermal

BAB III METODOLOGI. A. Waktu dan Tempat. B. Alat dan Bahan. C. Prosedur Penelitian

MATA PELAJARAN : PRAKARYA SEMESTER : II Tema : Pengolahan

Prinsip Kecukupan Proses Thermal

KEMASAN ASEPTIS DAN SISTEM STERILISASI PRODUK

Pengolahan dengan suhu tinggi

Latar Belakang : Dasar Tek Pengolahan Pangan

STERILISASI COCKTAIL NENAS DALAM CUP PLASTIK. Fachraniah, Elfiana, dan Elwina *) ABSTRAK

Parameter Kecukupan Proses Termal

PENGOLAHAN DAN PENGAWETAN PANGAN DENGAN SUHU TINGGI SITI AMINAH FIKKES - UNIMUS

2016, No Nomor 227, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5360); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Ikl

Perancangan dan Uji Kinerja Pasteurizer Tahu ABSTRAK

ASPEK MIKROBIOLOGIS PENGEMASAN MAKANAN

TEKNIK PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN

perubahan baik fisik maupun kimiawi yang dikehendaki ataupun yang tidak dikehendaki. Di samping itu, setelah melalui proses pengolahan, makanan tadi

Draft PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2015 TENTANG PERSYARATAN PANGAN STERIL KOMERSIAL

Tidak ada makanan yang steril Mikroorganisme : bakteri, kapang, khamir Bakteri dalam bahan makanan :

PENGERINGAN PENDAHULUAN PRINSIP DAN TUJUAN PENGOLAHAN SECARA PENGERINGAN FAKTOR-FAKTOR PENGERINGAN PERLAKUAN SEBELUM DAN SETELAH PENGERINGAN

KULIAH KE-10 THERMOBAKTERIOLOGI PROF. DR. KRISHNA PURNAWAN CANDRA, M.S. JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS MULAWARMAN

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2016 TENTANG PERSYARATAN PANGAN STERIL KOMERSIAL

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Prinsip-prinsip Pengoperasian Retort

PASTEURISASI. Teti Estiasih - THP - FTP - UB 1

PENGAWETAN PANGAN. Oleh: Puji Lestari, S.TP Widyaiswara Pertama

TEKNOLOGI HASIL TERNAK. Kuliah ke 2

I PENDAHULUAN. menerapkan gelombang elektromagnetik, yang bertujuan untuk mengurangi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Optimasi Proses Sterilisasi Rendang Daging dengan menggunakan Kemasan Retort Pouch

KEMASAN ASEPTIS DAN SISTEM STERILISASI PRODUK

MIKROORGANISME DALAM PENGEMAS ASEPTIK PENGENDALIAN MUTU MIKROORGANISME PANGAN KULIAH MIKROBIOLOGI PANGAN PERTEMUAN KE-12

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengawetan bahan pangan

2016 ACARA I. BLANCHING A. Pendahuluan Proses thermal merupakan proses pengawetan bahan pangan dengan menggunakan energi panas. Proses thermal digunak

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Prinsip-prinsip Penanganan dan Pengolahan Bahan Agroindustri

Nama : Fitriyatun Nur Jannah Nim : Makul : Teknologi Pangan TEKNOLOGI PENGAWETAN MAKANAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Tomat termasuk buah klimaterik dimana terjadi peningkatan proses

Teknologi pangan adalah teknologi yang mendukung pengembangan industri pangan dan mempunyai peran yang sangat penting dalam upaya mengimplementasikan

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. buahnya. Dilihat dari bentuk daun dan buah dikenal ada 4 jenis nanas, yaitu Cayene

II. TINJAUAN PUSTAKA Pengasapan Ikan. Pengasapan adalah salah satu teknik dehidrasi (pengeringan) yang dilakukan

Mengenal Marinasi. Oleh Elvira Syamsir (Tulisan asli didalam Kulinologi Indonesia)

Faktor yang mempengaruhi keracunan makanan. Kontaminasi Pertumbuhan Daya hidup

tekanan tinggi. Akibatnya, dibutuhkan temperatur yang lebih tinggi C atau

II. TINJAUAN PUSTAKA. Bahan Baku Kerang. Kerang Anadara sp termasuk Kelas Pelecypoda (Bivalva) yang mempunyai

PERAN TAWAS TERHADAP PERURAIAN PROTEIN IKAN TONGKOL. Nurrahman* dan Joko Teguh Isworo* ABSTRAK

BAB III METODE PENELITIAN

Pengawetan dengan garam, asam dan gula

PEMBUATAN SAOS CABE MERAH Nurbaiti A. Pendahuluan Cabe merah merupakan salah satu komoditas hortikultura yang mempunyai nilai ekonomis cukup tinggi

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGEMASAN INTRODUCTION PASSIVE PACKAGING INTRODUCTION 12/20/2012. Klasifikasi Beberapa Jenis Kemasan :

Ikan tuna dalam kaleng Bagian 3: Penanganan dan pengolahan

Buncis (Phaseolus vulgaris L.) merupakan sayuran yang

Teti Estiasih - THP - FTP - UB

TEKNOLOGI PEMBUATAN PUREE MANGGA Oleh: Masnun, BPP Jambi BAB. I. PENDAHULUAN

b. Bahan pangan hewani bersifat lunak dan lembek sehingga mudah terpenetrasi oleh faktor tekanan dari luar.

1 I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat

Sterilisasi Alat dan Bahan untuk Pengujian Kesehatan Benih

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

I. PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

KONTAMINASI DAN FOODBORNE (PERSPEKTIF SANITASI)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. upaya untuk menyelamatkan harga jual buah jambu getas merah terutama

TIM DOSEN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

TEKNIK PENGERINGAN HASIL PERTANIAN ( SMTR VII)

Pendinginan dan Pembekuan. Kuliah ITP

PAPER BIOKIMIA PANGAN

9/6/2016. Hasil Pertanian. Kapang; Aspergillus sp di Jagung. Bakteri; Bentuk khas, Dapat membentuk spora

DAN PENGEMASAN ASEPTIK. Purwiyatno Hariyadi 1

Transkripsi:

PENENTUAN Fo IKAN TUNA KALENG UKURAN 31 X 47 DALAM BERBAGAI BUMBU TRADISIONAL Asep Nurhikmat, M. Kurniadi & Agus Susanto UPT Balai Pengembangan Proses dan Teknologi Kimia - LIPI Jln Jogjakarta Wonosari Km 3, Gading, Playen, Gunungkidul, Jogjakarta PO BOX 174 WNO Tel/fax 274 39257 E-mail : asepnurhikmat@yahoo.com ABSTRAK Ikan tuna adalah ikan laut yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Sebenarnya ikan tuna dalam kaleng telah banyak beredar dipasaran, tetapi biasanya berupa ikan tuna dalam saus tomat. Untuk itu perlu suatu terobosan baru yaitu tuna kaleng dalam bumbu tradisional. Telah dilakukan penelitian untuk menentukan Fo tuna kaleng dengan ukuran kaleng 31 x 47 dalam berbagai bumbu. Bumbu yang digunakan antara lain semur, gulai dan kari. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Fo Tuna kaleng dalam berbagai bumbu pada ukuran kaleng 31 x 47. Hasil dari penelitian ini adalah nilai Fo untuk semur tuna, gulai tuna dan kari tuna masing-masing adalah 19,35; 18,37 dan 17,21 menit. Kata Kunci : Bumbu tradisional, Fo, Tuna Kaleng, Ukuran kaleng PENDAHULUAN Pengalengan adalah metode pengawetan makanan dengan memanaskannya dalam suhu yang akan membunuh mikroorganisme, dan kemudian menutupinya dalam stoples maupun kaleng (Anonim, 28b). Menurut Murniyati dan Sunarman (2), proses pengalengan ikan meliputi persiapan bahan mentah, pengisian (filling), penghampaan (exhausting), sterilisasi, pendinginan, dan pelabelan. Pengalengan makanan dewasa ini sudah mulai berkembang dan banyak produsen makanan yang menggunakan metode pengawetan makanan dengan pengalengan. Pengalengan ikan merupakan hal yang sudah lama dijumpai akan tetapi hanya sebatas pengalengan ikan sarden, tuna atau ikan-ikan lain dengan saus tomat, cabai atau larutan garam (brine). Produk kaleng gulai ikan tuna ini mempunyai keunggulan pada rasa, biasanya produk tuna kaleng hanya ditambah larutan garam akan tetapi produk ini mempunyai rasa yang sangat kuat yaitu rasa gulai. Produk kaleng gulai tuna tersebut merupakan produk baru yang belum 594 Prosiding Seminar Nasional Kima dan Pendidikan Kimia 29

ISBN : 979-498-467-1 Teknologi dan Pangan banyak diketahui oleh masayakat. Hal tersebut menjadi dasar pemikiran untuk mengetahui lebih lanjut mengenai produk kaleng gulai tuna yang diproduksi di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Yogyakarta. Pengalengan adalah cara pengawetan ikan dengan sterilisasi dalam kaleng. Ikan dimasukkan dalam kaleng, kemudian disterilkan dengan panas. Faktor-faktor utama yang menentukan daya awet ikan kalengan adalah sterilisasi yang mematikan seluruh bakteri dalam isian kaleng dan kaleng yang menahan pengotoran atau penyebab pembusukan dari luar. Ikan yang dikaleng dan disimpan dengan baik dapat bertahan selama dua tahun (Murniyati dan Sunarman, 2). Suhu yang digunakan dalam pengalengan adalah suhu tinggi yaitu 11º -12º C, untuk mematikan semua mikroorganisme sehingga dicapai sterilitas komersial yang berarti produk itu tidak 1% steril tetapi dapat tahan sampai dua tahun (Peranginangin, 1992). Sterilisasi komersial adalah proses sterilisasi dimana masih terdapat beberapa mikrobia yang masih dapat hidup setelah pemberian panas. Kondisi dalam kaleng setelah proses sterilisasi mengakibatkan bakteri tidak mampu tumbuh dan berkembang biak sehingga tidak dapat membusukkan makanan dalam kaleng (Winarno, 1994). Bila suatu makanan yang dikemas dalam kaleng atau botol diletakkan dalam retort, suhu produk tidak akan segera mencapai suhu proses sesuai dengan suhu retort yang dikehendaki, tetapi akan merambat kedalam kaleng secara perlahan-lahan. Sebelum melakukan tes penetrasi panas, harus dilakukan terlebih dahulu proses distribusi panas, untuk mengetahui apakah retort yang akan digunakan memiliki distribusi panas yang merata, dan bagian retort mana yang paling lambat kenaikan suhunya. Uji tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan alat termokopel. Heat penetrasiontest berguna untuk mengetahui kecepatan penetrasi panas dari retort kedalam makanan. Pada heat penetrasion test dilakukan pengamatan yang teliti terhadap suhu produk selama proses pemanasan. Pengukuran dilakukan dengan meletakkan ujung termokopel pada bagian terdingin (cloudest spot) atau daerah yangpaling lambat pemanasannya dalam kaleng. Daerah tersebut sering juga disebut cold spot. Prosiding Seminar Nasional Kima dan Pendidikan Kimia 29 595

Letakcoldest spottergantung pada jenis perambatan panasnya, yaitu apakah secara konduksi, konveksi, atau broken heating. Produk yang perambatan panasnya dengan konduksi, cold spot-nya berada dititik tengah geometrik dari kaleng. Produk yang mengalami perambatan panas secara konduksi, misalnya tuna dan cream soup biasanya tidak mengandung atau hanya sedikit saja mengandung cairan bebas. Bila kemasan kalengnya terdiri atas bahan pasat, seperti misalnya backed beans atau meat loaf, dimana panas dipindahkan secara konduksi, sambungan hot junction atau ujung termokopel berada pada atau sedikit diatas titik geometris kaleng. Sedangkan pada prouduk yang banyak mengandung cairan atau laruta garam atau gula, perambatan panas terjadi secara konveksi. Segera setelah cairan mendapat panas, aliran panas akan bergerak berputar keseluruh bagian kaleng. Perambatan panas dalam cairan bergerak lebih cepat dan seragam. Coldest spot dengan perambatan panas secara konveksi terletak dibagian dekat dasar pada pusat kaleng. Jumlah panas yang diperlukan untuk sterilisasi yang memadai tergantung pada beberapa factor, antara lain ukuran kaleng dan keadaan isinya. Panas kaleng memerlukan waktu lebih lama untuk menerobos masuk kedalam kaleng yang besar. Demikian juga penetrasi panas akan lebih cepat pada medium konveksi, seperti sup, daripada medium konduksi, seperti corned beef Proses sterilisasi dirancang untuk mematikan clostridium botulinum dan sporanya, sebab mikroorganisme ini paling berbahaya dan sporanya paling tahan terhadap pemanasan, yang biasanya mengkontaminasi makanan kaleng. Jumlah waktu (dalam menit) pada suhu tertentu yang diperlukan untuk menghancurkan semua mikroba biasanya disebut dengan nilai F. Nilai F ini sangat spesifik, artinya, nilai tersebut bergantung pada suhu proses dan nilai Z dari mikroba. Nilai Fo adalah waktu (dalam menit) pada 25 F yang diperlukan untuk menghancurkan sejumlah mikroba tertentu yang memiliki nilai Z sama dengan 18 F. Agar mendapat gambaran lebih jelas, perlu dibandingkan dengan proses lain, yaitu pada suhu yang berbeda dengan 25 F. Contohnya proses yang memerlukan waktu 1 menit pada 232 F memiliki efek 596 Prosiding Seminar Nasional Kima dan Pendidikan Kimia 29

ISBN : 979-498-467-1 Teknologi dan Pangan pembunuhan yang sama dengan 1 menit pada suhu 25 F, bila mikroba memiliki nilai Z sama dengan 18 F. Resistensi atau ketahanan sel dan spora mikroorganisme terhadap panas berbeda diantara mikroorganisme. Pada umumnya mikroorganisme lebih tahan terhadap pemanasan pada ph netral atau mendekati netral. Peningkatan keasaman dari pada peningkatan kebasaan dalam merusak mikroorganisme oleh panas (Judge dkk, 1989) resistensi panas mikroorganisme dinyatakan sebagai waktu kematian thermal atau Thermal Death Time (TDT) yaitu waktu yang dibutuhkan untuk membunuh sejumlah sel atau spora tertentu pada kondisi fisik tertentu (temperature, jumlah dan tipe mikroorganisme, serta karakteristik medium pemanasan). Untuk mengetahui TDT atau Fo dipergunakan persamaan yang disampaikan lewis (1987) ; Richardson (21), 121 log L = T (1) 1 Atau L =1(2) {( T 121 /1)} Dimana Fo dapat dihitung dengan persamaan : Fo = Ldt (3) Tujuan : 1. Mengetahui nilai Fo ikan tuna dalam bumbu tradisional berbeda 2. mengetahui hubungan bumbu dengan nilai Fo 3. mengetahui pengaruh Fo terhadap tekstur daging ikan tuna METODOLOGI Bahan dan alat. Bahan utama yang digunakan adalah ikan tuna dan cairan bumbu. Cairan bumbu terdiri dari semur, gulai dan kari. Sedangkan alat yang digunakan adalah unit canning line, unit sterilizer,peralatan Fo meter, pnetrometer dan alat pembantu lainnya. Kaleng yang digunakan mempunyai ukuran 31 x 47. lebih jelas dapat dilihat pada tabel 1. Prosiding Seminar Nasional Kima dan Pendidikan Kimia 29 597

Tabel 1. Spesifikasi kaleng ukuran 31 x 47 Jenis Barang : Kaleng bundar (Round can) Warna : Polos Ukuran : Ø 31 X 47 Design : CL/1; GL/GL, side seam welding Body : Luar clear lacquer, dalam gold laquer coating 1 (Beading) Top : Luar dan dalam Gold lacquer (sanitary) Bottom : Luar dan dalam Gold lacquer Lain-lain : Pet food, fruits, vegetables variety Capasity : 44 ml Waktu dan Tempat. Waktu penelitian bulan April - Oktober 28. Tempat penelitian Laboratorium UPT Balai Pengembangan Proses dan Teknologi Kimia LIPI Yogyakarta. Penelitian dilakukan melalui tahaptahap : 1. Penyiapan bahan baku dan peralatan 2. pengalengan ikan tuna dalam berbagai bumbu (semur, gulai dan kari) 3. perlakuan proses sterilisasi 4. pengamatan dan pengujian sample Parameter yang di amati: (1) Kenaikan suhu bahan dalam kaleng, (2) Viskositas cairan bumbu, dan (3) Tekstur pangan yang dikalengkan. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada dasarnya, proses pemanasan yang diterapkan didalam industri pengalengan makanan, dirancang khusus hanya untuk mencapai sterilisasi komersial. Kondisi tersebut tidak mudah dicapai, malahan kadang-kadang dapat menghasilkan perubahan-perubahan mutu yang tidak diinginkan, maka dikembangkan cara penerapan proses sterilisasi yang pas dan aman serta dapat menekan kerusakan seminimal mungkin dan penurunan mutu yang disebabkan/ diakibatkan pemberian panas Alat yang digunakan untuk proses sterilisasi adalah retort, yang disebut juga autoclave atau sterilizer, berbentuk bejana tertutup dan tahan tekanan tinggi yang ditimbulkan oleh uap yang berasal dari sumber diluar retort. Sumber uap air panas tersebut dapat berbentuk bolier atau steam generator. 598 Prosiding Seminar Nasional Kima dan Pendidikan Kimia 29

ISBN : 979-498-467-1 Teknologi dan Pangan Bila suatu makanan yang dikemas dalam kaleng diletakkan dalam retort, suhu produk tidak akan segera mencapai suhu proses sesuai dengan suhu retort yang dikehendaki, tetapi akan merambat kedalam kaleng secara perlahan-lahan. Sebelum melakukan penetrasi panas ke dalam kaleng, kalor yang ada digunakan terlebih dahulu untuk proses distribusi panas ruangan retort. Heat penetrasiontest diperlukan untuk mengetahui kecepatan penetrasi panas dari retort kedalam makanan. Pada heat penetrasion test dilakukan pengamatan yang teliti terhadap suhu produk selama proses pemanasan. Pengukuran dilakukan dengan meletakkan ujung termokopel pada bagian terdingin (cloudest spot) atau daerah yangpaling lambat pemanasannya dalam kaleng. Daerah tersebut sering juga disebut cold spot. Letakcoldest spottergantung pada jenis perambatan panasnya, yaitu apakah secara konduksi, konveksi, atau broken heating. Pada produk yang banyak mengandung cairan seperti semur, gulai dan kari ikan tuna, perambatan panas terjadi secara konveksi. Segera setelah cairan mendapat panas, aliran panas akan bergerak berputar keseluruh bagian kaleng. Perambatan panas dalam cairan bergerak lebih cepat dan seragam. Coldest spot dengan perambatan panas secara konveksi terletak dibagian dekat dasar pada pusat kaleng. Dari hasil perhitungan data-data pengukuran Fo untuk masingmasing bumbu (semur, gulai dan kari) ikan tuna dapat dilihat pada gambar 1-3. 14.7 12.6 1.5 suhu (C) 8 6 4.4.3.2 Lethality T dalam T luar Fo area 2.1 3 6 9 waktu (menit) Gambar 1. Fo Area untuk semur ikan tuna adalah 19,35 menit. Prosiding Seminar Nasional Kima dan Pendidikan Kimia 29 599

14.7 12.6 1.5 suhu (C) 8 6 4.4.3.2 Lethality T dalam T luar Fo area 2.1 3 6 9 waktu (menit) Gambar 2. Fo area untuk gulai ikan tuna adalah 18,37 menit. 14.7 12.6 1.5 suhu (C) 8 6 4.4.3.2 Lethality T dalam T luar Fo area 2.1 3 6 9 waktu (menit) Gambar 3. Fo area untuk kari ikan tuna adalah 17,21 menit. Jumlah panas yang diperlukan untuk sterilisasi yang memadai tergantung pada beberapa factor, diantaranya ukuran kaleng dan keadaan isinya. Untuk memanaskan isi dalam kaleng memerlukan waktu lebih lama untuk menerobos masuk kedalam kaleng yang besar. Demikian juga penetrasi panas akan lebih cepat pada medium konveksi, seperti sup, daripada medium konduksi, seperti corned beef. Hubungan antara nilai Fo dengan viskositas cairan bumbu dapat dilihat pada Gambar 4. Terlihat pada gambar tersebut bahwa semakin kental cairan maka nilai Fo semakin kecil, hal ini disebabkan karena dengan semakin kentalnya cairan menyebabkan konduktifitasnya semakin berkurang. Sedangkan hubungan nilai Fo terhadap tekstur daging ikan tuna dapat dilihat pada Gambar 5. 6 Prosiding Seminar Nasional Kima dan Pendidikan Kimia 29

ISBN : 979-498-467-1 Teknologi dan Pangan 16 14 2 19.5 12 19 Viskositas (mpoise) 1 8 6 4 2 viskositas Fo 18.5 18 17.5 17 16.5 Fo (menit) semur gulai kari 16 Bumbu Gambar 4. Hubungan Viskositas dengan Fo 2 3. 19.5 25. 19 Fo (menit) 18.5 18 17.5 17 16.5 Fo tekstur 2. 15. 1. 5. Tekstur 16 semur gulai kari. Bumbu Gambar 5. Hubungan Fo dengan tekstur KESIMPULAN 1. Nilai Fo untuk semur tuna, gulai tuna dan kari tuna masing-masing adalah 19,35; 18,37 dan 17,21 menit. 2. semakin kental cairan bumbu maka nilai Fo semakin kecil, 3. semakin lama nilai Fo tekstur daging ikan tuna semakin lembek. 4. Nilai Fo dipengaruhi oleh ukuran kaleng, jenis bumbu, viskositas cairan. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 29b. Lada. http://www.bi.go.iddiakses pada 6 Februari 29. Prosiding Seminar Nasional Kima dan Pendidikan Kimia 29 61

Lewis, M.J., 1987, Physical Properties of Foods and Food Processing System, Ellis Horwoods Ltd, Chichester, England. Murniyati, A.S dan Sunarman. 2. Pendinginan Pembekuan Dan Pengawetan Ikan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Peranginangin, R. 1992. Pengalengan Ikan. Dalam Kumpulan Hasil- Hasil Penelitian Pasca Panen Perikanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Jakarta. Richardson, P., 21, Thermal Technologies in Food Processing, Woodhead Publishing Ltd, Cambridge, England. Winarno, F.G., 1994, Sterilisasi Komersial untuk Produk pangan, PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Yusmirasari, P., 2, Laporan Kerja Praktek di BBOK LIPI, Jurusan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Industri, Universitas Pasundan, Bandung. 62 Prosiding Seminar Nasional Kima dan Pendidikan Kimia 29