PELAKSANAAN DAN MAKNA PUASA (UPOSATHA) DALAM AGAMA BUDDHA

dokumen-dokumen yang mirip
Agama dan Tujuan Hidup Umat Buddha Pengertian Agama

Sutta Kalama: Kepada Para Kalama (Kalama Sutta: To the Kalamas)

Sutta Mahavacchagotta (The Greater Discourse to Vacchagotta)

Mengapa bhikkhu harus dipotong rambutnya? Mengapa bhikkhu itu tidak boleh beristeri? Mengapa anak perempuan tidak boleh dekat bhikkhu?

Kompetensi Dasar: - Menumbuhkan kesadaran luhur dalam melaksanakan peringatan hari raya

Dharmayatra tempat suci Buddha

D. ucapan benar E. usaha benar

KEPUTUSAN MAHA SANGHA SABHA (PASAMUAN AGUNG) TAHUN 2002 SANGHA THERAVADA INDONESIA. Nomor : 02/PA/VII/2002

STRATEGI PEMBINAAN UMAT OLEH DHARMADUTA. Oleh: Warsito. Abstrak:

UNTAIAN KISAH KEHIDUPAN (JATAKAMALA) Kisah Ajastya

KEPUTUSAN SIDANG MAHASANGHASABHA (PERSAMUHAN AGUNG) TAHUN 2007 SANGHA THERAVADA INDONESIA. Nomor : 01/PA/VII/2007

Vihara terbuka untuk bhikkhu dan bhikkhuni (maechee atau anagarini), dan juga umat awam pria dan umat awam wanita.

KUMPULAN 50 TANYA JAWAB (8) Di Website Buddhis Samaggi Phala Oleh Bhikkhu Uttamo Online sejak tanggal 21 Agustus 2004 s.d. tanggal 09 Oktober 2004

BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang Universitas Sumatera Utara

SĪLA-2. Pariyatti Sāsana hp ; pin!

Sutta Nipata menyebut keempat faktor sebagai berikut: Lebih lanjut, murid para

KUMPULAN 50 TANYA JAWAB (10) Di Website Buddhis Samaggi Phala Oleh Bhikkhu Uttamo Online sejak tanggal 29 November 2004 s.d. tanggal 17 Januari 2005

UPACARA KATHINA DALAM AGAMA BUDDHA

Manfaatkan Waktu. Semaksimal Mungkin

BAB I PENDAHULUAN. pada satu objek tertentu agar pikiran dapat lebih fokus. Dalam bahasa Pāli

Written by Administrator Wednesday, 25 January :43 - Last Updated Saturday, 28 January :28

NILAI-NILAI SOSIAL PUASA DALAM AGAMA BUDDHA

Buddha di Desa Rancaiyuh.

21. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Buddha untuk Sekolah Dasar (SD)

Kebahagiaan Berdana. Diposkan pada 02 Desember 2015

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. yang memeluk suatu ajaran atau agama tersebut. Manusia terikat dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

MANFAATKANLAH WAKTU ANDA

AGAMA BUDDHA PEDOMAN HIDUPKU Kumpulan Ceramah Dhamma Bhikkhu Uttamo

BAB IV EKONOMI DAN SPIRITUALITAS PERSPEKTIF PARA BIKSU

Jadwal Kagyu Monlam ke December January, 2013

"Jika saya begitu takut maka biarlah saya mati malam ini". Saya takut, tetapi saya tertantang. Bagaimanapun juga toh akhirnya kita harus mati.

Mari berbuat karma baik dengan mendanai cetak ulang buku ini sebagai derma Dharma kepada sesama dan pelimpahan jasa kepada leluhur.

Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.5 No.1 (2016) Theravada. Wisjaya Mastiono. Teknik Multimedia / Fakultas Teknik

BHIKKHU DHAMMAVUḌḌHO MAHĀTHERA MONKS PRECEPTS LAY PERSON S GUIDE PERATURAN KEDISIPLINAN BHIKKHU PANDUAN BAGI UMAT AWAM

Sutta Magandiya: Kepada Magandiya (Magandiya Sutta: To Magandiya) [Majjhima Nikaya 75]

KUMPULAN 50 TANYA JAWAB (18) Di Website Buddhis Samaggi Phala Oleh Bhikkhu Uttamo Online sejak tanggal 2 Januari 2006 s.d. tanggal 20 Februari 2006

BAB IV MAKNA SELIBAT DAN IMPLIKASINYA DALAM KEHIDUPAN SOSIAL KEAGAMAAN PARA BIKKHU/BIKKHUNI DI BANDAR LAMPUNG

TIGA KUSALAMULA TIGA AKAR KEBAIKAN

Mahā Maṅgala Sutta (1)

Dhamma Inside. Kematian Yang Indah. Orang-orang. Akhir dari Keragu-raguan. Vol September 2015

Meditasi Mettā (Meditasi Cinta Kasih)

Dhamma Inside. Bersikap Ramah. Standar. Berada di luar Kata-kata : Alamilah Sendiri. Vol Oktober 2015

o Di dalam tradisi Theravāda, pāramī bukanlah untuk Buddha saja, tetapi sebagai prak/k yang juga harus dipenuhi oleh Paccekabuddha dan sāvakā.

KUMPULAN 50 TANYA JAWAB (16) Di Website Buddhis Samaggi Phala Oleh Bhikkhu Uttamo Online sejak tanggal 24 September 2005 s.d.

Mahapuja Satyabuddha

KEPUTUSAN RAPAT KARAKA SANGHA SABHA (DEWAN PIMPINAN SANGHA) I/2001 SANGHA THERAVADA INDONESIA

Kasih dan Terima Kasih Kasih dan Terima Kasih

Merenungkan/Membayangkan Penderitaan Neraka

Vinaya: Yang Perlu Diketahui oleh Umat

LEMBAR SOAL ULANGAN AKHIR SEMESTER GANJIL TAHUN AJARAN SMA EHIPASSIKO SCHOOL BSD

E. Pendidikan Agama Buddha dan Budi Pekerti

Dāna-4. Berdana Kepada Bhikkhu Leher Kuning? Pariyatti Sāsana hp ; pin. Friday, April 12, 13

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

KEPUTUSAN RAPAT KARAKA SANGHA SABHA (DEWAN PIMPINAN) II/2006 SANGHA THERAVADA INDONESIA

BHAKTI ANAK TERHADAP ORANG TUA (MENURUT AJARAN AGAMA HINDU) Oleh Heny Perbowosari Dosen Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

SILABUS PEMBELAJARAN. Indikator Pencapaian Kompetensi Instrumen

DALAM AGAMA BUDDHA AGAMA DIKENAL DENGAN:

Sutta Maha Kammavibhanga: Penjelasan Mendetail Tentang Kamma (Maha Kammavibhanga Sutta: The Great Exposition of Kamma) Majjhima Nikaya 136

KUMPULAN 50 TANYA JAWAB (6) Di Website Buddhis Samaggi Phala Oleh Bhikkhu Uttamo Online sejak tanggal 11 Mei 2004 s.d. tanggal 30 Juni 2004

KUMPULAN 50 TANYA JAWAB (15) Di Website Buddhis Samaggi Phala Oleh Bhikkhu Uttamo Online sejak tanggal 05 Agustus 2005 s.d. tanggal 23 September 2005

VIHARA DHAMMA MANGGALA

SUTRA 42 BAGIAN. B. Nyanabhadra

Mula Kata, Bismillah

PANDANGAN BENAR : Upa. Jayagandho Willy Yandi Wijaya Proof Reader : Upa. Sasanasanto Seng Hansun

SILABUS. Kegiatan Pembelajaran Instrumen. Mengidentifikasi delapan anugerah yang diminta. Tes Lisan. Pangeran Siddharta

21. Mata Pelajaran Pendidikan Agama Buddha untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP)

Dan di dalam mulut mereka tidak terdapat dusta; mereka tidak bercela.

Seri Kitab Wahyu Pasal 14, Pembahasan #9 oleh Chris McCann

KEPUTUSAN RAPAT KARAKA SANGHA SABHA (DEWAN PIMPINAN SANGHA) III/2000 SANGHA THERAVADA INDONESIA

Meditasi. Oleh : Taridi ( ) KTP. Standar Kompetensi Mengembangkan meditasi untuk belajar mengendalikan diri

Mari berbuat karma baik dengan mendanai cetak ulang buku ini sebagai derma Dharma kepada sesama dan pelimpahan jasa kepada leluhur, agar ajaran

Hidup ini singkat bagiku! Kebahagian saat ini hanyalah sementara, tak mudah bagiku untuk menjalani hidup normal layaknya sebagai manusia biasa.

BHAKTI MARGA JALAN MENCAPAI KEBAHAGIAAN. Om Swastyastu, Om Anobadrah Krtavoyantu visvatah, (Semoga pikiran yang baik datang dari segala penjuru)

Aṅguttara Nikāya Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha

TIGA PERMATA MULIA. --Hari Asadha--

BAB I PENDAHULUAN. perasaan untuk menanggapi bahwa terdapat kekuatan lain yang maha besar

MEDITASI VIPASSANĀ & EMPAT KESUNYATAAN MULIA

E. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN AGAMA BUDDHA DAN BUDI PEKERTI SDLB TUNADAKSA

BAB III KONSEP DANA DALAM BUDDHA

"Berusaha... bekerja dengan tanganmu. " Powerpoint Templates Page 1

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

Bacaan diambil dari Kitab Nabi Yesaya:

KUMPULAN 50 TANYA JAWAB (17) Di Website Buddhis Samaggi Phala Oleh Bhikkhu Uttamo Online sejak tanggal 13 November 2005 s.

Tidak Ada Ajahn Chan. Kelahiran dan Kematian

Pembabaran Dhamma yang Tidak Lengkap (Incomplete Teachings)

Dhammacakka Pavattana Sutta!

Seri Kitab Wahyu Pasal 14, Pembahasan #11 oleh Chris McCann

Artikel ilmiah Tema Politik dan Agama Buddha MENUJU KEPEMIMPINAN YANG DEMOKRATIS MENURUT AJARAN BUDDHA

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Seiring dengan perkembangan zaman, banyak perusahaan, organisasi

PANDANGAN BENAR : Upa. Jayagandho Willy Yandi Wijaya Proof Reader : Upa. Sasanasanto Seng Hansun

Aturan Disiplin Para Bhikkhu

Kaṭhina dan Serba-Serbinya. Bhikkhu Sikkhānanda

Kamma (7) Kamma Baik Lingkup-Indra. Dhammavihārī Buddhist Studies

Bhante Dhammavuddho Maha Thera. terbatas untuk kalangan sendiri

1. Mengapa bermeditasi?

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Roh Kudus. Penolong dan Penghibur HIDUP BARU BERSAMA KRISTUS

HIDUP SESUAI DHAMMA Kumpulan Dhammadesana Bhikkhu Uttamo

Transkripsi:

PELAKSANAAN DAN MAKNA PUASA (UPOSATHA) DALAM AGAMA BUDDHA ( Studi kasus di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya Sunter Jakarta Utara ) Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I.) Oleh: Efriani Syukur NIM: 102032124624 PROGRAM STUDI PERBANDINGAN AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1427 H./2007 M

PELAKSANAAN DAN MAKNA PUASA (UPOSATHA) DALAM AGAMA BUDDHA ( Studi kasus di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya Sunter Jakarta Utara ) Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I.) Oleh Efriani Syukur NIM: 102032124624 Pembimbing Drs. H. Roswen Dja far NIP: 150 022 782 PROGRAM STUDI PERBANDINGAN AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1427 H./2007 M

LEMBAR PENGESAHAN Skripsi yang berjudul: Pelaksanaan dan Makna Puasa (Uposatha) Dalam Agama Buddha (Studi kasus di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya Sunter Jakarta Utara) Telah diajukan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, pada tanggal 28 Agustus 2007. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata I (SI) pada program Studi Perbandingan Agama. Jakarta, 28 Agustus 2007 Sidang Munaqosyah, Ketua Sidang Sekretaris Sidang Drs. Masri Mansoer, M.A Maulana, M.A NIP: 150 244 493 NIP: 150 293 221 Anggota, Penguji I Penguji II Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer Drs. M. Nuh Hasan, M.A NIP: 150 209 685 NIP: 150 240 090 Pembimbing, Drs. H. Roswen Dja far NIP: 150 022 782

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... iv BAB I : PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang Masalah... 1 B. Perumusan Masalah... 4 C. Tujuan Penulisan... 5 D. Tekhnik Penulisan. 5 E. Sistematika Penulisan... 7 BAB II : PUASA DALAM AGAMA BUDDHA A. Pengertian Puasa Menurut Agama Buddha.. 8 B. Sistem Penanggalan dan Sejarah Hari Uposatha.. 11 C. Masa Vassa... 16 D. Tujuan Puasa di Dalam Agama Buddha... 20 BAB III : PELAKSANAAN DAN MAKNA PUASA (UPOSATHA) DI VIHARA JAKARTA DHAMMACAKKA JAYA A. Gambaran Umum Vihara Dhammacakka Jaya. 27 B. Pelaksanaan Puasa (Uposatha) di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya.... 45 a. Puasa Bagi Umat Awam... 46 b. Puasa Bagi Umat Viharawan 56 1. Puasa Bagi Samanera.....58 2. Puasa Bagi Para Bhikkhu.. 61 C. Makna Puasa (Uposatha) Bagi Umat Buddha 66 D. Analisis.. 69

BAB IV : PENUTUP A. Kesimpulan... 72 B. Saran-saran 74 DAFTAR PUSTAKA... 75 LAMPIRAN-LAMPIRAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Puasa di dalam kehidupan sehari-hari adalah bukan masalah yang asing lagi, bahkan hampir semua orang telah mengetahuinya, karena puasa ini merupakan suatu fenomena universal yang terdapat di dalam hampir semua kebudayaan, baik timur maupun barat. Oleh karena itu akan lebih menarik lagi apabila masalah puasa ini dikaji secara mendalam, khususnya puasa menurut agama Buddha, karena puasa menurut agama Buddha mempunyai keunikan tersendiri bila dibanding dengan puasa yang terdapat di dalam agama-agama besar dunia lainnya. Walaupun kadang-kadang orang menganggap bahwa puasa di dalam agama Buddha ini hanyalah sebagai formalitas keagamaan. 1 Puasa di dalam agama Buddha bukanlah sebagai formalitas keagamaan, tetapi sebagai suatu bentuk amalan yang didasarkan pada suatu pengetahuan moral dan psikologi yang mendalam. 2 Di dalam agama Buddha, puasa merupakan perwujudan dari pelaksanaan sila, 3 yaitu suatu cara untuk mengendalikan diri dari segala bentuk-bentuk pikiran yang tidak baik dan merupakan suatu usaha untuk membebaskan diri dari segala akar kejahatan, yaitu lobha (keserakahan), dosa (kebencian), dan moha 1 K. Sri Dhammananda, What Buddhis Believe (Taiwan: The Corporate Body of The Buddha Education, Foundational, 1993), h. 214 2 K. Sri Dhammananda, What Buddhis Believe, h. 214 3 Herman S.Endro, Hari Raya Umat Buddha dan Kalender Buddhis 1996-2026 (Jakarta: Yayasan Dhammadiepa Arama, 1997), h. 2

(kebodohan batin). 4 Dimana setiap orang memiliki sila yang baku, yang dilakukan sebagai suatu usaha untuk mencapai tujuan akhir (nibbana). Bhikkhu dan bhikkhuni diharapkan mematuhi peraturan yang telah ditetapkan dalam dua disiplin moral (sila dan vinaya) sesuai dengan tanggung jawab mereka terhadap Patimokkha. Samanera dan samaneri harus memperhatikan Dasasila sebagai standar sila mereka. Bagi umat awam (upasaka dan upasika) memiliki Pancasila sebagai standar sila mereka di dalam kehidupan sehari-hari dan atthasila dianjurkan sebagai sila khusus pada hari-hari Uposatha. 5 Dasar ajaran puasa di dalam agama Buddha terdapat di dalam ajaran sila, dari atthasila, dasasila, dan patimokkha. 6 Sehingga di dalam pelaksanaannya terdapat tingkat yang mendasar, yaitu bagi umat awam puasa dilaksanakan pada setiap hari Uposatha yang jatuh pada tanggal 1, 8, 15 dan 23 menurut penanggalan lunar, sedangkan bagi umat viharawan puasa dilaksanakan pada setiap hari. 7 Pelaksanaan puasa ini telah diajarkan oleh Sang Buddha, dimana Sang Buddha telah menganjurkan kepada para bhikkhu untuk tidak makan setelah tengah hari. Demikian pula orang-orang yang melaksanakan atthasila (delapan peraturan latihan hidup suci) untuk berpantang dari mengambil makanan setelah tengah hari. 8 4 Pandit J. Kaharuddin, Hidup dan Kehidupan (Jakarta: Tri Sattva Buddhist Centre, 1991), h. 170 5 Matara Sri Nanarama Mahathera, Tujuh Tingkat Kesucian dan Pengertian Langsung (Penerbit Karaniya: Yayasan Karaniya, tt), h. 1-2 6 Lihat Anjali G.S, Tuntunan Uposatha dan Atthasila (Jakarta: Lembaran Khusus Agama Buddha, tt), h. 25-25 ; Bhikkhu Khamio, Samanera Sikkha-Latihan Samanera (Jakarta: Dhammadipa Arama, 1997), h. 31-32 ; dan Bhikkhu Subalaratano, Pengantar Vinaya (Jakarta: Sekolah Tinggi Agama Buddha Nalanda, 1988), h. 37-64. 7 Bhikkhu Subalaratano, Tanya Jawab Agama Buddha (tp, tt), h. 36. 8 K. Sri Dhammananda, What Buddhis Believe, h. 214

Pada hari puasa umat Buddha hanya dibolehkan makan dari pagi sampai tengah hari, yaitu sebelum matahari melewati jam 12.00 siang. 9 Mereka berjanji pada dirinya sendiri untuk berpantang memakan makanan setelah lewat tengah hari dan melaksanakan delapan peraturan latihan lainnya serta melakukan perenungan dan mendengarkan Dhamma. Adapun waktu untuk menjalankan Uposathasila (peraturan yang dilaksanakan pada hari Uposatha) itu dimulai sejak terbitnya matahari hingga keesokan harinya, jadi dengan demikian pelaksanaan puasa di dalam agama Buddha itu selama 24 jam atau sehari semalam. 10 Bagi para bhikkhu pada hari Uposatha (jika jumlah mereka lima atau lebih di dalam satu vihara), mereka akan berkumpul untuk mendengarkan 227 Patimokkhasila yang dibacakan oleh salah seorang bhikkhu. Pembacaan patimokkha ini berkisar antara satu jam, dan umat awam diperbolehkan ikut mendengarkan. Lepas dari kegiatan tersebut, para bhikkhu akan menjalankan latihan yang lebih ketat dari biasanya. 11 Dan pada masa Vassa, para bhikkhu harus berdiam disuatu tempat dan tidak pergi ketempat lainnya sampai larut malam selama tiga bulan sampai tiba hari pavarana (upacara pengakhiran masa Vassa). 12 Dari uraian tersebut diatas, maka apakah puasa di dalam agama Buddha itu hanya sebagai formalitas keagamaan ataukah dapat dikatakan sebagai disiplin keagamaan yang merupakan fenomena universal yang ada pada berbagai agama. 9 Anomius, Dhamma Rakkha-Kumpulan Parrita Penting Untuk Upacara (Jakarta: Balai Kitab Tri Dharma Indonesia, 1980), h. 47. 10 Bhikkhu Vijano (Ven), Dhamma-Sekolah Minggu Buddhis (Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama, 1996), h. 37. 11 Bhikkhu Khantipalo, Saya Seorang Buddhis-Bagaimana Menjadi Buddhis Sejati (Penerbit Karaniya: Yayasan Buddhis Karaniya, 1991), h. 61. 12 Nalanda, 1998), h. 30 Bhikkhu Subalaratano, Pengantar Vinaya (Jakarta: Sekolah Tinggi Agama Buddha

Hal itulah yang menarik penulis untuk mengambil judul Pelaksanaan dan Makna Puasa (Uposatha) dalam Agama Buddha (studi kasus di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya Sunter Jakarta Utara). B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan diatas, maka dalam skripsi ini penulis akan membahas mengenai Pelaksanaan dan Makna Puasa (Uposatha) dalam Agama Buddha di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya, dengan perumusan masalah sebagai berikut : 1. Apakah makna puasa menurut agama Buddha di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya? 2. Bagaimanakah pelaksanaan puasa menurut agama Buddha di Vihara Jakarta Dhammcakka Jaya? C. Tujuan Penulisan Penulisan ini memiliki beberapa tujuan diantaranya : 1. Untuk memperluas pengetahuan dan pemahaman terhadap Buddha Dhamma (ajaran Sang Buddha) khususnya puasa menurut agama Buddha. 2. Menambah khazanah kepustakaan pada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Penulisan skripsi ini ditujukan untuk memenuhi tugas akademik yang merupakan syarat dan kewajiban bagi setiap mahasiswa dalam rangka menyelesaikan studi tingkat sarjana program strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ushuluddin dan

Filsafat, Jurusan Perbandingan Agama dengan gelar Sarjana Teologi Islam (S.Th.I). D. Tekhnik Penulisan Dalam tekhnik penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada ketentuanketentuan dan petunjuk-petunjuk yang telah di tentukan oleh UIN syarif Hidayatullah Jakarta, yaitu Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah (Jakarta; CeQDA UIN, 2007). Adapun metode yang penulis gunakan dalam penyusunan skripsi ini di tempuh dengan dua cara, yaitu: Library Research (penelitian kepustakaan) dengan metode ini penulis mengadakan studi kepustakaan mengenai penelitian terhadap buku-buku yang ada kaitannya dengan pembahasan skripsi ini. Sedangkan cara yang kedua dengan cara Field Research 13 (penelitian lapangan) dimana cara ini dilakukan untuk memperkuat data-data yang telah diproses dan penulis juga menggunakan teknik observasi sebagai alat pengumpulan data. Observasi yang penulis lakukan adalah dengan mendatangi dan mengamati jama ah dan viharawan di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya dan melakukan wawancara langsung secara mendalam (indepth interview) dengan informan tersebut diatas tentang data-data yang diperlukan dan sesuai dengan judul skripsi. Dalam wawancara, penulis telah mempersiapkan beberapa pertanyaan yang ada kaitannya dengan skripsi. Disamping itu, ada pertanyaan-pertanyaan yang tidak tertulis. 13 Penelitian lapangan ini untuk mengetahui lebih jauh dalam praktek ajaran oleh penganutnya terutama para bhikkhu dan samanera samaneri (calon bhikkhu) dalam agama Buddha

E. Sistematika Penulisan Dalam penulisan skripsi ini penulis membagi pembahasan menjadi lima bab, dimana masing-masing mempunyai spesifikasi pembahasan mengenai topiktopik tertentu, yaitu sebagai berikut : Bab pertama berisi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan, tekhnik penulisan, dan sistematika penulisan. Bab ini juga merupakan bab pendahuluan. Bab kedua landasan teori, yang memuat tinjauan tentang puasa di dalam agama Buddha, pembahasannya meliputi lima sub bab, yaitu: pengertian puasa menurut agama Buddha, sistem penanggalan dan sejarah hari Uposatha, masa Vassa, dan tujuan puasa di dalam agama Buddha. Bab ketiga menjelaskan tentang pelaksanaan dan makna puasa dalam agama Buddha yang meliputi gambaran umum Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya, puasa bagi umat awam dan puasa bagi umat viharawan dan juga makna puasa bagi umat Buddha serta analisis. Bab keempat merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dan saransaran yang berkaitan dengan judul. Terakhir sekali penulis mencantumkan daftar pustaka yang digunakan sebagai bahan rujukan dari penulisan skripsi ini.

BAB II PUASA DALAM AGAMA BUDDHA A. Pengertian Puasa Menurut Agama Buddha Puasa di dalam agama Buddha adalah suatu usaha untuk menghindarkan diri dari mengambil makanan atau minuman pada waktu yang salah, yang disebut dengan istilah Upovasa. Akan tetapi di dalam pengertian sehari-hari, mereka lebih suka menyebutnya dengan istilah Uposatha. 14 Istilah ini berasal dari bahasa Pali, yaitu bahasa yang dipakai pada jaman Sang Buddha Gotama. Istilah Uposatha mengandung dua arti, yaitu: 1. Uposatha berarti nama atau sebutan hari untuk menjalankan peraturanperaturan khusus, sehingga disebut sebagai hari Uposatha. 2. Uposatha berarti nama atau sebutan terhadap peraturan-peraturan yang dijalankan, sehingga disebut sebagai Uposathasila. 15 Dalam Buddhist Dictionary, Uposatha ini diartikan sebagai berpuasa, hari puasa, yaitu hari Purnama sidhi, hari bulan baru dan hari seperempat bulan yang pertama dan yang terakhir. 16 Kata Uposatha, juga mengandung makna masuk dan berdiam diri, dalam pengertian berdiam di dalam vihara atau komplek vihara. 17 Maksud berdiam di sini bukan berarti diam dan tidak melakukan sesuatu tetapi tinggal atau berada di vihara atau komplek vihara (uposathavasamvasati), belajar dhamma 14 Wawancara pribadi dengan Bhante Jayaratano, Jakarta, 8 Mei 2007 15 Anjali G. S., Tuntunan Uposatha dan Atthasila (Jakarta: Lembaran Khusus Agama Buddha Informasi, tt), h. 21 16 Nyanataloka, Buddhist Dictionary (Frewin: Co. Tto, 1972), h. 187 17 Bhikkhu Khantipalo, Saya Seorang Buddhis-Bagaimana Menjadi Buddhis Sejati (Penerbit: Yayasan Karaniya, 1991), h. 59

melalui buku, diskusi, mendengarkan khotbah, menjalankan delapan sila dan berlatih meditasi. 18 Jadi istilah Uposatha ini merupakan suatu istilah yang dipakai untuk melaksanakan suatu upacara keagamaan yang ketat, yang berhubungan dengan menahan diri (puasa). 19 Menahan diri di sini maksudnya untuk mengendalikan diri dari hawa nafsu jahat, seperti rasa dengki, iri hati, marah, serakah dan sebagainya. Selain untuk menghindari makan dan minum, puasa atau Upovasa (bahasa Pali) di dalam agama Buddha juga mempunyai pengertian: 1. Mengendalikan diri untuk tidak berbuat sesuatu yang merugikan dirinya sendiri maupun orang lain. 2. Meningkatkan kualitas diri, artinya segala kebajikan atau perbuatan baik yang pernah dilakukan, perlu selalu di ulang-ulang, dan kebajikan atau perbuatan baik yang belum dilakukan perlu dilakukan (kusalassa upasampada/selalu mengembangkan kebajikan). 20 Singkatnya apa yang disebut puasa atau upovasa itu bukan saja mengendalikan diri dari makan dan minum, tetapi meliputi seluruh gerak-gerik pikiran, ucapan, dan jasmani. 21 Karena puasa di dalam agama Buddha ini merupakan pelaksanaan sila, yang merupakan suatu ajaran kesusilaan yang didasarkan atas konsepsi cinta kasih dan belas kasihan kepada semua makhluk. Sehingga yang termasuk di dalam kelompok sila di sini adalah: Pembicaraan benar (samma vaca) 18 Wawancara pribadi dengan Bhante Jayaratano, Jakarta, 8 Mei 2007 19 Bhikkhu Subalaratano (ed), Pengantar Vinaya (Jakarta: Sekolah Tinggi Agama Buddha Nalanda, 1988), h. 28 20 Supomo, Dasar-Dasar Uposatha, (Yogyakarta: Vihara Vidyaloka Vidyasena, 1993), h. 1-2 21 Supomo, Dasar-Dasar Uposatha, h. 2

Perbuatan benar (samma kammanta) Mata pencaharian benar (samma ajiva) Puasa di dalam agama Buddha merupakan salah satu cara praktek pengendalian diri dari segala bentuk pikiran yang tidak baik dan merupakan usaha untuk membebaskan diri dari segala kejahatan, yaitu: ketamakan, kebencian dan kebodohan batin. 22 Sang Buddha melarang para bhikkhu mengambil makanan padat (yang mengenyangkan) setelah lewat tengah hari. Begitu juga umat awam yang menjalankan delapan peraturan (atthasila) pada hari Uposatha, untuk berpantang mengambil makanan padat setelah tengah hari. 23 Berkaitan dengan masalah puasa di dalam agama Buddha, bahwa kegunaan dari memakan makanan adalah tidak untuk kesenangan, pemabukan, menggemukkan badan atau untuk memperindah diri, tetapi hanyalah untuk kelangsungan hidup dan mempertahankan tubuh, menghentikan rasa tidak enak, dan untuk membantu kehidupan suci. Sehingga akan mendapatkan kebebasan tubuh dari gangguan-gangguan serta akan dapat hidup dengan tentram. 24 B. Sistem Penanggalan dan Sejarah Hari Uposatha Di dalam kehidupan keagamaan umat Buddha, dalam satu bulan terdapat hari-hari khusus untuk melaksanakan peraturan pelatihan tertentu (sikkhapada). 22 Pandit J. Kaharuddin, Hidup dan Kehidupan (Jakarta: Tri Sattva Buddhis Center, 1991), h. 44 23 K. Sri Dhammananda, What Buddhist Believe (Taiwan: The Corporate Body of The Buddha Educational Foundational, 1993), h. 214 24 Bhikkhu Khemio, Samanera Sikkha-Latihan Samanera (Jakarta: Sangha Theravada Indonesia, 1980), h. 58-59

Hari khusus itu dipandang sebagai hari yang suci (sakral) dan disebut Uposathadivasa. Istilah Uposatha arti harfiahnya adalah masuk untuk berdiam diri (dalam keluhuran). Istilah ini digunakan untuk sebutan hari dimana upasaka-upasika (umat Buddha laki-laki dan perempuan) menjalankan peraturan pelatihan khusus yang terdiri dari delapan unsur peraturan pelatihan. Hari itu disebut hari Uposatha. 25 Hari Uposatha adalah hari-hari tanggal 1, 8, 15 dan 23 menurut penanggalan lunar. Biasanya kalender yang dibuat oleh umat Buddha, tanggal jatuhnya hari Uposatha diberi tanda khusus dengan warna tertentu sehingga mempermudah bagi mereka yang akan melaksanakan Atthangika Uposatha (delapan peraturan pelatihan pada hari Uposatha). 26 Selain itu, dengan pemberian tanda dalam kalender tersebut, diharapkan agar para umat Buddha dapat melaksanakan delapan peraturan tersebut. 27 Kebiasaan menjalankan Uposatha ini telah ada sebelum jamannya Sang Buddha. Sang Buddha menyetujui kebiasaan tersebut dan memperkenankannya untuk dipergunakan sebagai hari untuk bertemu bersama, membicarakan dan mendengarkan dhamma serta merupakan kesempatan untuk melaksanakan Uposatha bagi umat awam (atthanga Uposathasila). Sehubungan dengan pertemuan para bhikkhu, Sang Buddha mengijinkan mereka melakukan Uposathasila pada tanggal 1 dan 15 pada penanggalan bulan. 28 Pada hari Uposatha ini umat Buddha melakukan puja bhakti, yaitu berupa: 25 Pandita Dhammavisarada, Sila dan Vinaya (Jakarta: Penerbit Buddhis Bodhi, 1997), h. 40 26 Pandita Dhammavisarada, Sila dan Vinaya, h. 40 27 Anjali G. S., Tuntunan Uposatha dan Atthasila, h. 22 28 Bhikkhu Subalaratano, Pengantar Vinaya, h. 30

Melakukan persembahan bunga/ dupa/ lilin di depan altar. Melakukan puja kepada Sang Tiratana dan membaca parrita-parrita suci. Memohon kepada bhikkhu untuk membimbing melaksanakan Pancasila (lima sila) atau atthasila (delapan sila). Mendengarkan Khotbah Dhamma dari para bhikkhu atau pandita. Ada pula umat yang melakukan makan sayuranis ( sayur mayur ) dan tidak makan daging. Dan memperbanyak meditasi. 29 Puasa di dalam agama Buddha mempunyai sejarah yang panjang, bahkan sebelum jaman Sang Buddha, yaitu dimulai dari tradisi para Brahmana yang menyucikan diri dengan menjalani ritus veda, menyepi meninggalkan rumah keluar selama beberapa waktu hingga selesai, saat yang dipilih untuk ritus itu biasanya berpedoman pada peredaran bulan, yaitu saat-saat bulan penuh dan bulan gelap atau kadang-kadang di saat-saat bulan separuh wajah. 30 Pada masa itu, banyak kelompok petapa (samana) yang menggunakan hari-hari saat bulan penuh, bulan gelap, maupun bulan separuh wajah untuk memperdalam teori dan latihan-latihan mereka. Sang Buddha sendiri menganjurkan kepada siswa-siswanya untuk berkumpul di vihara pada hari-hari tersebut, mendengarkan pembacaan Patimokkha (aturan pokok bagi para bhikkhu) dan mengajarkan dhamma kepada umat yang datang ke vihara mereka. 31 29 Herman S. Endro, Hari Raya Umat Buddha dan Kalender Buddhis 1996-2026 (Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama, 1997), h. 1 30 Bhikkhu Khantipalo, Saya Seorang Buddhis, h. 59 31 Bhikkhu Khantipalo, Saya Seorang Buddhis, h. 60

Demikian pula upacara-upacara yang dilaksanakan pada hari-hari Uposatha sudah dilaksanakan oleh orang-orang India pada jaman Sang Buddha. Atas saran Raja Bimbisara dari Magadha kepada Sang Buddha, maka hari-hari Uposatha ini kemudian juga dilaksanakan oleh para bhikkhu dan umat awam (upasaka-upasika) sampai sekarang ini. 32 Secara lengkap Sang Buddha bersabda: Demikianlah kejadiannya, Pada suatu waktu Sang Bhagava sedang berdiam di Rajagaha, di puncak karang Burung Nazar. Pada waktu itu kelana-kelana dari sekte lain mempunyai kebiasaan untuk berkumpul pada waktu pertengahan bulan pada tanggal 14 dan 15 dan perempatan bulan pada tanggal 8 dan berkhotbah tentang Dhamma. Orang-orang berdatangan untuk mendengarkannya. Mereka semakin menyukai dan semakin mempercayai kelana dari sekte lain. Maka kelana-kelana itu memperoleh bantuan. Maka ketika Raja Magadha Seniya Bimbisara sedang bermeditasi, ia merenungkan hal-hal ini: mengapa para Yang Mulia untuk tidak berbuat serupa pada hari-hari itu?. Kemudian ia menemui Sang Bhagava menyampaikan apa yang dipikirkannya dan menambahkan: Guru, alangkah baiknya jika pada hari-hari itu pula para Yang Mulia untuk berkumpul. Sang Bhagava memberi petunjuk tentang Dhamma kepada Raja itu, setelah mana ia meninggalkan tempat itu. Kemudian Sang Bhagava membuat hal itu suatu alasan untuk memberikan wejangan tentang Dhamma kepada bhikkhu. Beliau berkata: O, para bhikkhu, aku mengijinkan pertemuan pada pertengahan bulan, yaitu hari ke 14 dan ke 15, dan pada perempatan bulan, yaitu pada hari ke 8. 32 Herman S. Endro, Hari Raya Umat Buddha dan Kalender Buddhis 1996-2026, h. 5

Kemudian para bhikkhu mulai saat itu berkumpul bersama sebagaimana yang diijinkan Sang Bhagava, tetapi mereka duduk dengan diam. Orang-orang datang untuk mendengarkan Dhamma. Mereka menjadi kecewa sehingga mereka berkata: Bagaimana para bhikkhu ini, putera-puteri Sakya berkumpul pada harihari ini hanya untuk membisu seperti tonggak?. Tidakkah Dhamma seharusnya dikhotbahkan pada waktu-waktu mereka berkumpul?. Para bhikkhu mendengar hal ini, kemudian mereka menyampaikan kepada Sang Bhagava. Beliau menjadikan hal ini sebagai alasan untuk memberikan wejangan tentang Dhamma dan beliau berpesan demikian: O, para bhikkhu, bila ada pertemuan pada pertengahan bulan dan perempatan bulan, aku mengijinkan untuk memberikan Dhamma. 33 Pada saat-saat awal perkembangan agama Buddha, Sang Buddha sendiri yang memberikan ajaran pada pertemuan Sangha dan meningkatkan kebajikan yang merupakan inti dari ajaran (sasana) dan menjelaskannya, kemudian Sang Buddha memberikan ijin kepada Sangha untuk melaksanakan Uposatha sendiri. Di dalam setiap pertemuan suatu kelompok bhikkhu, seorang bhikkhu akan membacakan peraturan latihan yang disebut Patimokkha. Ini dilakukan apabila terdapat empat orang bhikkhu atau lebih. Apabila hanya terdapat tiga atau dua orang bhikkhu, mereka disebut gana (group). Mereka dibolehkan memberitahukan satu sama lain tentang kemurnian mereka masing-masing, bila hanya terdapat seorang bhikkhu, ia disebut puggala (seorang) dan ia harus membuat adhitthana atau tekad oleh dirinya sendiri. 34 C. Masa Vassa 33 Herman S. Endro, Hari Raya Umat Buddha dan Kalender Buddhis 1996-2026, h. 6-7 34 Bhikkhu Subalaratano, Pengantar Vinaya, h. 28

Selain hari Uposatha, musim hujan juga mempunyai peran penting bagi umat Buddha, karena masa-masa musim hujan ini akan memberikan peluang yang sangat besar bagi para bhikkhu untuk hidup lebih dekat dengan gurunya, bhikkhu senior yang telah lanjut latihan meditasinya, berpengalaman dalam vinaya atau yang telah banyak mendalami dan mengetahui sutta-sutta. Dalam kamus Buddha dharma, Vassa ini diartikan sebagai musim hujan. Masa Vassa adalah masa dimana menurut tradisi, pada musim penghujan para bhikkhu harus berdiam di suatu tempat dan mentaati peraturan-peraturan Vassa. Masa Vassa ini berlangsung selama tiga bulan (90 hari) dan dimulai sehari sesudah Purnama sidhi bulan ke delapan (asalhamasa) dan berakhir pada Purnama sidhi bulan kesebelas (assajuyamasa) menurut penanggalan lunar. Demikian juga bagi umat awam, masa-masa ini dapat dipergunakan untuk: Melatih diri menjadi samanera sementara ( calon bhikkhu/bhikkhuni) Menjalankan latihan puasa bagi para bhikkhu dengan cara makan hanya satu kali untuk sehari atau praktek makan langsung dari satu wadah (pata), tanpa perlu menggunakan banyak piring atau mangkok. Latihan ini sangat baik untuk membatasi keserakahan terhadap makanan, kelezatan dan bentuknya yang menggiurkan. Atau juga untuk melatih berdana sebanyak mungkin, sekuat-kuatnya sesuai dengan kemampuannya. 35 Hal-hal yang berkenaan dengan masa Vassa ini terdapat di dalam Kitab Suci Tipitaka bagian Vinaya Pitaka, Mahavagga Vassupaniya-kakkhandhaka. Sang Buddha bersabda: 35 Bhikkhu Khantipalo, Saya Seorang Buddhis, h. 78-82

Anujanami Bhikkhave Vassane Vassam Upagantum Dve Ma Bhikkhave Vassupana-yikaya Purimika Pacchimika Aparajju-gataya Asalhiya Purimika Upagantabha. Yang artinya bahwa masa Vassa haruslah dilaksanakan oleh para bhikkhu. Selama masa itu terdapat hari pertama untuk memulai dan terdapat hari penutup untuk mengakhirinya. 36 Ketika jumlah bhikkhu berkembang pesat, Sang Buddha menetapkan peraturan bahwa bhikkhu harus berdiam di suatu tempat selama musim hujan (Vassa) dan tidak pergi ke tempat lain selama tiga bulan. 37 Masa Vassa ini dimulai pada hari pertama sesudah Purnama sidhi bulan Asadha atau pada hari pertama bulan Savana (bulan 9 lunar Buddhis) dan diakhiri sesudah tiga bulan dilampaui, yaitu pada Purnama sidhi bulan Assayuja (bulan September/Oktober). Para bhikkhu dapat memulai masa Vassa pada hari pertama sesudah hari raya Asadha (hari raya untuk memperingati kejadian yang menyangkut kehidupan Sang Buddha dan ajarannya, yaitu saat Sang Buddha untuk pertama kalinya membabarkan ajarannya kepada lima orang pertapa) atau satu bulan kemudian. Hal ini dikenal sebagai Vassa pertama, dan Vassa kedua. 38 Saat Vassa merupakan saat untuk para bhikkhu melaksanakan Samanadhamma (Dhamma untuk seseorang yang membuat dirinya damai) yaitu pelaksanaan meditasi ketenangan dan pandangan terang. 39 Hari dimulainya massa Vassa apabila bulan memasuki konstelasi Asadha, namun pada tahun kabisat haruslah dimulai 30 hari kemudian. Malam menjelang 36 Kitab Suci Tipitaka Bagian Vinaya Pitaka, Mahavagga Vassupaniya-kakkhandhaka (Klaten: Vihara Bodhivamsa, tt), h. 158 37 Bhikkhu Subalaratano, Pengantar Vinaya, h. 29 38 Herman S. Endro, Hari Raya Umat Buddha dan Kalender Buddhis 1996-2026, h. 80 39 Bhikkhu Subalaratano, Pengantar Vinaya, h. 32

penutupan masa Vassa, yaitu saat Purnama sidhi bulan Assayuja, diselenggarakanlah Pavarana, yaitu upacara pengakhiran masa Vassa dan dilanjutkan dengan persembahan dana yang secara umum dikenal dengan hari Kathina. Upacara Kathina akan berlangsung mulai bulan pertama pada saat bulan menyusut (tanggal 16) bulan Assayuja sampai Purnama sidhi bulan ke 12 (kattikamasa). Namun perayaan ini pada hakekatnya akan berlangsung selama satu bulan untuk memberi kesempatan kepada umat agar bisa mempersembahkan dana kepada Sangha. 40 Terjadinya Vassa Lebih dari dua ribu lima ratus tahun yang lalu Sang Buddha beserta siswasiswanya membabarkan Dhamma. Perjalanan yang jauh dan musim yang berganti tidaklah menjadi halangan bagi Sang Buddha dan para siswanya. Hal ini terlihat dari adanya kelompok bhikkhu yang mengadakan perjalanan pada musim dingin, musim panas maupun musim hujan (di India dikenal tiga musim). Pada saat itu masa Vassa belum ditetapkan oleh Sang Buddha, sehingga para bhikkhu mengadakan perjalanan selama musim panas, musim dingin dan musim hujan. Tetapi ketika jumlah bhikkhu semakin meningkat dan para bhikkhu harus keluar masuk hutan, sawah maupun ladang, mengakibatkan tumbuhtumbuhan yang ditanam oleh para petani pada musim hujan rusak terinjak-injak oleh para bhikkhu tersebut. 40 Herman S. Endro, Hari Raya Umat Buddha dan Kalender Buddhis 1996-2026, h. 22

Melihat kenyataan ini, masyarakat mengkritik para bhikkhu dengan mengatakan mengapa para bhikkhu Sakyaputta (murid-murid Sang Buddha) mengadakan perjalanan pada musim dingin, panas, dan hujan, sehingga mereka menginjak tunas-tunas muda rumput dan mengakibatkan binatang-binatang kecil mati? tetapi petapa lain meskipun kurang baik dalam melaksanakan peraturan (vinaya), menetap selama musim hujan. Mendengar keluhan masyarakat tersebut, beberapa bhikkhu menghadap Sang Buddha dan melaporkan kejadian tersebut. Sang Buddha kemudian memberikan keterangan yang masuk akal dan bersabda: Para bhikkhu, saya ijinkan kalian melaksanakan masa Vassa. Kemudian terpikir oleh para bhikkhu, kapan masa Vassa dimulai?, mereka menanyakan hal ini kepada Sang Buddha dan kemudian beliau mengatakan saya ijinkan kalian melaksanakan masa Vassa pada musim hujan. Kemudian terpikir lagi oleh para bhikkhu, berapa banyak periode untuk memulai masa Vassa?. Mereka menyampaikan hal ini kepada Sang Buddha dan beliau berkata: O para bhikkhu, terdapat dua masa untuk memasuki masa Vassa. Periode pertama Vassa (purimikavasupanayika) dan periode terakhir (pacchimikavasupanayika). Periode pertama Vassa adalah sehari setelah Purnama di bulan Asalha (kini dikenal dengan hari raya Asadha). Periode berikutnya dimulai sebulan setelah Purnama di bulan Asadha. Itulah periode untuk memulai musim hujan. 41 Sejak saat itu para bhikkhu menetap selama tiga bulan musim hujan. Mereka lebih banyak melatih dan mengembangkan batin, belajar dari para bhikkhu yang lebih senior. 42 41 Kitab Suci Tipitaka Bagian Vinaya Pitaka, Mahavagga Vassupaniya-kakkhandhaka (Klaten: Vihara Bodhivamsa,1982), h. 186 42 Herman S. Endro, Hari Raya Umat Buddha dan Kalender Buddhis 1996-2026, h. 23-24

D. Tujuan Puasa di Dalam Agama Buddha Puasa di dalam agama Buddha adalah melaksanakan sila, yang merupakan dasar utama dalam melaksanakan ajaran agama, yaitu mencakup semua perilaku dan sifat-sifat baik yang termasuk di dalam ajaran moral dan etika dalam agama Buddha. 43 Sila adalah cara untuk mengendalikan diri dari segala bentuk-bentuk pikiran yang tidak baik dan merupakan usaha untuk membebaskan diri dari segala akar kejahatan, yaitu: lobha, dosa dan moha. 44 Lobha artinya ketamakan atau keserakahan. Dapat pula diartikan sebagai keterikatan pikiran terhadap obyek. Dosa artinya kebencian atau rasa dendam. Dapat pula diartikan sebagai keinginan jahat. Moha artinya kebodohan batin atau rasa tidak mengerti kebenaran mulia. Dapat pula diartikan sebagai avijja (tidak tahu), anana (tidak berpengetahuan), adasana (tidak dapat melihat dengan sewajarnya). 45 Sebagaimana sabda Sang Buddha: Bilamana, O para bhikkhu, tindakan Uposatha sempurna di dalam delapan faktor, maka buah dan manfaatnya pun berlimpah, bersinar dan merebak. Dan bagaimana tindakan Uposatha sempurna di dalam delapan faktor yang membuatnya memiliki buah dan manfaat yang melimpah, bersinar, dan merebak? Disini, para bhikkhu, seorang siswa mulia merenungkan demikian: Selama hidup, para Arahat meninggalkan pembunuhan dan tidak melakukannya; dengan kail dan senjata yang disingkirkan, mereka penuh kesadaran, baik hati dan hidup dalam kasih sayang terhadap semua makhluk. Hari ini aku juga, selama 43 Pandita Dhammavisarada, Sila dan Vinaya, h. 3 44 Pandit J. Kaharuddin, Hidup dan Kehidupan, h. 170 45 Bhikkhu Subalaratano, Tanya Jawab Agama Buddha (tp.tt), h. 27

siang dan malam ini, akan melakukan hal yang sama. Aku akan meniru para Arahat di dalam hal itu, dan tindakan Uposatha akan terpenuhi olehku. Inilah faktor pertama yang dimiliknya. Selanjutnya, dia merenungkan: Selama hidup, para Arahat meninggalkan perbuatan mengambil apa yang tidak diberikan dan tidak melakukannya; mereka menerima hanya apa yang diberikan, mengharapkan apa yang diberikan, dan berdiam dengan hati yang jujur, bebas dari keinginan mencuri. Hari ini aku juga, selama siang dan malam ini akan melakukan hal yang sama Inilah faktor kedua yang dimilikinya. Selama hidup, para Arahat meninggalkan kehidupan seksual dan hidup selibat, jauh dari seksualitas, menahan diri dari praktek hubungan seksual yang kasar. Hari ini aku juga, selama siang dan malam ini, akan melakukan hal yang sama Inilah faktor ketiga yang dimilikinya. Selama hidup, para Arahat meninggalkan perbuatan berbicara yang tidak benar dan tidak melakukannya, mereka adalah pembicara kebenaran, pengikut kebenaran, dapat dipercaya dan dapat diandalkan, bukan penipu dunia. Hari ini aku juga, selama siang dan malam ini, akan melakukan hal yang sama Inilah faktor keempat yang dimilikinya. Selama hidup, para Arahat meninggalkan anggur, minuman keras dan apapun yang bersifat meracuni yang menjadi landasan bagi kelalaian dan tidak melakukannya. Hari ini aku juga, selama siang dan malam ini, akan melakukan hal yang sama Inilah faktor kelima yang dimilikinya. Selama hidup, para Arahat makan hanya sekali sehari dan menahan diri untuk tidak makan pada malam hari atau pada saat yang tidak tepat. Hari ini aku

juga, selama siang dan malam ini, akan melakukan hal yang sama Inilah faktor keenam yang dimilikinya. Selama hidup, para Arahat tidak menari, menyanyi, melihat pertunjukkan musik instrument dan pertunjukkan yang tidak pantas, dan mereka tidak menghias diri dengan mengenakan kalung bunga dan menggunakan wangi-wangian dan minyak-minyakan. Hari ini aku juga, selama siang dan malam ini, akan melakukan hal yang sama Inilah faktor ketujuh yang dimilikinya. Selama hidup, para Arahat meninggalkan penggunaan tempat tidur dan alas duduk yang mewah dan tidak melakukannya; mereka menggunakan tempat beristirahat yang rendah-bisa tempat tidur yang kecil atau alas jerami. Hari ini aku juga, selama siang dan malam ini, akan melakukan hal yang sama Inilah faktor kedelapan yang dimilikinya. 46 Sila ini merupakan gerak-gerik kehendak (cetana) yang bersikap menghindarkan diri untuk tidak bertindak jahat dan bersikap mengendalikan diri untuk tidak melanggar peraturan-peraturan dan norma-norma kebaikan yang berkenaan dengan pembersihan batin, maupun peraturan-peraturan yang ditentukan oleh masyarakat yang merupakan kebiasaan atau tradisi yang baik. 47 Sila ini merupakan dasar yang mutlak untuk memperoleh hasil yang luhur, karena perkembangan batin tidak mungkin tercapai tanpa memiliki dasar sila ini. Sebagian umat Buddha yang meyakini adanya tumimbal lahir (hukum punarbhava), sebetulnya manusia sudah mengalami kelahiran berjuta-juta kali bahkan tidak terhitung, begitu juga halnya dengan kelaparan, tentu sudah berjutajuta kali bahkan tidak terhitung orang merasakan lapar. Dengan mengendalikan keinginan makan yang muncul setelah waktu berjuta-juta tahun yang lampau, 46 Kitab Suci Tipitaka Bagian Anguttara Nikaya 3 (Klaten: Vihara Bodhivamsa, 2003), h. 526 47 Pandit J. Kaharuddin, Hidup dan Kehidupan, h. 170

secara tidak langsung sebetulnya hal tersebut juga merupakan latihan untuk mengendalikan emosi. Mengapa demikian? kalau seseorang mampu mengendalikan keinginan makan yang telah muncul berjuta-juta tahun yang lampau, mengapa tidak bisa menahan diri untuk tidak marah, misalnya. Dengan cara ini seseorang bisa menghadapi segala sesuatu dengan tenang dan tidak emosi. Walaupun cara menahan diri ini merupakan cara yang sederhana, tetapi cara ini ada kaitannya dengan praktek kesabaran. 48 Begitu juga sampai pada tingkat tertentu, kemajuan di dalam Dhamma akan menurun di bawah pengaruh nafsu-nafsu keinginan jasmani yang timbul dari pikiran yang kotor. Kekotoran akan nafsu-nafsu itu akan dapat dikendalikan dengan baik justru ketika kekotoran dan nafsu-nafsu itu tampak dan muncul dengan begitu kuatnya. Hampir tidak mungkin mengendalikan kekotoran batin yang tidak tampak di permukaan meski mereka mungkin saja beroperasi di bawah sadar. Perilaku seorang bhikkhu yang baik menunjukkan cara yang benar untuk menghadapi kekotoran-kekotoran itu. Begitu pula halnya dengan hari-hari Uposatha, saat kekotoran-kekotoran itu menampakkan dirinya, mudahlah bagi kita mengendalikan dan memangkasnya dengan bantuan disiplin serta melaksanakan Atthasila (delapan sila). 49 Dengan demikian, latihan-latihan itu benar-benar tindakan untuk menguji sejauh mana seseorang bisa mengendalikan dirinya. Atau jelasnya, sejauh mana bentuk-bentuk mental yang baik, yang terbentuk oleh praktek Dhamma selama ini, mampu mengalahkan karakter- 48 Bhikkhu Uttamo, Hidup Sesuai dengan Dhamma (Jakarta: Vihara Samaggi Jaya, 1994), h. 48 49 Bhikkhu Khantipalo, Saya Seorang Buddhis, h. 66-67

karakter buruk yang dibentuk oleh batin yang serakah, benci yang diselumuti kebodohan. 50 Sang Buddha sangat memuji keagungan pelaksanaan Atthasila, yang dimenangkan oleh pria dan wanita atas kekuasaan duniawi, yang meraih kekuasaan dan kebahagiaan pada kehidupan selanjutnya dan diyakinkan akan memberikan buah kelahiran kembali di surga para dewata. Sang Buddha menjelaskan kepada Visakha berbagai bentuk perenungan batin (mental reflection), guna memperkuat diri bagi seseorang yang akan menjalankan Uposatha Arya, yang membimbing pada ketenangan dan kesucian batin. Sebagaimana terdapat di dalam kitab suci, Sang Buddha bersabda: Dan apakah Uposatha Arya itu, Vesakha? Hal itu adalah pembersihan pikiran yang keruh dan kotor melalui proses yang benar. Dan bagaimanakah hal itu dilaksanakan, Visakha?. Dengan cara ini pengikut Sang Arya merenungkan Sang Tathagata sebagai berikut: Demikianlah Sang Bhagava, yang maha suci yang telah mencapai Penerangan Sempurna, sempurna pengetahuan serta tindak-tanduknya, sempurna menempuh Sang Jalan (ke Nibbana), pengenal segenap alam, pembimbing manusia yang tiada Taranya, Guru para deva dan manusia, Yang sadar, Yang patut dimuliakan. Bila ia melakukan perenungan terhadap Tathagata batinnya menjadi tenang, timbul kegembiraan dan kekotoran batin menjadi lenyap. Demikian pula ia melakukan perenungan terhadap Dhamma dan Sangha. Kebajikan seseorang dan kebajikan para dewa. 51 Dalam uraian Atanatiya Sutta. Pada hari kedelapan lunar, dewa penjaga mengirim utusannya ke alam dunia untuk meyakinkan apakah manusia memegang 50 Bhikkhu Khantipalo, Saya Seorang Buddhis, h. 68 51 Kitab Suci Tipitaka Bagian Anguttara Nikaya 3, h. 530

teguh kebenaran dan kebajikan. Mereka kirimkan anak-anaknya pada hari ke empat belas lunar untuk alasan dan tujuan yang sama. Pada hari ke lima belas para dewa penjaga sendiri turun ke bumi dan mengirimkan laporannya pada sidang para dewa di surga Tavatimsa. Mereka akan bergembira atau bersedih tergantung apa yang dia saksikan dari tingkah laku manusia dalam menegakkan dan menjalankan kebenaran dan kebajikan. Bila para dewa bergembira, maka berkah akan turun ke bumi, tetapi bila para dewa bersedih dan marah, maka akan memberi pertanda banyak kejahatan dan malapetaka akan terjadi. 52 52 Kitab Suci Tipitaka Bagian Anguttara Nikaya 3, h. 529

BAB III PELAKSANAAN DAN MAKNA PUASA (UPOSATHA) DI VIHARA JAKARTA DHAMMACAKKA JAYA A. Gambaran Umum Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya Yayasan Jakarta Dhammacakka Jaya didirikan berdasarkan Akte Notaris, Kartini Mulyadi, S.H., tanggal 9 Maret 1981, No. 248. Yayasan ini merupakan suatu lembaga yang berdasarkan hukum dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Peletakan batu pertama pembangunan Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya oleh Ditjen Bimas Hindu dan Buddha Departemen Agama RI, yaitu Gde Padja, MA. SH pada tanggal 2 September 1982 pukul 09.00 WIB. Vihara ini terletak di blok C Sunter Agung Kelurahan Sunter Kecamatan Tanjung Priok wilayah Jakarta Utara di atas tanah seluas 8.640 m persegi. Tanah ini disumbangkan oleh Bapak Anton Haliman atas nama pengurus PT. Agung Podomoro. Pada tanggal 24 Agustus 1985, Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya diresmikan oleh Menteri Agama Republik Indonesia, Munawir Sjadzali, M.A., dan didampingi oleh Panglima tertinggi Angkatan bersenjata dan Panglima Angkatan Darat Kerajaan Thailand, Jendral Athit Kamlang Ek. 53 Sejarah Vihara ini diawali dengan nasehat Bhante Acariya Nirodha melalui Bhante Sutat Phan Pheree untuk mencari tanah calon vihara yang baik. 54 Beliau mengatakan bahwa tanah tersebut terletak di sebelah Utara Jakarta. Tempatnya agak tinggi, terdapat pohon besar dan ada sumur di bawahnya. Dengan 53 Yayasan Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya (YJDJ), Pembangunan Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya, (Jakarta: YJDJ, 1983), h. 30 54 Yayasan Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya, Peletakkan Batu Pertama Pembangunan Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya, (Jakarta: YJDJ, 1892), h. 21

pedoman tersebut, dicarilah lokasi yang dimaksud. Pada awal tahun 1981 lokasinya sudah ditemukan, tempat itu ternyata masih penuh ditumbuhi alangalang, terdapat dua pohon besar dan sumur di bawahnya. Sesuai dengan petunjuk Bhante Acariya Nirodha, bahwa sesudah lokasi ditemukan segera menghubungi pemilik tanah. Tanah tersebut ternyata milik PT. Agung Podomoro. Dalam pembicaraan pihak yang akan membangun vihara dengan Direktur PT. Agung Podomoro Anton Haliman, disarankan untuk memperoleh ijin membangun vihara dari pemerintah daerah terlebih dahulu. Sejak pembicaraan tersebut di atas maka secara resmi Sangha Theravada Indonesia mengajukan permohonan untuk mendapat ijin mendirikan vihara dari pemerintah daerah. Permohonan ijin tersebut di bantu oleh Ir. Rai Pratadaja dan Ir. Imam Soebagyo. Perlu diketahui bahwa tanah tersebut menurut rencana kota adalah untuk bangunan perumahan. Karena akan digunakan sebagai bangunan tempat ibadah (vihara), maka harus ada persetujuan perubahan rencana dari tata kota. Ijin perubahan akhirnya dikabulkan oleh pemerintah daerah dan memakan waktu lebih dari 1 tahun, luas tanah 8.640 m persegi. Direncanakan bangunan induk (Uposathagara) didirikan dengan ukuran: panjang 22 meter tinggi maksimal 9 meter. Rencana bangunan Uposatha ini telah di gambar dengan teliti oleh Ir. Rai Pratadaja dan Ir. Aswin Suganda. Sedangkan rencana keseluruhan dirancang oleh Indira Sujana dan Ir. Evy Ekasanthirni. Semua perencanaan dibuat berlandaskan nilai keagamaan dan kebudayaan nasional Indonesia. Dana pembangunan vihara dikumpulkan sejak beberapa tahun sebelumnya dari seluruh umat dan juga para donatur di Jakarta. Pengolahan pembangunan vihara ini dilakukan oleh Badan Pengurus Yayasan Jakarta Dhammacakka Jaya.

Ketua kehormatan dijabat oleh Anton Haliman, sedangkan Ketua Umum dijabat oleh Laksamana (Purnawirawan) Oyo Prayogo Kusno. Vihara atau arama pertama dalam sejarah Buddha terletak di atas tanah yang dinamakan Isipatana Migadaya (taman rusa Isipatana), dekat kota Banarasi. Tempat yang sangat indah ini mengandung makna sejarah yang sangat penting bagi umat Buddha yang tidak mungkin dapat dilupakan. 55 Pada awalnya pengertian vihara sangat sederhana yaitu pondok atau tempat tinggal atau temp;at penginapan para bhikkhu dan bhikkhuni, samanera, samaneri. Namun kini pengertian vihara mulai berkembang, yaitu: Vihara adalah tempat melakukan segala macam bentuk upacara keagamaan menurut keyakinan, kepercayaan, dan tradisi agama Buddha, serta tempat umat awam melakukan ibadah atau sembahyang menurut keyakinan, kepercayaan, dan tradisi masing-masing baik secara perorangan maupun berkelompok. Didalam vihara terdapat satu atau lebih ruangan untuk penempatan altar. 56 Dulu sebelum dikenal vihara, tempat tinggal para bhikkhu adalah goa-goa, di bawah pohon, di kuburan, di atas bukit, di tumpukan jerami, dan di tempat penduduk yang menyediakan tempat untuk menginap. Setelah banyak orang yang mendengarkan ajaran Sang Buddha dan berlindung kepada Sang Tri Ratna mereka bermaksud untuk memberikan tempat tinggal bagi para bhikkhu yang layak. Sang Buddha kemudian memperbolehkan umat berdana di vihara. Pada mulanya umat Buddha belum mempunyai vihara secara khusus. Gagasan untuk membangun sebuah vihara pertama kali dilakukan oleh Raja Bimbisara dari kerajaan Rajagaha. Suatu ketika setelah Raja Bimbisara 55 Bhikkhu Subalaratano dan Samanera Utamo, Bhakti (Puja), (Jakarta: Sangha Theravada Indonesia, tt), h. 16 56 Suwarno T, Buddha Dharma Mahayana, Majelis Agama Buddha Indonesia, 1999-2538 B.E., h. 908

mendengarkan ajaran Sang Buddha dan mencapai Sottapati (tingkat kesucian pertama) maka beliau memberikan persembahan kepada Sang Buddha dan para bhikkhu. Atas pemberian tersebut, Sang Buddha memberikan persyaratan sebagai berikut: Tempat tersebut tidak jauh, dekat dan ada jalan untuk lewat. Tidak terlalu banyak suara di siang hari maupun malam hari. Tempat tersebut tidak banyak gangguan serangga, angin, terik matahari dan pohon menjalar. Orang yang tinggal di situ mudah mendapat jubah, makanan, tempat tinggal, obat-obatan sebagai pengobatan bagi orang sakit. Di tempat tersebut ada bhikkhu yang lebih tua (senior) yang mempunyai pengetahuan tentang kitab suci (Dhamma-Vinaya). Sejak saat itu pengurusnya menerima Dana Vihara. Dengan semakin banyak penganut ajaran Sang Buddha, maka vihara bukan hanya sebagai tempat singgah para bhikkhu tetapi juga digunakan oleh para upasaka dan upasika (umat awam laki-laki dan perempuan) untuk belajar dhamma. Pada hari-hari Uposatha umat Buddha datang ke vihara untuk mendengarkan dhamma, menjalankan atthasila dan melatih meditasi. Vihara adalah sebagai tempat singgah atau tempat tinggal bagi para bhikkhu dan sebagai sarana ibadah umat Buddha. Sedangkan jika dilihat dari fungsi vihara, adalah sebagai berikut: a. Tempat tinggal para bhikkhu dan samanera. b. Tempat pendidikan putera-puteri bangsa, agar menjadi warga masyarakat yang berguna. c. Tempat yang memberikan rasa aman bagi semua umat Buddha.

d. Tempat pendidikan moral, sopan santun dan kebudayaan. e. Tempat untuk berbuat kebajikan dan kebaikan. f. Tempat menyebarkan dhamma. g. Tempat yang menunjukkan jalan kebebasan. h. Tempat latihan meditasi dalam usaha merealisasi cita-cita kehidupan suci. i. Tempat kegiatan-kegiatan sosial yang bersifat keagamaan. 57 Sebagai tempat tinggal para bhikkhu dan tempat ibadah umat Buddha maka vihara terdiri dari beberapa bangunan, dimana setiap bangunan mempunyai fungsi tersendiri. Banyaknya bangunan tergantung pada kemampuan umat Buddha yang mendirikan vihara tersebut. Biasanya pekerjaan membangun vihara ini dilakukan secara gotong-royong oleh para umat yang memiliki keyakinan kepada Sang Tiratana. 58 Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya terletak di Jalan Agung Permai XV/12 Blok C-3 Sunter Agung Podomoro ini mempunyai berbagai fasilitas untuk menunjang proses kegiatan penyebaran ajaran Buddha, diantaranya: 1. Uposathagara (gedung Uposatha) Uposathagara dibuat di tengah-tengah vihara dengan posisi menghadap ke utara. Gedung ini merupakan gedung induk yang di kelilingi oleh gedung-gedung lainnya. Uposathagara merupakan bangunan yang paling besar di antara bangunan lain di vihara. Uposathagara disebut pula sebagai Sima. Secara harfiah sima artinya batas. Gedung ini dibangun di atas tanah yang sudah diberi batas atau tanda 57 Yayasan Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya, Pembangunan Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya, h. 30 58 Bhikkhu Subalaratano dan Samanera Utamo, Bhakti (Puja), h. 16-17

(sima). Uposathagara yang ada di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya dikukuhkan pada tanggal 24 Agustus 1985. 59 Didalamnya terdapat cetiya yang digunakan untuk tempat menancapkan dupa, tempat lampu (lilin), bunga dan ornamen-ornamen lainnya. Cetiya paling atas terdapat Buddharupang diapit oleh rupang Sariputta dan Moggallana. Di belakang cetiya terdapat relief Buddha dalam ukuran kecil. Samping depan kiri dan kanan diletakkan kotak dana. 60 Bila umat ingin melakukan puja bakti secara sendiri-sendiri ataupun bersama-sama maka diawali dengan sikap namakara. 61 Di pintu masuk Uposathagara bagian luar terdapat bendera Buddhis dan bendera lambang Sangha Theravada Indonesia. Pada bagian luar juga dilengkapi genta dan tambur besar. Genta dan tambur digunakan sebagai tanda dimulainya upacara peringatan atau perayaan hari-hari besar agama Buddha. Untuk melaksanakan upacara tertentu dan juga sebagai tanda para bhikkhu akan melaksanakan fungsi Sangha. 62 Uposatha artinya berdiam dan ghara artinya ruangan. Gedung ini merupakan bangunan utama dari suatu vihara yang dipakai untuk menyelenggarakan upacara keagamaan yang khusus untuk para bhikkhu (sanghakamma). 63 Berdasarkan vinaya pitaka, sanghakama yang dilakukan dalam Uposathagara antara lain: 59 Yayasan Jakarta Dhammacakka Jaya, Pengukuhan Uposathagara Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya, h. 35 60 Wawancara pribadi dengan Bhante Jayaratano, Jakarta 8 Mei 2007 61 Namakara adalah menghormati dengan sikap sujud atau sungkem, membuat lima titik anggota tubuh menyentuh lantai; dahi dan kedua telapak tangan merapat menyentuh lantai; titik kedua dan ketiga; kedua siku dan lutut, dan titik keempat kelima dua ujung telapak kaki. 62 Wawancara pribadi dengan Bhante Jayaratano, Jakarta 8 Mei 2007 63 Wawancara pribadi dengan Bhante Jayaratano, Jakarta 8 Mei 2007

a. Upacara penahbisan samanera menjadi bhikkhu (upasampada). b. Pembacaan Patimokkha, yaitu 227 peraturan kebhikkhuan yang dilakukan pada setiap bulan gelap dan terang. c. Upacara persembahan jubah Kathina. d. Upacara merehabilisir kesalahan sedang (majjimapatti) dari para bhikkhu. 64 2. Dhammasala/Dhammasabha (Balai Dhamma). Dhammasala dibangun di depan kuti menghadap ke barat. Di dalam ruangan ini terdapat cetiya (altar) yang sama dengan cetiya Uposathagara namun Buddharupangnya lebih kecil. Di dalam Dhammasala juga terdapat kotak dana dan ornamen lainnya. Dhammasala berasal dari kata Dhamma dan sala. Dhamma artinya ajaran dan sala artinya ruangan. Dhammasala juga dikenal dengan bhakti sala. Bhakti artinya kebaktian dan sala artinya ruangan. Jadi Bhaktisala artinya tempat untuk melakukan puja bhakti. 65 Dhammasala ini mempunyai fungsi untuk pembacaan parrita, pembabaran dhamma, diskusi dhamma, meditasi atau untuk melaksanakan Vesakha-Puja, Asalha-Puja, Magha-Puja, Kathina-Puja. Selain itu Dhammasala juga berfungsi sebagai tempat untuk melangsungkan pernikahan, ulang tahun atau upacara kematian. 66 3. Kuti Kuti terletak di depan Uposathagara di sebelah kiri menghadap ke timur. Kuti ini berhadapan dengan Dhammasala. Bangunan kuti dibangun dua lantai dengan fungsi yang berbeda. Bagian atas terdapat lima kamar digunakan sebagai 64 Oka Diputra, Pelajaran Agama Buddha SMP untuk kelas 2, h. 1 65 Wawancara Pribadi dengan Bhante Jayaratano, Jakarta 8 Mei 2007 66 Bhikkhu Subalaratano dan Samanera Uttamo, Bhakti (Puja), h. 17

tempat tinggal bhikkhu. Lantai bawah digunakan sebagai ruang tamu dan ruang makan. Kuti adalah bangunan untuk tempat tinggal bagi para bhikkhu dan samanera (calon bhikkhu). Bangunan kuti ini merupakan bangunan yang terpisah dari gedung Uposatha. Menurut Bhante Jayaratano pada awalnya satu kuti didiami satu bhikkhu atau samanera (calon bhikkhu). Tetapi dengan bertambahnya jumlah bhikkhu maka dibuatkan kuti yang agak besar, dengan beberapa ruangan sehingga kuti ini dapat didiami oleh beberapa orang bhikkhu. Di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya sendiri terdapat lima kamar dengan dua tempat tidur. 67 4. Pohon Bodhi/Pohon Penerangan Pohon Bodhi atau pohon penerangan dalam bahasa latin Ficus Religiosa adalah tempat Sang Buddha duduk mencapai tingkat penerangan sempurna. Pohon Bodhi di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya ini ada 2 buah dan didatangkan langsung dari Thailand dan hasil dari cangkokan. Pohon Bodhi ditanam di taman, ketika orang masuk pintu utama vihara maka akan terlihat pohon bodhi. Dengan melihat letaknya diharapkan umat Buddha yang datang ke vihara akan langsung teringat akan kesempurnaan Sang Buddha. 5. Perpustakaan Narada Dewasa ini perpustakaan juga merupakan sarana yang penting untuk pembinaan kehidupan beragama di samping menambah ilmu pengetahuan. Umat Buddha dapat menambah pengetahuan tentang buku-buku yang tersedia di dalam perpustakaan. 68 67 Wawancara pribadi dengan Bhante Jayaratano, Jakarta 8 Mei 2007 68 Bhikkhu Subalaratano dan Samanera Uttamo, Bhakti (Puja), h. 18