BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Dasar hukum dari Pembebasan bersyarat adalah pasal 15 KUHP yang menyatakan orang yang dihukum penjara boleh dilepaskan dengan perjanjian, bila telah melalui dua pertiga bagian dari hukumannya yang sebenarnya dan juga paling sedikit sembilan bulan dari pada itu. Pada hakekatnya pemberian Pembebasan bersyarat ini hanyalah merupakan hadiah/remisi dari Negara bagi narapidana untuk bebas lebih awal dari masa hukuman yang sebenarnya. Pemberian Pembebasan bersyarat ini jika dilihat secara implisit maupun eksplisit hanya merupakan hadiah/remisi dari Negara, dimana pada situasi saat itu kondisi narapidana diseluruh Indonesia masih dihuni para narapidana dalam jumlah yang wajar. Namun seiring dengan perkembangan, ditinjau dari sudut jumlah pertumbuhan penduduk, tidak tersedianya lapangan kerja yang berdampak tingginya jumlah pengangguran yang menjadi penyumbang terbesar dalam angka kriminalitas. Tingginya angka kriminalitas adalah merupakan penyebab dominan yang menyebabkan banyaknya penghuni Lembaga Pemasyarakatan. Pada bagian ini, Lembaga pemasyarakatan memunculkan masalah-masalah baru, dimana daya tampung yang tidak memadai dan sarana-sarana pendukung juga menimbulkan masalah baru seperti kerawanan sosial seperti perkelahian, tidak terpeliharanya peri kehidupan para warga binaan yang semuanya itu disebabkan over kapasitas.
Mencermati hal tersebut di atas, pihak Lembaga Pemasyarakatan melalui Direktur Jenderal Pemasyarakatan mencoba mengatasi dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan hukum, yaitu dengan mencoba memaksimalkan pelaksanaan Pembebasan bersyarat. Pembebasan bersyarat yang ada pada awalnya hanya bersifat hadiah/remisi dari Negara, namun saat ini digunakan sebagai salah satu instrumen untuk mengurangi over kapasitas. Tabel 1.1. Penghuni Lapas Secara Nasional Tahun Kapasitas (org) Penghuni Lapas (org) 2003 64.345 71.587 2004 66.891 86.450 2005 68.141 97.671 2006 76.550 118.453 2007 76.550 116.000 Sumber : Dirjen Pemasyarakatan 2008 Dari Tabel 1.1 dapat dijelaskan pada tahun 2003 penghuni Lapas (Tahanan dan Narapidana) 71.587 orang kapasitas 64.345 orang, tahun 2004 penghuni 86.450 orang kapasitas untuk 66.891 orang, tahun 2005 penghuni 97.671 orang kapasitas untuk 68.141 orang, tahun 2006 penghuni 118.453 orang kapasitas 76.550 orang, dan tahun 2007 sekitar 116.000 penghuni Lapas dengan kapasitas yang sama, berarti terdapat kelebihan penghuni sekitar 54,73 persen dari kapasitas yang semestinya, dari jumlah ini kasus yang menempati urutan pertama adalah kasus narkoba sekitar 30 persen atau 32.000.
Masalah berikutnya yang sangat prinsipil adalah pelaksanaan prosedur pengusulan Pembebasan bersyarat : a. Pembebanan biaya bagi narapidana yang akan mendapatkan remisi b. Syarat administratip berupa surat menyatakan bahwa narapidana tidak memiliki perkara lain yang diperoleh dari kejaksaan setempat, dan adanaya pembayaran subsider c. Tidak efisien dan efektifnya regulasi yang mengatur pemberian remisi bagi narapidana yang akan mendapat Pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas Dengan kondisi yang terjadi diatas tersebut, animo para penghuni Lapas untuk mengurus Pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas menurun, karena para narapidana yang menjalani pidana harus dibebankan beberapa syarat- syarat yang harus dipenuhi. Sebagai akibatnya banyak penghuni Lapas yang sudah menjalani 2/3 masa hukuman dan sudah saatnya memperoleh Pembebasan bersyarat akhirnya gagal menggunakan kesempatan ini. Disisi lain, pengawasan yang ada selama ini dalam organisasi Lapas minimal ada dua, yaitu pengawasan melekat dan pengawasan fungsional. Pengawasan melekat yang dilakukan oleh pejabat internal lapas belum bisa diharapkan mengingat tidak adanya mekanisme kontrol yang jelas terutama dari masyarakat. Terlebih lagi pengawasan fungsional yang diserahkan kepada Inspektorat Jenderal Dep.KumHAM, bagaimana mungkin pengawasan yang dilakukan orang dalam bisa diharapkan transparan dan akuntable. Keberadaan badan pertimbangan Pemasyarakatan (BPP)
yang mayoritas diisi oleh masyarakat sipil dan oleh akademisi diperhadapkan kepada masalah yang serupa mengingat badan ini hanya memberikan berbagai macam masukan dan pertimbangan kepada menteri, dan sepertinya sampai sekarang masyarakat umum tidak pernah mengetahui kinerja dan aktifitasnya. Sebenarnya jika badan ini diperkuat dengan mereformasi tugas dan kewenangannya, maka pengawasan yang dilakukan bisa efektif dan memiliki kontrol yang baik. Kelebihan kapasitas (over capacity) lembaga pemasyarakatan (LP) dinilai sebagian kalangan menjadi sumber masalah di seluruh LP di Indonesia. Menurut Meliala (2008) Kerusuhan massal di LP Cipinang, Jakarta, sepekan lalu juga dinilai pengamat lantaran penjara tersebut telah `kelebihan muatan'. ''Masalah di penjara Indonesia itu banyak sekali, tapi sumbernya adalah over capacity, (http://ham.go.id.). Untuk menekan arus masuk narapidana, diusulkan agar meminta pemerintah segera mengatur manajemen kasus pidana. Kelebihan kapasitas LP dan rumah tahanan (rutan) di Indonesia karena manajemen kasus yang kurang baik dari aparat hukum, mulai dari kepolisian, kejaksaan, hingga hakim. Direktur Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Ham, Untung Sugiyono (2008) sepakat dengan usulan hukuman alternatif bagi pelaku pidana ringan. Untung menilai, pembatasan arus masuk narapidana sudah harus dijalankan untuk mengatasi kelebihan kapasitas LP dan rutan yang ada di Indonesia. Dari kapasitas 80 ribu penghuni LP dan rutan di bawah Depkumham, terang Untung, jumlah narapidana di Indonesia telah mencapai angka 150 ribu orang. 'Hukuman
alternatif seperti kerja sosial mulai harus diterapkan aparat penegak hukum karena penjara sudah kelebihan kapasitas, http://ham.go.id. Oleh karena itu, pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Menjelang Bebas, dan Pembebasan Bersyarat kepada pelaku tindak pidana tersebut perlu diberi batasan khusus. Untuk tindak pidana narkotika dan psikotropika, ketentuan Peraturan Pemerintah ini hanya berlaku bagi produsen dan bandar. Untuk tindak pidana korupsi, ketentuan Peraturan Pemerintah ini hanya berlaku bagi tindak pidana korupsi yang memenuhi kriteria sebagai berikut: a. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; b. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau c. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Bentuk-bentuk kebijakan yang dapat menimbulkan permasalahan akibat dari kelebihan kapasitas ini yaitu: 1. Kebijakan kesehatan kurang maksimal sehingga hak dasar kesehatan narapidana tidak terpenuhi. Dengan demikian, keterbatasan anggaran dan penghuni lembaga pemasyarakatan yang merupakan masalah klasik menjadi permasalahan utama dalam menambah keterpurukan lembaga pemasyarakatan. 2. Kebijakan terhadap pelaku tawuran didalam penjara. Dalam hal ini, pihak lembaga hanya bersifat reaktif dalam melihat tawuran di dalam penjara tanpa
melihat kebijakan pencegahan tawuran tersebut ketika sudah terjadinya tawuran barulah pihak dari lapas mencari sebab-musabab tawuran dan melakukan razia sejata tajam di lembaga permasyarakatan. Kasus ini sebenarnya dapat dicegah dengan melakukan pengawasan yang ketat dan tingkat kewaspadaan terhadap pola tingkah laku narapidana. 3. Penjara menjadi sekolah kejahatan. Dalam kelebihan kapasitas di lembaga pemasyarakatan, pihak lembaga melupakan pemilahan antara residivis dengan first offender atau orang yang melakukan kejahatan untuk pertama kalinya. Menurut Sutherland yang merupakan tokoh kriminolog paradigma positivis dalam teori Differential Association ditekankan bahwa penentu kejahatan terletak dalam hubungan pelaku dengan lingkungan dimana ia melakukan interaksi sosial sehingga dapat menghasilkan kejahatan. Dari semua kondisi yang telah dipaparkan diatas, dirasakan perlunya penerapan langkah- langkah strategis dalam upaya mengurangi over kapasitas. Salah satu upaya yang dilakukan oleh Lembaga Pemasyarakatan adalah pengembangan kebijakan Pembebasan bersyarat (PB) ataupun Cuti menjelang bebas (CMB) Berdasarkan hasil penelitian sementara, terlihat bagaimana pengaruh kebijakan Pembebasan bersyarat dan Cuti menjelang bebas yang akan dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan.
Pada Tabel 1.1. di bawah ini dapat dilihat bagaimana perkembangan jumlah napi dan kaitannya dengan target serta realisasi Kebijakan Pembebasan bersyarat (PB) dan Cuti Menjelang Bebas (CMB) di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Tanjung Gusta Medan Tabel 1.2. Gambaran Jumlah Napi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas 1 Tanjung Gusta Medan Tahun 2003-2007 TAHUN ISI YANG MEMENUHI PERSYARATAN DIUSULKAN TEREALISASI YANG TIDAK DIUSULKAN 1 2 3 4 5 6 7 8 2004 1363 374 194 194 180 - - 2005 1427 411 161 161 250 - - 2006 1673 428 216 211 212 3 2 Orang batal 2007 1674 398 275 274 123-1 Orang batal Sumber : Lembaga Pemasyarakatan Klas I Tanjung Gusta Medan 2008) Berdasarkan Tabel 1.1. di atas, dapat diketahui bahwa pada tahun 2004 sampai dengan tahun 2007 dilaksanakan Proses Pembebasan bersyarat dan atau Cuti Menjelang Bebas (CMB) terhadap Narapidana/tahanan di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan yang ditentukan menurut Persyaratan Substantif dan Persyaratan Administratif Lembaga Peradilan dan Perundang-undangan yang berlaku. Secara umum antara target dan realisasi per tahunnya hanya mencapai ratarata 50% saja, dengan demikian dari kondisi ini penulis perlu mengkaji melalui suatu penelitian mengenai sampai sejauh mana keefektifan Permenkeh Nomor M.01- PK.04.10 Tahun 1989 tentang Asimilasi terhadap over capasitas khususnya di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan. CMB KET
1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang sebagaimana dikemukakan di atas, maka perumusan masalah penelitian ini adalah: Sejauh mana pengaruh pelaksanaan kebijakan Pembebasan bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas terhadap Over Kapasitas penghuni di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan? 1.3. Tujuan Penelitian Dari rumusan permasalahan di atas, yang menjadi tujuan penelitian adalah: Untuk mengetahui pengaruh kebijakan Pembebasan bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas terhadap over kapasitas penghuni Di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan. 1.4. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini diharapkan : 1. Sebagai bahan pertimbangan bagi pengambilan keputusan pada masingmasing sektor yang terlibat dalam manajemen lembaga pemasyarakatan 2. Sebagai bahan pertimbangan bagi pengambilan keputusan pada masingmasing sektor yang terlibat manajemen lembaga pemasyarakatan
Selanjutnya diharapkan agar hasil penelitian ini secara khusus dapat bermanfaat bagi : 1. Pihak pemerintah daerah utamanya Pemerintah daerah Sumatera Utara untuk memperoleh umpan balik dalam merumuskan suatu gambaran sistem manajemen kebijakan Pembebasan bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, over kapasitas Di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan 2. Bagi pihak Akademik, sebagai pengembangan ilmu dalam bidang manajemen secara umumnya dan menambah informasi dan pengetahuan dalam operasional pembangunan di Sumatera Utara. 1.5. Landasan Teori 1.5.1. Kerangka Berpikir Menurut Suhardi, M (2005) Pembebasan bersyarat adalah Pembebasan dengan beberapa syarat kepada Narapidana yang telah menjalani dua pertiga dari masa pidananya, dimana dua pertiga ini sekurang- kurangnya Sembilan bulan. Setelah bebas dari Lapas dibebani oleh beberapa syarat, Narapidana juga diberikan tambahan masa pencobaan selama setahun dan langsung ditambahkan dengan masa pidananya. Cuti menjelang bebas adalah Pemberian cuti kepada Narapidana yang telah menjalani dua pertiga masa pidanannya, dimana masa dua pertiga itu sekurangkurangnya Sembilan bulan. Berbeda dengan Pembebasan bersyarat pada cuti menjelang bebas Narapidana tidak diberikan masa pencobaan. Cuti menjelang bebas
pada prinsipnya hanya diberikan kepada Narapidana yang hukumannya pendek. Besar waktu atau jumlah waktu Cuti Menjelang Bebas adalah sama dengan besar remisi terakhir yang diperoleh Narapidana tersebut. Masalah dan fenomena kapasitas dari berbagai UPT Pemasyarakatan merupakan salah satu gejala yang nyata tidak adanya sinergitas dalam bekerjasama peradilan pidana (Depkumham, 2008). Teori rehabilitasi dan reintergrasi sosial mengembangkan beberapa kebijakan pembinaan Narapidana sebagaimana telah dalam undang- undang no. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Program kebijakan itu meliputi : 1. Asimilasi Dalam Asimilasi dikemas berbagai macam program pembinaan yang salah satunya adalah pemberian latihan kerja dan produksi kepada Narapidana. 2. Reintregasi Sosial Dalam intregrasi sosial dikembangkan dalam dua bentuk program pembinaan, yaitu Pembebasan bersyarat dan Cuti Menejelang Bebas. a. Pembebasan bersyarat adalah Pemberian pembebasan dengan beberapa syarat kepada Narapidana yang telah menjalani dua pertiga dari masa pidananya, dimana masa duapertiga tersebut sekurangkurangnya Sembilan bulan. b. Cuti Menjelang Bebas adalah Pemberian cuti kepada Narapidana yang telah menjalani dua pertiga dari masa pidananya, dimana masa dua pertiga itu sekurang- kurangnya Sembilan bulan.
di bawah ini : Untuk lebih jelasnya keterkaitan antar variabel dapat dilihat pada Gambar 1.1 Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.2.PK.04-10 Tahun 2007 RE- INTEGRASI SOSIAL PEMBEBASAN BERSYARAT CUTI MENJELANG BEBAS PENGARUH OVER KAPASITAS 1. Fasilitas Hunian 2. Sanitasi dan Kesehatan 3. Keseimbangan target dan realisasi jumlah pemberian PEMBEBASAN BERSYARAT Gambar 1.1. Alur Pikir Pengaruh Pembebasan bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas Terhadap Over Kapasitas Penghuni di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan
1.5.2.Kerangka Konseptual PEMBEBASAN BERSYARAT OVER KAPASITAS CUTI MENJELANG BEBAS Gambar 1.2 Kerangka Konsep 1.6. Hipotesis Berdasarkan kerangka konspetual penelitian dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: Pembebasan bersyarat, Cuti menjelang bebas berpengaruh terhadap over kapasitas penghuni pada Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan