Hubungan derajat obstruksi hidung pada pasien deviasi septum dengan disfungsi tuba Eustachius

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB 4 METODE PENELITIAN. 3. Ruang lingkup waktu adalah bulan Maret-selesai.

BAB III METODE DAN PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

Profil Pasien Rinosinusitis Kronik di Poliklinik THT-KL RSUP DR.M.Djamil Padang

ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah

SURVEI KESEHATAN HIDUNG PADA MASYARAKAT PESISIR PANTAI BAHU

Hubungan tipe deviasi septum nasi klasifikasi Mladina dengan kejadian rinosinusitis dan fungsi tuba Eustachius

PENGARUH FAKTOR RISIKO TERHADAP FUNGSI PENDENGARAN BAYI BARU LAHIR BERDASARKAN PEMERIKSAAN DISTORTION PRODUCT OAE

BAB 5 HASIL DAN BAHASAN. adenotonsilitis kronik dengan disfungsi tuba datang ke klinik dan bangsal THT

BAB 4 METODE PENELITIAN

HUBUNGAN TIPE DEVIASI SEPTUM NASI MENURUT KLASIFIKASI MLADINA DENGAN KEJADIAN RINOSINUSITIS DAN FUNGSI TUBA EUSTACHIUS

HUBUNGAN PAPARAN ASAP ROKOK DENGAN KEJADIAN OTITIS MEDIA AKUT PADA ANAK SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan. Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

PENGARUH SEPTOPLASTI TERHADAP SUMBATAN HIDUNG

PENGARUH IRIGASI HIDUNG TERHADAP DERAJAT SUMBATAN HIDUNG PADA PEROKOK LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya

Validitas dan reliabilitas kuesioner Nasal Obstruction Symptom Evaluation (NOSE) dalam Bahasa Indonesia

BAB III METODE DAN PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi

PENGARUH PERUBAHAN KETINGGIAN TERHADAP NILAI AMBANG PENDENGARAN PADA PERJALANAN WISATA DARI GIANYAR MENUJU KINTAMANI

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian. Semarang pada bulan Maret sampai Mei 2013.

GAMBARAN KUALITAS HIDUP PENDERITA SINUSITIS DI POLIKLINIK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN RSUP SANGLAH PERIODE JANUARI-DESEMBER 2014

ABSTRAK FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TINGKAT KEPATUHAN BEROBAT PASIEN TB PARU DI RSI BANDUNG DENGAN DOTS DAN RS

PERBEDAAN WAKTU TRANSPORTASI MUKOSILIAR HIDUNG PADA PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIS SETELAH DILAKUKAN BEDAH SINUS ENDOSKOPIK FUNGSIONAL DENGAN ADJUVAN

BAB IV METODE PENELITIAN

FAKTOR PREDISPOSISI TERJADINYA RINOSINUSITIS KRONIK DI POLIKLINIK THT-KL RSUD Dr. ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH

Kesehatan hidung masyarakat di komplek perumahan TNI LANUDAL Manado

RINITIS ALERGI DI POLIKLINIK THT-KL BLU RSU PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO PERIODE JANUARI 2010 DESEMBER Elia Reinhard

PENGARUH KETINGGIAN TERHADAP KONDISI TELINGA TENGAH PADA PERJALANAN WISATA DENPASAR-KINTAMANI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris,

Lampiran 1 Lembar Penjelasan Subjek Penelitian

Hubungan gejala dan tanda rinosinusitis kronik dengan gambaran CT scan berdasarkan skor Lund-Mackay

HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU TENTANG FAKTOR RISIKO PENYAKIT SEREBROVASKULAR TERHADAP KEJADIAN STROKE ISKEMIK ARTIKEL KARYA TULIS ILMIAH

Penatalaksanan deviasi septum dengan septoplasti endoskopik metode open book

PENDERITA TONSILITIS DI POLIKLINIK THT-KL BLU RSUP PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO JANUARI 2010-DESEMBER 2012

KUESIONER PENELITIAN RINITIS ALERGI

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN

HEMAKANEN NAIR A/L VASU FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2014

ABSTRAK PREVALENSI DAN GAMBARAN PASIEN KARSINOMA NASOFARING DI RSUP DR. HASAN SADIKIN BANDUNG PERIODE JANUARI DESEMBER 2014

HUBUNGAN ANTARA HIPERTROFI ADENOID DENGAN TERJADINYA OTITIS MEDIA AKUT PADA ANAK SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan

HUBUNGAN MITRAL VALVE AREA (MVA) DENGAN HIPERTENSI PULMONAL PADA STENOSIS MITRAL LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

Kesehatan telinga siswa Sekolah Dasar Inpres 1073 Pandu

BAB 1 PENDAHULUAN. mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis menyebabkan beban

HUBUNGAN JENIS OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2012.

GAMBARAN KASUS ABSES LEHER DALAM DI RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN TAHUN Oleh : VERA ANGRAINI

HUBUNGAN SKOR LUND-MACKAY CT SCAN SINUS PARANASAL DENGAN SNOT-22 PADA PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIS TESIS IRWAN TRIANSYAH

ABSTRAK PREVALENSI DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN HIPERTENSI DI RSUP SANGLAH DENPASAR TAHUN 2015

Faktor Risiko Rinitis Alergi Pada Pasien Rawat Jalan Di Poliklinik THT- KL Rumah Sakit Umum Daerah Zainoel Abidin (RSUDZA) Banda Aceh Tahun 2011

ABSTRAK GAMBARAN KOMPLIKASI PASIEN KANKER KEPALA DAN LEHER PASCA RADIOTERAPI/KEMOTERAPI DI RSUP SANGLAH TAHUN 2016

KARAKTERISTIK PENDERITA KANKER NASOFARING DI RUMAH SAKIT H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN Oleh: WULAN MELANI

SURVEI KESEHATAN TELINGA PADA ANAK PASAR BERSEHATI KOMUNITAS DINDING MANADO

HUBUNGAN DURASI PENYAKIT, UMUR, DAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN KEJADIAN DISTRES PADA DIABETES MELITUS TIPE 2 SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan

Kata kunci : asap rokok, batuk kronik, anak, dokter praktek swasta

HUBUNGAN DERAJAT SUDUT DEVIASI SEPTUM NASI DENGAN CONCHA BULLOSA PNEUMATISASI INDEX PADA PASIEN YANG MENJALANI PEMERIKSAAN CT SCAN SINUS PARANASALIS

BAB 1 PENDAHULUAN. pada saluran napas yang melibatkan banyak komponen sel dan elemennya, yang sangat mengganggu, dapat menurunkan kulitas hidup, dan

BAB 1 PENDAHULUAN. muka sekitar 40%. Lokasi hidung di tengah dan kedudukan di bagian anterior

KESEHATAN TENGGOROK PADA SISWA SEKOLAH DASAR EBEN HAEZAR 1 MANADO DAN SEKOLAH DASAR GMIM BITUNG AMURANG KABUPATEN MINAHASA SELATAN

SURVEI KESEHATAN TELINGA MASYARAKAT PESISIR PANTAI BAHU

BAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

Validitas metode rinohigrometri sebagai indikator sumbatan hidung

KUALITAS HIDUP DAN TINGKAT KECEMASAN PASIEN KANKER NASOFARING YANG MENDAPAT RADIOTERAPI DAN KEMOTERAPI DI RSUD DR.

BAB I PENDAHULUAN. hidung dan sinus paranasal ditandai dengan dua gejala atau lebih, salah

HUBUNGAN KARAKTERISTIK PASIEN KEHILANGAN GIGI TETAP DENGAN MINAT PEMAKAIAN GIGI TIRUAN SEBAGIAN LEPASAN

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem

SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran NURUL FADILAH G FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

BAB 1 PENDAHULUAN. Rhinitis alergi merupakan peradangan mukosa hidung yang

ABSTRAK PERBEDAAN PENGETAHUAN, SIKAP, PERILAKU SISWA-SISWI SMA NEGERI X DENGAN SMA SWASTA X KOTA BANDUNG TERHADAP INFFEKSI MENULAR SEKSUAL

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Validitas metode rinohigrometri sebagai indikator sumbatan hidung

Radiotherapy Reduced Salivary Flow Rate and Might Induced C. albicans Infection

HUBUNGAN PERILAKU PENCARIAN LAYANAN KESEHATAN DENGAN KETERLAMBATAN PASIEN DALAM DIAGNOSIS TB PARU DI BBKPM SURAKARTA SKRIPSI

KORELASI VARIASI ANATOMI HIDUNG DAN SINUS PARANASALIS BERDASARKAN GAMBARAN CT SCAN TERHADAP KEJADIAN RINOSINUSITIS KRONIK

Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, 2

ABSTRAK PREVALENSI INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT SEBAGAI PENYEBAB ASMA EKSASERBASI AKUT DI POLI PARU RSUP SANGLAH, DENPASAR, BALI TAHUN 2013

Daftar Pustaka. Universitas Sumatera Utara

HUBUNGAN ANTARA KEJADIAN KANKER SERVIKS UTERI DENGAN FAKTOR RISIKO MENIKAH USIA MUDA LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

DAFTAR PUSTAKA. Universitas Sumatera Utara

BAB V PEMBAHASAN. subyek pengamatan yaitu penderita rinosinusitis kronik diberi larutan salin isotonik

SKRIPSI GAMBARAN DERMATITIS ATOPIK PADA ANAK USIA 0-12 TAHUN YANG TERPAPAR ASAP ROKOK DI RUMAH SAKITGOTONG ROYONG SURABAYA

ABSTRAK GAMBARAN KARAKTERISTIK PENYAKIT KUSTA DI POLIKLINIK KULIT DAN KELAMIN RSUP SANGLAH DENPASAR PERIODE

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan mendengar dan berkomunikasi dengan orang lain. Gangguan

Faktor risiko yang mempengaruhi disfungsi tuba Eustachius pada penderita rinitis alergi persisten

ABSTRAK PENGARUH KURANG TIDUR TERHADAP PENINGKATAN RISIKO OBESITAS

ABSTRAK HUBUNGAN ABORTUS INKOMPLIT DENGAN FAKTOR RISIKO PADA IBU HAMIL DI RUMAH SAKIT PINDAD BANDUNG PERIODE

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. endoskopis berupa polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus

PROGRAM PENDIDIKAN SARJANA KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO 2012

Faktor risiko yang mempengaruhi disfungsi tuba Eustachius pada penderita rinitis alergi persisten

BAB IV METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini adalah Ilmu Fisiologi khususnya fisiologi

Oleh: KHAIRUN NISA BINTI SALEH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN Universitas Sumatera Utara

Gambaran Rinosinusitis Kronis Di RSUP Haji Adam Malik pada Tahun The Picture Of Chronic Rhinosinusitis in RSUP Haji Adam Malik in Year 2011.

IDENTITAS I.1. IDENTITAS RESPONDEN

SURVEI KESEHATAN HIDUNG MASYARAKAT DI DESA TINOOR 2

PERBANDINGAN VOLUME PROSTAT ANTARA PASIEN BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA

Hubungan Rinitis Alergi dengan Kejadian Otitis Media Supuratif Kronik

PENGARUH PENGGUNAAN NIFEDIPIN PADA PENDERITA HIPERTENSI TERHADAP LAJU ALIRAN SALIVA DAN PEMBESARAN GINGIVA LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

Relationship Between Nurse Knowledge, Attitude, Workloads with Medical Record Completion at the Emergency Unit, Sanglah Hospital, Denpasar

BAB 4 METODE PENELITIAN. mulai bulan 1 Februari sampai dengan 5 Mei Skema rancangan penelitian ditampilkan pada gambar 15.

HUBUNGAN DERAJAT KEPARAHAN STROKE DENGAN KEJADIAN PNEUMONIA PADA PASEIN POST-STROKE ISKEMIK AKUT SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan

DAFTAR ISI. Sampul Dalam... i. Lembar Persetujuan... ii. Penetapan Panitia Penguji... iii. Kata Pengantar... iv. Pernyataan Keaslian Penelitian...

BAB 4 METODE PENELITIAN

Transkripsi:

Laporan Penelitian dengan disfungsi tuba Eustachius Sony Yudianto, Luh Made Ratnawati, Eka Putra Setiawan, Sari Wulan Dwi Sutanegara Bagian Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Rumah Sakit Umum Pemerintah Sanglah Denpasar ABSTRAK Latar belakang: Deviasi septum diduga sebagai salah satu predisposisi terjadinya disfungsi tuba Eustachius, terutama di telinga ipsilateral pada sisi hidung yang tersumbat. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara derajat obstruksi hidung pada pasien deviasi septum nasi dengan disfungsi tuba Eustachius. Metode: Diskriptif dan analitik pada penelitian yang kami lakukan di poliklinik THT-KL RSUP Sanglah Denpasar, diikuti 58 orang yang terbagi dalam kelompok disfungsi tuba Eustachius sebanyak 29 responden dan kelompok fungsi tuba Eustachius normal sebesar 29 responden. Hasil: Analisis penelitian didapatkan hubungan yang bermakna yaitu derajat obstruksi hidung kanan pada pasien deviasi septum meningkatkan risiko kejadian 2,85 kali lebih tinggi dengan terjadinya disfungsi tuba Eustachius kanan. Pada sisi kiri juga didapatkan hubungan yang bermakna yaitu derajat obstruksi hidung kiri pada pasien deviasi septum meningkatkan risiko kejadian 2,17 kali lebih tinggi dengan dengan terjadinya disfungsi tuba Eustachius kiri. Pada derajat sumbatan hidung diketahui pada sisi kanan dan pada sisi kiri dengan hasil responden yang mengalami sumbatan hidung derajat berat secara bermakna meningkatkan risiko terjadinya disfungsi tuba Eustachius pada sisi yang sama dengan nilai (p< 0,05). Kesimpulan: Pada penelitian ini didapatkan hubungan yang bermakna antara derajat obstruksi hidung pada pasien deviasi septum yang meningkatkan risiko terjadinya disfungsi tuba Eustachius pada sisi yang sama. Kata kunci: Disfungsi tuba Eustachius, obstruksi hidung, deviasi septum nasi. ABSTRACT Background: Septal deviation is suspected as one of the predisposing factor in Eustachian tube dysfunction, especially in the ipsilateral ear on the side of the obstructed nose. Purpose: To find out the relationship between the degree of nasal obstruction in septal deviation patient with Eustachian tube dysfunction. Method: Descriptive analytic studies that we conducted in ENT clinic Sanglah Hospital that divided 58 people into 29 respondents as the Eustachian tube dysfunction group and 29 others as the normal Eustachian tube function group. Result: We found prevalence of right Eustachian tube dysfunction in 21 respondents and the prevalence on the left Eustachian tube dysfunction in 8 respondents, which was on the same side with the obstructed nose in the case group as measured by PNIF. Bivariate analysis found a significant relationship that increased the risk of occurence was 2,85 times higher in septal deviation patients with right obstructed nose with the right Eustachian tube dysfunction. The left side also showed a significant association 2,17 times. Degree of nasal obstruction performed analysis known on the right side and on the left side showed that respondents with severe degrees of nasal obstruction significantly increased the risk of Eustachian tube dysfunction on the ipsilateral side (p<0,05). Conclusion: In this study we have significant association between the degree of nasal obstruction in septal deviation patients which increased the risk of Eustachian tube dysfunction incidence on the ipsilateral side. 19

Keywords: Eustachian tube dysfunction, nasal obstruction, nasal septal deviation. Alamat korespondensi: Sony Yudianto, MD. Dept. Of Otorhinolaryngology, Sanglah Hospital, Faculty of Medicine, University of Udayana, Denpasar. Indonesia. Tel 0361-244574. Sony_maichel76@yahoo.com (0811498552) PENDAHULUAN Gangguan fungsi tuba dapat terjadi oleh beberapa hal seperti: tuba terbuka abnormal, peradangan, palatoskisis dan obstruksi tuba. 1 Deviasi septum diduga sebagai salah satu predisposisi terjadinya disfungsi tuba Eustachius, terutama di telinga ipsilateral pada sisi hidung yang tersumbat. 2 Tidak semua deviasi septum nasi memberikan gejala hidung tersumbat, bahkan sebagian penderita deviasi septum nasi tidak memberikan gejala apapun. Deviasi yang cukup berat dapat menyebabkan sumbatan hidung yang mengganggu fungsi hidung dan menyebabkan komplikasi atau bahkan menimbulkan gangguan estetika wajah karena hidung terlihat bengkok. 2-4 Penyebab hidung tersumbat dapat bervariasi dari berbagai penyakit dan kelainan anatomi. Salah satu penyebab dari kelainan anatomi adalah deviasi septum nasi. 5 Deviasi septum umumnya disebabkan oleh trauma langsung dan biasanya dapat berhubungan dengan kerusakan pada bagian hidung lain seperti fraktur os nasal. 5,6,7 Pada sebagian pasien tidak didapatkan riwayat trauma, sehingga timbul pemikiran tentang teori birth moulding yaitu posisi intra uterin janin yang abnormal dapat menyebabkan tekanan pada hidung dan rahang atas, sehingga dapat terjadi pergeseran septum. Demikian pula tekanan torsi pada hidung saat kelahiran dapat menambah trauma pada septum nasi. Penyebab lainnya adalah ketidakseimbangan pertumbuhan. Tulang rawan septum nasi terus tumbuh, meskipun batas superior dan inferior telah menetap. 3-5 Septum deviasi juga dapat menyebabkan kolaps dari katup hidung atau nasal valve yang merupakan celah antara ujung kaudal kartilago lateralis dengan septum hidung. Nasal valve berada lebih kurang 1,3 cm dari nares dan merupakan segmen yang tersempit serta tahanan terbesar dari jalan nafas hidung. Dengan memasuki daerah yang sempit ini akan terjadi peningkatan aliran dan penurunan tekanan interlumen seperti fenomena Bernoulli. 2,3 Tekanan negatif akibat deviasi septum akan menyebabkan kolapsnya segmen ini pada saat inspirasi. Karena daerah nasal valve ini sempit maka dengan perubahan obstruksi atau udem sedikit saja, akan meningkatkan tahanan pada daerah tersebut yang secara klinis bermakna menimbulkan gejala-gejala hidung tersumbat. 2,3,5,7 Pada pasien dengan kelainan septum, sisi yang sempit akan mengalami siklus sumbatan hidung yang berbeda, yang menyebabkan perbedaan pada tahanan hidung total, sehingga pasien merasakan sumbatan hidung yang berkala. 3,4 Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara derajat obstruksi hidung pada pasien deviasi septum nasi dengan disfungsi tuba Eustachius. METODE Subjek penelitian adalah semua penderita deviasi septum yang berobat ke poliklinik THT RSUP Sanglah Denpasar. Sampel pada penelitian harus memenuhi kriteria inklusi meliputi: Jenis kelamin laki-laki dan perempuan, usia 18-60 tahun dan kooperatif, penderita terdiagnosis deviasi septum dengan 20

obstruksi hidung disertai disfungsi tuba Eustachius, bersedia mengikuti penelitian dengan menandatangani informed consent. Kriteria eksklusi sampel pada penelitian ini meliputi: menderita rinitis alergi atau vasomotor, menderita faringitis kronis, menderita polip hidung, menderita tumor kavum nasi, menderita tumor nasofaring, riwayat operasi hidung dalam 6 bulan terakhir. Pasien yang berobat ke Poliklinik THT-KL RSUP Sanglah Denpasar yang didiagnosis dengan deviasi septum nasi, dipilih secara non random sampling dengan metode consecutive yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sampai jumlah sampel minimal terpenuhi, serta menandatangani surat persetujuan penelitian dimasukkan ke dalam sampel penelitian. Prosedur kerja pada penelitian ini akan menggunakan bahan dan alat penelitian yang berupa: catatan medik penderita dan formulir informed consent, formulir kuisioner penelitian, alatalat pemeriksaan THT rutin, Peak Nasal Inspiratory Flowmeter (PNIF) In Check Clement Clark Ltd, Timpanometri Interacustic tipe AT 235. Pasien deviasi septum dengan atau tanpa disfungsi tuba Eustachius dilakukan pemeriksaan telinga tengah dan tes fungsi tuba Eustachius kemudian dilakukan pemeriksaan dengan alat timpanometri. Setelah pengukuran timpanometri selesai, pasien dengan deviasi septum ditentukan derajat obstruksi jalan nafas hidung dengan alat peak nasal inspiratory flowmeter atau PNIF. Hasil data penelitian akan disajikan secara deskriptif kemudian dilakukan analisis secara statistik. HASIL Tabel 1. Hubungan obstruksi hidung kanan dengan meningkatnya risiko disfungsi tuba Eustachius kanan Fungsi tuba Eustachius kanan Deviasi septum ke kanan Total Obstruksi Non obstruksi Disfungsi tuba 21 0 21 Normal 13 24 37 Total (100%) 34 (58,6%) 24(41,4%) 58(100%) ( X 2 = 23,24; OR=2,846; IK=95%:1,84-4,41; p<0,001) Tabel 2. Hubungan obstruksi hidung kiri dengan meningkatnya risiko disfungsi tuba Eustachius kiri Fungsi tuba Eustachius kiri Deviasi septum ke kiri Total Obstruksi Non obstruksi Disfungsi tuba 8 0 8 Normal 23 27 50 Total (100%) 31(53,4%) 27(46,6%) 58(100%) (X 2 =8,08; OR=2,17; IK=95% 1,61%-2,93%; p=0,004) Pada penelitian ini didapatkan 58 responden yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi penerimaan sampel. Jumlah pasien laki-laki 39 responden dan perempuan 19 responden. Responden dengan deviasi septum ke kanan sebanyak 21 dan deviasi septum ke kiri 8 responden dengan keluhan hidung tersumbat dan keluhan gangguan telinga tengah pada sisi yang sama. Pada analisis bivariat didapatkan hubungan yang bermakna yaitu obstruksi hidung kanan pada pasien dengan deviasi septum nasi meningkatkan risiko 2,85 kali lebih tinggi dengan terjadinya disfungsi tuba Eustachius kanan. Pada sisi kiri juga didapatkan hubungan yang bermakna yaitu obstruksi hidung kiri pada pasien deviasi septum nasi meningkatkan risiko kejadian 2,17 kali lebih tinggi dengan terjadinya disfungsi tuba Eustachius kiri (p<0,05) (Tabel 1 dan 2). 21

Tabel 3. Hasil analisis statistik faktor risiko derajat obstruksi hidung kanan dengan disfungsi tuba Eustachius kanan Derajat obstruksi hidung kanan Fungsi tuba Eustachius Total Normal Disfungsi tuba Normal 27 (100%) 0 (0%) 27 (100%) Ringan 4 (50%) 4 (50%) 8 (100%) Sedang 5 (62,5%) 3 (37,5%) 8 (100%) Berat 1 (6,67%) 14 (93,33%) 15 (100%) Total 37 (63,8%) 21 (36,2%) 58 (100%) (X 2 =37,18; df=3; CI=95%; p<0,001) Hasil analisis statistik pada obstruksi hidung kanan derajat ringan didapatkan 4 responden dengan gangguan fungsi tuba Eustachius kanan. Pada derajat sedang didapatkan 5 responden normal, 3 responden dengan gangguan fungsi tuba Eustachius kanan. Sehingga pada derajat ringan dan sedang gangguan fungsi tuba Eustachius dapat dikatakan belum terdapat perbedaan yang bermakna. Pada obstruksi hidung derajat berat didapatkan hasil hubungan yang bermakna yaitu 14 responden (93,33%) mengalami gangguan fungsi tuba Eustachius pada sisi yang sama. (Tabel 3) Tabel 4. Hasil analisis statistik faktor risiko derajat obstruksi hidung kiri dengan disfungsi tuba Eustachius kiri Derajat obstruksi hidung kiri Fungsi tuba Eustachius Total Normal Disfungsi tuba Normal 40 (100%) 0 (0%) 40 (100%) Ringan 5 (100%) 0 (0%) 5 (100%) Sedang 5 (71,4%) 2 (28,6%) 7 (100%) Berat 0 (0%) 6 (100%) 6 (100%) Total 50 (86,2%) 8 (13,8%) 58 (100%) (X 2 =45,98; df=3; CI= 95%; p<0,001) Dari analisis statistik didapatkan hasil pada obstruksi hidung kiri derajat ringan belum terjadi disfungsi tuba, pada obstruksi hidung derajat sedang hanya didapatkan 2 responden mengalami disfungsi tuba Eustachius kiri, DISKUSI Disfungsi tuba Eustachius merupakan gangguan yang diakibatkan oleh terjadinya proses inflamasi mukosa dari tuba Eustachius yang diakibatkan oleh turbulensi aliran udara dari kavum nasi pada sisi yang sama. Timpanometri Interacustic tipe AT 235 merupakan pemeriksaan impedans atau tahanan terhadap tekanan telinga tengah yang berkesinambungan dengan pemberian tekanan udara yang bervariasi dan sistemik ke dalam liang telinga dengan hasil gangguan tetapi pada obstruksi hidung derajat berat terdapat hasil yang bermakna yaitu 6 responden (100%) mengalami gangguan fungsi tuba pada sisi yang sama (Tabel 4). fungsi tuba Eustachius bila kurva tipe A, B dan tipe C, sedangkan fungsi tuba Eustachius normal jika didapatkan hasil kurva tipe A. PNIF buatan Clement Clark ltd, merupakan alat untuk mengukur derajat obstruksi hidung dengan hasil pengukuran hidung tersumbat yang dibagi menjadi derajat berat bila laju aliran udara inspirasi hidung kurang dari 50 l/ mnt, derajat sedang bila aliran udara inspirasi hidung antara 50 79 l/mnt, derajat ringan bila aliran udara inpirasi hidung antara 80-120 l/ mnt, dan tanpa obstruski hidung bila aliran 22

udara inspirasi hidung lebih dari 120 l/ mnt. 8 Dari hasil penelitian ini dilakukan uji normalitas dengan menentukan nilai median dari hasil pengukuran PNIF kanan dan kiri dan didapatkan hasil, bila nilai lebih kecil dari 80 l/mnt maka dikategorikan sebagai kelompok obstruksi dan bila lebih besar atau sama dengan 80 l/mnt dikategorikan sebagai kelompok non-obstruksi. Pada penelitian ini maka didapatkan 34 responden termasuk dalam kelompok obstruksi hidung kanan dan 24 responden tergolong non-obstruksi. Sedangkan pada sisi kiri didapatkan 31 responden tergolong kelompok obstruksi hidung kiri dan 27 responden pada kelompok non-obstruksi. Pada kelompok pasien deviasi septum yang mengalami obstruksi hidung didapatkan 21 responden dengan disfungsi tuba Eustachius kanan dan 8 responden dengan disfungsi tuba Eustachius kiri pada sisi obstruksi hidung yang sama. Grady dan Mathias 9 pada tahun 1983 melaporkan pasien dengan penyakit telinga tengah, dimana 60% didapatkan pada sisi yang sama dengan rongga hidung yang tersumbat. Begitu pula pada penelitian ini didapatkan prevalensi disfungsi tuba Eustachius sebesar 21 responden pada kelompok disfungsi tuba Eustachius pada sisi kanan dan 8 responden pada sisi kiri, pada sisi yang sama dengan obstruksi hidung yang diukur dengan PNIF. Demikian juga pada kelompok tanpa obstruksi hidung didapatkan prevalensi 29 responden dengan fungsi tuba Eustachius yang normal pada kedua sisi. Hal ini terjadi karena pada kelompok ini terdapat hasil responden yang belum ada gangguan pada tuba Eustachius. Pada penelitian ini, dari analisis bivariat didapatkan hubungan yang bermakna yaitu obstruksi hidung kanan meningkatkan risiko kejadian 2,85 kali lebih tinggi dengan terjadinya disfungsi tuba Eustachius kanan pada pasien dengan deviasi septum nasi dengan nilai p<0,05. Begitu pula pada sisi tuba Eustachius kiri didapatkan hubungan yang bermakna yaitu obstruksi hidung kiri meningkatkan risiko kejadian 2,17 kali lebih tinggi pada pasien deviasi septum nasi dengan terjadinya disfungsi tuba Eustachius kiri dengan nilai p<0,05. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Deseta dkk. yang dikutip dari Low 2 pada tahun 1993 yang menemukan 71% pasien mengalami penurunan patensi tuba Eustachius dimana 79% berada di sisi yang sama dengan rongga hidung yang tersumbat. Mc Nicoll dan Scanlan 10 mempelajari 120 penyelam dengan deviasi septum hidung dan disfungsi tuba Eustachius. Tak satu pun dari penyelam mampu menyamakan tekanan telinga tengah pada tekanan di kedalaman 3 meter dari permukaan air. Setelah dilakukan reseksi sub-mukosa pada deviasi septum hidung, hampir 95% dari penyelam mampu menyamakan tekanan telinga tengah di kedalaman 9 meter dari permukaan air. Pada penelitian ini dapat diketahui bahwa derajat obstruksi hidung sangat mempengaruhi terjadinya disfungsi tuba Eustachius, seperti yang terlihat pada tabel 3 dan tabel 4 menggambarkan bahwa obstruksi hidung yang berat lebih mempengaruhi terjadinya disfungsi tuba pada sisi yang sama dengan keluhan hidung tersumbat yang diukur dengan PNIF. Dari hasil penelitian ini pada obstruksi hidung kanan derajat ringan dan sedang belum terlihat perbedaan yang bermakna, tetapi pada obstruksi hidung derajat berat terdapat hasil yang bermakna yaitu 14 responden (93,33%) mengalami gangguan fungsi tuba pada sisi yang sama. Begitu pula pada obstruksi hidung kiri derajat ringan belum terjadi disfungsi tuba yang bermakna, pada obstruksi hidung derajat sedang hanya didapatkan 2 responden yang mengalami disfungsi tuba Eustachius, tetapi pada obstruksi hidung derajat berat terdapat hasil yang bermakna yaitu 6 responden (100%) mengalami gangguan fungsi tuba pada sisi yang sama. Sama halnya dari penelitian 23

yang dilakukan oleh Low 2 yang menuliskan bahwa gangguan pada telinga tengah yang diukur dengan timpanometri berhubungan dengan derajat obstruksi hidung yang diukur dengan alat PNIF pada pasien dengan deviasi septum nasi. Hal ini sesuai juga dengan pustaka tentang fenomena Bernoulli yang mengatakan bahwa aliran udara yang memasuki daerah yang sempit, akan terjadi peningkatan kecepatan aliran udara dan penurunan tekanan interlumen. Tekanan negatif akibat deviasi septum akan menyebabkan kolapsnya segmen ini pada saat inspirasi yang secara klinis bermakna menimbulkan gejala-gejala hidung tersumbat. 3,5,7 Aliran turbulensi udara di rongga hidung posterior berhubungan dengan deviasi septum nasi, yang memungkinkan akan menghasilkan aliran udara yang asimetris dalam dua saluran hidung yang berbeda patensinya. Perubahan aliran udara post-nasal akan menyebabkan disfungsi tuba Eustachius. 2,10 Pada pasien dengan kelainan septum, sisi yang sempit akan mengalami siklus sumbatan hidung yang berbeda, yang menyebabkan perbedaan pada tahanan hidung total, sehingga pasien merasakan sumbatan hidung yang berkala. 3,4 Obstruksi tuba Eustachius dapat terjadi secara mekanik, fungsional ataupun keduanya. Obstruksi mekanik dapat disebabkan oleh (a) faktor instrinsik seperti inflamasi atau alergi atau (b) faktor ekstrinsik seperti tumor di nasofaring atau adenoid. 11 Sama halnya dengan gangguan fungsi tuba Eustachius pada penelitian ini, juga terjadi gangguan obstruksi mekanik yang disebabkan oleh inflamasi akibat aliran turbulensi pada daerah tuba Eustachius pada sisi hidung yang tersumbat. Dari hasil penelitian ini didapatkan hubungan yang bermakna yaitu derajat obstruksi hidung kanan pada pasien dengan deviasi septum nasi meningkatkan risiko kejadian 2,85 kali lebih tinggi dengan terjadinya disfungsi tuba Eustachius kanan, sedangkan pada sisi kiri juga didapatkan hubungan yang bermakna yaitu derajat obstruksi hidung kiri pada pasien dengan deviasi septum nasi meningkatkan risiko kejadian 2,17 kali lebih tinggi dengan terjadinya disfungsi tuba Eustachius kiri. Dari hasil pengukuran derajat sumbatan hidung yang dilakukan analisis statistik diketahui bahwa responden dengan sumbatan hidung derajat berat secara bermakna lebih meningkatkan risiko terjadinya disfungsi tuba Eustachius pada sisi yang sama. DAFTAR PUSTAKA 1. Poe D. Pathophysiology and surgical treatment of Eustachian tube dysfunction. Finland: Tampere University Press, 2011. p.6-72. 2. Low WK, Willatt DJ. The relationship between middle ear pressure and deviated nasal septum. Clin Otolaryngol 1993; 18:308-10. 3. Walsh WE, Korn RC. Sinonasal anatomy, function, and evaluation. In: Bailey BJ, Johnson JT, editors. Head and neck surgeryotolaryngology. 4 th ed. Vol 1. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2006. p.307-19. 4. Dhillon RS, East CA. Nose and paranasal sinus. In: Ear nose and throat, head and neck surgery. 2 nd ed. London: Churchill Livingstone; 1999. p.30-41. 5. Hilger PA. Applied anatomy and physiology of the nose. In: Adam GL, Boeis LR, Eds. Boies fundamentals of otolaryngology. 6 th ed. Philadelphia: WB Saunders; 1989. p.177-87. 6. Ballenger JJ. Anatomy and physiology of the nose and paranasal sinuses. In: Ballenger JJ, Snow JB, eds. Ballenger s otorhinolaryngology head and neck surgery. 6 th ed. Baltimore: BC Decker Inc; 2003. p.547-60. 24

7. Watson D, Meyers AD. Septoplasty treatment & management 2011. [cited 2012 Juli 9]. Available from:http://www.emedicine.medscape. com/article/877677-treatment. 8. Glenys KS, Valrie JL. Investigative rhinology. London: Taylor & Francis; 2004. p.69-81. 9. Grady D, Mathias P, Anderson R. Improvement of middle ear diseases following septoplasty. Am J Otol. 1983; 4:327-31. 10. Mc Nicoll WD, Scanlasn G. Sub-mucous resection: the treatment of choice in the noseear distress syndrome. J Laryngol Otol 1979; 93:357-67. 11. Rambe AYM, Fadhlia, Munir D, Haryuna TSH, Eyanoer PC. Hubungan rinitis alergi dan disfungsi tuba Eustachius dengan menggunakan timpanometri. ORLI 2013; 43:80-9. 25