Penggunaan Pregnant Mare's Serum Gonadotropin (PMSG) dalam Pematangan In Vitro Oosit Sapi

dokumen-dokumen yang mirip
Z. Udin, Jaswandi, dan M. Hiliyati Fakultas Peternakan Universitas Andalas, Padang ABSTRAK

I. PENDAHULUAN. memproduksi dan meningkatkan produktivitas peternakan. Terkandung di

PRODUKSI EMBRIO IN VITRO DARI OOSIT HASIL AUTOTRANSPLANTASI HETEROTOPIK OVARIUM MENCIT NURBARIAH

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan Penelitian Metode Penelitian Superovulasi Koleksi Sel Telur

Pengaruh Serum Domba dan Serum Domba Estrus terhadap Tingkat Maturasi dan Fertilisasi Oosit Domba In Vitro

FERTILISASI DAN PERKEMBANGAN OOSIT SAPI HASIL IVF DENGAN SPERMA HASIL PEMISAHAN

TINGKAT PEMATANGAN OOSIT KAMBING YANG DIKULTUR SECARA IN VITRO SELAMA 26 JAM ABSTRAK

PENGARUH PENAMBAHAN HORMON PADA MEDIUM PEMATANGAN TERHADAP PRODUKSI EMBRIO SECARA IN VITRO

BAB I. PENDAHULUAN A.

PENGARUH PREGNANT MARE SERUM GONADOTROPIN (PMSG) PADA MATURASI DAN FERTILISASI IN VITRO OOSIT KAMBING LOKAL

PENGARUH KONSENTRASI SPERMATOZOA PASCA KAPASITASI TERHADAP TINGKAT FERTILISASI IN VITRO

Penggunaan Medium CR1aa untuk Produksi Embrio Domba In Vitro

Pengaruh Waktu dan Suhu Media Penyimpanan Terhadap Kualitas Oosit Hasil Koleksi Ovarium Sapi Betina Yang Dipotong Di TPH

PEMATANGAN OOSIT DOMBA SECARA IN VITRO DALAM BERBAGAI JENIS SERUM IN VITRO MATURATION OF OVINE OOCYTE IN VARIOUS SERUM

PEMANFAATAN SEL KUMULUS PADA MEDIUM KULTUR IN VITRO EMBRIO MENCIT TAHAP SATU SEL

Tingkat Kematangan Inti Oosit Sapi Setelah 24 Jam Presevasi Ovarium

PENGARUH UKURAN DAN JUMLAH FOLIKEL PER OVARI TERHADAP KUALITAS OOSIT KAMBING LOKAL

JURNAL ILMU TERNAK, DESEMBER 2015, VOL.15, NO.2

Perlakuan Superovulasi Sebelum Pemotongan Ternak (Treatment Superovulation Before Animal Sloughter)

PENDAHULUAN. pemotongan hewan (TPH) adalah domba betina umur produktif, sedangkan untuk

(In Vitro Quality of Filial Ongole Bovine Oocytes Collected from Ovary after Transported in Different Transportation Period) ABSTRAK

Efektivitas Manipulasi Berbagai Ko-Kultur Sel pada Sistem Inkubasi CO 2 5% untuk Meningkatkan Produksi Embrio Sapi Secara In Vitro

2. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan dan Perkembangan Folikel

SUPLEMENTASI FETAL BOVINE SERUM (FBS) TERHADAP PERTUMBUHAN IN VITRO SEL FOLIKEL KAMBING PE

Korelasi antara Oosit Domba yang Dikoleksi dari Rumah Pemotongan Hewan dengan Tingkat Fertilitasnya setelah Fertilisasi in vitro

KAPASITAS PERKEMBANGAN OOSIT BABI YANG DIMATANGKAN SECARA IN VITRO PADA MEDIA TANPA SUPLEMEN SERUM

CURRICULUM VITAE. B. Pendidikan, Penataran, Training 1. Pendidikan Sarjana

Jurnal Kajian Veteriner Volume 3 Nomor 1 : ISSN:

PENDAHULUAN. 25,346 ton dari tahun 2015 yang hanya 22,668 ton. Tingkat konsumsi daging

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat Penelitian. Bahan Penelitian. Metode Penelitian

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK HIPOFISA SAPI TERHADAP PENINGKATAN PRODUKTIVITAS AYAM PETELUR PADA FASE AKHIR PRODUKSI

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Umur terhadap Bobot Ovarium. Hasil penelitian mengenai pengaruh umur terhadap bobot ovarium domba

VIABILITAS OOSIT DOMBA PASCATRANSPLANTASI OVARIUM DOMBA DALAM UTERUS KELINCI PSEUDOPREGNANT

(Biopotency Test of Monoclonal Antibody Anti Pregnant Mare Serum Gonadotropin in Dairy Cattle)

OPTIMALISASI PRODUKSI EMBRIO DOMBA SECARA IN VITRO: PENGGUNAAN MEDIUM CR1aa DAN PENGARUH STATUS REPRODUKSI OVARIUM YULNAWATI

Tingkat Pematangan Inti Oosit Domba dari Ovarium dengan Status Reproduksi dan Medium Maturasi yang Berbeda

HUBUNGAN JUMLAH FOLIKEL PER OVARI DENGAN KUALITAS OOSIT DAN LAMA HARI TERBENTUKNYA BLASTOSIT FERTILISASI IN VITRO PADA SAPI FRIES HOLLAND

TINJAUAN PUSTAKA Domba Ovarium Oogenesis dan Folikulogenesis

HASIL DAN PEMBAHASAN

EFEKTIFITAS PENAMBAHAN HORMON GONADOTHROPIN PADA MEDIUM MATURASI msof TERHADAP TINGKAT MATURASI OOSIT

PRODUKSI EMBRIO IN VITRO DARI OOSIT HASIL AUTOTRANSPLANTASI HETEROTOPIK OVARIUM MENCIT NURBARIAH

KOMPETENSI PERKEMBANGAN OOSIT DOMBA PADA SUHU DAN WAKTU PENYIMPANAN OVARIUM YANG BERBEDA ARIE FEBRETRISIANA

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan timbulnya sifat-sifat kelamin sekunder, mempertahankan sistem

EVALUASI OOSIT KAMBING HASIL IVM SEBAGAI SALAH SATU FAKTOR PENENTU KEBERHASILAN DALAM AKTIVASI PARTENOGENESIS. Kholifah Holil

Perkembangan Folikel dan Viabilitas Oosit Domba Pascatransplantasi Ovarium Domba Intrauterin pada Kelinci Bunting Semu

Kelahiran Anak Sapi Hasil Fertilisasi secara in Vitro dengan Sperma Hasil Pemisahan

PRODUKSI EMBRIO IN VITRO DARI OOSIT SAPI BETINA MUDA (JUVENILE)

Viabilitas Demi Embrio Sapi In Vitro Hasil Splitting Embrio Segar dan Beku

Seleksi Kemampuan Pematangan Oosit Domba Menggunakan Teknik Brilliant Cressyl Blue

POTENSI OOSIT KUALITAS C SAPI BALI MENCAPAI TINGKAT MATURASI DAN FERTILISASI SECARA IN VITRO SKRIPSI ANDI NURUL AIRIN ARIF I

BAB 1 PENDAHULUAN. Ovarium merupakan salah satu organ reproduksi dalam wanita.

Buletin Peternakan Vol.34(1): 8-15, Februari 2010 ISSN

SUPLEMENTASI HORMON GONADOTROPIN PADA MEDIUM MATURASI IN VITRO UNTUK MENINGKATKAN PERKEMBANGAN EMBRIO STADIUM 4 SEL KAMBING BLIGON

PEMANFAATAN TEKNOLOGI KULTUR OVARI SEBAGAI SUMBER OOSIT UNTUK PRODUKSI HEWAN DAN BANTUAN KLINIK BAGI WANITA YANG GAGAL FUNGSI OVARI

Peran Transforming Growth Factorβ terhadap Tingkat Kematangan dan Kejadian Apoptosis Oosit Sapi pada kultur In Vitro

Pengaruh Waktu Pemberian Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH) terhadap Jumlah Korpus Luteum dan Kecepatan Timbulnya Berahi pada Sapi Pesisir

PENGARUH MEDIA IVM DAN IVC PADA PERKEMBANGAN EMBRIO SAPI SECARA IN VITRO

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 4. (a) Luar kandang, (b) Dalam kandang

PENGARUH WAKTU PRESERVASI OVARIUM TERHADAP DIAMETER FOLIKEL DAN OOSIT DOMBA LOKAL

JURNAL ILMU TERNAK, JUNI 2016, VOL.16, NO.1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga TESIS

Jurnal Sains & Matematika (JSM) ISSN Volume 14, Nomor 4, Oktober 2006 Artikel Penelitian:

Perbedaan Aktivitas Ovarium Sapi Bali Kanan dan Kiri serta Morfologi Oosit yang Dikoleksi Menggunakan Metode Slicing

PENGARUH PENAMBAHAN INSULIN TRANSFERRIN SELENIUM (ITS) PADA MEDIUM TERHADAP TINGKAT MATURASI DAN FERTILISASI OOSIT SAPI BALI SECARA IN VITRO SKRIPSI

MAKALAH BIOTEKNOLOGI PETERNAKAN PENINGKATAN POPULASI DAN MUTU GENETIK SAPI DENGAN TEKNOLOGI TRANSFER EMBRIO. DOSEN PENGAMPU Drh.

TINGKAT FERTILISASI OOSIT DOMBA DARI OVARIUM YANG DISIMPAN PADA SUHU DAN WAKTU YANG BERBEDA SECARA IN VITRO

III OBJEK DAN METODE PENELITIAN. Objek penelitian ini berupa ovarium domba lokal umur <1 tahun 3 tahun

Pengaruh Waktu Pelapisan Spermatozoa Sapi Pada Media TALP yang Disuplementasi bovine serum albumin (BSA) Terhadap Jenis Kelamin Embrio In vitro

PENGARUH UMUR TERHADAP BOBOT DAN DIAMETER OVARIUM SERTA KUALITAS OOSIT PADA DOMBA LOKAL

DAYA HIDUP SPERMATOZOA EPIDIDIMIS KAMBING DIPRESERVASI PADA SUHU 5 C

TINGKAT KEMATANGAN OOSIT SAPI SECARA IN VITRO SETELAH INKUBASI PADA KONDISI TEMPERATUR DAN KOMPOSISI GAS CO 2 BERBEDA DWI WALID RETNAWATI

Kompetensi Perkembangan Oosit Kambing Kacang dengan Diameter Berbeda pada Medium yang Disuplementasi Cairan Folikel

SUPLEMENTASI INSULIN TRANSFERRIN SELENIUM PADA MATURASI IN VITRO CUMULUS OOCYTE COMPLEX TERHADAP EKSPRESI SITOCROM-C dan EKSPRESI CASPASE 3 OLEH

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Derajat Pemijahan Fekunditas Pemijahan

PENDAHULUAN Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL

EFISIENSI SUPEROVULASI PADA SAPI MELALUI SINKRONISASI GELOMBANG FOLIKEL DAN OVULASI MAIDASWAR

PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN

IDENTIFIKASI PROFIL PROTEIN OOSIT KAMBING PADA LAMA MATURASI IN VITRO YANG BERBEDA DENGAN SDS-PAGE. Nurul Isnaini. Abstrak

PENGARUH LAMA MATURASI DAN LAMA INKUBASI FERTILISASI TERHADAP ANGKA FERTILITAS OOSIT SAPI PERANAKAN ONGOLE SECARA IN VITRO

SITI ELIANA ROCHMI

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Peningkatan Angka Kebuntingan melalui Pemberian Hormone Eksogen CIDR-B dan Injeksi hcg pada Sapi Bali di Kecamatan Pemayung Kabupaten Batang Hari

Induksi Superovulasi dengan Kombinasi CIDR, Hormon FSH dan hcg pada Induk Sapi Potong

PENDAaULUAN. Latar belabng. merupaksn pemasok terbesar kebutuhan daging maupun susu masyarakat, berlangsung

Budiasa & Bebas Jurnal Veteriner (Prasetyo dan Susanti, 2000). Pola pemeliharaannya juga masih sangat beragam, mulai dari sistem tradisional, semi int

Proses-proses reproduksi berlangsung di bawah pengaturan NEURO-ENDOKRIN melalui mekanisme HORMONAL. HORMON : Substansi kimia yang disintesa oleh

PEMBERIAN WHOLE SERUM KUDA LOKAL BUNTING YANG DISENTRIFUGASI DENGAN CHARCOAL TERHADAP BIRAHI DAN KEBUNTINGAN PADA SAPI POTONG

KEMAMPUAN MATURASI DAN FERTILISASI OOSIT DARI OVARIUM DOMBA PREPUBER SECARA IN VITRO ANITA HAFID

PENGARUH INJEKSI PGF2α DENGAN HORMON PMSG PADA JUMLAH KORPUS LUTEUM, EMBRIO DAN JUMLAH ANAK KELINCI

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Materi Penelitian Rancangan Percobaan Metode Penelitian Koleksi Blastosis

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Perubahan Diameter Folikel Hasil pengamatan Tabel 3 menunjukkan bahwa

HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH

Anatomi/organ reproduksi wanita

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB VI TEKNOLOGI REPRODUKSI

FERTILITAS DAN PERSENTASE EMBRIO KERBAU SAMPAI MORULA YANG DIKULTUR DENGAN PENAMBAHAN GLUTATHIONE SECARA IN VITRO

Transkripsi:

Penggunaan Pregnant Mare's Serum Gonadotropin (PMSG) dalam Pematangan In Vitro Oosit Sapi ZAITUNI UDIN¹, JASWANDI¹, TINDA AFRIANI¹ dan LEONARDO E. 2 1 Dosen Fakultas Peternakan Universitas Andalas, Kampus Limau Manis, Padang 2 Mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Andala, Kampus Limau Manis, Padang (Diterima dewan redaksi 29 Mei 2006) ABSTRACT UDIN, Z., JASWANDI, T. AFRIANI and LEONARDO E. 2007. Use of pregnant mare s sera gonadotropin (PMSG) in media in vitro maturation of cow oocytes. JITV 12(1): 55-59. It is known that hormone addition in media helps in vitro maturation of oocyte. This research was aimmed to determine the effect of PMSG in media to maturation rate and nucleous developvement of cow oocyte. Ovaries were obtainned from local slaughterhouse. The media used for in vitro maturation of oocyte was TCM- 199 and the treatment was 3 levels of PMSG: 0, 10 and 20 mg/ml. Result of this research showed that the dose of PMSG in maturation media was significantly affected (P<0.05) nucleolus development of oocytes and maturation rate. The average of germinal vesicle (GV) stage in 3 levels of PMSG 0, 10 and 20 mg/ml were 38.33; 12.64 and 9.64%, respectivelly. There was no germinal vesicle breakdown (GVBD) found in 3 levels of PMSG addition. The nucleous development of metaphase I (M-I) were 7.64; 20.2 and 22.00%, but the average of maturation rate (M-II) was 16.32; 48.10 and 35.34% for 3 levels of PMSG: 0, 10 and 20 mg/ml, respectivelly. It is concluded that 10 mg/ml PMSG in media of in vitro maturation resuls in the highest maturation rate of cow oocyte. Key Words: Oocyte, Maturation, In vitro, Hormone, PMSG ABSTRAK UDIN, Z., JASWANDI, T. AFRIANI dan LEONARDO E. 2007. Penggunaan pregnant mare's serum gonadotropin (PMSG) dalam pematangan in vitro oosit sapi. JITV 12(1): 55-59. Telah diketahui bahwa penambahan hormon dalam medium sangat membantu untuk pematangan oosit in vitro. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan dosis PMSG yang terbaik ditambahkan dalam medium pematangan terhadap persentase oosit yang matang dan tingkat perkembangan inti oosit in vitro. Ovarium sapi yang dikoleksi dari Rumah Potong Hewan, kemudian oosit dari ovarium tersebut dikoleksi dengan cara slicing setelah dicuci dengan medium PBS. Medium pematangan oosit digunakan TCM-199 yang ditambahkan PMSG dengan dosis 0 mg/ml; 10 mg/ml dan 20 mg/ml sebagai perlakuan dengan 5 ulangan. Oosit yang berkualitas A dan B diinkubasi pada temperatur 38 0 C selama 24 jam untuk mengevaluasi tingkat perkembangan inti oosit. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan uji lanjut DMRT. Hasil penelitian menunjukkan dosis PMSG berbeda nyata (P<0,05) terhadap perkembangan inti oosit dan persentase oosit yang matang in vitro. Perkembangan inti oosit pada tahap GV masing-masing 38,33; 12,64 dan 9,64% untuk dosis 0, 10 dan 20 mg/ml. Tidak ada perkembangan inti oosit pada tahap GVBD. Perkembangan inti oosit pada tahap M-I berturut-turut 7,64; 20,2 dan 22,0%, sedangkan pada tahap M-II adalah 16,32%; 48,10% dan 35,34 mg/ml masing-masing untuk perlakuan penambahan PMSG 0, 10 dan 20 mg/m. Dapat disimpulkan bahwa penambahan PMSG 10 mg/ml dalam medium maturasi adalah yang terbaik dalam penelitian ini. Kata Kunci: In vitro, Oosit sapi, PMSG, Medium. PENDAHULUAN Fertilisasi in vitro (IVF) merupakan teknologi yang memproduksi embrio dalam jumlah banyak dan relatif murah. Perkembangan IVF telah semakin meluas dengan menggunakan materi, baik dari sapi yang masih hidup maupun yang sudah dipotong. Ovarium sapi yang berasal dari Rumah Potong Hewan merupakan sumber oosit yang murah dan mampu menyediakan oosit dalam jumlah yang banyak. Namun demikian belum semua potensi ovarium dapat dimanfaatkan karena daya hidup oosit yang terbatas dan medium yang digunakan dalam pematangan oosit in vitro masih belum dapat menghasilkan angka pematangan oosit yang optimal. Teknologi fertilisasi in vitro dapat menjadi alternatif untuk produksi embrio dalam jumlah banyak. Produksi embrio in vitro telah banyak dilakukan pada sapi (TROUNSON et al., 1994). Pematangan oosit in vitro merupakan rangkaian kegiatan teknologi fertilisasi in vitro. Medium yang digunakan untuk pematangan oosit in vitro umumnya ditambahkan dengan FSH dan LH. Hasil penelitian yang dilakukan oleh TOTEY et al. (1993) dengan menggunakan hormon FSH (0,5 µg/ml), LH (5 µg/ml) 55

UDIN, Z. et al.: Penggunaan pregnant mare s serum gonadotropin (PMSG) dalam pematangan dan estradiol (1 µg/ml) yang ditambahkan serum 10% didapatkan angka pematangan oosit meningkat dibandingkan dengan medium yang tidak ditambahkan hormon, tetapi diantara ketiga hormon angka kematangan oosit tidak berbeda nyata. Ditambahkan oleh LEE dan FUKUI (1996) melakukan pematangan 30-40 oosit di dalam 100 ml TCM-199 yang ditambah dengan FSH dan LH. Selanjutnya CHOI et al. (2001) menambahkan beberapa dosis FSH dan LH dapat meningkatkan ekspansi sel-sel kumulus, tetapi tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap angka blastosis. Penggunaan PMSG yang mempunyai fungsi sama dengan FSH merupakan alternatif untuk ditambahkan dalam medium pematangan oosit in vitro. PMSG ini merupakan hormon gonadotropin yang relatif lebih murah dan mudah didapatkan. Upaya meningkatkan keberhasilan pematangan oosit in vitro dewasa ini terus disempurnakan dengan penambahan berbagai hormon maupun growth faktor pada medium TCM-199. Pada penelitian ini digunakan medium yang tidak ditambah hormon dan medium yang ditambah hormon PMSG dengan dosis yang berbeda untuk mendapatkan alternatif medium pematangan oosit yang optimal. Untuk mengetahui dosis PMSG yang terbaik dalam proses pematangan oosit sapi, maka pada penelitian ini dilakukan penambahan PMSG dalam medium TCM- 199 terhadap tingkat perkembangan inti oosit in vitro. MATERI DAN METODE Ovarium sapi diperoleh dari Rumah Potong Hewan sejumlah 22 pasang. Sementara itu, medium yang digunakan untuk koleksi ovarium dan oosit adalah NaCl fisiologis dan phosphate buffer solution (PBS). Untuk pematangan oosit digunakan larutan TCM-199 yang ditambahkan dengan PMSG. Jumlah oosit yang digunakan pada penelitian ini adalah 300 oosit yang berkualitas A dan B. Penelitian ini dilakukan di laboratorium Fisiologi Reproduksi Ternak/AI Fakultas Peternakan Universits Andalas, Padang. Koleksi ovarium dari Rumah Potong Hewan dibawa dengan termos yang berisi larutan NaCl fisiologis ke laboratorium. Kemudian di laboratorium ovarium dibersihkan dari sisa lemak dan dicuci dengan NaCl fisiologis. Koleksi oosit dilakukan dengan metoda slicing dengan medium dasar PBS yang telah disuplementasi dengan serum 5%. Oosit yang dikoleksi dicuci dengan medium PBS dengan 5% serum sapi sebanyak 3 kali dan selanjutnya kualitas oosit ditentukan berdasarkan kriteria yang dikemukakan oleh LOOS et al. (1989). Oosit yang digunakan pada penelitian ini adalah yang berkualitas A dan B yaitu yang dikelilingi oleh 4 5 lapisan sel kumulus. Ditambahkan oleh MOSTAFIZUR et al. (2003) bahwa oosit kualitas A dan B didapatkan pada folikel yang berdiameter 2 6 mm. Media dasar untuk koleksi oosit digunakan PBS yang ditambahkan dengan serum sapi 5% dan media untuk pamatangan ditambahkan 10% serum sapi dalam media TCM 199. Medium pematangan (TCM-199) oosit in vitro ditambahkan dengan 3 dosis PMSG sebagai perlakuan dan 5 ulangan. Dosis PMSG terdiri dari: Perlakuan A = 0 mg/ml; Perlakuan B = 10 mg/ml; Perlakuan C = 20 mg/ml. Selanjutnya oosit dicuci dengan medium TCM-199 sebanyak 3x, disedot/dimasukkan ke dalam straw sebanyak 20 oosit dalam 100 µl medium TCM-199 untuk setiap ulangan. Jumlah oosit untuk setiap perlakuan berjumlah 100 oosit. Kemudian diinkubasi pada temperatur 38 0 C selama 24 jam. HINRICH et al. (1993) melaporkan bahwa angka kematangan lebih tinggi didapatkan pada lama inkubasi 24 jam untuk oosit yang mempunyai kumulus lengkap. Ditambahkan oleh GORDON (1994) bahwa perkembangan inti oosit selama pematangan in vitro fase Metafase-II (M-II) dicapai pada 18-24 jam inkubasi. Evaluasi pematangan oosit dilakukan dengan teknik pewarnaan dan fiksasi untuk mengetahui tingkat kematangan inti oosit sapi setelah inkubasi. Pewarnaan oosit dengan menggunakan aceto-orcein dilakukan selama 15 menit, dan sisa-sisa pewarnaan dicuci dengan larutan gliserol asetal. Tingkat kematangan inti oosit diamati di bawah mikroskop. Peubah yang diamati adalah tingkat perkembangan inti oosit yang mencakup tahap germinal vesicle (GV), germinal visicle breakdown (GVBD), Metafase-I (M-I) dan Metafase-II (M-II). Analisis data dilakukan dengan analisis ragam dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL) dan uji lanjut DMRT menurut (STEEL dan TORRIE, 1993). HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat perkembangan inti oosit Tingkat perkembangan inti oosit berdasarkan status pematangan oosit in vitro pada 3 dosis PMSG dapat dilihat pada Tabel 1. tahap GV yang tertinggi adalah pada perlakuan A (0 mg/ml) yaitu 38,33%, perlakuan B (10 mg/ml) adalah 12,64% dan terendah perlakuan C (20 mg/ml) adalah 9,64%. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa penambahan hormon PMSG dapat meransang perkembangan inti oosit, sehingga jumlah oosit yang berhenti perkembangannya hanya sedikit. Hasil analisis statistik menunjukkan dosis PMSG berbeda nyata (P<0,05) terhadap status inti tahap GV. Uji lanjut 56

Tabel 1. Tingkat perkembangan inti oosit sapi pada 3 dosis PMSG Dosis PMSG Perkembangan inti oosit (%) Jumlah oosit (n) GV GVBD M I 0 mg/ml 100 38,33 a 0 7,64 a 10 mg/ml 100 12,64 b 0 20,52 b 20 mg/ml 100 9,64 b 0 22,00 b Superskript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan perbedaan nyata (P<0,05) DMRT menunjukkan bahwa dosis PMSG 0 mg/ml berbeda nyata dengan dosis PMSG 10 mg/ml dan 20 mg/ml. Sedangkan antara dosis 10 mg/ml dan 20 mg/ml tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap status inti tahap GV. Ini menunjukkan bahwa pada medium TCM-199 yang tidak ditambahkan dengan hormon PMSG, persentase oosit yang tidak mampu melewati tahap GV lebih banyak, walaupun masih ada sejumlah oosit yang lain terus berkembang ketahap berikutnya. Medium yang tidak ditambah dengan PMSG tidak dapat memenuhi kebutuhan akan hormon dan nutrisi untuk tumbuh oosit. Ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh CHOI et al. (2001) bahwa penambahan berbagai dosis FSH (0-10 µg) dan LH (10-49 µg) meningkatkan ekspansi sel-sel kumulus, tetapi tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap angka blastosis. Selanjutnya DJUITA (2001) yang melakukan pengamatan inti oosit domba sebelum dan sesudah pematangan baik yang dibekukan maupun tanpa pembekuan dengan metoda vitrifikasi melaporkan bahwa 94% oosit berada pada tahap GV dan 6% berada pada tahap GVBD. tahap GVBD untuk ke 3 dosis PMSG tidak tampak. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semua oosit tidak ada yang berhenti pada tahap GVBD dan mampu berkembang ke tahap berikutnya tanpa hambatan. Hal ini mungkin disebabkan oleh waktu inkubasi yang digunakan relatif lebih lama yaitu 24 jam, sedangkan tahap ini terjadi pada awal proses pematangan oosit. Ini sesuai dengan hasil penelitian DJATI (1999) bahwa penambahan PMSG dan LH menyebabkan tingkat perkembangan inti oosit pada tahap GV dan GVBD adalah 0%. Ditambahkan oleh XU dan GREVE (1988) bahwa sapi yang mengalami superovulasi, tahap GVBD bisa dicapai pada waktu 6-12 jam setelah maturasi. Selanjutnya PAWSHE et al. (1994) menyatakan bahwa metafase II yang ditandai dengan keluarnya benda kutub-i (BK-I) terjadi setelah 16 jam dan mencapai 87% setelah 24 jam. Menurut DE SMEDT et al. (1992) menyatakan bahwa lama pematangan in vitro adalah 24-27 jam. tahap metafase-i (M-I) yang terendah didapatkan pada dosis PMSG 0 mg/ml dan diikuti dosis PMSG 10 mg/ml dan tertinggi pada dosis PMSG 20 mg/ml (Tabel 1). Hasil analisa statistik menunjukkan dosis PMSG berbeda nyata (P<0,05) terhadap status inti oosit pada tahap Metafase-I (M-I). Uji lanjut DMRT menunjukkan bahwa PMSG 0 mg/ml berbeda sangat nyata (P<0,01) dengan dosis PMSG 10 mg/ml dan dosis PMSG 20 mg/ml. Sementara itu, antara dosis 10 µg/ml dengan dosisi 20 µg tidak berbeda nyata (P>0,05). Persentase yang meningkat dari tahap GV ke tahap M-I merupakan suatu penurunan terhadap jumlah perkembangan inti oosit yang dihasilkan pada dosis 10 mg/ml dan menyebabkan berkurangnya persentase oosit yang berkembang sampai tahap akhir atau M-II. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penurunan jumlah oosit sampai pada tahap M-I disebabkan adanya degenerasi oosit. Disamping itu, boleh jadi terkoleksinya oosit dari folikel yang kurang dari 2 mm menyebabkan terhentinya perkembangan inti oosit, sehingga tingkat perkembangan inti oosit hanya sampai pada tahap M-I. Status perkembangan inti oosit pada tahap M-I ini, hampir sama dengan yang dilaporkan oleh HUNTER (1987) yaitu pematangan oosit sapi 14,21% akan terhenti pada tahap M-I. Sementara itu, SEATON (1991) melaporkan bahwa pematangan inti oosit dengan tanpa medium pada tahap metafase-i adalah 13,9%. Persentase oosit matang (tahap M-II) in vitro Persentase oosit yang matang in vitro pada 3 dosis PMSG yaitu: 0, 10 dan 20 mg/ml adalah 16,32, 48,10 dan 35,84% secara berturut-turut (Tabel 2). Rataan keseluruhan oosit yang matang in vitro pada tahap Metafase - II (M-II) adalah 33,44%. Hasil penelitian ini menunjukkan persentase oosit matang pada tahap Metafase-II (M-II) yang terendah pada dosis 0 mg/ml dan diikuti pada dosis 20 mg/ml dan tertinggi pada dosis 10 mg/ml. Hasil analisis statistik menunjukkan dosis PMSG berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap persentase oosit yang matang in vitro. Uji lanjut DMRT menunjukkan bahwa antara oosit PMSG 0 mg/ml dengan dosis 10 mg/ml berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap persentase oosit matang. Sementara itu, antara dosis 0 mg/ml dengan dosis PMSG 20 mg/ml menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) terhadap oosit matang in vitro. Ini menunjukkan bahwa penambahan PMSG akan meningkatkan persentase oosit matang in vitro dan penambahan dosis PMSG 10 mg/ml telah mampu meningkatkan aktivitas pematangan inti oosit sampai pada tahap Metafase-II (M-II). Ini sesuai dengan yang disampaikan oleh CHOI et al. (2001) bahwa penambahan berbagai dosis FSH (0 15 µg/ml) dan LH 57

UDIN, Z. et al.: Penggunaan pregnant mare s serum gonadotropin (PMSG) dalam pematangan (10 49 µg/ml) meningkatkan exspansi sel-sel kumulus dan expansi sel-sel kumulus yang maximal terjadi pada penambahan FSH 1 µg/ml dan LH 1 µg/ml dalam medium. Ditambahkan oleh BAVISTER dan NIWA (1992) bahwa medium yang digunakan dalam pematangan oosit in vitro tidak hanya dapat mempengaruhi proporsi oosit yang mencapai M-II atau fertilisasi tetapi juga dapat mempengaruhi perkembangan berikutnya. Tabel 2. Persentase oosit matang (M-II) pada 3 dosis PMSG Dosis PMSG Persentase oosit matang (M-II) 0 mg/ml 16,32 a 10 mg/ml 48,10 b 20 mg/ml 35,84 c Rataan 33,44% Superskript yang berbeda menunjukan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) Secara fisiologis PMSG lebih bersifat seperti FSH yang memiliki fungsi merangsang pembentukan dan pertumbuhan folikel, sehingga meningkatkan kadar hormon estrogen di dalam darah. Disamping itu persentase oosit matang in vitro juga berasal dari kondisi oosit yang digunakan yaitu masih mempunyai kumulus utuh dan fungsional. Menurut PAWSHE et al. (1994) koleksi oosit dari ovarium dengan teknik penyayatan adalah metoda yang sederhana dan efisien, karena dapat memperoleh persentase oosit dengan kumulus kompak yang lebih tinggi. Oosit dengan kumulus yang kompak menghasilkan angka pematangannya tinggi. Rataan persentase oosit yang matang pada penelitian adalah 33,44% lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian yang didapatkan JASWANDI (2001) pada domba, yakni 40, 59 dan 60% pada suhu 4, 24 dan 35 C secara berturut-turut. Perbedaan ini disebabkan sensitifitas terhadap suhu dari kedua spesies dan suhu transparasi ovarium dari rumah potong hewan. Nilai ini sesuai dengan pendapat GORDON (1994) bahwa terbatasnya daya hidup oasit karena kematian yang segera diikuti oleh perubahan generatif pada ovarium. Perubahan itu akan lebih cepat pada kondisi tubuh (35-38,5 0 C) daripada suhu yang lebih rendah. Pada penelitian ini suhu transparasi ovarium adalah 27 0 C atau suhu kamar. Selanjutnya SOLANO et al. (1994) melaporkan bahwa oasit yang disimpan secara intra folikuler pada suhu 4 0 C selama 24 jam masih mempunyai kapabilitas untuk mengalami pematangan dan fertilisasi. KESIMPULAN Tingkat perkembangan inti oosit lebih banyak terhenti pada tahap GV dalam medium yang tidak ditambah hormon PMSG (0 mg/ml). Penambahan PMSG dalam medium pematangan sangat nyata (P<0,05) mempengaruhi persentase perkembangan inti oosit. Penambahan dosis PMSG 10 mg/ml dalam medium pematangan oosit sapi in vitro adalah yang terbaik dengan rataan oosit matang in vitro pada tingkat perkembangan inti oosit tahap M-II adalah 48,10%. DAFTAR PUSTAKA BAVISTER, L.R. and K. NIWA. 1992. Ability of in vitro maturating bovine oocytes to transform sperm nuclei to metaphase chromosomes. J. Rep. Fert. 96: 565-572. CHOI, Y.H., E.M. CARNEVELA, G.E. SEIDEL JR. and E.L. SQUIRES. 2001. Effects of gonadotrophin on bovine oocytes matured in TCM-1999. Theriogenology 56: 661-670. DJATI, M.S. 1999. Pengaruh Suplementasi PMSG dan HCG pada Proses Fertilisasi In Vitro dan Kultur Klon dan Embrio Sapi dengan IGF-L. Disertasi. Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor DJUITA, I. 2001. Kajian Morphologi dan Fungsi Biologi Oosit Domba setelah Kriopreservasi dengan Metode Vitrofikasi. Disertasi. Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. GORDON, I. 1994. Laboratory Production of Cattle Embrio. Biotechnology in Agriculture Series CAB Int. CAB International. Wallingford, UK. HINRICH, K., D.F. KENNEY and R.M. KENNEY. 1993. Aspiration of oocyte from mature and immature preovulatory follicle in the mar. Theriogenology 34: 107-112. HUNTER, A.G. and MOOR, R.M. 1987. Stage-dependent effect of inhibiting ribonucleik acid and protein synthesis on meiotic maturation of bovine oocyte in vitro. J. Dairy Sci. 70: 1646-1651. JASWADI, A. BOEDIONO and M.A. SETIADI. 2001. In vitro maturation and fertilization of sheep oocyte in absence CO2. Reprod. J. 1: 56-60. LEE, E.S. and Y. FUKUI. 1996. Synergistic effect of alanine and glycine on bovine embrios cultured in chemically defined medium and amino acid uptake by in vitro prodused define morulae and blastocyst. Biol. Reprod. 55: 1383-1389. LOOS, DE F., C. VAN FLIET, P. VAN MAURICH and T.H.A.M. KRUIP. 1988. Morphology of mature oocyre. Gamet. Res. 24: 897-204. 58

MOSTAFIZUR RAHMAN, M.G, P.C. GOSWAMI, M.A.M. YAHIA KHNDOKER, K.M.A. TAREG and S.Z. ALI, 2003. Collection of bovine cumulus- oocyte complexes (COCs) from sloughterhouse ovaries in Bangladesh, Pakistan J. Biol. Sci. 24: 2054-2057. SOLANO, R., R. DE ARMAS, C.A. PUPO and F.O. CASTRO. 1994. Short term preservation of intra follicular oocytes at 4 0 C. Theriogenology 41: 299. SEATON. 1991. Effect of co-culture with follicle shell on cumulus expansion and nuclear maturation porcine oocyte. Bogor Agric. Univ. J. 2: 87-91. PAWSHE, C.H., S.M. TOTEY and S.K. JAIN 1994. A comparison of three methods of recovery of goat for In vitro maturation and fertilization. Theriogeology. 42: 117-125. STEEL, R.G.D dan TORRIE, J.H. 1993. Prinsip Prosedur Statistik. PT. Gramedia Utama. Jakarta. TROUNSON, A., D. PUSHETT, L.J. MACHELLAN, I. LEWIS and GARDNER. 1994. Current status of IVM/IVF of embryos culture in human and farm animal. Theriogenology 42: 1153-1171. TOTEY, S.M, C.H. PAWSHE and G.P. SINGH. 1993. in vitro maturation and fertilization of buffalo oocyte (Bubalus): Effect of media, hormone and sera. Theriogenology 41: 56-66. XU, K.P. and T. GREVE. 1988. A detailed analysis of early event during in vitro fertilization of bovine follicular oocytes. J. Rep. Fert. 82: 127-134. 59