Karakterisasi Pantulan Akustik Karang Menggunakan Echosounder Single Beam

dokumen-dokumen yang mirip
KELOMPOK 2 JUWITA AMELIA MILYAN U. LATUE DICKY STELLA L. TOBING

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

3 METODOLOGI PENELITIAN

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 8. Lokasi penelitian

KUANTIFIKASI DAN KLASIFIKASI KARANG BERDASARKAN KUAT HAMBUR BALIK MENGGUNAKAN METODE AKUSTIK SINGLE BEAM BAIGO HAMUNA

3. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada koordinat 5º - 8 º LS dan 133 º º BT

2. TINJAUAN PUSTAKA. Sedimen adalah kerak bumi (regolith) yang ditransportasikan melalui proses

METODE PENELITIAN. Tabel 2 Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian. No. Alat dan Bahan Type/Sumber Kegunaan.

3. METODOLOGI PENELITIAN

2. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar Laut Arafura merupakan paparan yang sangat luas. Menurut Nontji

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Bentuk Pertumbuhan Karang

EFEK UKURAN BUTIRAN, KEKASARAN, DAN KEKERASAN DASAR PERAIRAN TERHADAP NILAI HAMBUR BALIK HASIL DETEKSI HYDROAKUSTIK ABSTRACT

PENDUGAAN KELIMPAHAN DAN SEBARAN IKAN DEMERSAL DENGAN MENGGUNAKAN METODE AKUSTIK DI PERAIRAN BELITUNG

HUBUNGAN TIPE DASAR PERAIRAN DENGAN DISTRIBUSI IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANGKAJENE SULAWESI SELATAN 2011

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sedimen dasar laut

HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Perairan Laut Arafura di lokasi penelitian termasuk ke dalam kategori

DETEKSI NILAI HAMBUR BALIK KARANG MASSIVE MENGGUNAKAN INSTRUMEN HIDROAKUSTIK CRUZPRO FISHFINDER PCFF-80 MUHAMAD YUDHA ASMARA

PERBEDAAN KETEBALAN INTEGRASI DASAR PERAIRAN DENGAN INSTRUMEN HIDROAKUSTIK SIMRAD EY-60 DI PERAIRAN KEPULAUAN PARI

ANALISIS MODEL JACKSON PADA SEDIMEN BERPASIR MENGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK DI GUGUSAN PULAU PARI, KEPULAUAN SERIBU SYAHRUL PURNAWAN

4. HASIL PEMBAHASAN. Sta Latitude Longitude Spesies Keterangan

Model integrasi echo dasar laut Blok diagram scientific echosounder ditampilkan pada Gambar I. echo pada pre-amplifier, ERB :

IDENTIFIKASI DAN KLASIFIKASI LIFEFORM KARANG MENGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK JEFRY BEMBA

PENGOLAHAN DATA SINGLE BEAM ECHOSOUNDER. Septian Nanda dan Aprillina Idha Geomatics Engineering

3. METODE PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN

PENGUKURAN HAMBUR BALIK AKUSTIK DASAR LAUT DI SEKITAR KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN SPLIT BEAM ECHOSOUNDER

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGUKURAN DAN ANALISIS NILAI HAMBUR BALIK AKUSTIK UNTUK KLASIFIKASI DASAR PERAIRAN DELTA MAHAKAM

NILAI KEKUATAN HAMBUR BALIK (BACKSCATTERING STRENGTH VALUE) SUBSTRAT BERPASIR STEVEN SOLIKIN

PENGUKURAN KARAKTERISTIK AKUSTIK SUMBER DAYA PERIKANAN DI LAGUNA GUGUSAN PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU

KARAKTERISTIK HAMBUR BALIK VOLUME KARANG BERCABANG BESERTA SUBSTRAT DASARNYA MENGGUNAKAN INSTRUMEN AKUSTIK CRUZPRO NORSYAMIMI BINTI WASLI

TEKNOLOGI AKUSTIK BAWAH AIR: SOLUSI DATA PERIKANAN LAUT INDONESIA

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2 Kapal Survei dan Instrumen Penelitian

3. METODE PENELITIAN

DETEKSI NILAI HAMBUR BALIK KEPITING BAKAU (Scylla spp.) MENGGUNAKAN INSTRUMEN HIDROAKUSTIK CRUZPRO FISHFINDER PCFF-80

Citra akustik Ikan Uji. Matriks Data Akustik. Hitungan Deskriptor. 15 Desk. teridentifikasi. 8 Desk. utama. Rancangan awal JSTPB JSTPB1

PEMODELAN KANAL KOMUNIKASI AKUSTIK PADA PERAIRAN DANGKAL

IDENTIFIKASI PROFIL DASAR LAUT MENGGUNAKAN INSTRUMEN SIDE SCAN SONAR DENGAN METODE BEAM PATTERN DISCRETE-EQUI-SPACED UNSHADED LINE ARRAY

PENGUKURAN ACOUSTIC BACKSCATTERING STRENGTH DASAR PERAIRAN DENGAN INSTRUMEN SINGLE DAN MULTI BEAM ECHO SOUNDER BAMBANG SUPARTONO

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

KERUSAKAN TERUMBU KARANG KARIMUNJAWA AKIBAT AKTIVITAS TRANSPORTASI BATUBARA

AKUSTIK REMOTE SENSING/PENGINDERAAN JAUH

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

3. METODOLOGI PENELITIAN

DENI ACHMAD SOEBOER, S.Pi, M.Si

3 METODOLOGI PENELITIAN

III METODE PENELITIAN

Pendahuluan. Peralatan. Sari. Abstract. Subarsyah dan M. Yusuf

HASIL DAN PEMBAHASAN

2. TINJAUAN PUSTAKA. Side Scan Sonar merupakan peralatan observasi dasar laut yang dapat

Lampiran 1 Kapal nelayan yang digunakan untuk pengambilan data akustik pada sistem single beam. Lampiran 2 Konfigurasi instrumen single beam di kapal

Lampiran 1. Alat dan Bahan yang digunakan di Lapangan. Scientific Echosounder Simrad EY 60

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sedimen Dasar Laut

KUANTIFIKASI DAN KARAKTERISASI ACOUSTIC BACKSCATTERING DASAR PERAIRAN DI KEPULAUAN SERIBU JAKARTA OBED AGTAPURA TARUK ALLO

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Terumbu Karang

Sumber : Mckenzie (2009) Gambar 2. Morfologi Lamun

Kajian tentang Kemungkinan Pemanfaatan Bahan Serat Ijuk sebagai Bahan Penyerap Suara Ramah Lingkungan

PENGARUH JUMLAH CELAH PERMUKAAN BAHAN KAYU LAPIS (PLYWOOD) TERHADAP KOEFISIEN ABSORPSI BUNYI DAN IMPEDANSI AKUSTIK

Scientific Echosounders

Rekayasa Elektrika. Jurnal APRIL 2017 VOLUME 13 NOMOR 1. TERAKREDITASI RISTEKDIKTI No. 36b/E/KPT/2016

INTERPRETASI SEB NILAI TARGET STRENGTH (TS) DAN DENSITAS DEmRSAL DENGAN BlETODE AIE)ROAKUSTIK DI TELUK PELABUWAN RATU

3. METODOLOGI. Pengambilan data dengan menggunakan side scan sonar dilakukan selama

DETEKSI DAN INTERPRETASI SINYAL AKUSTIK SIDE SCAN SONAR (STUDI KASUS LAUT MALUKU UTARA)

Oleh: Henry M. ~anik"

PENGUKURAN ACOUSTIC BACKSCATTERING STRENGTH DASAR PERAIRAN SELAT GASPAR DAN SEKITARNYA MENGGUNAKAN INSTRUMEN SIMRAD EK60

MIGRASI HARIAN IKAN MAS (Cyprinus carpio) SECARA VERTIKAL DENGAN PENDEKATAN AKUSTIK

3. METODOLOGI PENELITIAN. Lokasi penelitian berada di dalam wilayah Kabupaten Administratif

METODE SURVEI TERUMBU KARANG INDONESIA Oleh OFRI JOHAN, M.Si. *

RANCANG BANGUN ALGORITMA DAN APLIKASINYA PADA AKUSTIK SINGLE BEAM UNTUK PENDETEKSIAN BAWAH AIR

PENENTUAN LOKASI SUMBER

Oleh : PAHMI PARHANI C SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

5. ESTIMASI STOK SUMBERDAYA IKAN BERDASARKAN METODE HIDROAKUSTIK

3. METODOLOGI. Gambar 10. Lokasi penelitian

PERSENTASE TUTUPAN DAN TIPE LIFE FORM TERUMBU KARANG DI PULAU MANDANGIN KABUPATEN SAMPANG

(DATA INTEGRATION BATHYMETRY MULTIBEAM AND BACKSCATTER MOSAIC FOR CLASSIFICATION TYPE OF SEDIMEN)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengukuran Sinyal Akustik untuk Mendeteksi Sumber Noise Menggunakan Metode Beamforming

STUDI PUSTAKA PERUBAHAN KERAPATAN ELEKTRON LAPISAN D IONOSFER MENGGUNAKAN PENGAMATAN AMPLITUDO SINYAL VLF

Parameter Fisik Kimia Perairan

Setelah mengikuti praktikum mata kuliah ini mahasiswa akan mampu memahami komponenkomponen

UJI BEDA KETEBALAN INTEGRASI PADA PANTULAN PERTAMA DAN KEDUA HASIL DETEKSI AKUSTIK MULYANI

EFEK PARTISI TERHADAP UPAYA PENGENDALIAN KEBISINGAN

3. DISTRIBUSI IKAN DI LAUT CINA SELATAN

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan selama 5 bulan, yaitu pada bulan Maret sampai

ANALISIS HAMBUR BALIK AKUSTIK UNTUK IDENTIFIKASI SPESIES LAMUN LA OLE

3. METODOLOGI PENELITIAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. (suhu manual) dianalisis menggunakan analisis regresi linear. Dari analisis

STUDI APLIKASI MULTIBEAM ECHOSOUNDER DAN SIDE SCAN SONAR UNTUK MENDETEKSI FREE SPAN PADA SALURAN PIPA BAWAH LAUT

I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

By : ABSTRACT. Keyword : Coral Reef, Marine Ecotourism, Beralas Pasir Island

PEMETAAN BATIMETRI MENGGUNAKAN METODE AKUSTIK DI MUARA SUNGAI LUMPUR KABUPATEN OGAN KOMERING ILIR PROVINSI SUMATERA SELATAN

PENENTUAN KOEFISIEN ABSORBSI BUNYI DAN IMPEDANSI AKUSTIK DARI SERAT ALAM ECENG GONDOK (EICHHORNIA CRASSIPES) DENGAN MENGGUNAKAN METODE TABUNG

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PEMETAAN DAN KLASIFIKASI SEDIMEN DENGAN INSTRUMEN SIDE SCAN SONAR DI PERAIRAN BALONGAN, INDRAMAYU-JAWA BARAT

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Transkripsi:

Karakterisasi Pantulan Akustik Karang Menggunakan Echosounder Single Beam Characterization of Coral Acoustics Backscattering Using Single Beam Echosounder Baigo Hamuna 1, Sri Pujiyati 2, Totok Hestirianoto 2 1 Jurusan Teknik Informatika, Politeknik Negeri Batam Parkway Street, Batam Centre, Batam 29461, Indonesia Email: 1 2 Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Institut Pertanian Bogor Lingkar Akademik, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680, Indonesia ABSTRAK Echosounder single beam CruzPro PcFF80 berfrekuensi 200 khz digunakan untuk perekaman hambur balik akustik karang. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis sinyal hambur balik dan menentukan kekuatan dan karaktersistik hambur balik akustik karang. Pengambilan data dilakukan pada bulan April 2013 yang berlokasi di Kepulauan Seribu. Perekaman data akustik menggunakan echosounder single beam (SBES) CruzPro PcFF80 yang beroperasi pada frekuensi 200 dan 50 khz. Kamera bawah air digunakan untuk memvalidasi data hasil perekaman akustik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai rata-rata surface backscattering strength (SS) beberapa tipe karang pada frekuensi 200 khz bervariasi antara -17.99 db sampai -14.65 db, sedangkan pada frekuensi 50 khz bervariasi antara -13.13 db sampai -9.22 db. Penggunaan frekuensi yang berbeda akan sangat berpengaruh terhadap tinggi rendahnya tingkat absorbsi, sehingga mempengaruhi kuat hambur balik akustik. Kata kunci: absorbsi, frekuensi echosounder, karakterisasi, kuat hambur balik ABSTRACT The single beam echosounder CruzPro PcFF80 with 200 khz of frequencies was used for recordings of coral acoustic backscattering. The objectives of this research are to analyze the backscattered signals and to determine the strength and characteristics of coral acoustic backscatters. Data collection was conducted in April 2013 which located in the Seribu Island waters. Acoustics data recording was carried out in Seribu Islands, using single beam echosounder (SBES) CruzPro PcFF80 with operating at 200 and 50 khz frequencies. An underwater camera was used to validate the acoustic recordings data. The results show that average value of surface backscattering strength (SS) several type of coral at 200 khz frequency varied between -17.99 db up -14.65 db, whereas at 50 khz frequency varied between -13.33 db up -9.22 db. The use of different frequencies will greatly affect the high and low levels of absorption, so that affecting to acoustic backscatter strength. Keywords: absorption, echosounder frequency, characterization, backscattering strength 1 Pendahuluan Konsep scattering strength dimunculkan untuk mengkuantifikasi scattering yang berasal dari dasar laut maupun permukaan laut, sedangkan backscattering strength merujuk pada bagian dari gelombang akustik yang dipantulkan kembali ke arah pemancar pada sistem sonar monostatik [1]. Kekuatan energi akustik yang dipantulkan dari dasar perairan menggunakan SBES telah digunakan untuk mengklasifikasikan jenis dasar perairan dalam Acoustics Discrimination System (ADS). Hasil kuantifikasi pantulan akustik dasar perairan menggunakan single beam echosounder (SBES) CruzPro PcFF80 pada penelitian [2] menunjukkan

adanya perbedaan energi pantulan balik akustik dari sedimen dasar perairan seperti pasir, lumpur dan lempung. Parameter fisik dasar perairan yang bervariasi akan mempengaruhi pantulan sinyal akustik, seperti tingkat kekasaran dan kekerasan dasar perairan, ukuran butiran sedimen dan relief dasar dapat mempengaruhi proses hamburan balik sinyal akustik [3] [4] [5]. Ekosistem terumbu karang yang terdiri dari berbagai bentuk pertumbuhan dan tipe karang yang tentunya akan memiliki karakteristik yang berbeda pula antara karang yang satu dengan lainnya. Perbedaan karakteristik antar tipe tersebut akan sangat berpengaruh terhadap kuat pantulan balik sinyal akustik yang akan diterima transduser. Hasil penelitian [6] [7] bahwa instrumen hidroakustik split beam echosounder SIMRAD EY 60 dapat digunakan untuk mengidentifikasi dan klasifikasi lifeform terumbu karang dengan berdasarkan kuat hambur balik akustiknya. Dibandingkan dengan split beam echosounder, SBES merupakan instrumen akustik yang paling sederhana yang hanya memancarkan bim tunggal untuk mendeteksi target yang dilaluinya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik pantulan akustik (acoustics backscattering) permukaan (surface) dari beberapa tipe karang menggunakan instrumen akustik SBES CruzPro PcFF80 frekuensi 200 dan 50 khz. Data yang dihasilkan dapat dijadikan sebagai gambaran karakteristik kuat pantulan akustik karang menggunakan instrumen akustik SBES. 2.1 Pengambilan Data 2 Metodologi Pengambilan data akustik berlokasi di Pulau Karang Beras, Kepulauan Seribu. Perekaman data menggunakan echosounder single beam CruzPro PcFF80 frekuensi 200 dan 50 khz (Gambar 1). Proses perekaman data akustik dilakukan secara stasioner. Pengambilan gambar karang menggunakan kamera underwater untuk validasi data hasil perekaman akustik. Proses perekaman data akustik dilakukan selama 10 sampai 15 menit pada tiap tipe karang. Diagram alir proses perekaman data akustik dapat dilihat pada Gambar 2. Spesifikasi dan setingan alat saat perekaman data akustik dapat dilihat pada Tabel 1. Gambar 1. Echosounder single beam CruzPro PcFF80 TABEL 1. SPESIFIKASI DAN SETINGAN ALAT PEREKAMAN AKUSTIK Parameter Nilai 200 khz 50 khz Beam width (degree) 11 45 Source level (db) 163 156 Receiving sensitivity (db) -185-173 Array voltase gain (db) 0 0 Amplifier gain (db) -20.83-20.83 Pulse duration (ms) 0.4 0.1 Ping rate (s) 0.334 0.5 Sound speed (m/s) 1516 1516

Gambar 2. Diagram alir proses perekaman data akustik 2.2 Pemrosesan dan Analisis Data Pemrosesan sinyal hasil perekaman akustik dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Misrosoft Excel dan Matlab R2010a. Data yang diperoleh dalam bentuk raw data (data mentah) selanjutnya diekstrak dengan menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel untuk memudahkan pengolahan dan analisis data pada program Matlab. Satuan dasar pencuplikan (Elementary Sampling Unit, ESU) yang digunakan pada proses pengolahan data untuk mengetahui nilai pantulan akustik tiap tipe karang berdasarkan waktu perekaman selama 5 detik. Proses membedakan echo dari beberapa tipe karang maka dilakukan dengan kuantifikasi sinyal echo untuk menghasilkan suatu data berdasarkan nilai rata-rata yang diperoleh. Proses kuantifikasi dilakukan dengan mengadopsi persamaan yang digunakan oleh [8] [9]: SS [db] = RS SL + AR AVG + AG + 40log 10 R + 2αR 10log 10A (1) Dimana, SS adalah surface backscattering strength, RS dan SL adalah sensitivity dan source level alat yang digunakan (db), AR adalah amplitudo atau echo pantulan target (db), AVG dan AG adalah gain alat dan setingan pada saat perekaman akustik (db), R adalah jarak target dari transduser (meter), α adalah koefisien absorpsi (dbkm -1 ) dan A adalah luas cakupan beam transduser pada dasar perairan yang diperoleh dengan persamaan: A = π (R tan(θ)) 2. (2) 3 Hasil dan Pembahasan 3.1 Surface backscattering strength (SS) Surface backscattering strength (SS) merupakan perbandingan antara kekuatan intensitas suara yang dipantulkan dengan intensitas suara yang mengenai permukaan dasar perairan. Nilai SS diperoleh dari puncak nilai echo pantulan pertama permukaan dasar perairan. Keras atau lunaknya dasar perairan akan memberikan pengaruh terhadap intensitas pantulan sinyal akustik yang dikembalikan. Gambar 3 menunjukkan tipe pertumbuhan karang pada penelitian ini sedangkan Gambar 4 menunjukkan perbandingan kuat pantulan balik akustik beberapa tipe karang (sampel 60 ping) yang direkam menggunakan frekuensi 200 khz dan 50 khz.

Gambar 3. Tipe karang target penelitian Gambar 4. Pantulan balik akustik beberapa tipe karang

Perbedaan karakteristik bentuk pertumbuhan karang akan sangat berpengaruh terhadap kuat pantulan balik sinyal akustik yang akan diterima transduser. Hasil kuantifikasi menunjukkan bahwa nilai rata-rata SS pada beberapa tipe karang disajikan pada Tabel 2. Coral mushroom (CMR) dan rubble atau patahan karang (RB) cenderung memiliki karakter pantulan akustik yang lebih tinggi baik pada frekuensi 200 khz maupun 50 khz karena dipengaruhi oleh bentuk pertumbuhan CMR dan CM yang sangat padat dan keras. Hal ini sejalan dengan pernyataan [10] bahwa CMR salah satu tipe karang yang memiliki bentuk dan komposisi yang lebih padat dan keras dari bentuk pertumbuhan lainnya. Adapun RB dapat dipengaruhi oleh komposisi patahan karang yang lebih padat dan ukurannya yang relatif besar. Acropora tabulate (ACT) memiliki karakter pantulan akustik yang relatif lebih rendah pada frekuensi 200 khz, sedangkan Acropora branching (ACB) dan Coral massive mati (DC) memiliki nilai pantulan yang lebih rendah pada kedua frekuensi akustik yang digunakan. Rendahnya nilai pantulan akustik pada ACT diduga karena bentuk pertumbuhan yang ACT dipengaruhi oleh tipis. ACB dengan bentuknya yang bercabang-cabang sehingga dapat menghamburkan sinyal akustik yang mengenainya dan melemahkan sinyal pantulan ke transduser. Adapun DC dapat disebabkan karena struktur kapur pada Coral massive mati tersebut mulai rapuh dan permukaanya cenderung tertutup oleh alga. Bila dibandingkan dengan nilai SS pada penelitian yang dilakukan oleh [6] [7] pada beberapa tipe karang yang sama, diperoleh hasil kuantifikasi SS yang berbeda dengan penelitian ini. Manuhutu (2010) memperoleh nilai SS pada tipe karang ACB, CM, ACT dan CMR masing-masing adalah -32.50 db, -30.00 db, -27.50 db dan -30.00 db, sedangkan Bemba (2011) memperoleh nilai ACB, CM, ACT, CMR dan RB masing-masing adalah -27.03 db, -24.04 db, -25.65 db, -22.24 db dan -23.17 db. Kedua penelitian tersebut menggunakan instrumen echosounder split beam Simrad EY 60 frekuensi 120 khz. Perbedaan nilai SS dengan penelitian ini disebabkan karena penggunaan alat yang berbeda, dimana kedua penelitian sebelumnya menggunakan. Pada dasarnya bahwa penggunaan instrumen akustik yang berbeda akan memberikan hasil yang berbeda. Selain itu, penggunaan algoritma yang berbeda pada data akustik yang sama terkadang akan memberikan hasil yang berbeda pula [7]. Faktor lain yang diduga dapat menyebabkan perbedaan nilai SS adalah kondisi karang seperti usia, ketebalan dan luasan karang. 3.2 Perbandingan surface backscattering strength (SS) frekuensi 200 dan 50 khz Setiap sinyal echo yang diterima dari dasar perairan tergantung dari jenisnya akan memiliki respon akustik yang berbeda terhadap frekuensi tertentu. Menurut [11] bahwa pengaruh relief dasar perairan pada gelombang akustik yang datang sangat dipengaruhi oleh penggunaan frekuensi akustik. Penggunaan berbagai frekuensi yang berbeda pada instrumen akustik akan didapatkan hasil yang berbeda pula. Perbedaan nilai SS antara frekuensi tinggi 200 khz dan frekuensi rendah 50 khz dapat disebabkan karena respon akustik tiap tipe karang yang berbeda terhadap frekuensi yang berbeda. Selain itu, penggunaan frekuensi akan berhubungan langsung dengan absorpsi dalam medium (ait laut). Absorpsi dapat memberikan pengaruh terhadap kuat atau lemahnya pantulan akustik dari target. Frekuensi yang lebih tinggi akan memiliki tingkat absorpsi yang lebih tinggi, sehingga energi pantulan dari dasar perairan lebih sedikit dibandingkan energi pantulan pada frekuensi rendah dengan tingkat absorpsi yang lebih kecil [12]. Hasil serupa pada penelitian [8] yang menunjukkan bahwa penggunaan dual frekuensi instrumen akustik akan memberikan hasil yang berbeda, frekuensi yang rendah akan memberikan nilai pantulan akustik yang lebih tinggi dibandingkan frekuensi yang tinggi pada dasar perairan yang sama. 3.3 Uji ragam nilai rata-rata surface backscattering strength (SS) Berdasarkan Tabel 2 terlihat bahwa nilai SS tiap tipe karang pada kedua frekuensi akustik memiliki perbedaan nilai yang sangat kecil sehingga perlu dilakukan pengujian statistik untuk mengetahui ragam nilai rata-rata SS yang diperoleh. Tabel 3 menunjukkan hasil pengujian statistik menggunakan metode analisis Tukey HSD. Hasil uji ragam menunjukkan bahwa perbedaan nilai rata-rata SS antar tipe karang pada frekuensi 200 dan 50 khz berbeda signifikan 100%, dimana nilai hasil uji (sig) lebih kecil dari nilai taraf uji (sig < 0.05). Artinya bahwa nilai rata-rata SS pada kedua frekuensi berbeda nyata antar tipe karang pada penelitian ini. Hasil uji statistik tersebut menandakan bahwa respon akustik antar tipe karang dan pasir yang berbeda satu dan lainnya, sehingga dapat disimpulkan bahwa instrumen single beam echosounder CruzPro PcFF80 dapat digunakan untuk membedakan nilai pantulan akustik berbagai tipe karang.

TABEL 2. NILAI RATA-RATA SURFACE BACKSCATTERING STRENGTH (SS) Tipe karang Kode 200 khz (db) 50 khz (db) Mean St. Dev Mean St. Dev Coral mushroom CMR -14.65* 0.3018-9.22 0.7265 Rubble RB -15.66 0.1737-8.41* 0.7637 Coral massive CM -15.84 0.5730-11.46 0.6456 Acropora tabulate ACT -16.49 0.3047-9.79 0.5019 Coral massive mati DC -16.69 0.2611-12.07 1.4336 Acropora branching ACB -17.99 0.2334-13.13 0.6105 * Nilai tertinggi TABEL 3. HASIL UJI TUKEY HSD NILAI RATA-RATA SS (Α = 0.05) 200 khz n 110 99 104 107 72 50 khz n 109 100 108 102 120 113 96 Tipe karang ACB CM ACT CMR RB DC 200 khz ACB 50 khz CM ACT CMR RB DC nilai rata-rata berbeda nyata 4 Kesimpulan Hasil kuantifikasi surface backscattering strength (SS) menunjukkan bahwa tiap tipe karang memiliki karakter pantulan akustik yang berbeda, dimana bentuk pertumbuhan karang akan sangat berpengaruh terhadap kuat lemahnya pantulan akustik. Coral mushroom (CMR) dan rubble atau patahan karang (RB) cenderung memiliki karakter pantulan yang lebih tinggi dari tipe karang lainnya, sedangkan Acropora branching (ACB) dan Coral massive mati (DC) memiliki karakter pantulan akustik yang lebih rendah pada kedua frekuensi. Penggunaan frekuensi sangat berpengaruh terhadap tinggi rendahnya absorpsi yang berpengaruh terhadap nilai surface backscattering strength (SS) yang diperoleh. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa echosounder single beam (SBES) CruzPro PcFF80 dapat digunakan untuk membedakan pantulan balik akustik (acoustics backscattering strength) karang. Daftar Pustaka [1] R. J. Urick, Principles of Underwater Sound, 3rd ed. New York, USA: McGraw-Hill Publishing, 1983. [2] H. M. Manik, "Seabed identification and characterization using sonar. Advances in acountics and vibration", Hindawi Publishing Corporation, vol. 2012, 5 pages, 2012. [3] P. D. Thermo, N. G. Pace, and Z. K. S. Al- Hamdani, "Laboratory measurements of backscattering from marine sediment", J. Acoust. Soc. Am, vol. 84, pp. 303-309, 1988. [4] D. A. Demer, G. R. Cutter, J. S. Renfree, and J. L. Butler, "A statistical-spectral method for echo classification", ICES Journal of Marine Science, vol. 66, pp. 1081-1090, 2009. [5] S. Pujiyati, S. Hartati, and W. Priyono, "Efek ukuran butiran, kekasaran dan kekerasan dasar perairan terhadap nilai hambur balik hasil deteksi hidroakustik," E-jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, vol. 2, pp. 59-67, Juni 2010 2010. [6] J. F. Manuhutu, "Klasifikasi lifeform terumbu karang menggunakan instrumen hidroakustik SIMRAD EY 60 di Pulau Pari, Kepulauan Seribu", Tesis, Institut Pertanian Bogor, Bogor, Indonesia, 2010.

[7] J. Bemba, "Identifikasi dan klasifikasi lifeform karang menggunakan metode akustik", Tesis, Institut Pertanian Bogor, Bogor, Indonesia, 2011. [8] B. Chakraborty et al., "Acoustics characterization of seafloor habitats on the western continental shelf of India", ICES Journal of Marine Science, vol. 64, pp. 551-558, 2007. [9] K. Haris, B. Chakraborty, B. Ingole, A. Menezes, and R. Srivastava, "Seabed habitat mapping employing single and multi-beam backscatter data", Cont. Shelf Res, vol. 48, pp. 40-49, 2012. [10] S. English, C. Wilkinson, and V. Baker, Survey Manual for Tropical Marine Resources, 2nd ed. Townsville, Australian: Australian Institute of Marine Science, 1997. [11] D. R. Jackson and M. D. Richardson, High- Frequency Seafloor Acoustics. New York, USA: Springer Science Busiess Media, LCC, 2007. [12] M. Saleh, "Seabed classification using subbottom profiler", Delft University of Technology, Delft, Thesis 2010.