MENCERMATI IDEALITAS MEKANIKSME KONTROL KINERJA ORNOP

dokumen-dokumen yang mirip
AKUNTABILITAS DAN TRANSPARANSI LSM: Perspektif Pemerintah Daerah

KOMISI B. KEANGGOTAAN: 6 Laki-laki ; 12 Perempuan = 18orang. ( Tgl 24 September 2013 ) Kode Etik Konsil LSM Indonesia

MENGENAL KPMM SUMATERA BARAT

KODE ETIK KONSIL LSM INDONESIA

Anggaran Dasar. Konsil Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia [INDONESIAN NGO COUNCIL) MUKADIMAH

Anggaran Dasar KONSIL Lembaga Swadaya Masyarakat INDONESIA (Konsil LSM Indonesia) [INDONESIAN NGO COUNSILINC) MUKADIMAH

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG

REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL

BAB VI PENUTUP. terkait dengan judul penelitian serta rumusan masalah penelitian. yang telah dibahas dalam bab-bab sebelumnya.

BUPATI JEMBRANA, DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

STRATEGI MEMAJUKAN PERAN & KEBERLANJUTAN ORGANISASI MASYARAKAT SIPIL DI INDONESIA 1

Artikel Perencanaan Pembangunan Daerah Karya : Said Zainal Abidin BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah yang dikelola dan diatur dengan baik akan menjadi pemerintahan

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH PROVINSI BALI TAHUN

ANGGARAN DASAR ALIANSI JURNALIS INDEPENDEN. Pasal 2

I. PENDAHULUAN. Fenomena gerakan civil society senantiasa berbanding terbalik dengan kekuasaan

PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG TATA CARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD) PENYAJIAN VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUDUS

BAB I PENDAHULUAN. Disertasi ini mengkaji tentang relasi gender dalam keterlibatan perempuan. minoritas seperti pemuda, petani, perempuan, dan

Perbandingan PRA dengan RRA dan PAR

LEMBARAN DAERAH KOTA SUKABUMI

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 9 TAHUN 2009 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) PROVINSI BALI TAHUN

BUPATI BANGLI, PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGLI NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG

I. PENDAHULUAN. Belanja Daerah (APBD). Dampak dari sistem Orde Baru menyebabkan. pemerintah daerah tidak responsif dan kurang peka terhadap aspirasi

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi berasal dari kata autonomos atau autonomia (yunani) yang

PEMERINTAH KOTA KEDIRI

PERANAN KPU DAERAH DALAM MENCIPTAKAN PEMILU YANG DEMOKRATIS

BUPATI MURUNG RAYA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI MURUNG RAYA NOMOR 07 TAHUN 2016 TENTANG

PENJABARAN KODE ETIK KONSIL LSM INDONESIA

INSTRUMEN ASSESSMENT PENERAPAN KODE ETIK KONSIL LSM INDONESIA

Pelaku dan Praktek Pengembangan Masyarakat (Community Development)

GOOD NGO GOVERNANCE. Oleh Lucky Jani

PROVINSI JAWA TENGAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. Sejak diumumkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Universal Declaration of

RESUME 21 BUTIR PLATFORM KEBIJAKAN PARTAI KEADILAN SEJAHTERA (1) PEMANTAPAN EKONOMI MAKRO

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

Pemberdayaan KEKUASAAN (POWER)

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 01 TAHUN 2006

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG Nomor : 1 Tahun 2009 PEMERINTAH KABUPATEN MAGELANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG

konsil lsm indonesia

SAMBUTAN MENTERI NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/KEPALA BAPPENAS

SAMBUTAN KEPALA BAPPENAS Dr. Djunaedi Hadisumarto

Partisipasi kelompok marginal dan perempuan

LOGICAL FRAMEWORK ANALYSIS (LFA) KONSIL LSM INDONESIA HASIL PERENCANAAN STRATEGIS MARET 2011

Lembaga Pengkajian Dan Pemberdayaan Masyarakat (LP2M) ANGGARAN DASAR BAB I ORGANISASI. Pasal 1 Nama, Waktu dan Kedudukan

MEMBANGUN DAN MEMBERDAYAKAN DESA MELALUI UNDANG-UNDANG DESA Oleh : Mardisontori, LLM *

ANGGARAN DASAR-ANGGARAN RUMAH TANGGA

Dari Ide ke Perkumpulan

Telaahan Kritis Masyakat Sipil Rancangan Teknokratik RPJMN

BAB V PENUTUP. Penelitian ini pada akhirnya menunjukan bahwa pencapaian-pencapaian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), oleh karena itu

Relevansi dan Revitalisasi GBHN dalam Perencanaan Pembangunan di Indonesia 1. Tunjung Sulaksono 2

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

ANGGARAN DASAR KOMNAS PEREMPUAN PENGESAHAN: 11 FEBRUARI 2014

BAB VIII RANCANGAN PROGRAM STRATEGIS

Strategi Gerakan untuk Kepentingan Perempuan Surya Tjandra Unika Atma Jaya Jakarta, 10 Maret 2016

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR TAHUN 2011 TENTANG PENYUSUNAN DAN PENGELOLAAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG

SALINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GUNUNGKIDUL,

BAB IV VISI DAN MISI DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGGARA

Perbaikan Tata Kelola Kehutanan yang Melampaui Karbon

KOTA SURAKARTA PRIORITAS DAN PLAFON ANGGARAN SEMENTARA (PPAS) TAHUN ANGGARAN 2016 BAB I PENDAHULUAN

PERATURAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG KODE ETIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KOTA SERANG NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG BANTUAN HUKUM PADA MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SERANG,

BAB 5 KESIMPULAN. kebutuhan untuk menghasilkan rekomendasi yang lebih spesifik bagi para aktor

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan berapapun bantuan yang diberikan kepada negara-negara berkembang, pasti habis

KEBANGKITAN INDONESIA BARU

POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PARTISIPASI PUBLIK DALAM PROSES PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK

PEMERINTAH KABUPATEN KUDUS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG

Lampiran: Pengumuman Nomor: 145/PP.08-PU/1503/KPU-Kab/III/2018 Tentang Pendaftaran Kursus SIngkat Kepemiluan (Election Shortcourse)

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup

BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI PEMERINTAH DESA

BAB I PENDAHULUAN. transparan dan dapat dipertanggungjawakan, kondisi ini disebut Good Corporate

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KOMUNIKASI PEMASARAN POLITIK

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG

RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KOTA MATARAM TAHUN 2016

PEMBENAHAN KINERJA APARATUR PEMERINTAH

BUPATI JEPARA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG BANTUAN HUKUM BAGI MASYARAKAT MISKIN

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan partisipasi masyarakat sebagai elemen penting dalam proses. penyusunan rencana kerja pembangunan daerah.

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 01 TAHUN 2008

MATA KULIAH : KEWARGANEGARAAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN SEBAGAI MATA KULIAH PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN

BUPATI POLEWALI MANDAR

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN

BAB VI KESIMPULAN. Mohamad (GM), sebagai salah seorang pendiri dan mantan pemimpin Majalah

BUPATI MALANG PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG MEKANISME TAHUNAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN KABUPATEN MALANG BUPATI MALANG,

URGENSI PENDEKATAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

yang berperan sebagai milisi dan non-milisi. Hal inilah yang menyebabkan skala kekerasan terus meningkat karena serangan-serangaan yang dilakukan

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011.

GOOD GOVERNANCE. Bahan Kuliah 10 Akuntabilitas Publik & Pengawasan 02 Mei 2007

BAB I PENDAHULUAN. Berakhirnya pemerintahan orde baru telah mengubah dasar-dasar

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

Akuntabilitas. Belum Banyak Disentuh. Erna Witoelar: Wawancara

Membangun Masyarakat Sejahtera Berdasarkan UU Perlindatayan 1 dan UU Desa

Transkripsi:

MENCERMATI IDEALITAS MEKANIKSME KONTROL KINERJA ORNOP Oleh Pahir Halim Sumber : Buku Kritik & Otokritik LSM Membongkar Kejujuran dan Keterbukaan Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia (Hamid Abidin dan Mimin Rukmini) Halaman 46 53 Pengantar Umum Motivasi dasar kehadiran Organisasi non pemerintah (Ornop) atau yang lebih akrab dengan sebutan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) secara umum ingin berperan sebagai pengimbang atas dominasi negara dalam merancang bangun proses pembangunan. Kecenderungan demikian itu, terjadi di berbagai belahan dunia, baik di Utara (negara-negara maju) maupun di Selatan (negara-negara berkembang). Namun demikian, terdapat perbedaan yang cukup mendasar antara Ornop di negara maju dengan yang ada di negara berkembang. Di negara-negara maju, peran Ornop terlihat lebih jelas. Mereka dapat secara substansial ikut ambil bagian dalam pengambilan kebijakan yang bersifat makro, bahkan dalam batas-batas tertentu mampu mempengaruhi kebijakankebijakan sosial, ekonomi, dan politik dunia. Hal itu bisa terjadi, karena budaya demokrasi telah berkembang baik, sumber daya manusia lebih maju, dan sumber pendanaannya pun relative tidak menjadi kendala. Dalam pada itu, di negara-negara berkembang-di Amerika Latin, Afrika, Asia Tengah, dan Asia Tenggara-pada umumnya Ornop belum bisa tampil sebagaimana di Negara maju. Ornop di kawasan ini masih sibuk berjuang untuk tampil sebagai mitra pemerintah dalam dialog pembangunan yang berdimensi pemerataan dan keadilan (Aminoto,1998). Di Indonesia, sejarah kelahiran dan peran Ornop terlihat dalam berbagai variasi karakteristik sekaligus menjadi identitas tersendiri untuk generasinya. Dalam rentang waktu tahun 1950-an hingga rentang waktu 1960-an, peran Ornop secara umum terbatas pada upaya mengatasin krisis kelaparan dan karenanya pendekatan yang dominan adalah aktivitas karitatif atau sinterklas. Dengan demikian, Ornop yang lahir di era itu akrab disebut sebagai generasi pertama. Dengan munculnya rezim Orde Baru tahun 1966 hingga tahun 1970-an, peran Ornop mulai bergeser secara mendasar yang ditandai gerakan-gerakan yang tidak lagi terfokus pada kelaparan, tapi lebih tertarik pada kajian-kajian kritis kehidupan sosial kemasyarakatan. Pada tahun tersebut, sangat kaya dengan refleksi serta diskusi perdebatan seputar model, pendekatan dan strategi pembangunan bangsa.

Pendekatan partisipatif menuju perwujudan kemandirian rakyat, menjadi tawaran strategis sebagai respon kritis terhadap dominannya keterlibatan negara dalam semua aspek kehidupan rakyat. Akan halnya pendekatan bottom up, juga dipandang jawaban yang pas untuk mengganti pendekatan sentralisir (top down) dalam merancang bangun kebijakankebijakan pembangunan. Di era itu, keberadaan Ornop lazim disebut sebagai generasi kedua. Di penghujung tahun 1970-an hingga tahun 1990-an ketika harga minyak bumi yang menjadi andalan Indonesia, anjlok, dan mendesaknya pembayaran utang luar negeri dalam jumlah besar, menjadi fenomena memprihatinkan bangsa Indonesia. Bersamaan dengan itu, isu-isu dunia, seperti: lingkungan hidup, demokratisasi, gender, HAM dan transparansi, berhembus kencang ke berbagai pelosok tanah air. Dalam rentang waktu tersebut, terlihat booming kelahiran Ornop yang secara umum watak gerakan-gerakannya lebih meluas, meliputi kritik tajam terhadap hancurnya lingkungan hidup, tirani kekuasaan sampai kepada pelanggaran HAM dan kesetaraan gender. Warna dasar gerakan Ornop di era ini, adalah bagaimana tercipta suatu transformasi sosial. Ornop yang lahir di era ini, oleh David Korten (1990), disebut sebagai Ornop generasi ketiga. Subur dan berkembanganya Ornop generasi ketiga juga tidak terlepas dari dukungan donor-donor internasional yang mengucurkan dana cukup besar secara langsung kepada aktivis Ornop. Bersamaan dengan itu, kritik pedas terhadap Ornop tak terelakkan lagi. Tudingan demi tudingan dialamatkan kepada Ornop, mulai dari vonis penjual kemiskinan, agen-agen kapitalis sampai kepada perampok-perampok intelek, dating bergelombang tiada henti. Dari realitas demikian itu, maka Ornop dituntut oleh publik agar menerapkan sikap dan perilaku yang transparan dan akuntabel. Kalau tidak, maka Ornop yang bersangkutan tidak akan pernah membawa manfaat untuk rakyat dan karenanya tidak layak menamakan diri sebagai Ornop. Kecenderungan Ideologis dan Cakupan Aktivitas Secara ideologis, M Billah (1999) membagi keberadaan Ornop di Indonesia ke dalam tiga jenis yaitu: Ornop developmentalis/kompromistis Dalam situasi normal di mana demokrasi dalam pengertian yang esensial mulai berjalan, maka jenis Ornop seperti ini cenderung memposisikan diri sebagai pendukung setia pemerintah dengan istilah yang lebih akrab disebut mitra. Jika terjadi benturan antara kepentingan rakyat dengan Negara, maka Ornop developmentalis ini lebih memihak kepada pemerintah (negara). Alasannya, negara telah berada pada posisi yang benar, sehingga rakyatlah yang harus menyesuaikan diri dengan tatanan yang ditetapkan oleh negara. Kecenderungan yang demikian itu, terlihat dengan jelas betapa Ornop ini justru menjadi pembela pemerintah sementara perkembangan masyarakat sipil praktis menjadi

terhambat dinamikanya. Sudah barang tentu, Ornop jenis ini mendapat imbalan setimpal dari pemerintah berupa kucuran proyek bernuansa nepotis. Dalam keadaan demikian, Ornop yang berideologi seperti ini akan kehilangan kepercayaan masyarakat terlebih lagi ketika masyarakat semakin kritis dalam era transparansi. Oleh karena itu, Ornop semacam ini diperkirakan akan mengalami penyusutan jumlahnya secara drastic. Ornop reformatoris/profesional Ornop dalam kategori reformatoris adalah suatu Ornop yang bekerja secara profesional dalam arti pemihakan kerakyatannya jelas. Dengan begitu, ketika terjadi benturan kepentingan antara pemerintah dan rakyat, maka Ornop ini akan memantapkan pemihakan kepada rakyat yang menjadi kelompok dampingannya. Namun demikian, Ornop ini tidaklah menutup mata atas kelemahan rakyat yang dibelanya, tetapi tetap bertindak sebagai mediator yang rasional dan bukan sekedar memobilisasi apalagi memprovokasi tanpa reserve. Dalam keadaan normal, jenis Ornop ini tetap memasang jarak dengan pemerintah tetapi juga tidak menjadi oposan pemerintah. Itu berarti, hubungannya dengan pemerintah tetap dipertahankan, sejauh pemerintah yang bersangkutan konsisten dengan aturan main telah ditetapkan bersama secara konstitusional (demokratis). Ornop transformatoris Ornop yang memiliki ideology ini, dalam situasi apa pun selalu memasang jarak dengan pemerintah sembari melancarkan kritik-kritik tajam secara terus-menerus. Ornop jenis ini berpendapat bahwa struktur, hubungan dan bahkan budaya, adalah suatu konstruksi secara sepihak yang ditentukan oleh negara melalui perangkat-perangkatnya tanpa pernah secara sungguh-sungguh memperjuangkan kepentingan rakyat. Oleh karena itu, secara ideologis Ornop ini memandang pemerintah sebagai sekelompok orang yang harus dikritik atau ditentang, karena pemerintah hanya berjuang untuk mempertahankan kekuasaannya bersama dengan para kroni-kroninya. Dengan demikian, agenda perjuangannya adalah bagaimana memunculkan tatanan pemerintahan rakyat yang betul-betul dari rakyat dan untuk rakyat. Sedangkan berdasarkan peran dan fungsi Ornop terhadap pemberantasan kemiskinan dan keterbelakangan, Herdi (1999) mengklasifikasikan Ornop setidaknya dalam empat spektrum pendekatan yaitu: Pertama, Pendekatan pembangunan (welfare), yaitu memberikan pelayanan kepada kelompok-kelompok yang berpendapatan rendah, golongan lemah atau rakyat kecil.

Kedua, Pendekatan pembangunan (developmentalis), dimana tekanan program adalah dukungan proyek-proyek untuk meningkatkan produktivfitas dan kemandirian kaum miskin, sebagai upaya mengatasi keterbelakangan ekonomi, politik dan cultural. Ketiga, Pendekatan pemberdayaan (empowerment), yaitu pendekatan yang melihat kemiskinan sebagai suatu proses politik. Keempat, Pendekatan transformative, yaitu pendekatan yang berorientasi pada transformasi sosial secara mendasar melalui aksi pendampingan, pemberdayaan dan advokasi sebagai langkah efektif bagi penyadaran rakyat dan mengagresasikannya sebagai kekuatan kolektif bagi perubahan melalui pengorganisasian masyarakat yang adil, demokratis dan beradab. Kontrol Internal: Sebuah Gagasan Dalam konteks transformasi dan akuntabilitas kinerja Ornop, tidaklah terbatas pada aspek dana saja, tapi juga meliputi aspek manajemen, program, visi, misi dan bahkan rekrutmen staf sebuah lembaga yang bernama Ornop. Dengan begitu, kontrol yang bersifat internal menjadi sangat penting dengan suatu asumsi bahwa kekuasaan cenderung korup, sedangkan kekuasaan yang mutlak pasti korup. Dengan cara pandang seperti itu, maka aspek-aspek yang perlu dicermati terhadap keberadaan suatu Ornop, adalah sebagai berikut: A. Pengurus nepotisme Ornop yang sehat jika dipandang dari aspek pengurus adalah, yang bersangkutan tidak menempatkan orang-orang yang memiliki hubungan kekeluargaan sebagai pengurus inti. Misalnya, suami istri sebagai direktur dan sekretaris, bendahara adik ipar. Alasannya, komposisi pengurus seperti itu, akan sangat sulit diukur transparasi dan pertanggungjawaban. B. Tumpang tindih program aksi Ornop yang programnya tumpang tindih dalam arti, visi programnya, kelompok sasaran, waktu pelaksanaan, sama sementara sumber dananya lebih dari satu, maka hal tersebut juga dipandang tidak sehat. Pasalnya, dalam kondisi demikian itu, program cenderung mubazir, sementara kelompok sasaran lain menjadi tertutup peluangnya karena pelatihan terfokus pada satu kelompok sasaran. Catatan Penutup

Pada prinsipnya esensi kehadiran Ornop adalah untuk menjadi pengimbang dominasi negara dalam semua aspek kehidupan. Asumsinya, jika dominasi negara dibiarkan, maka dimensi keadilan, demokratisasi dan partisipasi akan cenderung dinegasikan oleh penguasa. Pada posisi sebagai pengimbang, maka Ornop dituntut setiap saat agar merefleksikan positioning-nya sesuai dengan perubahan paradigma negara dan perubahan sosial yang terjadi. Urgensi transparansi dan akuntabilitas Ornop, tidak hanya meliputi dimensi keuangan/dana, tetapi meliputi wilayah manajemen, program, visi, misi, dan rekrutmen pengurus. Tentang proses dan mekanismenya perlu pembahasan melalui diskusi yang spesifik dan komprehensif. Dalam upaya mengefektifkan control internal terhadap Ornop, selain pengurus, independensi dan programnya terjamin demokratis dan berkeadilan, maka aturan main (misalnya Standar Operasional/SOP) menjadi suatu keharusan. Melalui SOP akan dapat dikontrol, siapa melakukan apa sampai kepada batas hak dan tanggungjawab setiap personil pada suatu Ornop. Masih dalam konteks internal, kehadiran kode etik yang merupakan dasar utama dalam berprilaku, juga sangat penting bagi Ornop, baik kelembagaan maupun para aktivis. Melalui kode etik, sanksi sosial/moral, dapat diterapkan, sehingga aktivis akan terasing dari komunitas jika dipandang melanggar etika yang telah disepakati. Hanya saja, dalam merumuskan kode etik, perlu dilakukan secara cermat, sehingga tidak menjadi suatu penjara, yang justru bertentangan dengan prinsip dasar kelahiran Ornop.