BAB II TINDAK PIDANA JABATAN NOTARIS Kualifikasi Tindak Pidana Jabatan Notaris Dalam Pembuatan Akta Otentik.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. tugas, fungsi dan kewenangan Notaris. Mereka belum bisa membedakan tugas mana

BAB II AKTA NOTARIS DAPAT MENJADI BATAL OLEH SUATU PUTUSAN PENGADILAN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS

Prof. Dr. H. Didik Endro Purwoleksono, S.H., M.H.

Lex Privatum, Vol. III/No. 2/Apr-Jun/2015

BAB III PERANAN NOTARIS DALAM PEMBAGIAN HARTA WARISAN DENGAN ADANYA SURAT KETERANGAN WARIS

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana. Belanda yaitu strafbaar feit yang terdiri dari tiga kata, yakni straf

Dr. AGUNG IRIANTORO,SH.,MH. Edisi Revisi, Jakarta:Pradnya Paramita, 1996.

BAB II KEDUDUKAN HUKUM ATAS BATASAN TURUNNYA KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA NOTARIS BERDASARKAN UUJN NO. 2 TAHUN 2014

BAB II PROSEDUR PEMBUATAN AKTA KEPUTUSAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP AKTA SERTA KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA NOTARIS. A. Pengertian Akta dan Macam-Macam Akta

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

a. Kepastian hari, tanggal, bulan, tahun dan pukul menghadap; b. Para pihak (siapa-orang) yang menghadap pada Notaris;

SANKSI TERHADAP NOTARIS YANG MENJADI PIHAK TERHADAP AKTA YANG DIBUATNYA SENDIRI

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG AKTA NOTARIIL. Istilah atau perkataan akta dalam bahasa Belanda disebut acte atau akta

BAB I PENDAHULUAN. tertentu, bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. umumnya maksud tersebut dapat dicapai dengan menentukan beberapa elemen,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENUNJUK UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS

PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA BAGI NOTARIS YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PEMALSUAN SURAT DALAM PEMBUATAN AKTA OTENTIK

KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA DI BAWAH TANGAN YANG TELAH MEMPEROLEH LEGALITAS DARI NOTARIS. Oleh : Lusy K.F.R. Gerungan 1

BAB I PENDAHULUAN. untuk selanjutnya dalam penulisan ini disebut Undang-Undang Jabatan

Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UUJN) disebutkan bahwa y

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Penelitian. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum. 1. Hal itu

BAB I PENDAHULUAN. dengan perikatan yang terkait dengan kehidupan sehari-hari dan juga usaha

BAB I PENDAHULUAN. dilengkapi dengan kewenangan hukum untuk memberi pelayanan umum. bukti yang sempurna berkenaan dengan perbuatan hukum di bidang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

HIMPUNAN PERATURAN YANG BERKAITAN DENGAN PENANAMAN MODAL TAHUN 2014

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris 2

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah mempunyai peran paling pokok dalam setiap perbuatan-perbuatan

Judul buku: Kebatalan dan pembatalan akta notaris. Pengarang: Dr. Habib Adjie, S.H., M.Hum. Editor: Aep Gunarsa

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

Lex et Societatis, Vol. III/No. 4/Mei/2015. AKIBAT HUKUM BAGI NOTARIS DALAM PELANGGARAN PENGGANDAAN AKTA 1 Oleh: Reinaldo Michael Halim 2

NOTARIS TIDAK BERWENANG MEMBUAT SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (SKMHT), TAPI BERWENANG MEMBUAT AKTA KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (AKMHT)

BAB II LANDASAN TEORI

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang terdiri dari kesengajaan (dolus atau opzet) dan kelalaian (culpa). Seperti

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum.

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dalam kegiatannya untuk memenuhi kehidupan sehari-hari tidak

AKTA NOTARIS SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PENYELESAIAN PERKARA PERDATA MISSARIYANI / D ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan. Kepastian dan

BAB I PENDAHULUAN. sosial, tidak akan lepas dari apa yang dinamakan dengan tanggung jawab.

PENDAHULUAN. R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia, Suatu Penjelasan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993 hlm. 23

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam setiap hubungan hukum kehidupan masyarakat, baik dalam

BAB I PENDAHULUAN. untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada warga. organ pemerintah yang melaksanakan tugas dan kewenangannya agar

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan yang telah dilakukan, yaitu perbuatan yang tercela oleh masyarakat dan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. telah berusia 17 tahun atau yang sudah menikah. Kartu ini berfungsi sebagai

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Pengakkan hukum yang terjadi

Bab XII : Pemalsuan Surat

Kompilasi UU No 28 Tahun 2004 dan UU No16 Tahun 2001

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. penegakan hukum berdasarkan ketentuan hukum, maka hilanglah sifat melanggar

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA TINDAK PIDANA PENGGELAPAN SECARA BERLANJUT (Studi Kasus No. 55/Pid.B/2010/PN. Palu)

BAB II BATASAN PELANGGARAN YANG DILAKUKAN NOTARIS DALAM UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS DAN KODE ETIK NOTARIS

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan bernegara yang didasarkan kepada aturan hukum untuk menjamin. pemerintah Belanda pada masa penjajahan.

BAB II. AKTA NOTARIS SEBAGAI AKTA OTENTIK YANG MEMILIKI KESALAHAN MATERIL A. Tinjauan Yuridis Tentang Akta dan Macam-Macam Akta

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


BAB I PENDAHULUAN. Penerapan pasal..., Ita Zaleha Saptaria, FH UI, ), hlm. 13.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lex et Societatis, Vol. III/No. 7/Ags/2015. PROSES PENYIDIKAN TERHADAP PELANGGARAN DALAM PEMBUATAN AKTA OLEH NOTARIS 1 Oleh: Gian Semet 2

BAB I PENDAHULUAN. Tinjauan yuridis..., Ravina Arabella Sabnani, FH UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaanya kedua belah pihak mengacu kepada sebuah perjanjian layaknya

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

BAB I PENDAHULUAN. dengan pemerintah. Prinsip negara hukum menjamin kepastian, ketertiban dan

BAB I PENDAHULUAN. profesional yang tergabung dalam komunitas tersebut menanggung amanah. yang berat atas kepercayaan yang diembankan kepadanya.

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan

UNSUR PERBUATAN MELAWAN HUKUM YANG DILAKUKAN OLEH NOTARIS DALAM PEMBUATAN AKTA BOYSAL PARULIAN SIHOMBING ABSTRACT

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. 2009, hlm Penjelasan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

STUDI KASUS TINDAK PIDANA TERKAIT JABATAN NOTARIS ROMLI ATMASASMITA 1

BAB III KEABSAHAN AKTA HIBAH MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF (Studi di Kantor Notaris dan PPAT Dina Ismawati, S.H.,MM)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN. satu cara yang dapat dilakukan adalah membuka hubungan seluas-luasnya dengan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. menentukan bahwa dalam menjalankan tugas jabatannya, seorang

Lex Crimen Vol. VI/No. 7/Sep/2017. surat yang dimaksud adalah akte-akte autentik. Kata kunci: Tindak Pidana, Pemalsuan, Akta Autentik.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1998 TENTANG PERATURAN JABATAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

B A B V P E N U T U P

Transkripsi:

BAB II TINDAK PIDANA JABATAN NOTARIS 2.1. Kualifikasi Tindak Pidana Jabatan Notaris Dalam Pembuatan Akta Otentik. Dalam perkembangan kehidupan bermasyarakat telah meningkatkan intensitas dan kompleksitas hubungan hukum yang harus mendapat perlindungan dan kepastian berdasarkan alat bukti yang menentukan dengan jelas hak dan kewajiban setiap subyek hukum. Oleh karena itu, agar terdapat perlindungan, kepastian, dan ketertiban, harus terdapat kegiatan pengadministrasian hukum (law administrating) yang tepat dan tertib. Hal ini juga diperlukan untuk menghindari terjadinya hubungan hukum yang cacat dan dapat merugikan subyek hukum maupun masyarakat. 7 Notaris adalah seorang pejabat umum yang diangkat oleh negara untuk melakukan tugas-tugas negara dalam pelayanan hukum kepada masyarakat demi tercapainya kepastian hukum sebagai pejabat pembuat akta otentik dalam hal keperdataan. Ruang lingkup tugas pelaksanaan jabatan notaris membuat alat bukti yang diinginkan oleh para pihak untuk suatu tindakan hukum tertentu yang berada dalam tatanan hukum perdata atas permintaan dari para pihak yang menghadap. Menurut Pasal 164 HIR (282 R.B.G.) alat bukti dalam pembuktian perkara perdata terdiri atas: 8 a) Bukti tulisan; b) Bukti dengan saksi-saksi; c) Persangkaan-persangkaan; d) Pengakuan; dan e) Sumpah. 7 Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, Jati Diri Notaris Indonesia, PT Ikrar Mandiriabadi, Jakarta, 2009, hal. 15. 8 R. Subekti, Hukum Acara Perdata, Bina Cipta, Bandung, 1982, hlm. 85.

Dibandingkan dengan alat bukti dalam Pasal 184 KUHAP, alat-alat bukti ialah: a) Keterangan saksi; b) Keterangan ahli; c) Surat; d) Petunjuk; e) Keterangan terdakwa. Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya harus memiliki integritas dan profesional. Notaris wajib menjalankan jabatan dengan seksama, mandiri, dan tidak berpihak, serta menjaga sikap, tingkah laku sesuai dengan kode etik profesi, kehormatan, martabat, dan tanggung jawab Notaris. Hal ini sebagai sumpah oleh setiap orang yang hendak memangku jabatan notaris. pokok, yaitu: 9 Notaris adalah pengemban profesi luhur yang memiliki 4 (empat) ciri-ciri 1. Bekerja secara bertanggung jawab, dapat dilihat dari mutu dan dampak pekerjaan; 2. Menciptakan keadilan, dalam arti tidak memihak dan bekerja dengan tidak melanggar hak pihak manapun. 3. Bekerja tanpa pamrih demi kepentingan klien dengan mengalahkan kepentingan pribadi atau keluarga; 4. Selalu memperhatikan cita-cita luhur profesi notaris dengan menjunjung tinggi harkat dan martabat sesama anggota profesi dan organisasi profesinya. Notaris berkewajiban dan bertanggung jawab terutama atas pembuatan akta otentik yang dipercayakan kepadanya. Produk Notaris berupa akta otentik dapat memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada para pihak yang membutuhkannya. Akta yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris adalah akta otentik yang keotentikannya bertahan terus, bahkan sampai sesudah Notaris itu meninggal dunia, tanda tangannya pada akta itu tetap memiliki kekuatan hukum. Dengan akta tersebut sudah cukup untuk menyampaikan keterangan mengenai kejadian-kejadian pada saat pembuatan akta, akta itu sendiri yang memberikan 9 Lanny Kusumawati, Tanggung Jawab Notaris, Disertasi Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2010, hal xi.

pembuktian. Meskipun Notaris tersebut dipecat dari jabatannya, akta tersebut tetap memiliki kekuatan sebagai akta otentik, asalkan akta-akta tersebut telah dibuat sebelum pemberhentian dan pemecatan itu dijatuhkan. Tanggung jawab Notaris berada pada kepastian kepala (hoofd) atau awal akta dan akhir atau penutup akta sedangkan badan atau isi akta merupakan tanggung jawab dari para pihak. Adapun anatomi akta, sebagai berikut: 1. Kepala (hoofd) atau awal akta, yang memuat keterangan-keterangan dari Notaris mengenai judul akta, nomor akta, jam, hari, tanggal, bulan, tahun, dan nama lengkap dan tempat kedudukan Notaris. 2. Badan akta, yang memuat tentang keterangan identitas para pihak, keterangan kedudukan bertindak, isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari para pihak serta identitas dari tiap-tiap saksi pengenal. 3. Akhir atau penutup akta, yang memuat keterangan dari Notaris mengenai waktu dan tempat akta dibuat; selanjutnya keterangan mengenai saksi-saksi, dihadapan siapa akta dibuat dan akhirnya tentang pembacaan dan penandatanganan dari akta itu. Notaris tidak bertanggung jawab atas isi akta yang dibuat dihadapannya, melainkan Notaris hanya bertanggung jawab bentuk formal akta otentik sesuai yang diisyaratkan oleh undang-undang. Contohnya dalam akta wasiat, notaris hanya mengkonstantir kehendak pewaris, pewaris berhak untuk menentukan apa yang dikehendaki terhadap harta kekayaannya bilamana pewaris meninggal dunia, sehingga isi wasiat tersebut bukan tanggung jawab notaris. Notaris tidak berkepentingan terhadap harta warisan pewaris, oleh sebab itu jika timbul perkara berkaitan dengan surat wasiat, semuanya adalah diluar tanggung jawab notaris. Notaris dalam pembuatan akta harus Verlijden, artinya menyusun, membacakan dan menandatangani akta dalam arti membuat akta dalam bentuk

yang ditentukan oleh undang-undang. Istilah verlijden atau pembuatan akta menurut Tan Thong Kie adalah proses verbal pekerjaan-pekerjaan oleh pejabat umum dalam pembuatan akta yang meliputi: 10 1. Dilihatnya kenyataan oleh Notaris tentang suatu tindakan atau kejadian het waarnemen door de Notaris van een handeling of daadzaak. 2. Diceritakannya secara tertulis oleh Notaris het schriftelijk relateren daarvan. 3. Pembacaan oleh Notaris dan penandatanganan oleh yang berkepentingan. Pada dasarnya bentuk suatu akta Notaris yang berisikan perbuatanperbuatan dan hal-hal lain yang dikonstantir Notaris, umumnya harus mengikuti ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, hanya saja dalam praktek akta yang dibuat Notaris seringkali timbul masalah. Hal ini karena disebabkan kesalahan Notaris dalam melakukan pembuatan akta baik kesengajaan maupun kelalaian apabila melanggar salah satu dari: 11 1. Pasal 16 ayat (1) huruf i yaitu kewajiban mengirimkan daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan akta setiap bulan atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke daftar pusat wasiat Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam waktu lima (5) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya. 2. Pasal 16 ayat (1) huruf k yaitu kewajiban mempunyai cap/stempel yang memuat lambang Negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan dan tempat kedudukan yang bersangkutan. 3. Pasal 41 yaitu pelanggaran tidak dipenuhinya ketentuan Pasal 39 yaitu mengenai syarat-syarat sebagai penghadap dan tindakan pelanggaran 10 Tan Thong kie, Studi Notariat dan Serba-serbi Praktek Notaris, Ikhtiar baru van hoeve, Jakarta, 2007, hal. 491-492. 11 Sjaifurrachman, Habib Adjie, Aspek Pertanggung jawaban Notaris dalam Pembuatan akta, CV. Mandar Maju, Bandung, 2011, hal 22-25.

dengan tidak dipenuhinya Pasal 40 yaitu mengenai kewajiban membacakan akta oleh notaris dan dihadiri paling sedikit dua (2) orang saksi dan syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagai saksi. 4. Pasal 44 yaitu tindakan pelanggaran tidak segera menandatangani akta setelah dibacakan oleh notaris, kepada para penghadap, saksi dan oleh notaris, apabila ada penghadap yang tidak dapat membubuhkan tanda tangannya maka harus dinyatakan dengan tegas dalam akta tentang alasannya tidak menandatangani akta dan apabila penghadap tidak mengerti bahasa yang digunakan dalam akta, notaris wajib menterjemahkan atau menjelaskan isi akta itu dalam bahasa yang dimengerti oleh penghadap oleh penghadap dan apabila notaris tidak dapat menterjemahkan atau menjelaskan akta tersebut, diterjemahkan atau dijelaskan oleh seorang penerjemah resmi dan akta tersebut ditandatangani oleh penghadap, Notaris, saksi dan penterjemah resmi. Apabila akta dibuat dalam bahasa selain bahasa Indonesia yang dipahami oleh notaris dan saksi, atas kehendak para pihak yang berkepentingan, maka notaris wajib menterjamahkan dalam bahasa Indonesia, dan mengenai pembacaan, penterjemahan atau penjelasan dan penandatanganan dinyatakan secara tegas pada akhir akta. 5. Pasal 48 yaitu tindakan pelanggaran, terhadap isi akta tidak boleh dirubah atau ditambah baik berupa penulisan tindih, penyisipan, pencoretan atau penghapusan dan menggantinya dengan yang lain. Perubahan terhadap isi akta berupa penambahan, penggantian atau pencoretan dalam akta hanya sah apabila penambahan tersebut diparaf atau diberi tanda pengesahan lain oleh penghadap, saksi dan notaris.

6. Pasal 49 yaitu tindakan pelanggaran terhadap setiap perubahan atas akta dibuat disisi kiri akta, apabila suatu perubahan tidak dapat dibuat disisi kiri akta, apabila suatu perubahan tidak dapat dibuat disisi kiri akta, perubahan tersebut dibuat pada akhir akta sebelum penutup akta dengan menunjuk bagian yang diubah atau dengan menyisipkan lembar tambahan. 7. Pasal 50 yaitu tindakan pelanggaran apabila dalam akta perlu dilakukan pencoretan kata, huruf atau angka, hal tersebut dilakukan sedemikian rupa sehingga tetap dapat dibaca sesuai dengan yang tercantum semula, dan jumlah kata, huruf atau angka yang dicoret dinyatakan pada sisi akta. Pencoretan sebagaimana tersebut diatas dinyatakan sah setelah diparaf atau diberi tanda pengesahan lain oleh penghadap, saksi dan notaris, pada penutup setiap akta dinyatakan jumlah perubahan, pencoretan dan penambahan. 8. Pasal 51 yaitu tindakan pelanggaran, terhadap kewenangan notaris untuk membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan ketik yang terdapat pada minuta akta yang telah ditandatangani. Pembetulan tersebut diatas dilakukan dengan membuat berita acara dan memberikan catatan tentang hal tersebut pada minuta akta asli dengan menyebutkan tanggal dan nomor akta berita acara pembetulan. Salinan akta berita acara sebagaimana tersebut diatas wajib disampaikan kepada para pihak. 9. Pasal 52 tindakan pelanggaran terhadap ketentuan bahwa notaris tidak diperkenankan membuat akta untuk dirinya sendiri, istri/suami atau orang lain yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan notaris baik karena perkawinan maupun hubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah dan/atau keatas tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis kesamping

sampai dengan derajat ketiga serta menjadi pihak untuk diri sendiri, maupun dalam suatu kedudukan atau dengan perantaraan kuasa. Dengan pengecualian apabila orang tersebut diatas kecuali menjadi penghadap dalam penjualan dimuka umum, sepanjang penjualan itu dapat dilakukan dihadapan notaris, persewaan umum, atau pemborongan umum atau menjadi anggota rapat yang risalahnya dibuat oleh notaris. Terkait dengan yang tercantum dalam pasal-pasal tersebut diatas tidak dipenuhi, maka akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan (onderhands geschrift) atau akta tersebut menjadi batal demi hukum nietig sebagaimana tersebut dalam Pasal 84 UUJN, akan tetapi harus dengan pembuktian melalui proses gugatan perdata di pengadilan umum yang diajukan oleh pihak (penghadap) yang namanya tersebut dalam akta dan menderita kerugian sebagai akibat dari akta tersebut, dalam hal ini pihak yang bersangkutan untuk menggugat Notaris secara perdata, disertai dengan tuntutan penggantian biaya, ganti rugi dan bunga. Jika pengadilan memutuskan dan terbukti bahwa akta Notaris telah melanggar ketentuan sebagaimana tersebut dalam Pasal 84 UUJN, dan pihak tersebut dapat membuktikan menderita kerugian sebagai akibat dari akta seperti itu, maka Notaris dapat dibebani penggantian biaya, ganti rugi dan bunga. Sanksi seperti ini disebut Sanksi Perdata dan bersifat eksternal, karena sanksi dijatuhkan berkaitan dengan pihak lain. 12 Notaris yang melanggar ketentuan yang tersebut dalam Pasal 85 UUJN, maka akan dikenakan sanksi oleh Majelis Pengawas. Sanksi teguran lisan dan tertulis yang bersifat final dijatuhkan oleh Majelis Pengawas Wilayah, dan sanksi pemberhentian sementara dari jabatannya dijatuhkan oleh Majelis Pengawas 12 Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik Berkaitan dengan Pembuatan Akta Berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris, Disertasi Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2007,(selanjutnya disebut Buku II) hlm. xiii.

Pusat. Sanksi seperti ini disebut Sanksi Administratif, dan bersifat internal, karena sanksi dijatuhkan oleh Majelis Pengawas Notaris. Sanksi yang lainnya yaitu pemberhentian tidak hormat dari jabatan Notaris dan pemberhentian dengan hormat dari jabatan Notaris hanya dapat dilakukan oleh Menteri setelah mendapat usulan dari Majelis Pengawas Pusat. 13 Aspek pertanggungjawaban Notaris timbul karena adanya kesalahan (schuld) yang dilakukan didalam menjalankan suatu tugas jabatan dan kesalahan itu menimbulkan kerugian bagi orang lain yang minta jasa pelayanan (Klien) Notaris. Sehingga perbuatan melawan hukum (wederrechtelijk) dari Notaris tersebut dapat diminta pertanggungjawaban dari sudut pandang keperdataan, administrasi maupun dari sudut pandang hukum pidana meskipun dalam UUJN tidak mengatur sanksi pidana. Dalam Pasal 63 ayat (2) KUHP menyebutkan bahwa: jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan. Dari pasal tersebut dapat dilakukan penafsiran apabila ada suatu perbuatan yang dapat dipidana menurut ketentuan pidana yang khusus disamping pidana yang umum, maka ketentuan pidana yang khusus itulah yang dipakai, sebaliknya apabila ketentuan pidana khusus tidak mengatur, maka terhadap pelanggaran tersebut akan dikenakan pidana umum yaitu KUHP. Oleh karena itu apabila terjadi pelanggaraan tindak pidana yang dilakukan notaris dapat dikenakan sanksi pidana yang terdapat dalam KUHP walaupun UUJN tidak mengatur sanksi pidana. 14 Notaris tidak berarti bersih dari hukum, tidak dapat dihukum, atau kebal terhadap hukum, Notaris bisa dihukum pidana apabila dapat dibuktikan 13 Ibid 14 Sjaifurrachman, Habib Adjie, Op.cit., hal 208.

dipengadilan bahwa secara sengaja atau tidak sengaja Notaris secara bersamasama dengan para pihak membuat akta dengan maksud dan tujuan untuk menguntungkan pihak tertentu saja atau merugikan pihak yang lain. Apabila ini terbukti Notaris tersebut wajib dihukum. Tindak pidana (strafbaar feit) adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan dimana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut. 15 Tindak pidana khusus adalah hukum pidana materiil menyimpang dari KUHP tetapi hukum pidana formil tetap mengikuti KUHAP, misalnya: Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang bidang Hak Kekayaan Intelektual. Tindak Pidana Tertentu adalah tindak pidana dalam KUHP, misalnya: Pemalsuan. 16 Terkait tindak pidana jabatan Notaris adalah perbuatan yang dilakukan oleh Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya yang dilarang oleh suatu aturan hukum atau dengan kata lain perbuatan yang dilakukan Notaris mengandung unsur-unsur tindak pidana (strafbaar feit). Mengenai unsur tindak pidana ini menurut Lamintang secara umum dibedakan atas unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur subjektif adalah unsurunsur yang melekat pada diri si pelaku atau berhubungan diri si pelaku, dan termasuk di dalamnya adalah segala sesuatu yang terkandung didalam hatinya. unsur ini terdiri dari: 17 1. Kesengajaan atau ketidak sengajaan (dolus atau culpa); 2. Maksud pada suatu percobaan (seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP; 3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti misalnya yang terdapat dalam tindak pidana pencurian; 4. Merencanakan terlebih dahulu, seperti misalnya yang terdapat dalam Pasal 340 KUHP. 15 Ismu Gunadi, Jonaedi Efendi, Cepat & Mudah Memahami Hukum Pidana (Jilid 1), Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, 2011, hal.42 16 Didik Endro Purwoleksono, Hukum Pidana dan Jabatan Notaris, hlm. 1. 17 Lamintang, PAF, Hukum Penintensier Indonesia, Armico, Bandung, 1997, hlm. 192.

Sedangkan unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakantindakan dari si pelaku itu harus dilakukan. Unsur-unsur objektif dari tindak pidana meliputi: 1. Sifat melanggar (melawan) hukum; 2. Kualitas dari si pelaku, misalnya keadaan sebagai seorang pegawai negeri daalam kejahatan menurut Pasal 415 KUHP. (Dalam Pasal 415 KUHP antara lain ditegaskan: Seorang pejabat atau orang lain yang ditugasi menjalankan jabatan umum. ). 3. Kasualitas, yaitu hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan kenyataan sebagai akibat. Dalam KUHP berlaku yang dimaksud dengan tindak pidana jabatan atau ambtsdelicten. Tindak pidana tersebut oleh pembentuk undang-undang telah diberikan kualifikasi sebagai kejahatan jabatan atau sebagai ambtsmisdrijven dan sebagian lainnya telah diberikan kualifikasi sebagai pelanggaran jabatan atau sebagai ambtsovertredigen. Kejahatan jabatan oleh pembentuk undang-undang telah diatur dalam Buku ke- II Bab ke-xxviii KUHP, sedangkan yang dimaksud dengan pelanggaran jabatan telah diatur oleh pembentuk undang-undang dalam buku ke-iii Bab ke-viii KUHP. Tindak pidana jabatan atau ambtsdelicten ialah sejumlah tindak pidana tertentu, yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai sifat sebagai pegawai negeri. Agar tindak pidana yang dilakukan oleh para pegawai negeri itu dapat disebut tindak pidana jabatan, maka tindak pidana tersebut harus dilakukan oleh para pegawai negeri yang bersangkutan dalam menjalankan tugas jabatan mereka masing-masing. 18 18 Lamintang, PAF, Kejahatan Jabatan & Kejahatan Jabatan Tertentu Sebagai Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 1.

Jabatan Notaris adalah jabatan umum atau publik karena Notaris diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, Notaris menjalankan tugas negara, dan akta yang dibuat, yaitu minuta (asli akta) adalah merupakan dokumen negara. Pejabat umum adalah pejabat yang diangkat dan diberhentikan oleh kekuasaan umum (pemerintah) dan diberi wewenang serta kewajiban untuk melayani publik dalam hal-hal tertentu, karena itu ia ikut melaksanakan kewibawaan pemerintah. 19 Meskipun Notaris adalah pejabat umum/publik yang diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, namun Notaris bukan pegawai pemerintah/negeri yang memperoleh gaji dari pemerintah. Dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3890) menyebutkan: Pegawai Negeri adalah setiap warga negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku. Notaris adalah pejabat umum yang juga melaksanakan kewibawaan pemerintah dibidang hukum akan tetapi tidak memperoleh gaji dari pemerintah. Namun, Notaris bukanlah pejabat tata usaha negara sehingga Notaris tidak dapat dikenakan tindak pidana jabatan atau ambtsdelicten sebagaimana diatur dalam Buku ke- II Bab ke-xxviii KUHP tentang Kejahatan Jabatan dan buku ke-iii Bab ke-viii KUHP tentang Pelanggaran Jabatan. Menurut Habib Adjie, pemidanaan terhadap Notaris tersebut dapat dilakukan dengan batasan yaitu: 20 19 R. Soesanto, Tugas, Kewajiban dan Hak-hak Notaris, Wakil Notaris, Pradnya Paramita, Jakarta, 1982, hlm. 75. 20 Sjaifurrachman, Habib Adjie, Op.cit., hal 208-209.

1. Ada tindakan hukum dari Notaris terhadap aspek lahiriah, formal dan materil akta yang sengaja, penuh kesadaran dan keinsyafan, serta direncanakan bahwa akta yang akan dibuat dihadapan Notaris atau oleh Notaris bersama-sama (sepakat) para penghadap dijadikan dasar untuk melakukan suatu tindak pidana. 2. Ada tindakan hukum dari notaris dalam membuat akta dihadapan atau oleh Notaris yang apabila diukur berdasarkan UUJN tidak sesuai dengan UUJN. 3. Tindakan Notaris tersebut juga tidak sesuai menurut instansi yang berwenang untuk menilai tindakan suatu Notaris, dalam hal ini Majelis Pengawas Notaris. Notaris seringkali dipermasalahkan oleh para pihak atau pihak lainnya sebagai pihak yang turut serta melakukan atau membantu melakukan suatu tindak pidana, yaitu membuat atau memberikan keterangan palsu kedalam akta notaris. Menurut Habib Adjie pengkualifikasian tersebut berkaitan dengan aspek aspek seperti: 21 1. Kepastian hari, tanggal dan pukul ; 2. Para pihak yang menghadap notaris ; 3. Tanda tangan para penghadap ; 4. Salinan akta tidak sesuai dengan minuta akta ; 5. Salinan akta ada tanpa dibuat minuta akta ; dan 6. Minuta akta tidak ditandatangani secara lengkap, tapi minuta akta dikeluarkan. Aspek formal akta Notaris dapat saja dijadikan dasar atau batasan untuk memidanakan notaris. Ketika aspek-aspek formal terbukti, bahwa Notaris dalam membuat akta dengan sengaja, dengan penuh kesadaran dan serta keinsyafan yang direncanakan oleh Notaris dan para pihak atau penghadap melakukan tindakan hukum yang mengandung unsur-unsur tindak pidana atau membantu melakukan suatu tindakan hukum yang diketahuinya sebagai tindakan yang melanggar hukum. Akta Notaris terbagi dua jenis yaitu akta relaas atau biasanya dikenal dengan akta berita acara dan akta pihak atau akta partij. Pembuatan akta notaris baik akta relaas maupun akta pihak harus ada keinginan atau kehendak para pihak, jika keinginan dan permintaan dari para pihak tidak ada, maka Notaris 21 Habib Adjie, Buku I, Op.Cit., hlm. 48

tidak akan membuat akta yang dimaksud. Untuk memenuhi keinginan dan permintaan para pihak, Notaris dapat memberikan saran dengan tetap berpijak pada aturan hukum. Ketika saran Notaris diikuti oleh para pihak dan dituangkan dalam akta Notaris, meskipun demikian hal tersebut tetap merupakan keinginan dan permintaan para pihak, bukan saran atau pendapat Notaris atau isi akta merupakan perbuatan para pihak bukan perbuatan atau tindakan Notaris. 22 Hal ini terbukti dengan adanya pembubuhan tanda tangan dari para pihak. Pembubuhan tanda tangan pada akta baik akta relaas maupun akta partij bertujuan untuk meringankan beban pembuktian bagi Notaris apabila sesuatu ketika terjadi sengketa dan para pihak mengingkari kebenaran dari isi akta, maka dengan adanya tanda tangan secara jelas dan nyata membuktikan bahwa para pihak telah menyetujui dan mengakui kebenaran dari akta tersebut, sehingga telah sesuai dengan kenyataan pada saat akta dibuat. Sehingga apabila Notaris dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa pembuatan akta otentik sudah sesuai dengan aturan hukum, sebagaimana hal-hal yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka kedudukan Notaris bukan sebagai pihak atau turut serta membantu para pihak dalam kualifikasi hukum pidana atau sebagai tergugat dalam rana hukum perdata karena Notaris berada diluar para pihak atau bukan pihak dalam akta tersebut. Menurut Habib Adjie, dalam perkara pidana seringkali Notaris dijerat dengan pasal dalam KUHP sebagai berikut : 23 1. Membuat surat palsu/yang dipalsukan dan menggunakan surat palsu/yang dipalsukan (Pasal 263 ayat (1) dan (2) KUHP) ; 2. Melakukan pemalsuan terhadap akta otentik (Pasal 264 KUHP) ; 3. Menyuruh mencantumkan keterangan palsu dalam akta otentik (Pasal 266 KUHP) ; 4. Melakukan, menyuruh melakukan, turut serta melakukan (Pasal 55 Jo. Pasal 263 ayat (1) dan (2) KUHP atau Pasal 264 atau Pasal 266 KUHP) ; 22 Habib adjie, Buku II, Op.Cit., hal. 57. 23 Habib Adjie, Buku I, Op.Cit., hlm 67.

5. Membantu membuat surat palsu/atau yang dipalsukan dan menggunakan surat palsu/yang dipalsukan (Pasal 56 ayat (1) dan (2) Jo. Pasal 263 ayat (1) dan (2) KUHP atau Pasal 264 atau Pasal 266 KUHP). 2.1.1. Kejahatan Pemalsuan Akta Otentik. Kejahatan mengenai pemalsuan atau disingkat kejahatan pemalsuan adalah berupa kejahatan yang didalamnya mengandung unsur keadaan ketidakbenaran atau palsu atas sesuatu (obyek), yang sesuatunya itu tampak dari luar seolah-olah benar adanya padahal sesungguhnya bertentangan dengan sebenarnya. 24 Kejahatan pemalsuan surat pada umumnya adalah pemalsuan surat dalam bentuk pokok yang dimuat dalam Pasal 263 KUHP yang menyebutkan bahwa: 1. Barang siapa membuat secara palsu atau memalsukan suatu surat yang dapat menimbulkan suatu hak, suatu perikatan atau suatu pembebasan utang, ataupun yang dimaksud untuk membuktikan suatu kenyatan, dengan maksud untuk menggunakannya sebagai surat yang asli dan tidak dipalsukan atau untuk membuat orang lain menggunakan surat tersebut, maka jika dari penggunaannya dapat menimbulkan suatu kerugian, karena bersalah melakukan pemalsuan surat dipidana penjara selama-lamanya enam tahun. 2. Dipidana dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja menggunakan surat tersebut sebagai surat yang asli dan tidak dipalsukan, jika dari penggunaannya dapat menimbulkan suatu kerugian. Unsur-unsur tindak pidana pemalsuan yang terdapat pada Pasal 263 KUHP di atas adalah sebagai berikut: - Pasal 263 Ayat (1) a. Unsur Obyektif 1) Perbuatan, yaitu: Membuat surat palsu atau Memalsukan surat. 2) Objeknya adalah surat. : a) yang dapat menimbulkan sesuatu hak; b) yang menimbulkan sesuatu perikatan; c) yang menimbulkan suatu pembebasan hutang; d) yang diperuntukan sebagai bukti dari pada sesuatu hal. 24 Adami Chazawi, Kejahatan Mengenai Pemalsuan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, (Selanjutnya disebut Buku I), hal. 2-3.

3) Dapat menimbulkan akibat kerugian dari pemakaian surat tersebut. b. Unsur Subjektif : Dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu. - Pasal 263 Ayat (2) a. Unsur Objektif 1) Perbuatan, yaitu: memakai. 2) Objeknya adalah : a) Surat Palsu b) Surat yang dipalsukan 3) Pemakaian surat tersebut dapat menimbulkan kerugian b. Unsur Subjektif : Dengan sengaja Perbedaan prinsip antara membuat surat palsu (valselijk opmaaken) dengan memalsukan surat (vervalsen ) adalah sebagai berikut : 25 1. Membuat surat palsu adalah sebelum perbuatan dilakukan maka belum ada suatu surat. Kemudian dibuat suatu surat yang isinya sebagian atau seluruhnya tidak benar atau bertentangan kebenaran. Surat ini disebut surat palsu. 2. Memalsukan surat adalah Sebelum perbuatan ini dilakukan, sudah terdapat sepucuk surat yang disebut surat asli. Kemudian pada surat yang asli ini, terhadap isinya (termasuk tanda tangan dan nama si pembuat asli) dilakukan perbuatan memalsu dan akibatnya surat yang semula benar menjadi surat yang sebagian atau seluruh isinya tidak benar atau bertentangan dengan kebenaran. Surat yang demikian disebut dengan surat yang dipalsu. Membuat surat palsu ini dapat berupa hal-hal sebagai berikut : 25 Adami Chazawi, Buku I, Op.Cit., hlm. 100.

1. Membuat sebuah surat yang sebagian atau seluruh isinya tidak sesuai atau bertentangan dengan kebenaran. Perbuatan ini disebut dengan pemalsuan secara intelektual (intellectueele valsheid). 2. Membuat sebuah surat yang seolah-olah surat itu berasal dari orang lain selain dari si pembuat surat. Palsunya surat ini terletak pada asal atau si pembuat surat. Perbuatan ini disebut pemalsuan secara materiil (materieel valsheid). Selain isi surat, surat yang disebut surat palsu, juga apabila tanda tangannya tidak benar. Hal ini bisa terjadi dalam hal : 26 1. Membuat dengan meniru tanda tangan seseorang yang tidak ada, misalnya seseorang yang telah meninggal dunia atau yang sama sekali tidak pernah ada (fiktif); 2. Membuat dengan meniru tanda tangan orang lain baik dengan persetujuannya ataupun tidak; 3. Tanda tangan yang dimaksud disini termasuk tanda tangan dengan menggunakan cap atau stempel tanda. Wirjono Prodjodikoro memberikan ilustrasi bahwa dikatakan membuat surat palsu adalah: 27 1. Seorang A membuat surat seolah-olah berasal dari seorang B dan menandatangani dengan meniru tanda tangan si B; 2. Seorang A membuat surat dan menandatangani sendiri tetapi isinya tidak benar (intellectueele valsheid); 3. Seorang A mengisi kertas kosong yang sudah ada tanda tangan si B dengan tulisan yang tidak benar. 26 Ibid. 27 Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, PT. Eresco, Bandung, 1986, hlm. 190.

Memalsukan surat merupakan perbuatan mengubah dengan cara bagaimanapun oleh orang yang tidak berhak atas sebuah surat yang berakibat sebagian atau seluruh isinya menjadi lain atau berbeda dengan isi surat semula. Tidak penting apakah dengan perubahan itu lalu isinya menjadi benar, bila perbuatan mengubah itu dilakukan oleh orang yang tidak berhak, maka pemalsuan surat itu terjadi. Orang yang tidak berhak itu adalah orang selain si pembuat surat. Sama halnya dengan pengertian membuat surat, maka memalsukan surat dapat terjadi pada sebagian atau seluruh isi surat, juga pada tanda tangan si pembuat surat. 28 Dikatakan memalsukan surat, Wirjono Prodjodikoro memberikan ilustrasi sebagai berikut adalah : 1. Si A mengubah surat dari si B yang sudah selesai tertulis sedemikian rupa sehingga isi surat menjadi lain dan tidak benar, jadi menyimpang dari kehendak si penanda tangan, si B; 2. Si A mengubah tanda tangan dari B menjadi tanda tangan orang lain (misalnya si C), sehingga seolah-olah isi surat tersebut berasal dari C. Ketentuan Pasal 263 ayat (2) KUHP hanya memberikan penegasan yaitu dengan unsur objektifnya adalah perbuatan memakai surat palsu atau surat yang dipalsukan sehingga sekaligus melengkapi unsur-unsur yang ada pada ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHP. Dalam ketentuan Pasal 263 KUHP perbuatan tindak pidana yaitu membuat surat palsu, memalsukan surat dan memakai surat palsu atau surat yang dipalsukan bersifat alternatif, artinya dapat memilih salah satu dari bagian unsur yang ada, ketika sudah memenuhi unsur membuat tidak perlu membuktikan lagi bagian yang lain seperti memalsukan atau memakai. 28 Adami Chazawi, Buku I, Op.Cit., hal. 100-101.

Unsur subjektifnya yaitu dengan sengaja. Pada umumnya dalam ilmu hukum pidana dibedakan tiga macam kesengajaan, yaitu : 29 1. Kesengajaan sebagai maksud (opzet alsoogmerk), adalah suatu perbuatan yang merupakan tindak pidana yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan. Menurut Jonkers kesengajaan ini merupakan bentuk yang paling murni dan sederhana. 2. Kesengajaan dengan kesadaran akan kepastian, yakni seseorang yang melakukan suatu perbuatan, menyadari bahwa apabila suatu perbuatan itu dilakukan, maka secara pasti akan mengakibatkan akibat yang melahirkan tindak pidana. 3. Kesengajaan melakukan suatu perbuatan dengan keinsyafan bahwa ada kemungkinan timbulnya suatu perbuatan lain yang merupakan tindak pidana. Kesengajaan ini dikenal pula dengan sebutan voorwardelijk opzet atau dolus eventualis. Berdasarkan pemaparan diatas jika dihubungkan dengan tindak pidana jabatan Notaris tidak tepatlah Notaris dihubungkan dengan Pasal 263 KUHP. Dalam Pasal 263 KUHP unsur objektifnya adalah surat palsu, sedangkan Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya adalah membuat akta otentik sehingga terkait pemalsuan akta otentik bukan pemalsuan non otentik seperti yang dijelaskan dalam Pasal 263 KUHP. Pasal 264 ayat (1) dan (2) KUHP menyebutkan: 1. Orang yang bersalah melakukan pemalsuan surat dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya delapan tahun jika perbuatan tersebut dilakukan terhadap: a. akta-akta otentik; b. surat-surat utang atau sertifikat-sertifikat utang dari sesuatu negara atau bagian dari negara tersebut atau dari sesuatu lembaga umum; c. saham-saham atau surat-surat utang atau sertifikat-sertifikat saham atau utang dari sesuatu perkumpulan, yayasan, perseroan atau maskapai; d. talon-talon, bukti-bukti dividen atau bunga dari salah satu surat seperti yang dimaksudkan dalam dua nomor yang terdahulu atau bukti-bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti dari surat-surat tersebut; e. surat-surat kredit atau surat-surat dagang yang diperuntukkan guna diedarkan. 2. Dipidana dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja menggunakan salah satu surat palsu atau yang dipalsukan seperti yang dimaksud dalam ayat pertama seolah-olah surat tersebut merupakan 29 Hamzah Hatrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia (Strict Liability dan Vicarious Liability), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hal. 89.

sepucuk surat yang asli dan tidak dipalsukan, jika penggunaannya dapat menimbulkan suatu kerugian. Ketentuan Pasal 264 ayat (1) dan ayat (2) KUHP ini secara umum mengatur masalah pemalsuan akta otentik atau dengan kata lain adalah surat-surat yang dibuat menurut bentuk dan syarat-syarat yang ditetapkan oleh undangundang dan dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum. Oleh karena itulah dikatakan pemalsuan surat yang diperberat ancaman pidananya. Surat-surat ini adalah yang mengandung kepercayaan yang lebih besar akan kebenaran isinya. Pada surat-surat tersebut mempunyai derajat kebenaran yang lebih tinggi daripada surat-surat biasa atau surat-surat lainnya. 30 Dari rumusan pasal tersebut, unsur-unsur Pasal 264 ayat (1) KUHP adalah: 1. Semua Unsur baik obyektif maupun Subyektif Pasal 263 KUHP 2. Unsur-unsur khusus pemberatnya (bersifat alternatif) berupa obyek surat-surat tertentu, ialah : a. Akta-akta otentik ; b. Surat hutang atau sertifikat hutang dari suatu negara, bagian negara, suatu lembaga umum; c. Surat sero, surat hutang dari suatu perkumpulan, surat hutang dari suatu yayasan, surat hutang dari suatu perseroan, surat hutang dari suatu maskapai; d. Talon, tanda bukti deviden atau tanda bukti bunga dari surat-surat pada butir b dan c diatas atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat itu; e. Surat-surat kredit atau surat dagang yang diperuntukkan untuk diedarkan. Sedangkan unsur-unsur pasal 264 ayat (2) KUHP adalah: 1. Unsur objektif : a. Perbuatan : memakai; b. Objeknya : surat-surat tersebut pada ayat (1); 30 Sjaifurrachman, Habib Adjie, Op.Cit, hal. 213

c. Pemakaian itu seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsukan. 2. Unsur Subyektif : dengan sengaja Dari beberapa pasal yang terdapat dalam KUHP diatas dapat dikemukakan bahwa tindak pidana pemalsuan surat dapat dibagi kedalam dua kategori yaitu sebagai berikut: 1. Pemalsuan surat non otentik atau dikenal sebagai istilah surat dibawah tangan. Hal ini diatur dalam Pasal 263 KUHP. 2. Pemalsuan surat atau akta otentik yang diatur dalam Pasal 264 dan Pasal 266 KUHP. 31 Sebagai contoh apabila seorang Notaris yang membuat akta dengan tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam Pasal 16 ayat 1 huruf L dan ayat (7) UUJN, yaitu tidak membacakan akta dihadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit dua orang saksi dan tidak ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi dan Notaris dapat dikenakan sanksi melanggar Pasal 264 ayat (1) KUHP, yaitu telah membuat secara palsu suatu akta otentik. Hal ini mengingat bahwa didalam akta Notaris selalu disebutkan pada awal akta bahwa penghadap telah menghadap kepada Notaris dan pada akhir akta selalu disebutkan bahwa akta tersebut telah dibacakan oleh Notaris kepada para penghadap dan ditanda tangani oleh para penghadap dan para saksi dihadapan Notaris. Sehingga apabila pembacaan dan penandatanganan akta tidak dilakukan dihadapan Notaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf L dan ayat (7) UUJN, sedangkan pada aktanya dinyatakan dibacakan dan ditandatangani dihadapan Notaris, maka Notaris dianggap telah berbohong dan telah melakukan pelanggaran membuat akta palsu versi Pasal 264 ayat (1) KUHP, yaitu telah membuat secara palsu suatu akta otentik, setidak-tidaknya telah melalaikan 31 Ibid, hal. 214.

kewajibannya culpa atau alpa, kurang mengindahkan, kurang memperhatikan, melalaikan kewajiban seorang Notaris. 32 Kemudian perbuatannya tersebut ada pihak yang merasa dirugikan. Kealpaan ini terjadi karena kekurang hati-hatian yang besar, kesembronoan, atau karena kebodohannya, ketidaktahuannya, kecapaian atau keadaan pikiran atau jiwa seseorang sehingga tidak dapat menguasai tingkah lakunya secara normal atau sama sekali tidak dapat memperkirakan akibat dari tindakannya itu. 33 Berdasarkan atas penjelasan yang telah dikemukakan, Notaris selaku pejabat umum juga dapat dikenakan tuntutan pidana, berdasarkan Pasal-pasal tentang pemalsuan surat yaitu Pasal 264 ayat (1) KUHP, bahkan dapat juga dijatuhi hukum pidana penjara selama dari perbuatan tersebut memenuhi unsurunsur dari perbuatan pidana yang tertuang dalam pasal tersebut sehingga dapat saja mengakibatkan Notaris diberhentikan dengan tidak hormat oleh Menteri sebagaimana diatur dalam Pasal 13 UUJN yang menyebutkan bahwa: Notaris diberhentikan dengan tidak hormat oleh Menteri karena dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. Notaris dapat saja lepas dari tanggung jawab dan tanggung gugat hukum akibat akta yang dibuatnya cacat, sepanjang cacat hukum tersebut disebabkan oleh kesalahan pihak lain, atau keterangan atau bukti surat yang disampaikan oleh klien. Mengenai bentuk-bentuk penyebab cacat hukum yang bukan kesalahan Notaris, misalnya adanya identitas aspal atau asli tapi palsu, seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK), Paspor, Surat Keterangan Waris, sertifikat, Perjanjian, Jual Beli, Surat Keputusan (SK), Buku Pemilikan Kendaraan 32 Ibid., hal. 216 33 E.Y Kanter, S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum di Indonesia dan Penerapannya, Alumni AHM-PTHM, Jakarta, 1982, hal.197.

Bermotor, Surat Nikah, Akta Kelahiran dan lain sebagainya. Dokumen-dokumen tersebut pada umumnya selalu menjadi acuan Notaris dalam melaksanakan pelayanannya sebagai pejabat umum yang ditugasi mewakili negara membuat akta otentik. 34 Apabila keterangan yang disampaikan kepada Notaris palsu atau dokumen yang diberikan kepada Notaris palsu, maka akta dan pengikatan yang dibuat dihadapan Notaris tidak berarti palsu. Apa yang disampaikan kepada Notaris itu mengandung kebenaran sedangkan fakta kebohongan yang disampaikan oleh penghadap bukan kewenangan dan bukan tanggung jawab Notaris, karena akta Notaris tidak menjamin bahwa pihak- pihak berkata benar, tetapi yang dijamin oleh akta Notaris adalah pihak-pihak benar berkata seperti yang termuat didalam akta perjanjian mereka, sehingga apabila terjadi masalah dalam aspek materialnya seharusnya yang dilakukan penyidikan terlebih dahulu terhadap para penghadap atau para pihak yang secara sengaja memberikan dokumen palsu kepada Notaris, dan bukan sebaliknya Notaris yang dipersalahkan. 35 Dalam ketentuan Pasal 266 ayat (1) dan ayat (2) KUHP mengatur juga masalah tindak pidana pemalsuan surat, yaitu menyuruh memasukkan keterangan palsu kedalam akta otentik. Menarik untuk menyimak Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1099 K/PID/2010, tanggal 29 Juni 2010, yang menolak Kasasi Seorang Notaris di Medan, sehingga Notaris tersebut dijatuhi hukuman berdasarkan Pasal 266 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 aya (1) ke-1 KUHP, sebagaimana dalam Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor: 82/PID/2010/PTMDN, tanggal 25 Februari 2010, yang menjatuhi hukuman yang lebih tinggi dan menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 3036/PID.B/2009/PN.Mdn dan menambah 34 Sjaifurrachman, Habib Adjie, Op.cit., hal. 26 35 Ibid., hal. 231

hukuman bagi Notaris dari hukumannya 1 (satu) tahun menjadi 2 (dua) tahun. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum terhadap Notaris, yaitu Primair melanggar Pasal diancam pidana dalam Pasal 266 Ayat (1) jo Pasal 55 Ayat (1) KUHP, dan Subsidair melanggar Pasal 263 Ayat (1) jo Pasal 55 Ayat (1) KUHP. Pasal 266 KUHP menyebutkan: 1. Barang siapa menyuruh mencantumkan suatu keterangan palsu mengenai suatu hal didalam suatu akta otentik yang kebenaranya harus dinyatakan oleh akta tersebut dengan maksud untuk mengunakannya atau untuk menyuruh orang lain menggunakannya seolah-olah keterangannya itu sesuai dengan kebenaran, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun, jika penggunaannya dapat menimbulkan sesuatu kerugian. 2. Dipidana dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja menggunakan akta tersebut seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran, jika penggunaannya dapat menimbulkan suatu kerugian. Unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 266 ayat (1) KUHP tersebut untuk lebih jelasnya akan diuraikan sebagai berikut : a. Unsur objektif: 1) perbuatannya adalah menyuruh menempatkan ; 2) objeknya adalah keterangan palsu ; 3) ke dalam akta otentik ; 4) mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan dengan akta tersebut ; 5) jika pemakaiannya dapat menimbulkan kerugian. b. Unsur subjektif : dengan maksud untuk memakai atau menyuruh memakai seolah-olah keterangan itu sesuai dengan kebenaran. Ayat ke-2 mempunyai unsur-unsur sebagai berikut: 1. Unsur-unsur obyektif: a. Perbuatan: memakai; b. Obyeknya: akta otentik tersebut ayat 1; c. seolah-olah isinya benar;

2. Unsur subyektif: dengan sengaja. Dalam rumusan tersebut diatas, tidak dicantumkan siapa orang yang disuruh untuk memasukkan keterangan palsu tersebut, tetapi dapat diketahui dari unsur/kalimat ke dalam akta otentik dalam rumusan ayat ke-1. Bahwa orang tersebut adalah si pembuat akta otentik. Pasal 1868 Burgerlijk wetboek memberikan batasan secara unsur yang dimaksud dengan akta otentik atau authentiek yaitu: a. Akta itu harus dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan) seorang Pejabat Umum. b. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undangundang. c. Pegawai Umum (Pejabat Umum) oleh atau dihadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta tersebut. Otentik atau Authentiek 36 dapat diartikan: bersifat umum, bersifat jabatan, memberi pembuktian yang sempurna (dari surat-surat): khususnya dalam kata: authentieke akte. Para Notaris istimewa ditunjuk untuk membuat akta otentik baik atas permintaan atau atas perintah; akan tetapi juga beberapa pejabat negeri yang berhak membuatnya mengenai hal-hal yang berhubungan dengan tugas pekerjaannya. Sebagaimana diketahui bahwa akta otentik dibuat oleh pejabat umum yang menurut undang-undang berwenang untuk membuatnya, misalnya seorang Notaris, Pegawai Catatan Sipil, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Pejabat ini dalam pembuatan akta otentik adalah memenuhi permintaan, sedangkan orang yang meminta inilah yang dimaksud orang yang menyuruh memasukkan keterangan palsu. 36 N.E. Algra, H.R.W. Gokkel dkk, Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae, Belanda-Indonesia, Binacipta, Jakarta, 1983, hlm. 37.

Perbuatan menyuruh memasukkan mengandung unsur-unsur: 37 1. Inisiatif atau kehendak untuk membuat akta, akta mana memuat tentang apa (obyek yakni: mengenai sesuatu hal atau kejadian) yang disuruh masukkan kedalamnya adalah berasal dari orang yang menyuruh memasukkan, bukan dari pejabat pembuat akta otentik; 2. Dalam hubungannya dengan asalnya inisiatif dari orang yang meminta dibuatkannya akta otentik, maka dalam perkataan/unsur menyuruh memasukkan berarti orang itu dalam kenyataannya ia memberikan keterangan-keterangan tentang sesuatu hal, hal mana adalah bertentangan dengan kebenaran atau palsu; 3. Pejabat pembuat akta otentik tidak mengetahui bahwa keterangan yang disampaikan oleh orang yang menyuruh memasukkan keterangan kepadanya itu adalah keterangan yang tidak benar. 4. Oleh karena pejabat pembuat akta otentik tidak mengetahui perihal tidak benarnya keterangan tentang sesuatu hal itu, maka ia tidak dapat dipertanggungjawabkan, terhadap perbuatannya yang melahirkan akta otentik yang isinya palsu itu, dan karenanya ia tidak dapat dipidana. Unsur barang siapa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 266 ayat (1) KUHP, harus diartikan bahwa pelaku (dader) atau subyek tindak pidana Pasal 266 ayat (1) yaitu yang menyuruh memasukan keterangan palsu atau si penyuruh (doenplegen atau manus domina). Kata menyuruh merupakan bagian yang sangat penting dari Pasal 266 ayat (1) KUHP. Undang-undang tidak menerangkan tentang siapa yang dimaksud yang menyuruh melakukan itu. Dalam mencari pengertian dan syarat dari orang yang menyuruh melakukan (doenplengen) banyak ahli hukum merujuk pada keterangan yang ada didalam MvT WvS (Memorie Van Toelichting, Wetboek van Starfrecht), yang menyatakan bahwa: Yang menyuruh melakukan adalah juga dia yang melakukan tindak pidana akan tetapi tidak secara pribadi, melainkan dengan perantaraan orang lain sebagai alat dalam tangannya, apabila orang lain itu berbuat tanpa kesengajaan, kealpaan atau tanpa tanggung jawab karena keadaan yang tidak diketahui, disesatkan atau tunduk pada kekerasaan. 38 Sebagai hal yang juga penting dari apa yang diterangkan oleh MvT ialah bahwa jelas orang yang disuruh melakukan itu tidak dapat dipidana, sebagai konsekuensi logis dari keadaan subyektif (batin: tanpa kesalahan, atau 37 Adami Chazawi, Buku I, Op.Cit., hlm. 113 38 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 3 Percobaan dan Penyertaan, Raja Grafindo Persada, Malang, 2002, (Selanjutnya disebut Buku II), hlm. 85

tersesatkan) dan atau tidak berdaya karena pembuat materiilnya tunduk pada kekerasan (obyektif). 39 Dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Agung No. 137 K/Kr/1956 tertanggal 1 Desember 1956 menegaskan bahwa: seperti: 41 menyuruh melakukan (doenplegen) suatu tindak pidana, menurut hukum pidana syaratnya adalah bahwa orang yang disuruh itu menurut hukum tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap perbuatannya sehingga oleh karenanya tidak dapat dihukum. 40 Manus ministra atau orang yang disuruh berbuat karena berbagai alasan 1. adanya daya paksa (over macht); 2. tidak dapat dipertanggungjawabkan (ontvereken baar); 3. berbuat untuk melaksanakan ketentuan undang-undang atau perintah jabatan; 4. tidak mengetahui keadaan yang sebenarnya. Berkaitan dengan Pasal 266 ayat 1 KUHP yaitu menyuruh menempatkan keterangan palsu dapat ditafsirkan ada pada sipenyuruh (doenplegen atau manus domina) dalam hal ini para pihak yang membuat akta autentik atau disebut juga dengan pembuat tidak langsung (middelijke dader). Sehingga pembuat akta dalam hal ini Notaris hanyalah sebagai orang yang disuruh melakukan memasukkan keterangan palsu kedalam suatu akta autentik... atau disebut manus ministra. Sehingga dari tindak pidana tersebut yang bertanggung jawab penuh pada Pasal 266 ayat 1 adalah para pihak karena kehendak itu ada pada si penyuruh atau para pihak. Oleh karena itu Notaris tidak dapat dinyatakan sebagai pelaku (dader) menurut Pasal 266 ayat (1). Dalam Pasal 266 KUHP ini maksudnya adalah bahwa akta itu harus membuktikan kebenaran suatu kejadian, sedangkan hal-hal tentang peritiwa/kejadian ini telah diberitahukan secara tidak benar oleh seseorang yaitu 39 Ibid, hlm. 85-86 40 R.Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm. 51. 41 Ibid, hlm. 51.

para pihak kepada Notaris yang berwenang untuk membuatnya. Keterangan atau pernyataan dan keinginan para pihak yang diutarakan dihadapan notaris merupakan bahan dasar bagi Notaris untuk membuat akta sesuai dengan keinginan para pihak yang menghadap Notaris, tanpa ada keterangan atau pernyataan dan keinginan dari para pihak tidak mungkin Notaris untuk membuat akta. Sehingga inisiatif melakukan pemalsuan akta berada pada orang yang menyuruh dalam hal ini adalah para pihak. Maka dari itu menafsirkan atau menempatkan Notaris sebagai pelaku (dader) pada Pasal 266 ayat (1) yaitu menyuruh menempatkan keterangan palsu ke dalam akta autentik merupakan suatu kekeliruan (karena telah terjadi error in persona) karena kedudukan Notaris hanya sebagai orang yang disuruh melakukan. Pasal 266 KUHP ini hanya berlaku untuk seseorang yang menyuruh Notaris untuk memasukkan keterangan palsu, yaitu para pihak bukan Notaris. 2.1.2. Penyertaan (DEELNEMING) Pada saat ini hampir setiap tindak pidana yang terjadi dilakukan lebih dari seorang. Jadi pada setiap tindak pidana itu selalu terlihat lebih daripada seorang yang berarti terdapat orang-orang lain yang turut serta dalam pelaksanaan tindak pidana di luar diri si pelaku. Penyertaan pada suatu kejahatan terdapat apabila dalam satu tindak pidana tersangkut beberapa orang atau lebih dari seorang. Hubungan tersebut: 42 1. beberapa orang bersama-sama melakukan satu tindak pidana; 2. mungkin hanya satu orang yang mempunyai kehendak dan merencanakan tindak pidana, akan tetapi tindak pidana tersebut tidak dilakukan sendiri, tetapi ia mempergunakan orang lain untuk melakukan tindak pidana tersebut; 3. dapat juga terjadi bahwa seorang saja yang melakukan tindak pidana, tetapi ia mempergunakan orang lain itu dalam melaksanakan tindak pidana. 42 Didik Endro P, Hukum Pidana, Khusus untuk mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 2007, hlm. 55.

Penyertaan penting dalam hal menentukan pertanggungjawaban peserta tindak pidana. 43 Penyertaan menurut KUHP diatur dalam Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP. Pasal 55 dan 56 KUHP menyebutkan: Pasal 55 KUHP: 1. Dihukum sebagai pelaku tindak pidana yaitu: 1) Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan; 2) Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan. 2. Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya. Pasal 56 KUHP: Dipidana sebagai pembantu kejahatan: 1. mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukakan; 2. mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan. Penyertaan dibagi menjadi dua pembagian besar, yaitu: 44 1. Pembuat/Dader (Pasal 55) yang terdiri dari: a. pelaku (pleger); Pelaku adalah orang yang melakukan sendiri perbuatan yang memenuhi perumusan delik dan dipandang paling bertanggung jawab atas kejahatan. b. yang menyuruh melakukan (doenpleger); Doenpleger adalah orang yang melakukan perbuatan dengan perantaraan orang lain, sedang perantara itu hanya digunakan sebagai alat. Dengan demikian, ada dua pihak, yaitu pembuat langsung (manus ministra/auctor physicus), dan pembuat tidak langsung (manus domina/auctor intellectualis). c. yang turut serta (medepleger); 43 Ibid. 44 Teguh Prasetyo, Op.cit, hlm. 205.