BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Arus Eddy Penelitian mengenai arus eddy pertama kali dilakukan pada sekitar tahun 1930 oleh Iselin dengan mengidentifikasi eddy Gulf Stream dari data hidrografi, serta penelitian Stockman dari data time series hasil pengukuran langsung di Laut Kaspia. Arus eddy dapat terbentuk di lautan mana saja tetapi memiliki distribusi dan aktivitas yang heterogen dengan skala spasial berkisar antara puluhan sampai ratusan kilometer dan skala temporal berkisar antara mingguan sampai bulanan (Robinson 1983). Kecepatan pusaran arus eddy yang dekat dengan arus utama cenderung sangat tinggi hingga mencapai 1 m/s, sedangkan kecepatan arus eddy yang jauh dari arus utama hanya 0,01 m/s. Terdapat dua tipe arus eddy, tipe pertama adalah yang terbentuk akibat interaksi aliran arus dengan topografi, dan yang kedua adalah akibat angin (Mann dan Lazier 2006). Selanjutnya Robinson (1983) menyatakan bahwa arus eddy mentranspor, menjebak, dan menyebarkan unsur kimia, zat-zat terlarut, nutrien, organisme kecil, dan panas. Menurut Martono (2008a), gerakan eddy ada dua macam yaitu secara siklonik (searah jarum jam di belahan bumi selatan) maupun antisiklonik (berlawanan arah jarum jam di belahan bumi selatan). Arus eddy dapat menyebabkan upwelling maupun downwelling sesuai dengan arah putarannya (Martono 2009). Arah gerakan arus eddy memiliki dampak yang berbeda antara di belahan bumi utara dan belahan bumi selatan. Di belahan bumi utara, eddy akan menyebabkan upwelling jika bergerak berlawanan arah jarum jam, dan menyebabkan downwelling jika bergerak searah jarum jam. Sebaliknya, di belahan bumi selatan, jika eddy bergerak searah jarum jam maka akan menyebabkan upwelling, dan jika bergerak berlawanan arah jarum jam maka akan menyebabkan downwelling (Stewart 2008), seperti yang terlihat pada Gambar 3. Selanjutnya Stewart (2008) menyatakan bahwa arus eddy yang bergerak searah jarum jam di bumi bagian utara memiliki inti hangat dan ketinggian 6
7 permukaan air bagian pusat lebih tinggi daripada daerah sekitarnya. Sedangkan eddy yang bergerak berlawanan arah jarum jam memiliki inti dingin dan ketinggian air di pusatnya lebih rendah (Gambar 3). Gambar 3. Skematik gerakan eddy dan akibatnya terhadap pergerakan vertikal massa air di bumi belahan selatan (Sumber: Ganachaud, et al. 2011) 2.2 Arus Geostropik Secara umum, gerakan arus permukaan laut terutama disebabkan oleh adanya angin yang bertiup di atasnya. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi arus permukaan laut antara lain (Hutabarat 1986 dalam Harini 2004): 1. Bentuk dasar topografi dasar laut dan pulau-pulau yang ada di sekitarnya; 2. Gaya Coriolis dan Arus Ekman; 3. Perbedaan tekanan air; 4. Arus musiman; 5. Upwelling dan sinking; 6. Perbedaan densitas.
8 Arus geostropik adalah arus yang terjadi karena adanya keseimbangan geostropik yang terjadi karena adanya gradien tekanan horizontal yang bekerja pada massa air yang bergerak, dan diseimbangkan oleh gaya Coriolis (Brown et al. 1989). Wibisono (2005) menyatakan bahwa arus geostropik timbul akibat perbedaan densitas. Arus ini merupakan salah satu komponen utama dari arus permukaan laut dan merupakan fungsi dari tekanan angin, tekanan pasang surut, gravitasi, dan rotasi bumi. Di wilayah ekuator, gaya Coriolis menghilang dan tidak ada keseimbangan geostropik. Walaupun demikian, arus berkaitan dengan kelerengan (slope) paras laut, tetapi hubungan ini tidak semudah dengan hubungan geostropik (Stewart 1985 dalam Harini 2004). 2.3 Tinggi paras laut (TPL) Tinggi paras laut adalah ketinggian dari permukaan laut yang dalam kesehariannya dipengaruhi oleh pasang surut, sedangkan dalam skala waktu yang lebih lama dipengaruhi oleh sirkulasi lautan. Biasanya, anomali tinggi paras laut yang dihasilkan dari kekuatan-kekuatan ini berbeda dari rata-rata kurang dari ±1 dalam skala global. Perubahan musiman dari pemanasan, pendinginan dan kekuatan angin permukaan akan menyebabkan sirkulasi dan mempengaruhi tinggi paras laut. Variasi tinggi paras laut dapat diukur dengan menggunakan satelit altimetri, contohnya TOPEX/Poseidon (Stewart 2008). Perkembangan satelit altimetri sebagai suatu teknik penginderaan jauh selama kurun waktu beberapa tahun ini dapat memberikan informasi yang berharga dalam pengembangan penelitian tentang fenomena fisik laut. Satelit altimetri dapat digunakan untuk pengamatan mengenai perubahan arus permukaan secara global (Harini 2004). Nilai TPL yang rendah berasosiasi dengan daerah upwelling atau siklon, sedangkan daerah dengan TPL tinggi umumnya berasosiasi dengan daerah downwelling atau antisiklon (Brown, et al. 1989). 2.4 Klorofil-a Klorofil-a merupakan salah satu parameter yang sangat menentukan produkstivitas primer di laut. Sebaran dan tinggi rendahnya konsentrasi klorofil-a sangat terkait dengan kondisi oseanografi suatu perairan laut (Parson et al., 1984
9 dalam Samawi 2007). Selanjutnya Samawi (2007) menjelaskan bahwa beberapa keadaan konsentrasi klorofil-a yang tinggi dapat ditemukan di daerah lepas pantai. Hal ini mungkin terjadi akibat adanya proses sirkulasi massa air yang membawa nutrien dari lapisan lebih dalam ke permukaan laut (upwelling). Klorofil-a merupakan indikasi besarnya biomassa fitoplankton sebagai produktivitas primer. Dalam rantai makanan di perairan laut produktivitas primer memegang peranan menentukan stok ikan. Arus eddy dapat menyebabkan upwelling atau downwelling (Martono 2009), sehingga secara tidak langsung dapat mempengaruhi konsentrasi klorofil-a di perairan (Kunarso 2011). Arus eddy arus juga memiliki potensi untuk mengurangi jumlah klorofil-a, seperti yang telah dilaporkan oleh Garcia, dkk. (2004) dalam Pranowo, dkk. (2005). Selanjutnya hasil penelitian Pranowo, dkk. (2005) menunjukkan bahwa arus eddy mampu mentranspor klorofil-a dari sepanjang perairan pantai Selatan Jawa menuju Samudera Hindia Selatan (Gambar 4), lalu fenomena downwelling akan menenggelamkan klorofil-a tersebut ke kedalaman tertentu. Gambar 4. Distribusi klorofil-a dari pantai selatan Jawa menuju ke laut oleh arus eddy (Pranowo, dkk. 2005)
10 Upwelling akan membawa massa air dingin dan kaya nutrisi dari kedalaman tertentu ke permukaan, sebaliknya downwelling akan membawa massa air dari permukaan ke lapisan dalam, dan jika downwelling terjadi pada saat blooming alga maka kemungkinan konsentrasi klorofil-a di permukaan akan berkurang. Namun, terdapat jeda waktu sekitar 1.5-2 bulan dari terjadinya upwelling hingga terjadi kenaikan konsentrasi klorofil-a. Hal ini terjadi karena nutrien yang dibawa oleh upwelling ke permukaan membutuhkan waktu tertentu hingga dapat menstimulasi pertumbuhan fitoplankton (Pranowo, dkk. 2005) 2.5 Suhu Permukaan Laut (SPL) Suhu air laut dipermukaan sangat bergantung pada jumlah panas yang diterima dari matahari. Daerah-daerah yang paling banyak menerima panas matahari adalah daerah pada lintang 0 (ekuator), sehingga suhu air laut yang tertinggi akan ditemukan di daerah tersebut. Daerah tropis lebih banyak menerima panas dibandingkan daerah kutub, hal ini disebabkan sinar matahari yang merambat melalui atmosfer akan lebih banyak kehilangan panas sebelum sampai ke daerah kutub dibandingkan dengan daerah ekuator (Hutabarat dan Evans 1985 dalam Bada 2011). Suhu permukaan laut (SPL) di Indonesia berkisar antara 28-31 C (Nontji 2005 dalam Bada 2011). Menurut Wyrtki (1961), kondisi lapisan permukaan laut tropis adalah hangat dan variasi suhu tahunannya adalah kecil, tetapi variasi suhu hariannya tidak terlalu tinggi dibandingkan dengan subtropis dan polar. Variasi suhu rata-rata tahunannya lebih kecil dari 2 C di daerah khatulistiwa, tetapi beberapa tempat seperti di Laut Banda, Laut Arafura, Laut Timor, dan Selatan Jawa mempunyai variasi yang lebih besar yaitu 3 C-4 C. Suhu permukaan laut dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu presipitasi, evaporasi, kecepatan angin, intensitas cahaya matahari, dan faktor- faktor fisika yang terjadi di dalam kolom perairan. Presipitasi yang terjadi di laut melalui curah hujan dapat menurunkan suhu permukaan laut, sedangkan evaporasi dapat meningkatkan suhu permukaan perairan. Pada umumnya pergerakan massa air disebabkan oleh angin. Angin yang berhembus dengan kencang dapat
11 mengakibatkan terjadinya percampuran massa air pada lapisan atas dengan dibawahnya yang mengakibatkan sebaran suhu menjadi homogen (Tubalawony 2001 dan Srihadiyanti 1986 dalam Bada 2011). Suhu permukaan laut mempunyai hubungan dengan keadaan lapisan air laut yang terdapat di bawahnya, sehingga data suhu permukaan laut dapat digunakan sebagai indikator untuk mendeteksi fenomena yang terjadi dilaut seperti front (pertemuan dua massa air), arus, pengangkatan massa upwelling dan aktivitas biologis organisme (Robinson 1985 dalam Bada 2011). 2.6 Keadaan Perairan Selatan Jawa-Bali Dinamika pergerakan air di perairan selatan Jawa-Bali dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain sistem angin muson, fenomena El Nino Southern Ocillation (ENSO), dipole mode, Arus Khatulistiwa Selatan (AKS) dan Arus dari pantai barat Sumatera, dan selain itu juga dipengaruhi oleh massa air Arus Lintas Indonesia (ARLINDO) yang diantaranya masuk melalui Laut Timor, Selat Lombok, Laut Sawu dan Selat Sunda (Wyrtki 1961, Meyers et al. 1995, Quadfasel et al. 1996 dalam Tubalawony 2008). Menurut Quadfasel et al. (1996) dalam Tubalawony (2008), AKS disuplai oleh aliran dari kepulauan Indonesia dengan kecepatan arus 1,5 m/s dan aliran antisiklon dari selatan yang biasanya lemah dengan kecepatan 0,2-0,5 m/s. Sumber utama massa air perairan selatan Jawa adalah AKS. Batas utara AKS selalu berubah-ubah sepanjang tahun dimana pada muson tenggara (Juni-Oktober), AKS lebih ke selatan dengan posisi maksimal dicapai pada bulan Agustus yakni pada posisi 16 LS, sedangkan saat muson barat laut (Februari) AKS lebih ke utara hingga mencapai posisi 7 LS (Wyrtki 1961). Sistem angin muson yang berkembang di atas perairan selatan Jawa-Bali dicirikan oleh pembalikan arah angin secara musiman. Di perairan ini, pada bulan Desember-Maret berkembang angin muson barat laut, sedangkan selama bulan Juni-Oktober, berkembang angin muson tenggara (Wyrtki 1961). Dampak dari bertiupnya angin muson adalah terjadi pola pergerakan massa air yang berbeda antar musim. Kuatnya pengaruh angin muson di perairan Selatan Jawa Bali
12 terlihat melalui terbentuknya aliran massa air pada lapisan permukaan ke arah tenggara di sepanjang pantai barat daya Sumatera dan ke arah timur di selatan Jawa hingga Sumbawa selama bertiup angin muson barat laut, dimana aliran massa air ini merupakan salah satu cabang dari Arus Sakal Khatulistiwa Samudera Hindia dan cabang arus ini dikenal sebagai Arus Pantai Jawa (APJ) (Soeriaatmadja 1957, Wyrtki 1961, Quadfasel dan Cresswell 1992, dan Pieux et al. 1996 dalam Tubalawony 2008). Berkembangnya angin muson tenggara juga mengakibatkan terjadinya upwelling di sepanjang pantai perairan. Menurut Susanto dkk. (2001) dalam Tubalawony (2008), terjadinya upwelling di sepanjang pantai selatan Jawa sebagai respon terhadap bertiupnya angin muson tenggara. Upwelling di daerah ini berlangsung pada bulan Juni hingga pertengahan Oktober dan pusat upwelling dengan suhu permukaan laut yang rendah dimulai dari perairan Selatan Jawa Timur, kemudian bermigrasi ke arah barat, dan selanjutnya bergerak ke arah barat laut hingga posisi 104 BT. Migrasi upwelling tersebut sangat tergantung pada perubahan musiman angin yang bertiup sepanjang pantai dan perubahan lintang sebagai parameter Coriolis (Tubalawony 2008).