MODUL: Disusun Oleh : Natural Resources Development Center. Tim Penyusun: Tim Editor:

dokumen-dokumen yang mirip
United Nations Climate Change Conference (UNCCC Warsaw) COP19, CMP9, SBSTA39, SBI39, ADP2.3. Kantor UKP-PPI/DNPI

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna

Pandangan Indonesia mengenai NAMAs

WWF: Paket Istimewa yang diharapkan dari Durban

2013, No Mengingat Emisi Gas Rumah Kaca Dari Deforestasi, Degradasi Hutan dan Lahan Gambut; : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Rep

BAB I. PENDAHULUAN. Aktivitas manusia telah meningkatkan emisi gas rumah kaca serta

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I. PENDAHULUAN. Perubahan iklim merupakan fenomena global meningkatnya konsentrasi

KEBIJAKAN NASIONAL MITIGASI DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

WORKSHOP PENGEMBANGAN SISTEM MONITORING KARBON HUTAN:PENGELOLAAN HUTAN BERKELANJUTAN DAN MASYARAKAT SEJAHTERA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Pemerintah Republik Indonesia (Indonesia) dan Pemerintah Kerajaan Norwegia (Norwegia), (yang selanjutnya disebut sebagai "Para Peserta")

Kerjasama Internasional Mengenai Perubahan Iklim ME4234 KEBIJAKAN IKLIM

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan

Tata ruang Indonesia

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA

BAB 1. PENDAHULUAN. Kalimantan Tengah pada tahun 2005 diperkirakan mencapai 292 MtCO2e 1 yaitu

dan Mekanisme Pendanaan REDD+ Komunikasi Publik dengan Tokoh Agama 15 Juni 2011

MAKSUD DAN TUJUAN. Melakukan dialog mengenai kebijakan perubahan iklim secara internasional, khususnya terkait REDD+

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Koordinasi Kelembagaan dan Kebijakan REDD Plus

IMPLEMENTASI RAN-GRK DI SEKTOR KEHUTANAN

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

RENCANA AKSI NASIONAL PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA (RAN-GRK)

IMPLEMENTA IMPLEMENT S A I S IRENCANA RENCAN A AKSI AKSI NAS NA I S O I NA N L PENURU PENUR NA N N EMISI EMISI GAS RUMA M H H KACA

Menuju Warsawa: Isu-isu Utama Negosiasi Pendanaan. Suzanty Sitorus Pokja Pendanaan Dewan Nasional Perubahan Iklim

2018, No Carbon Stocks) dilaksanakan pada tingkat nasional dan Sub Nasional; d. bahwa dalam rangka melaksanakan kegiatan REDD+ sebagaimana dima

BAB I PENDAHULUAN. Laporan dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)

PROGRAM KEHUTANAN UNTUK MITIGASI PERUBAHAN IKLIM & PENGUKURAN, PELAPORAN SERTA VERIFIKASINYA (MRV) Tindak Lanjut COP 15

FCPF CARBON FUND DAN STATUS NEGOSIASI TERKINI

BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang

KEMENTERIAN PERTANIAN

GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 20/Menhut-II/2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KARBON HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Menguji Rencana Pemenuhan Target Penurunan Emisi Indonesia 2020 dari Sektor Kehutanan dan Pemanfaatan Lahan Gambut

BAB III ISU LINGKUNGAN DAN KERJASAMA INDONESIA DENGAN JEPANG DALAM PENANGGULAN ISU LINGKUNGAN

Percepatan Peningkatan Aksi-aksi Perubahan Iklim di Tingkat Global : Pandangan Kelompok Masyarakat Sipil

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PENDAHULUAN Latar Belakang

Kebijakan Pelaksanaan REDD

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi

Hasil Pertemuan COP 17 dan COP/CMP 7 di DURBAN. Pekerjaan Rumah Indonesia

REHABILITASI HUTAN DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM SEKTOR KEHUTANAN DI SULAWESI UTARA

BRIEF Volume 11 No. 01 Tahun 2017

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate

KEPEMIMPINAN IKLIM GLOBAL PERJANJIAN KERJA SAMA (PKS)

BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA

Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Provinsi Jambi Tahun I. PENDAHULUAN

PROTOKOL KYOTO ATAS KONVENSI KERANGKA KERJA PBB TENTANG PERUBAHAN IKLIM

PROTOKOL KYOTO ATAS KONVENSI KERANGKA KERJA PBB TENTANG PERUBAHAN IKLIM

Pedoman Umum Rencana Aksi Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca

disampaikan oleh: Direktur Perencanaan Kawasan Kehutanan Kementerian Kehutanan Jakarta, 29 Juli 2011

BAB V PENUTUP. Indonesia sebagai salah satu negara yang tergabung dalam rezim internasional

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI ACEH

BERDAGANG KARBON DENGAN MENANAN POHON: APA DAN BAGAIMANA? 1

COP 17/CMP 7 DIBUKA OLEH

PENDAHULUAN LAPORAN AKHIR Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Didorong oleh issue perubahan iklim dunia yang menghangat belakangan ini

Emisi global per sektornya

Oleh/by: Nurlita Indah Wahyuni

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI GORONTALO

Pidato kebijakan Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhyono Bogor, 13 Juni 2012

PENGARUSUTAMAAN PERUBAHAN IKLIM KE DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI BANTEN

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI SUMATERA SELATAN

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI JAWA TIMUR

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI DIY

Kebijakan perubahan iklim dan aksi mitigasi di Indonesia. JCM Indonesia Secretariat

BAB I PENDAHULUAN. memberikan dampak positif seperti mudahnya berkomunikasi maupun berpindah

PENAMBATAN KARBON PADA BERBAGAI BENTUK SISTEM USAHA TANI SEBAGAI SALAH SATU BENTUK MULTIFUNGSI

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang. jenis tumbuh-tumbuhan berkayu lainnya. Kawasan hutan berperan

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI PAPUA

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI SULTENG

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI SULAWESI SELATAN

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI BALI

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan

KEBIJAKAN NASIONAL ANTISIPASI DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP SEKTOR KELAUTAN DAN PERIKANAN. Deputi Bidang SDA dan LH

Pemanfaatan canal blocking untuk konservasi lahan gambut

Skema Karbon Nusantara serta Kesiapan Lembaga Verifikasi dan Validasi Pendukung

Strategi dan Rencana Aksi Pengurangan Emisi GRK dan REDD di Provinsi Kalimantan Timur Menuju Pembangunan Ekonomi Hijau. Daddy Ruhiyat.

KEBIJAKAN NASIONAL DAN DAERAH DALAM PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA

BAB II DESKRIPSI PERKEMBANGAN SKEMA REDD+ DI INDONESIA

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI BENGKULU

KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN. Kerangka Acuan Kerja PEGAWAI TIDAK TETAP (51) BIDANG

BAB V KESIMPULAN. asing. Indonesia telah menjadikan Jepang sebagai bagian penting dalam proses

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI DKI JAKARTA

KINERJA TATA KELOLA PROVINSI PAPUA BARAT

Dialog Kebijakan Indonesia Climate Action Network (ICAN) Jakarta, 30 Oktober 2012

PENGARUSUTAMAAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL

tersebut terdapat di atmosfer. Unsur-unsur yang terkandung dalam udara dan

DOKUMEN INFORMASI PROYEK (PID) TAHAP KONSEP. Proyek Persiapan Kesiapan Indonesia (Indonesia Readiness Preparation Project) Kawasan Regional EAP Sektor

PENCEGAHANKEBAKARAN LAHAN DAN KEBUN. Deputi Bidang Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup Solo, 27 Maret 2013

Mekanisme Pelaksanaan Musrenbangnas 2017

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN INVENTARISASI GAS RUMAH KACA NASIONAL

Draft 10 November PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.30/Menhut-II/ /Menhut- II/ TENTANG

Transkripsi:

Program Terestrial The Nature Conservancy Indonesia MODUL: Kebijakan Nasional Perubahan Iklim Foto: Ahmad Fuadi/TNC Disusun Oleh : Natural Resources Development Center Tim Penyusun: Nurtjahjawilasa Kusdamayanti Duryat Irsyal Yasman Yani Septiani Lasmini Tim Editor: Ade Soekadis Delon Marthinus Wahjudi Wardojo Rizal Bukhari

Modul ini diproduksi oleh The Nature Conservancy dengan dukungan dari Pemerintah Australia melalui Program Responsible Asia Forestry & Trade (RAFT).

MODUL: Kebijakan Nasional Perubahan Iklim Disusun Oleh : Natural Resources Development Center Tim Penyusun: Nurtjahjawilasa Kusdamayanti Duryat Irsyal Yasman Yani Septiani Lasmini Tim Editor: Ade Soekadis Delon Marthinus Wahjudi Wardojo Rizal Bukhari Program Terestrial The Nature Conservancy Indonesia Jakarta, November 2013

KATA PENGANTAR Untuk memberikan arahan dalam kegiatan pembelajaran, perlu disusun suatu modul yang dapat digunakan sebagai pedoman dan kumpulan informasi selama proses pembelajaran. Penyusunan modul ini dimaksudkan untuk membantu peserta workshop/seminar/sosialisasi pendidikan dan pelatihan dalam memahami kebijakan-kebijakan nasional khususnya dari sektor kehutanan yang terkait dengan perubahan iklim, sehingga diharapkan setelah mengikuti kegiatan tersebut peserta dapat lebih memahami dan menerapkannnya dalam pelaksanaan tugas pengelolaan kawasan hutan. Materi yang disampaikan dalam modul Kebijakan Nasional Perubahan Iklim ini baru merupakan pengetahuan dasar yang terkait dengan kesepakatan internasional dan kebijakan nasional menyikapi isu perubahan iklim dan pemanfaatan karbon hutan. Masih diperlukan referensi yang lebih banyak untuk memahami lebih lengkap dan lebih mendalam, karena perkembangan isu ini sangat cepat, dan saat ini masih dalam tahap penyusunan konsep-konsep yang bisa diterima dan diterapkan oleh semua negara. Khusus untuk Indonesia, proses ini juga masih terus berjalan, sehingga informasi harus terus diperbaharui. Semoga modul ini dapat berkontribusi dalam upaya membangun kesamaan pemahaman para pemangku kewenangan kehutanan, khususnya dalam pengelolaan hutan produksi, terhadap isu perubahan iklim dan peluang memainkan peran dalam pengurangan target emisi GRK di Indonesia. Jakarta, November 2013 Herlina Hartanto, PhD. Direktur Program Terestrial The Nature Conservancy Indonesia

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR iii DAFTAR ISI v DAFTAR TABEL vii DAFTAR GAMBAR viii I. Pendahuluan 1 Ruang Lingkup Mata Diklat 1 Tujuan Pembelajaran 1 Manfaat Pembelajaran 2 Latar Belakang 2 II. Kesepakatan Internasional Menghadapi Perubahan Iklim 7 Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) tentang Lingkungan dan Pembangunan 7 Tujuan UNFCCC 7 Kelembagaan UNFCCC 7 Negara dan Aktor Utama 8 Pertemuan Para Pihak yang Telah Dilaksanakan 9

III. Komitmen Nasional Menyikapi Kesepakatan Internasional tentang Perubahan Iklim 19 Komitmen Nasional Menghadapi Copenhagen Accord 19 IV. Kerangka Kebijakan dan Acuan Normatif Pemerintah Indonesia dalam Mewujudkan Komitmen Nasional Terkait dengan Perubahan Iklim 25 Rencana Aksi Nasional terkait Gas Rumah Kaca (RAN GRK) 27 Rencana Aksi Daerah terkait Gas Rumah Kaca (RAD GRK) 30 Keterkaitan antara RPJP, RPJM, RENSTRA dengan RAN dan RAD GRK 31 V. Kerangka Insitusi Pendukung Pelaksanaan RAN dan RAD GRK 35 DAFTAR PUSTAKA 39

DAFTAR TABEL Tabel 1 Tabel 2 Target Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia sampai dengan Tahun 2020 21 Rencana aksi penurunan emisi gas rumah kaca (RAN GRK) sampai dengan tahun 2020 (PP Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK) 28 Tabel 3 Kerangka Institusi Pendukung Pelaksanaan RAN GRK 36

DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Sektor-sektor Penghasil Emisi Karbon di Dunia 3 Gambar 2 Konstribusi Emisi Nasional Tiap Sektor Tahun 2000. 3 Gambar 3 Distribusi Kawasan Hutan di Indonesia. 5 Gambar 4 Penurunan Tingkat Tutupan Lahan Hutan dari Tahun 1989-2009 5 Gambar 5 Skema Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca sampai dengan Tahun 2020 20 Gambar 6 Grafik Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca sampai dengan Tahun 2020 20 Gambar 7 Proyeksi Emisi Bussiness As Usual dari Sektor Kehutanan 21 Gambar 8 Diagram Angka Deforestasi Rata-rata Tahun 2003-2006 22 Gambar 9 Laju Deforestasi Indonesia dari Tahun 1990-2011 22 Gambar 10 Bagan Substansi dari RAD GRK 30 Gambar 11 Kerangka Rencana Aksi Daerah (RAD GRK) 31 Gambar 12 Kerangka Keterkaitan Dokumen/Kebijakan Nasional-Daerah dengan RAD GRK 32 Gambar 13 Para Pemangku Kepentingan RAN GRK dan RAD GRK 34 Gambar 14 Gambar 15 Sistem Koordinasi Pelaksanaan dan Pelaporan RAN/RAD GRK dan Inventarisasi GRK 37 Alur Mekanisme Pemantauan, Evaluasi dan Pelaporan Pencapaian RAN GRK dan RAD GRK 38

I Pendahuluan Ruang Lingkup Mata Diklat: Mata diklat Kebijakan Nasional Terkait Perubahan Iklim menjelaskan 4 sub-materi pokok yaitu : Kesepakatan Internasional dalam Menghadapi Perubahan Iklim Komitmen Nasional Menyikapi Kesepakatan Internasional tentang Perubahan Iklim Kerangka Kebijakan dan Acuan Normatif Pemerintah Indonesia dalam Mewujudkan Komitmen Nasional Terkait dengan Perubahan Iklim Rencana Aksi Nasional terkait Gas Rumah Kaca (RAN GRK) Rencana Aksi Daerah terkait Gas Rumah Kaca (RAD GRK) Keterkaitan antara RPJP, RPJM, RENSTRA dengan RAN GRK dan RAD GRK Kerangka Insitusi Pendukung Pelaksanaan RAN dan RAD GRK Tujuan Pembelajaran Penyampaian materi mata diklat Kebijakan Nasional terkait Perubahan Iklim bertujuan untuk : Memberikan pemahaman kepada peserta pendidikan dan pelatihan mengenai Kesepakatan Internasional dalam menghadapi perubahan iklim dan komitmen yang dinyatakan oleh Pemerin tah Indonesia menyikapi kesepakatan internasional tersebut, kerangka kebijakan dan acuan normatif Pemerintah Indonesia dalam mewujudkan komitmen nasional terkait dengan perubahan iklim yaitu berupa (RAN dan RAD GRK), dan kerangka institusi pendukung pelaksanaan RAN dan RAD GRK

2 KEBIJAKAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM PENDAHULUAN Memberikan bekal pengetahuan kepada peserta diklat untuk dapat mewujudkan komitmen penurunan emisi karbon dari sektor kehutanan dengan skema 26% (BAU) dan 41% (dukungan internasional) dalam pelaksanaan tugas Manfaat Pembelajaran Manfaat setelah mengikuti pembelajaran materi ini adalah bahwa peserta dapat memahami dengan jelas tentang : Kesepakatan Internasional Menghadapi Perubahan Iklim Komitmen Nasional Menyikapi Kesepakatan Internasional Perubahan Iklim Kerangka Kebijakan dan Acuan Normatif Pemerintah dalam Mewujudkan Komitmen Nasional Terkait dengan Perubahan Iklim Rencana Aksi Nasional terkait Gas Rumah Kaca (RAN GRK) Rencana Aksi Daerah terkait Gas Rumah Kaca (RAD GRK) Keterkaitan antara RPJP, RPJM, RENSTRA dengan RAN GRK dan RAD GRK Kerangka Insitusi Pendukung Pelaksanaan RAN dan RAD GRK Latar Belakang Terkait dengan isu perubahan iklim, semua orang pasti sepakat bahwa dampak yang ditimbulkannya menjadi sangat serius apabila tidak diantisipasi, namun pada kenyataannya sangat sulit mencari titik temu tentang penyebabnya. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), lembaga di bawah Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui World Meteorological Organization (WMO) dan United Nations Environment Programme (UNEP) menyebutkan bahwa perubahan iklim disebabkan oleh berbagai hal yang satu dan lainnya saling terkait. Sektor energi merupakan penghasil emisi karbon yang menggelontorkan 12.628 Mt CO2e ke atmosfer. Selain itu deforestasi dan degradasi hutan dituding sebagai penyumbang emisi karbon terbesar kedua yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim global. Negara-negara seperti Brazil dianggap menyumbang emisi yang cukup tinggi, masing-masing sebesar 2.563 dan 1.372 MtCO2e. Peringkat ketiga penghasil emisi adalah sektor pertanian, dengan total emisi sebesar 2.912 MtCO2e yang didominasi negara Cina, diikuti Brasil dan India. Sedangkan emisi karbon yang berasal dari sampah diperkirakan sebesar 635 MTCO2e yang sebagian besar berasal dari Amerika Serikat, Cina dan India. Total emisi karbon yang dihasilkan empat sektor tersebut mencapai kurang lebih 20.645 MTCO2e (IPCC, 2000). Berdasarkan data Human Development Report yang dirilis United Nations Development Programme (UNDP) tahun 2008, Indonesia ditempatkan sebagai negara dengan peringkat ke-14 untuk penghasil emisi karbon di dunia, jauh dibawah negara-negara maju yang menggelontorkan karbon

KEBIJAKAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM PENDAHULUAN 3 ke atmosfer dari aktivitas industrinya. Besar kecilnya jumlah emisi di suatu negara tentu juga dipengaruhi luas wilayah dan jumlah penduduk di negara tersebut. Dengan demikian, apabila emisi yang diperhitungkan adalah jumlah emisi per satuan luas wilayah atau per kapita penduduk tentu Indonesia bukan termasuk negara penghasil emisi yang besar. Tidak berarti Indonesia hanya akan berdiam diri menghadapi ancaman perubahan iklim, tetapi dengan logika seperti ini diharapkan kita dapat membuat perencanaan dan strategi adaptasi maupun mitigasi perubahan iklim secara lebih rasional dan proporsional dalam kerangka pembangunan nasional berkelanjutan. Total Emissions in 2000 : 42 GtCO2e Gambar 1. Sektor Penghasil Emisi Karbon di Dunia (Sumber: Stern, 2006) Gambar 2. Kontribusi Emisi Nasional tiap Sektor tahun 2000 (Sumber: SNC, 2010).

4 KEBIJAKAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM PENDAHULUAN Emisi GRK yang terjadi di sektor kehutanan Indonesia sebagian besar bersumber dari deforestasi (konversi hutan untuk penggunaan lain seperti pertanian, perkebunan, pemukiman, pertambangan, prasarana wilayah) dan degradasi (penurunan kualitas hutan) akibat illegal logging, kebakaran, over cutting, perladangan berpindah dan perambahan. Mengurangi laju deforestasi dan degradasi hutan merupakan sebuah keniscayaan untuk mencegah bencana lingkungan dan mengurangi dampak perubahan iklim, namun tuduhan bahwa deforestasi dan degradasi hutan adalah salah satu sumber emisi karbon terbesar patut dipertanyakan dan dijelaskan secara teknis. Pertanyaan ini patut dikemukakan karena konsekuensi dari diagnosa yang salah terhadap sumber emisi akan mempengaruhi efektivitas mitigasi yang dilakukan. Implikasi dari kesalahan dalam mengidentifikasi sumber emisi karbon ini pantas dikhawatirkan karena satu sisi cenderung membiarkan negaranegara industri emitter karbon terus menggelontorkan emisi, sementara pada saat yang sama (berpotensi) mengesampingkan hak-hak ekonomi dan kesejahteraan masyarakat di negara-negara berkembang pemilik hutan. Vegetasi hutan dan tanah menyimpan ± 7.500 Gt CO2 (> 2 x CO2 di atmosfer). Hutan menyimpan ~ 4.500 CO2 (> CO2 di atmosfer). Jumlah karbon yang dapat diserap hutan sangat tergantung dari jenis/tipe dan karakteristik hutan. Hutan tropis dapat menyimpan karbon sekitar 40% dari hutan dunia. Tegakan di hutan tropis dapat menahan karbon sekitar 50% lebih besar dari kapasitas tegakan di luar hutan tropis. Itulah sebabnya hutan tropis memainkan peranan penting dalam menstabilkan GRK karena kapasitasnya yang besar dalam menyimpan dan menyerap karbon. Deforestasi mengemisi sekitar 8 Gt CO2 per tahun (WRI, 2002). Apabila deforestasi merupakan 17-18 % dari masalah (emisi GRK) maka yang perlu dilakukan adalah melakukan upaya-upaya untuk mengurangi laju deforestasi dan degradasi hutan minimal 17-18% dalam rangka mengurangi sumbangan emisi karbon ke atmosfer (WRI, 2002). Gambar 2 dan 3 berikut ini adalah ilustrasi mengenai kondisi kawasan hutan di Indonesia dan tingkat penurunan tutupan lahan hutan dari tahun 1989 sampai dengan tahun 2009.

KEBIJAKAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM PENDAHULUAN 5 Gambar 3. Distribusi Kawasan Hutan di Indonesia (Sumber: Bahan Presentasi Rizaldi Boer) Gambar 4. Tingkat Penurunan Tutupan Lahan Hutan dari Tahun 1989-2009 (Sumber: Bahan Presentasi Rizaldi Boer) Karena pentingnya peran hutan dalam memitigasi perubahan iklim, maka tindakan-tindakan seperti praktik pengelolaan hutan produksi lestari, pengelolaan kawasan konservasi dan lindung, pembatasan konversi hutan, pemberantasan illegal logging dan penanggulangan kebakaran hutan akan mengurangi emisi CO2 dan meningkatkan resiliensi ekosistem hutan terhadap perubahan iklim.

6 KEBIJAKAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM PENDAHULUAN Rehabilitasi lahan dan hutan terdegradasi, pengembangan hutan tanaman industri dan perkebunan di lahan-lahan yang terdegradasi, serta kegiatan restorasi hutan akan meningkatkan kapasitas hutan dalam menyerap dan menyimpan karbon, yang pada akhirnya juga akan meningkatkan resiliensi ekosistem hutan terhadap perubahan iklim. Dengan demikian, pengelolaan hutan lestari berkontribusi positif terhadap upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Pengelolaan Hutan Lestari merupakan kerangka kegiatan yang efektif untuk mengurangi dampak dan penyesuaian terhadap perubahan iklim.

II Kesepakatan Internasional Menghadapi Perubahan Iklim Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) tentang Lingkungan dan Pembangunan Pada bulan Juni tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brasil, pada Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) tentang Lingkungan dan Pembangunan (United Nations Conference on Environment and Development/UNCED), telah disepakati yang bersifat mengikat secara hukum (legally binding) tentang Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim/ UNFCCC yang mulai berlaku sejak 21 Maret 1994. Pada KTT Bumi tersebut UNFCCC telah ditandatangani oleh 154 wakil negara. Sejak tahun 1995, para pihak telah bertemu setiap tahun melalui Konferensi Para Pihak (Conference on Parties, COP) guna menerapkan dan mengimplementasikan kerangka kerja tersebut. Tujuan UNFCCC Menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) antropogenik untuk menghindari ancaman antropogonik yang berbahaya terhadap sistem iklim. Gas yang dikendalikan adalah metan, nitrogen oksida, dan karbon dioksida. Tujuan akhir konvensi adalah mencapai stabilisasi konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer pada tingkat tertentu yang menghindari ancaman antropogenik yang berbahaya bagi sistem iklim Kelembagaan UNFCCC Kelembagaan yang mendukung proses negosiasi dibawah payung UNFCCC adalah Conference of Parties (COP), Konferensi Para Pihak yang merupakan badan tertinggi, atau yang memiliki wewenang tertinggi membuat keputusan sekaligus merupakan asosiasi para pihak yang meratifikasi konvensi.

8 KEBIJAKAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM KESEPAKATAN INTERNASIONAL MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM COP bertanggung jawab untuk menjaga konsistensi upaya internasional dalam mencapai tujuan utama konvensi. Dengan demikian COP memiliki kesempatan untuk meninjau pengaruh dari tindakan yang dilakukan oleh para pihak dalam kaitannya dengan pencapaian tujuan Konvensi. COP diselenggarakan setahun sekali, kecuali dalam kondisi tertentu jika para pihak menghendaki lain. Tempat penyelenggaraan COP didasarkan atas tawaran yang disampaikan oleh calon tuan rumah. Jika tidak ada penawaran, secara otomatis COP akan diselenggarakan di sekretariat UNFCCC di Bonn, Jerman. Negara-negara dan aktor utama Dalam Konvensi Perubahan Iklim terdapat 2 blok besar yang terdiri atas negara maju (developed atau industrialized countries) dan negara berkembang (developing countries). Kedua kelompok ini merupakan kelompok negara-negara yang memiliki hak suara dalam konvensi. Di samping itu terdapat pula organisasi non-pemerintah (non-governmental organization) dan lembaga internasional (international organization) yang tidak memiliki hak suara dalam setiap pertemuan tertutup konvensi tetapi dapat melakukan proses interaksi dengan setiap negara baik secara individu maupun kelompok melalui kesempatan-kesempatan di luar acara formal (side events atau special events). a. Pihak dalam Konvensi b. Kelompok Pihak di Bawah Konvensi Pihak Annex I Pihak AnnexII Pihak yang Tidak Termasuk ke dalam Annex 1 (Non-Annex Parties) Negara Transisi Ekonomi Negara-negara Terbelakang (Least Developed Countries/LDCs) c. Kelompok Regional d. Kelompok-kelompok Negosiasi Politik Group 77 + Cina Kelompok Afrika Kelompok Negara-negara Pulau Kecil (AOSIS) Uni Eropa Kelompok Payung Environment Integrity Group (EIG) OPEC Negara-negara Pengamat

KEBIJAKAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM 9 KESEPAKATAN INTERNASIONAL MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM e. Organisasi Non-Pemerintah f. Organisasi Internasional Pertemuan Para Pihak yang telah dilaksanakan beberapa kali sejak tahun 1995: COP 1 tahun 1995 di Berlin, Jerman, yang menghasilkan Berlin Mandate. Catatan pentingnya adalah: Fase uji coba kegiatan joint implementation (JI) yang dikenal Activities Jointly Implementation (AJI). Komitmen negara maju untuk mengurangi emisi mulai dibicarakan secara substansial. Tidak ada tuntutan komitmen bagi negara berkembang dalam protokol. Koalisi G77 (minus OPEC) COP 2 tahun 1996 di Jenewa, Swiss yang menghasilkan Geneva Declaration. Deklarasi Jenewa memuat hasil-hasil antara lain: Pengakuan dan penerimaan para menteri dan ketua delegasi atas Laporan IPCC sebagai laporan ilmiah yang dapat diandalkan sebagai pijakan untuk mengambil tindakan global, nasional dan lokal, khususnya oleh negara-negara Annex 1 dalam rangka menurunkan emisi Gas Rumah Kaca. Ajakan untuk mengembangkan protokol dan instrumen legal lainnya berdasarkan temuan ilmiah. Instruksi kepada para pihak untuk mempercepat negosiasi terhadap teks protokol yang secara hukum akan mengikat. COP 3 Tahun 1997 di Kyoto, Jepang yang menghasilkan Kyoto Protocol. Hasil penting dari COP 3 adalah diadopsinya Protokol Kyoto pada Desember 1997 setelah melalui perdebatan dan negosiasi yang panjang dan melelahkan. COP 4 tahun 1998 di Buenos Aires, Argentina Tujuan utama COP 4 adalah untuk merancang tindak lanjut implementasi Protokol Kyoto, antara lain dalam alih teknologi dan mekanisme keuangan.

10 KEBIJAKAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM KESEPAKATAN INTERNASIONAL MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM COP 5 tahun 2000 di Bonn, Jerman. Negoisasi di fokuskan pada hal-hal teknis, beberapa hal diantaranya, antara lain : Penyusunan Guideline untuk persiapan komunikasi nasional bagi negara-negara yang tergabung dalam Annex 1, Capacity building Alih teknologi Mekanisme fleksibel COP 6 tahun 2000 di Den Haag, Belanda Agenda utama COP 6 adalah menyelesaikan rencana detail pengoperasian Protokol Kyoto yang diuraikan dalam BAPA (COP 4). COP 7 tahun 2001 di Marrakech, Maroko yang menghasilkan Marrakech Accords. Beberapa keputusan penting dalam sidang ini antara lain: Regulasi operasional tentang jual beli emisi internasional antar pihak dalam protokol dan bagi CDM serta implementasi bersama, Regime yang secara garis besar mengatur konsekuensi akan kegagalan dalam pemenuhan target emisi tetapi ditunda bagi negara yang menyetujui protokol sebelum diberlakukannya konsekuensi tersebut secara legally binding, Prosedur akunting bagi mekanisme yang fleksibel. COP 8 tahun 2002 di New Delhi, India. Hal-hal penting yang dibahas dan diputuskan diantaranya adalah: Panduan yang lebih baik bagi komunikasi nasional Negara-negara Non-Annex I; Berbagai isu tentang mekanisme finansial; Good practice dalam kebijakan dan tindakan; Penelitian dan pengamatan yang sistematis; Kerjasama dengan organisasi internasional terkait; dan Isu-isu terkait metodologi

KEBIJAKAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM 11 KESEPAKATAN INTERNASIONAL MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM COP 9 tahun 2003 di Milan, Italia Kesepakatan yang diadopsi berkaitan dengan kelembagaan dan prosedur implementasi Kyoto Protocol UNFCCC antara lain berhubungan dengan: Definisi dan modalities bagi dimasukkannya kegiatan aforestasi dan reforestasi ke dalam CDM; Panduan good practice bagi penggunaan lahan, perubahan lahan dan kehutanan (guidance on land use, land-use change and forestry (LULUCF)); Dana Khusus Perubahan Iklim (Special Climate Change Fund (SCCF)); dan Dana bagi Negara-negara Terbelakang (Least Developed Countries /LDC Fund). COP 10 tahun 2004 di Buenos Aires, Argentina Kesepakatan terbagi menjadi empat yaitu : Pengaruh buruk perubahan iklim; Impact of the implementation of response measures; Pekerjaan multilateral lanjutan terkait aktivitas di bawah keputusan 5/CP.7; dan Program kerja SBSTA tentang dampak, kerentanan, dan adaptasi terhadap perubahan iklim. COP 11 dan Meeting of the Parties to Protokol Kyoto (COP/MOP 1) tahun 2005 di Montreal, Kanada. Pada COP ini disepakati Montreal Action Plan yang merupakan kesepakatan yang bertujuan untuk memperpanjang usia Protokol Kyoto setelah berakhirnya setelah tahun 2012 dan menegosiasikan pengurangan lebih jauh emisi gas rumah kaca. COP 12 tahun 2005 di Nairobi, Kenya. Pada COP/MOP 2, para pihak membahas isu terkait mekanisme fleksibel pada Protokol Kyoto, khususnya CDM dan Joint Implementation. Berbagai isu yang dibahas diantaranya terkait dengan: Mekanisme finansial, Komunikasi nasional, Transfer teknologi, Pembangunan kapasitas, dan Pengaruh buruk perubahan iklim terhadap negara berkembang dan negara terbelakang serta response measures dan kebutuhan khusus negara terbelakang

12 KEBIJAKAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM KESEPAKATAN INTERNASIONAL MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM COP 13 tahun 2007 di Bali, Indonesia. Hal penting yang dihasilkan dalam COP 13 adalah Bali Action Plan, yang diantaranya berisi: REDD sebagai salah satu aksi mitigasi nasional/internasional yang perlu ditingkatkan Jadwal pertemuan the Ad Hoc Working Group on Long-term Cooperative Action under the Convention pada tahun 2008 COP 14 2008 di Poznan, Polandia. Isu penting yang akan dibahas pada COP 14 adalah mengenai capacity building pada negara berkembang, REDD, transfer teknologi dan adaptasi COP 15 tahun 2009 di Kopenhagen, Denmark. Pada bulan November 2009 telah dilaksanakan pertemuan para pihak (COP) ke 15 di Kopenhagen, yang diikuti oleh negara-negara seperti Afrika Selatan, Denmark, Jepang, Papua Nugini, Aljazair, Etiopia, Jerman, Perancis, Amerika Serikat, Gabon, Korea Selatan, Rusia, Australia, Granada, Lesotho, Arab Saudi, Bangladesh, India, Maladewa, Spanyol, Brasil, Indonesia, Meksiko, Sudan, Cina, Ing gris, Norwegia, dan Swedia. Dalam pertemuan tersebut dihasilkan 12 butir kesepakatan yang sifatnya tidak mengikat Copenhagen Accord, yang secara garis besar isinya adalah sebagai berikut : Menekankan perlunya kemauan politik yang kuat dari setiap negara untuk segera melakukan langkah-langkah antisipasi dan mitigasi perubahan iklim sesuai prinsip umum dengan tanggung jawab dan kemampuan masing-masing. Dalam rangka mengantisipasi potensi dampak pada negara-negara yang rentan terhadap perubahan iklim, maka akan dirumuskan suatu program adaptasi secara komprehensif dengan melibatkan dukungan internasional. Dalam rangka menahan kenaikan suhu global dibawah dua derajat Celcius, diperlukan kerja sama untuk mencapai kesepakatan batasan emisi maksimal nasional dan global sesegera mungkin. Peningkatan aksi dan kerja sama internasional untuk adaptasi sangat diperlukan untuk menjamin pelaksanaan konvensi. Negara-negara maju akan membantu menyediakan sumber dana, teknologi, dan pengembangan kapasitas untuk mengurangi kerentanan dan membangun ketahanan di negara-negara berkembang. Negara-negara Annex-I akan lebih memperkuat pengurangan emisi yang diprakarsai oleh Protokol Kyoto. Pelaksanaan pengurangan emisi dan pembiayaan oleh negara-negara maju akan diukur, dilaporkan dan diverifikasi sesuai dengan pedoman yang telah ada dan yang akan diadopsi oleh Konferensi Para Pihak dan akan memastikan bahwa perhitungan sesuai dengan target dan mekanisme keuangan yang ketat, kuat dan transparan.

KEBIJAKAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM 13 KESEPAKATAN INTERNASIONAL MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM Negara-negara Non-Annex-I, yakni negara-negara berkembang dan negara-negara kepulauan kecil yang masih berkembang dapat melakukan tindakan sukarela dan atas dasar dukungan untuk melakukan tindakan-tindakan mitigasi perubahan iklim yang diambil dan direncanakan sendiri. Penghargaan terhadap upaya-upaya pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dan penyediaan insentif positif dari tindakan tersebut melalui pembentukan mekanisme REDD+, untuk memungkinkan mobilisasi sumber daya keuangan dari negara-negara maju. Penggunaan berbagai pendekatan, termasuk mekanisme pasar, untuk meningkatkan efektivitas biaya dan mempromosikan tindakan-tindakan mitigasi. Memberikan insentif kepada negaranegara berkembang agar berupaya untuk melakukan pembangunan rendah emisi. Penyediaan dana yang memadai serta peningkatan akses akan diberikan kepada negaranegara berkembang untuk mengaktifkan dan mendukung penyempurnaan tindakan-tindakan mitigasi, termasuk pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+), adaptasi, serta transfer teknologi dan peningkatan kapasitas. Mendorong adanya komitmen kolektif dari negara-negara maju untuk menyediakan sumber investasi melalui lembaga-lembaga internasional sejumlah kurang lebih US$ 30 miliar untuk periode 2010-2012 dengan alokasi yang seimbang antara adaptasi dan mitigasi. Pendanaan untuk adaptasi akan diprioritaskan untuk negara-negara berkembang yang paling rentan, seperti negara-negara kepulauan kecil yang masih berkembang dan negara-negara Afrika. Dalam konteks tindakan mitigasi yang bermakna dan transparansi pelaksanaan, negara-negara maju berkomitmen untuk mencapai tujuan memobilisasi secara bersama-sama dana sejumlah US$ 100 miliar dolar per tahun pada tahun 2020 untuk mengatasi kebutuhan negara-negara berkembang. Pendanaan ini akan berasal dari beragam sumber, umum, swasta, bilateral dan multilateral, termasuk sumbersumber pembiayaan alternatif. Pendanaan multilateral baru untuk adaptasi akan dikirimkan melalui pengaturan dana yang efektif dan efisien, dengan dan efisien, dengan struktur tata kelola untuk menjamin adanya keterwakilan yang setara dari negara maju dan berkembang. Sebagian besar dana tersebut harus mengalir melalui Copenhagen Green Climate Fund Akan dibentuk sebuah panel tingkat tinggi yang bertanggung jawab kepada forum Konferensi Para Pihak untuk mempelajari kontribusi sumber-sumber potensi pendapatan, termasuk sumber-sumber pembiayaan alternatif untuk mencapai tujuan yang ditetapkan Konferensi Para Pihak. Penetapan Copenhagen Green Climate Fund sebagai entitas operasional dari mekanisme keuangan konvensi untuk mendukung proyek-proyek, program, kebijakan dan kegiatan yang lain di negara-negara berkembang yang terkait dengan mitigasi termasuk REDD+, adaptasi, peningkatan kapasitas, serta pengembangan dan transfer teknologi.

14 KEBIJAKAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM KESEPAKATAN INTERNASIONAL MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM Pengembangan suatu mekanisme teknologi untuk mempercepat pembangunan dan transfer teknologi untuk mendukung tindakan adaptasi dan mitigasi yang akan dipandu dengan pendekatan untuk masing-masing negara yang didorong oleh dan didasarkan pada keadaan dan prioritas nasional. Penilaian terhadap pelaksanaan kesepakatan ini direncanakan akan selesai pada tahun 2015, termasuk pertimbangan-pertimbangan ilmiah untuk memperkuat tujuan jangka panjang dalam kaitannya dengan upaya pembatasan kenaikan suhu global pada level 1,5 derajat Celcius. COP 16 tahun 2010 di Cancun, Meksiko Konferensi perubahan iklim PBB ke-16 (UNFCCC COP 16), yang diadakan pada 29 November hingga 10 Desember 2010 di Cancun, memfokuskan negosiasi pada 4 hal yaitu pendanaan, REDD, tekhnologi transfer dan adaptasi. Pada pertemuan ini negara-negara pihak yang terlibat dalam perundingan ini tidak mengharapkan adanya suatu kesepakatan bersama yang mengikat (legally binding) dalam mengatasi perubahan iklim. Sejumlah poin perundingan ditarik keluar dari kerangka kerja UNFCCC, salah satunya ialah pembahasan mengenai mekanisme REDD+ (Pengurangan Emisi dari Deforestasi, Degradasi Hutan, Konservasi, Manajemen Pengelolaan Hutan dan Peningkatan Stok Karbon Hutan) yang berkembang sangat pesat sejak diputuskan di Bali tahun 2007 lalu. Perjanjian Cancun memberi kerangka kuat bagi masuknya hutan hujan tropis dalam agenda utama penanganan perubahan Iklim, melalui skema REDD+, adaptasi, konservasi dan peningkatan cadangan karbon hutan dan pengelolaan hutan berkelanjutan. Bila tidak sekarang, mungkin baru satu dekade lagi hutan hujan tropis diperhitungkan dalam upaya penanggulangan perubahan iklim, sementara tingkat kerusakannya sudah sangat mengkhawatirkan. Walaupun negosiasi belum usai dan skema yang mengaturnya belum diputuskan namun sejumlah proyek atas nama proyek percobaan (pilot project) sudah dijalankan di Indonesia dengan dikeluarkannya Permenhut No. 68 Tahun 2008 tentang penyelenggaraan demonstration activity pengurangan emisi karbon dari deforestasi dan degradasi hutan. Skema ini telah menjual 26,6 juta hektar hutan alam Indonesia mulai dari tegakan pohon, hewan, tumbuhan, tanah, sumber mata air, dan ruang interaksi sosial, dan entitas masyarakat hukum adat di wilayah tersebut, seharga Rp 12,00 per meter perseginya seperti proyek di Ulu Masen, Aceh, Hutan Hujan Harapan di Jambi, dan di Kalimantan Tengah dengan Pemerintah Australia (Prasaja, H. 2010) Pemerintah Indonesia juga telah menanda tangani Letter of Intent (LoI) dengan Pemerintah Norwegia pada Mei 2010 sebagai salah satu perjanjian bilateral dalam skema REDD dimana Norwegia akan memberikan dana sebesar US$ 1 miliar bagi Indonesia melalui proyek REDD+. Dana tersebut akan dikucurkan secara bertahap sebesar US$ 30 juta tahun 2011, US$ 70 juta tahun 2012, US$ 100 juta tahun 2013 dan sisanya US$ 800 juta akan diberikan melihat hasil pemantauan pengurangan emisi yang dilakukan Indonesia.

KEBIJAKAN NASIONAL PERUBAHAN IKLIM 15 KESEPAKATAN INTERNASIONAL MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM COP 17, tahun 2011 di Durban, Afrika Selatan COP ke-17 dilaksanakan di Durban, Afrika Selatan (14 Desember, 2011). Hasil negosiasi perubahan iklim PBB di Durban mempunyai arti ganda untuk REDD+, yaitu dalam hal progres cara penetapan tingkat emisi referensi dan progres pendefinisian ukuran pengurangan emisi dari inisiatif kehutanan, dan adanya keputusan lemah akan safeguard sosial lingkungan, serta kurangnya kemajuan mengenai sumber pendanaan jangka panjang. Fokus negosiasi REDD+ terletak pada empat topik utama yaitu : pembiayaan, safeguards, tingkat referensi, dan MRV (pemantauan, pelaporan dan verifikasi) emisi karbon dari kegiatan hutan. Dalam safeguards, kemajuan terjadi di tingkat referensi, kemajuan MRV sudah tercapai sejak mula perundingan, sementara tentang pembiayaan REDD+ baru diputuskan setelah melewati perundingan alot. Keputusan Pembiayaan REDD+: Akan ada pengumpulan input mewakili pandangan berbagai pihak, di dalam lokakarya para ahli. Hasilnya berupa laporan teknis yang akan diterbitkan oleh Sekretariat UNFCCC, semua dokumen ini akan diserahkan sebelum COP (Konferensi Para Pihak) ke 18 tahun 2012 sebagai draft keputusan Sistem MRV yang kuat akan membantu REDD+ dipertimbangkan masuk dalam Mekanisme Pembangunan Bersih Makna pernyataan tentang bagaimana negara-negara berkembang harus melaporkan pelaksanaan safeguards sosial, lingkungan dan tata kelola telah diperlemah. Keputusan yang kuat tentang tingkat referensi COP 18 dilaksanakan di Doha, Qatar pada tanggal 26 November 7 Desember 2012. Hasil dari COP Doha adalah keputusan-keputusan yang terdiri dari: Amandemen Protokol Kyoto termasuk implikasi dari implementasi berbagai metodologi dalam periode komitmen kedua. Hasil amandemen tersebut adalah sebagai berikut : Implementasi dalam Periode Komitmen Kedua Protokol Kyoto (KP-CP2) selama 8 tahun, dari 1 Januari 2013 hingga 31 Desember 2020. CDM dan mekanisme fleksibilitas lain di bawah KP terus berlanjut Surplus dari penurunan emisi negara maju pada periode pertama diputuskan untuk tidak dapat diperjualbelikan dalam periode kedua Kelanjutan program kerja untuk menyusun kesepakatan rezim pasca 2020 Sesuai mandat COP17, ADP (Pokja untuk menyusun kesepakatan mengenai rezim pasca 2020) telah bekerja sejak Mei 2012