PR MENTERI LKH: TUTUP CELAH KORUPSI MELALUI REVISI REGULASI SEKTOR KEHUTANAN

dokumen-dokumen yang mirip
REGULASI MEMBAWA KORUPSI

I. PENDAHULUAN. ekonomi. Manfaat hutan tersebut diperoleh apabila hutan terjamin eksistensinya

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi.

INDIKASI KERUGIAN NEGARA AKIBAT DEFORESTASI HUTAN. Tim Penulis: Egi Primayogha Firdaus Ilyas Siti Juliantari Rachman

MISKINYA RAKYAT KAYANYA HUTAN

Kajian Sistem Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Sektor Kehutanan 2015

Monitoring Implementasi Renaksi GN-SDA oleh CSO. Korsup Monev GN-SDA Jabar Jateng DIY Jatim Semarang, 20 Mei 2015

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 53/Menhut-II/2009 TENTANG PEMASUKAN DAN PENGGUNAAN ALAT UNTUK KEGIATAN IZIN USAHA

I. PENDAHULUAN. ekonomi dan sosial budaya. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang

Evaluasi Tata Kelola Sektor Kehutanan melalui GNPSDA (Gerakan Nasional Penyelamatan Sumberdaya Alam) Tama S. Langkun

Oleh : Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

SISTEMATIKA PENYAJIAN :

Harmonisasi Kebijakan dan Peraturan Perundangan

Jalan Perubahan Ketiga: Pemberantasan Kejahatan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup PEMBANGUNAN SEBAGAI HAK RAKYAT

BUPATI INDRAGIRI HILIR

Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. dekade 1990-an. Degradasi dan deforestasi sumberdaya hutan terjadi karena

BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA

BAB I PENDAHULUAN. Deforestasi atau penebangan hutan secara liar di Indonesia telah menimbulkan

BAB I PENDAHULUAN. telah berlangsung sebelum legalitas hukum formal ditetapkan oleh pemerintah.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.65, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Koridor. Penggunaan. Pembuatan.

Menguji Rencana Pemenuhan Target Penurunan Emisi Indonesia 2020 dari Sektor Kehutanan dan Pemanfaatan Lahan Gambut

Oleh : Ketua Tim GNPSDA. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pontianak, 9 September 2015

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

KEJAHATAN KEHUTANAN KONTEMPORER (Studi kasus Riau) 1

Moratorium Hutan Berbasis Capaian

Strategi rehabilitasi hutan terdegradasi

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PELUANG IMPLEMENTASI REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation) DI PROVINSI JAMBI

CATATANKEBIJAKAN. Peta Jalan Menuju EITI Sektor Kehutanan. No. 02, Memperkuat Perubahan Kebijakan Progresif Berlandaskan Bukti.

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 397/Kpts-II/2005

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUTAI,

BAB I PENDAHULUAN. memilikinya,melainkan juga penting bagi masyarakat dunia.

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.293 / MENHUT-II / 2007 TENTANG

Lampiran : Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan. Nomor : P.06/VI-SET/2005 Tanggal : 3 Agustus 2005

DAMPAK PENCABUTAN PSAK: AKUNTANSI KEHUTANAN PSAK 32

PEMBANGUNAN DAN PENGELOLAAN KPH

Policy Brief Perbaikan Regulasi Lahan Gambut Dalam Mendukung Peran Sektor Industri Kelapa Sawit Indonesia 2017

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PP 74/1998, PENETAPAN BESARNYA NILAI JUAL KENA PAJAK UNTUK PENGHITUNGAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

BAB I PENDAHULUAN. Sejak akhir tahun 1970-an, Indonesia mengandalkan hutan sebagai penopang

-1- DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

Pmencerminkan kepatuhan terhadap prinsipprinsip

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1999 terjadi reformasi institusi kehutanan yang diformalisasikan dalam

Keterbukan Infomasi Pintu Perbaikan Tata Kelola Hutan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 98/PUU-XIII/2015 Izin Pemanfaatan Hutan

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA TAHUN 2001 NOMOR 79 SERI C NOMOR 4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 48 TAHUN 2001

BAB I PENDAHULUAN. Hutan di Indonesia menjadi potensi besar sebagai paru-paru dunia,

BAB I PENDAHULUAN. sebagai pengendali ekosistem, pengaturan tata air dan berfungsi sebagai paru-paru

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 95/PUU-XII/2014 Penunjukan Kawasan Hutan Oleh Pemerintah

PAPER KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN

Laporan Investigatif Eyes on the Forest Desember 2015

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 11 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 63/Menhut-II/2008

EVALUASI DAN CAPAIAN ATAS KOORDINASI DAN SUPERVISI SEKTOR KEHUTANAN DAN REFORMASI KEBIJAKAN

REPETA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 7/Menhut-II/2009 TENTANG PEDOMAN PEMENUHAN BAHAN BAKU KAYU UNTUK KEBUTUHAN LOKAL

PROGRES IMPLEMENTASI 6 SASARAN RENCANA AKSI KORSUP KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN DI SUMATERA BARAT

I PENDAHULUAN Latar Belakang

PENCABUTAN ATAU REVISI PERMENHUT P. 51/2006 DAN P.33/2007 TENTANG SURAT KETERANGAN ASAL-USUL (SKAU)

I.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

2 Pemberantasan Korupsi Tahun 2013, perlu perbaikan dan pemisahan dalam Peraturan tersendiri menyangkut Inventarisasi Hutan Berkala dan Rencana Kerja

HARAPAN RAINFOREST RESTORASI EKOSISTEM DI HARAPAN RAINFOREST SEBUAH MODEL DALAM UPAYA PENGURANGAN LAJU DEFORESTASI DI INDONESIA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

REVITALISASI KEHUTANAN

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 40 / PMK.07 / 2007 TENTANG

INDUSTRI PENGGUNA HARUS MEMBERSIHKAN RANTAI PASOKAN MEREKA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 66 /Menhut-II/2014 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 82/KPTS-II/2001 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. peradaban umat manusia di berbagai belahan dunia (Maryudi, 2015). Luas hutan

Ekspansi Industri Pulp: Cara Optimis Penghancuran Hutan Alam

BAB 1 PENDAHULUAN. dan telah mencapai 2 juta ha per tahun pada tahun 1996 (FWI & GWF,

Deregulasi Perizinan di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

BAB I PENDAHULUAN. penegakan hukum yang lemah, dan in-efisiensi pelaksanaan peraturan pemerintah

Yang Terhormat: Sulawesi Tengah

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Dampak moratorium LoI pada hutan alam dan gambut Sumatra

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PAPARAN MENTERI PPN/KEPALA BAPPENAS

Keputusan Menteri Kehutanan No. 31 Tahun 2001 Tentang : Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

P R O G R A M INDONESIA MEMANTAU HUTAN

BAB I PENDAHULUAN. Kondisi hutan di Indonesia saat ini dalam keadaan krisis. Banyak tumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. 4

Pemantauan Pembakaran Hutan dan Lahan di Perkebunan PT Runggu Prima Jaya Oktober 2015

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 244/KPTS-II/2000 TENTANG

Menimbang : Mengingat :

BAB I PENDAHULUAN. alam baik itu berupa sumber daya tanah, air, udara dan sumber daya alam lainnya

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK. 55/Menhut-II/2006

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KINERJA PENDAPATAN NEGARA BUKAN PAJAK (PNBP) SUMBER DAYA ALAM NON MIGAS

Transkripsi:

Press Release PR MENTERI LKH: TUTUP CELAH KORUPSI MELALUI REVISI REGULASI SEKTOR KEHUTANAN Ada dua prestasi Indonesia yang diakui masyarakat dunia. Pertama, salah satu negara dengan praktik korupsi terbesar. Kedua, salah satu negara dengan laju kerusakan hutan tertinggi di dunia. Bahkan pada tahun 2008, Guiness Book Of World Records bahkan pernah menempatkan Indonesia sebagai negara penghancur hutan tercepat di dunia. Kerusakan hutan ini selain disebabkan maraknya industri kayu untuk memenuhi kebutuhan kayu di pasar global. Juga disebabkan karena praktek pembalakan liar (illegal logging), alih fungsi lahan dari hutan menjadi perkebunan kepala sawit, transmigrasi dan kebakaran hutan, baik karena faktor alam atau karena kesengajaan yang dilakukan oleh perusahaan untuk membuka lahan. Tak hanya itu, lemahnya regulasi sektor kehutanan, desentralisasi atau otonomi daerah serta lemahnya penegakan hukum dalam penanganan kasus kejahatan dibidang hutan juga memberikan andil dalam tingkat kerusakan hutan. Jika permasalahan ini dilihat dari hulu hingga hilir, maka hulu permasalahan pastinya praktek korupsi di sektor kehutanan. Akibat korupsi, maka pengawasan terhadap hutan tidak efektif. Praktek illegal logging marak dilakukan yang pada akhirnya mempercepat deforestasi. Karena korupsi pula, alih fungsi lahan dari hutan menjadi perkebunan berjalan tidak terkendali. Berjutajuta hektar hutan dikonversi menjadi perkebunan dan berbagai keperluan lain. Praktek korupsi di sektor kehutanan saat ini dalam kondisi yang sangat mengkhawatirkan terjadi dalam beberapa tahap dalam rantai supply industri kayu, mulai tahap perizinan, penebangan, pengangkutan, pelelangan dan pada saat pembayaran pajak dan retribusi. Bahkan KPK melalui kajian terhadap sistem perijinan sumber daya alam mengidentifikasi setidaknya ada 21 peraturan atau kebijakan perizinan di sektor kehutanan yang dinilai bermasalah dan rawan terjadi praktik korupsi. Karenanya penegakan hukum dan kepastian hukum sektor kehutanan menjadi Pekerjaan Rumah yang paling utama bagi Menteri Lingkungan Hudup dan Kehutanan pemerintahan Jokowi. Indonesia Corruption Watch mencatat setidaknya ada 8 regulasi yang menjadi prioritas untuk segera direvisi, diantaranya: 1. PP 6/2007 jo. PP 3/2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan. 2. PP 45/2004 jo PP 60/2009 tantang perlindungan Hutan 3. Permenhut P.50/2010 jo. P.62/2012 tentang Tata Cara Pemberian dan Perluasan Areal Kerja Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Dalam Hutan Alam, IUPHHK restorasi ekosistem, atau IUPHHK Hutan Tanaman Industri Pada Hutan Produksi. 4. Permenhut P.33/2009 jo. P.5/2011 tentang Pedoman Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala Pada Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Produksi 5. Permenhut P.56/2009 tentang Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dan Hutan Alam serta Restorasi Ekosistem 6. Permenhut P.55/2006 jo. P.8/2009 tentang Penataan Hasil Hutan Yang Berasal dari Hutan Negara 7. Permenhut P.18/2007 tentang Petunjuk teknis Tata Cara Pengenaan Pemungutan dan Pembayaran Provisi Sumber Hutan dan Dana Reboisasi.

8. Permenhut P.39/2008 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Terhadap Pemegang Izin Pemanfaatan Hutan PP 6/2007 jo PP 3/2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan menjadi salah satu regulasi yang paling mendesak untuk direvisi. Pasalnya berbagai tipologi kelemahan regulasi dalam PP 6/2007 jo. PP 3/2008 terbukti secara empirik dalam berbagai kasus-kasus korupsi di sektor kehutanan memberikan insentif bagi terjadinya korupsi dengan tipologi yang beragam. Indonesia Corruption Watch, melakukan uji publik terhadap PP 6/2007 Jo PP 3/2008. Uji publik dilakukan dengan melibatkan 5 ahli atau eksaminator yang menguji formil dan materiil materi muatan PP 6/2007. Kelima Eksaminator adalah: 1. Prof. Haryadi Kartodiharjo, Akademisi IPB 2. Grahat Negara, Peneliti Silvagama 3. Sofyan Warsito, Akademisi UGM 4. Mumu Muhajir, Peneliti Epistema 5. M. Nur Solikhin. Peneliti PSHK PP 6/2007 jo PP 3/2008 mengatur hal yang berbeda dengan yang diatur dalam UU yang memerintahkannya ada. Salah satunya, PP 6/2007 jo. to PP 3/2008 mengandung "logika" nya sendiri yang berbeda dengan logiknya UU 41/1999, termasuk dalam memasukkan pengelolaan wilayah hutan ke dalam materi yang diaturnya dan mengeluarkan aturan soal penggunaan kawasan hutan agar diatur tersendiri dalam bentuk PP. Selain itu, perbandingan antara prinsip pemanfaatan hutan menurut UU 41/1999 dengan aturanaturan pengelolaan dan pemanfaatan hutan di dalam PP 6/2007 jo. PP 3/2008 didapatkan beberapa kesimpulan: (1) ketiadaan arahan pemanfaatan hutan yang lebih terintegrasi dan bertahap membuat posisi penerima ijin mendapatkan keuntungan lebih karena mengetahui lapangan dan mendapatkan insentif untuk terus ekspansi tanpa terganggu oleh pembatasan alokasi lahan; (2) tidak ada pembatasan luas dan produksi ketika menyangkut ijin pemanfaatan kayu hutan dan sebaliknya aturan tentangnya malah mendorong untuk melewati target dan mendapatkan insentif; (3) perlindungan dan pemberdayaan masyarakat tidak dilakukan dengan tegas dan dengan bentuk ijin yang lebih kuat karena skema yang ditawarkan lebih banyak menggantungkan pada pihak lain. Di sisi lain, deregulasi dilakukan pada bentuk ijin lain, sebaliknya pada skema pemberdayaan masyarakat untuk mendapatkan ijinnya harus melewati berbagai meja layanan; (4) pengaturan soal penghindaran konflik kepentingan tidak diatur yang membuka ruang pemusatan kekuasaan kayu/hutan pada pihak-pihak tertentu. Hal ini sejalan dengan Studi Kerentanan Korupsi Dalam Perizinan di Sektor Sumber Daya Alam yang dibuat KPK. Kajian ini menegaskan terjadinya korupsi dalam pengelolaan hutan dengan menemukan celah korupsi dan biaya transaksi tinggi atau informal pada hampir seluruh bisnis proses pemanfaatan hutan. Transaksi yang dilakukan bisa mencapai belasan juta hingga bahkan miliaran rupiah. Oleh karena itu, Indonesia Corruption Watch merekomendasikan: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan harus segera merview dan merevisi regulasiregulasi tingkat nasional baik Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Menteri lainnya yang berpotensi membuka praktik korupsi di sektor kehutanan. Termasuk didalamnya PP 6/2007 Jo PP 3/2008. Revisi atas PP 6/2007 Jo PP 3/2008 setidaknya perlu mengatur hal-hal berikut: perlunya pembatasan luas dan produksi untuk ijin pemanfaatan kayu, pengaturan soal penghindaran

konflik kepentingan, ketentuann tentang perlunya arahan pemanfaatan hutan yang terintegrasi, deregulasi bagi skema pemberdayaan masyarakat, pemakaian sanksi administrasi berupa pengurangan areal. Jakarta, 23 November 2014 INDONESIA CORRUPTION WATCH Divisi Hukum Dan Monitoring Peradilan (Emerson Yuntho, Lalola Easter, Aradila Caesar) Lampiran

Sumber KPK