BAB I PENDAHULUAN. yang menyenangkan, terampil dan pintar yang nantinya akan menjadi penerus dalam

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Kehadiran seorang bayi dalam keluarga merupakan berkah yang luar

STRATEGI COPING ORANG TUA MENGHADAPI ANAK AUTIS

BAB I PENDAHULUAN. biasa. Tampaknya semua pihak menyambutnya dengan suka cita. Setiap orangtua

BAB I PENDAHULUAN. kepada para orang tua yang telah memasuki jenjang pernikahan. Anak juga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. telah membina keluarga. Menurut Muzfikri (2008), anak adalah sebuah anugrah

BAB I PENDAHULUAN. antara suami istri saja melainkan juga melibatkan anak. retardasi mental termasuk salah satu dari kategori tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap orang tua pasti menginginkan anaknya terlahir sempurna tanpa ada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. fisik maupun mental. Tetapi tidak semua anak terlahir normal, anak yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. Setiap pasangan memiliki harapan serta keinginan-keinginan menjalani

BAB 1 PENDAHULUAN. dilahirkan akan tumbuh menjadi anak yang menyenangkan, terampil dan

BAB I PENDAHULUAN. Membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan harmonis adalah impian

1. PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Gambaran Stres..., Muhamad Arista Akbar, FPSI UI, 2008

BAB I PENDAHULUAN. dikaruniai anak yang normal. Melihat anak anak balita tumbuh dan. akan merasa sedih. Salah satu gangguan pada masa kanak kanak yang

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dipandang mampu menjadi jembatan menuju kemajuan, dan

BAB I PENDAHULUAN. berbagai alasan. Terlebih lagi alasan malu sehingga tidak sedikit yang

BAB I PENDAHULUAN. masa pernikahan. Berbagai harapan mengenai keinginan memiliki anak pun

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia.

BABI PENDAHULUAN. Semua orangtua menginginkan anak lahir dengan keadaan fisik yang

BAB I PENDAHULUAN. orangtua, akan tetapi pada kenyataannya tidak semua pasangan dikarunia anak. merasa bangga dan bahagia ketika harapan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. yang didambakan. Berbagai harapan sempurna mengenai anak pun mulai

BAB I PENDAHULUAN. data Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) persennya merupakan penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas

BAB I PENDAHULUAN. orang tua. Anak bisa menjadi pengikat cinta kasih yang kuat bagi kedua orang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Coping Stress pada Perempuan Berstatus Cerai dengan memiliki Anak

BAB I PENDAHULUAN. pembelajaran di tingkat perguruan tinggi, baik di universitas, institut

5. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kelahiran anak dalam kondisi sehat dan normal adalah harapan setiap ibu (UNICEF,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anak adalah anugerah, anak adalah titipan dari Allah SWT. Setiap

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kehadiran anak umumnya merupakan hal yang dinanti-nantikan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berkembang secara normal. Orang tua pun akan merasa senang dan bahagia

BAB I PENDAHULUAN. A. Konteks Penelitian (Latar Belakang Masalah) Perkawinan merupakan salah satu titik permulaan dari misteri

BAB 1 PENDAHULUAN. psikologis, sosial, dan spiritual (Hidayat, 2009). Sedangkan menurut Undang-

BAB I PENDAHULUAN. orang disepanjang hidup mereka pasti mempunyai tujuan untuk. harmonis mengarah pada kesatuan yang stabil (Hall, Lindzey dan

1 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. mencapai kebahagiaan seperti misalnya dalam keluarga tersebut terjadi

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sempurna, ada sebagian orang yang secara fisik mengalami kecacatan. Diperkirakan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dan berkembang secara normal terutama anak, namun itu semua tidak didapatkan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan ilmu dan teknologi yang diikuti dengan meningkatnya

PSIKOLOGI UMUM 2. Stress & Coping Stress

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang menarik dibanyak negara, termasuk negara-negara berkembang seperti

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa kini banyak pola hidup yang kurang sehat di masyarakat sehingga

BAB I PENDAHULUAN. Terdapat beberapa karakteristik anak autis, yaitu selektif berlebihan

BAB I PENDAHULUAN. Retardasi mental adalah suatu gangguan yang heterogen yang terdiri

COPING REMAJA AKHIR TERHADAP PERILAKU SELINGKUH AYAH

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Autis merupakan suatu gangguan perkembangan yang kompleks yang

BAB 1 PENDAHULUAN. perkembangan (sejak lahir atau sejak masa anak-anak). Terdapat perkembangan mental yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap keluarga memiliki cara tersendiri untuk menghadapi berbagai

BAB 1 PENDAHULUAN. kenyataannya, anak ada yang normal dan anak yang berkebutuhan khusus.

BAB II LANDASAN TEORI Hospitalisasi atau Rawat Inap pada Anak Pengertian Hospitalisasi. anak dan lingkungan (Wong, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. Sekarang ini kita dihadapkan pada berbagai macam penyakit, salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. sehat jasmani dan rohani. Namun pada kenyataannya tidak semua anak lahir

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hadirnya seorang anak merupakan harapan dari setiap orangtua.

BAB 1 PENDAHULUAN. Hal yang tidak pasti dari kematian adalah waktu datang dan proses menjelangnya.

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam sebuah rumah tangga setiap pasangan suami istri yang akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berarti. Anak datang menawarkan hari-hari baru yang lebih indah, karena

BAB I PENDAHULUAN. dari kemacetan hingga persaingan bisnis serta tuntutan ekonomi kian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. langgeng hingga akhir hayat mereka. Namun, dalam kenyataannya harapan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 40 tahun dimana terjadi perubahan fisik dan psikologis pada diri individu, selain itu

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DENGAN STRATEGI KOPING PADA PENDERITA PASCA STROKE

2016 PROSES PEMBENTUKAN RESILIENSI PADA IBU YANG MEMILIKI ANAK PENYANDANG DOWN SYNDROME

BAB I PENDAHULUAN. melihat sisi positif sosok manusia. Pendiri psikologi positif, Seligman dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menempuh berbagai tahapan, antara lain pendekatan dengan seseorang atau

PEDOMAN OBSERVASI. Observasi penelitian ini mengungkap : a. Kesan umum : kondisi fisik, penampilan dan perilaku subyek

BAB I PENDAHULUAN. yang indah, bahkan anak dikatakan sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi

BAB I PENDAHULUAN. Ketika berinteraksi, individu dihadapkan pada tuntutan-tuntutan, baik dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam Taylor 2009). Menurut Croker, Kowalski, dan Graham dalam

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Perawat dalam pelayanan kesehatan dapat diartikan sebagai tenaga

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Pengertian Perceived Social Support. secara nyata dilakukan oleh seseorang, atau disebut received support,

BAB I PENDAHULUAN. tuanya,keberadaannya diharapkan dan ditunggu-tunggu serta disambut

BAB I PENDAHULUAN. Keluarga yang bahagia dan harmonis merupakan dambaan dari setiap

BAB V PEMBAHASAN. A. Rangkuman Hasil Penelitian. Tidak mudah bagi seorang ibu memiliki anak-anak

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. individu, khususnya individu yang telah menyandang gelar Strata Satu atau

BAB I PENDAHULUAN. dalam tahap perkembangannya akan mengalami masa berhentinya haid yang dibagi

BAB V PEMBAHASAN. A. Rangkuman Hasil. Usia anak pada saat didiagnosis memiliki epilepsi berbeda-beda.

BAB I PENDAHULUAN. dituntut untuk terbiasa menghadapai peran yang berbeda dari sebelumnya, karena memiliki anak berkebutuhan khusus (Miranda, 2013).

BAB 1 PENDAHULUAN. familiar dikehidupan masyarakat adalah Anak Berkebutuhan Khusus (ABK).

PENYESUAIAN DIRI DAN POLA ASUH ORANG TUA YANG MEMILIKI ANAK RETARDASI MENTAL

BAB I PENDAHULUAN. I. A. Latar Belakang. Anak yang dilahirkan secara sehat baik dalam hal fisik dan psikis

BAB I PENDAHULUAN. Orang tua merupakan sosok yang paling terdekat dengan anak. Baik Ibu

BAB 1 PENDAHULUAN. pasal 31 ayat 1 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa tiap-tiap warga negara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Kerja merupakan sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia. Seseorang

BAB 1 PENDAHULUAN. dan perkembangan pada mental intelektual (mental retardasi) sejak bayi atau

BAB I PENDAHULUAN. atau mengalami hambatan perkembangan, contohnya anak dengan retardasi

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penurunan kondisi fisik, mereka juga harus menghadapi masalah psikologis.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Kebermaknaan Hidup

134 Perpustakaan Unika LAMPIRAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kehadiran seorang bayi dalam keluarga merupakan berkah yang luar biasa. Setiap orangtua mengharapkan anak yang dilahirkan, kelak tumbuh menjadi anak yang menyenangkan, terampil dan pintar yang nantinya akan menjadi penerus dalam keluarga tersebut. Namun, tidak semua harapan orangtua memiliki anak yang sehat dan normal dapat terwujud. Beberapa orangtua justru mendapatkan anak yang memiliki kekhususan. Anak tersebut seringkali mengalami penolakan dari orang tuanya. Kebanyakan orangtua tidak bisa menerima kenyataan dengan anak yang pola perkembangannya berbeda dengan anak-anak yang lain. Anak-anak inilah yang disebut anak berkebutuhan khusus, salah satunya adalah anak penyandang tunagrahita atau retardasi mental. Anak tunagrahita adalah kondisi dimana kecerdasan anak mengalami hambatan sehingga tidak mencapai tahap perkembangan yang optimal. Hal tersebut ditandai dengan kemampuan intelektual dibawah rata-rata dan ketidakcakapan dalam interaksi sosial (Somantri, 2006; Delphie, 2006). merupakan bagian dari individu yang memiliki kebutuhan khusus. Salah satu cirinya adalah memiliki kecerdasan di bawah rata-rata, sehingga kemampuan akademik mereka mengalami keterlambatan jika dibandingkan dengan individu normal yang seusianya. Mereka kurang dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungan sosial dan miskin dalam

2 pembendaharaan kata. Namun, mereka memiliki perkembangan fisik yang sama dengan anak normal pada umumnya. Annual Report to Congress menyebutkan bahwa 1,92% anak usia sekolah penyandang tunagrahita yaitu dengan perbandingan laki-laki 60% dan perempuan 40% atau 3:2. Data Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2006, dari 222 juta penduduk Indonesia, sebanyak 0,7% atau 2,8 juta jiwa adalah penyandang cacat. Sedangkan populasi anak tunagrahita menempati angka paling besar dibanding dengan jumlah anak dengan keterbatasan lainnya. Prevalensi tunagrahita di Indonesia saat ini diperkirakan 1-3% dari penduduk Indonesia, sekitar 6,6 juta jiwa. Anak tunagrahita ini memperoleh pendidikan formal di Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri dan SLB swasta (Noor & Megah, 2010). Berdasarkan Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kesejahteraan Sosial Departemen Sosial RI Tahun 2007, jumlah penyandang cacat adalah 2.364.000 jiwa termasuk penyandang cacat mental. Sedangkan menurut asumsi SoIna (Special Olympics Indonesia) bahwa jumlah penyandang cacat tunagrahita adalah 3% dari jumlah penduduk Indonesia atau sebesar 6 juta jiwa. Kondisi ini diperkirakan akan terus mengalami peningkatan, seiring dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk dan berbagai faktor lainnya yang memicu peningkatan jumlah penyandang cacat mental. Tidak mudah bagi ibu untuk menghadapi kenyataan bahwa anak mereka penderita tunagrahita. Awalnya ibu akan bingung karena ibu tidak memiliki pemahaman tentang tunagrahita. Perasaan tak percaya bahwa anaknya adalah

3 penderita tunagrahita kadang-kadang menyebabkan ibu mencari dokter lain untuk menyangkal diagnosis dokter sebelumnya, bahkan sampai beberapa kali berganti dokter. Pada akhirnya, setelah dihadapkan pada fakta yang objektif dari berbagai sumber, maka kebanyakan ibu pun dengan amat terpukul dan terpaksa menerima kenyataan pahit yang menimpa anaknya. Tentu saja hal ini sangat memukul perasaan ibu. Bagaimana tidak, anak yang sangat dicintainya harus menderita suatu keterbelakangan mental yang menunjukkan fungsi intelektual di bawah rata-rata secara jelas dengan disertai ketidakmampuan dalam penyesuaian perilaku dan terjadi pada masa perkembangan (Mazbow, 2009). Ada juga ibu yang shock dan merasa tertuduh karena memiliki pemahaman yang salah tentang tunagrahita. ibu merasa bahwa anak tunagrahita lahir akibat dosadosa orang tuanya, bahkan ada juga pasangan suami istri bertengkar lalu saling menyalahkan. Dampak dari kebingungan, keterkejutan, rasa berdosa dan pertengkaran yang berlarut-larut dapat merugikan anak tunagrahita karena diagnosis anak tidak segera terlaksana (Wanei, dalam Somantri). Pasti ada masa dimana ibu harus merenung dan tidak mengetahui tindakan tepat apa yang harus diperbuat. Tidak sedikit ibu yang kemudian memilih tidak terbuka mengenai keadaan anaknya kepada teman, tetangga, bahkan keluarga dekat sekalipun, kecuali kepada dokter yang menangani anaknya itu. Karena dalam situasi seperti ini, pengarahan dari dokter atau psikiater mau tidak mau akan mereka pertimbangkan karena dokter atau psikiater tersebut merupakan pihak yang dianggap paling tahu mengenai persoalan anak mereka. Dokter atau psikiater harus dapat

4 memberikan pengarahan kepada para ibu yang sedang berada pada taraf panik, tidak bisa berpikir, kaget, dan tidak tahu harus berbuat apa. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan informasi terpadu, memberi penekanan bahwa waktu sangat berharga, memberikan ibu sebanyak mungkin fakta mengenai kondisi anak dan kemudian mengarahkan ibu untuk menggunakan logika dan nalar dalam menghadapi musibah ini sehingga tidak terfokus menggunakan emosi dan perasaan (Hamid, 2004). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hamid (2004) menunjukkan bahwa orang tua yang memiliki anak tunagrahita menunjukkan perasaan sedih, denial, depresi, marah dan menerima keadaan anaknya. Orang tua merasa khawatir tentang masa depan anak dan stigma yang melekat pada anak. Seorang ibu dengan anak yang menderita tunagrahita pernah membagikan pengalamannya sebagai berikut, ibu S yang memiliki anak tunagrahita berumur 8 tahun mengatakan bahwa ia merasa sedih ketika teman sepermainan anaknya mengejek dan mengatakan mengapa anaknya tidak bersekolah di sekolah biasa dan mengalami kesulitan dalam komunikasi dengan anaknya. Merasa putus asa karena sudah mencoba berbagai cara untuk menyembuhkan anaknya. Hal senada juga diungkapkan Ibu P yang mempunyai anak putra berumur 11 tahun dan bersekolah di SLB yang sama dengan anak ibu S, sang ibu menceritakan tentang keadaannya yang merasa malu, putus asa dan sedih dengan keadaan anaknya. Penggambaran kondisi psikologis ibu diatas menunjukkan bahwa ibu yang memiliki anak tunagrahita mengalami perasaan sedih, putus asa, depresi dan mengalami kondisi yang tidak menyenangkan. Bagi ibu inilah periode awal

5 kehidupan anaknya yang merupakan masa-masa tersulit dan paling membebani. Pada periode ini seringkali ibu berhadapan dengan begitu banyak masalah, tidak saja tentang anaknya, tetapi bercampur dengan masalah-masalah lainnya yang ikut membebani pikiran dan perasaan ibu. Hal ini menggambarkan betapa beratnya masalah yang sedang dihadapi oleh ibu dari anak dengan gangguan tunagrahita. Belum lagi ketika mereka mengetahui bagaimana harapan-harapan keluarga besar tentang anak mereka. Kakek, dan neneknya yang mengharapkan cucu yang sehat dan cerdas tidak terpenuhi, sehingga mereka semakin tertekan. Jelas ini bukan perasaan yang mengenakkan bagi ibu dengan anak yang menderita tunagrahita. Hal lain yang kadang mengganjal para ibu dengan anak tunagrahita adalah proses penjelasan diagnosis dari dokter, psikiater atau psikolog tentang gangguan pada anaknya. Walaupun tidak ada cara ideal untuk memberitahukan hal tersebut, sejumlah cara sudah pasti lebih baik daripada cara lainnya. Penelitian menunjukkan bahwa kebanyakan ibu lebih suka diberi tahu sedini mungkin (Fauziah, 2009). Berdasarkan wawancara awal dengan ibu, banyak ibu menjelaskan kekecewaan mereka tentang bagaimana pertama kali mereka diberi tahu tentang diagnosis tunagrahita pada anaknya. Ada ibu yang kecewa dengan tidak diberi kesempatan yang cukup untuk bertanya seputar masalah diagnosis anaknya, kadang dokter terlalu sibuk dan tidak punya waktu untuk menjelaskan dengan cukup, terkesan terburuburu, bersikap dingin, dan acuh. Menurut penelitian Fauziah (2009), ditemukan bahwa tingkat stres para ibu yang memiliki anak penyandang tunagrahita cukup tinggi. Mereka merasakan beban

6 yang cukup berat sepanjang hidup mereka. Para ibu sering mengeluh pada pihak pihak yang terkait yaitu suami, orangtua, sahabat dan tetangga seperti sulitnya punya anak tunagrahita, karena lebih mudah mengurusi anak yang normal. Respon kaget, penolakan, kesedihan yang mendalam, kemarahan dan lain sebagainya merupakan berbagai ragam reaksi spontan yang ditunjukkan oleh orangtua ketika mengetahui bahwa anaknya mengalami kondisi tunagrahita. Walaupun ada sebagian ibu yang menerima kenyataan tersebut dengan tabah dan tetap merawat anak mereka dengan sebaik-baiknya layaknya anak normal lainnya. Mereka bersikap menerima, bersabar, bertawakal, dan terkadang tanpa disadari mereka menangis sambil berdoa saat tengah malam dalam hati, memohon kepada Allah Yang Maha Kuasa agar diberi kekuatan dalam menghadapi anak tunagrahita dan diberi ketenangan dalam menghadapi hidup ini. Beberapa keterlambatan perkembangan pada anak tunagrahita bila dibandingkan dengan anak lain yang sebaya, menuntut adanya penanganan yang lebih intensif oleh ibu yang memiliki anak tunagrahita. Munculnya tuntutan tersebut dapat berpotensi menimbulkan stres bagi ibu yang memiliki anak tunagrahita. Permasalahan-permasalahan yang dihadapi memerlukan pemecahan sebagai upaya untuk menyesuaikan diri atau beradaptasi terhadap masalah dan tekanan yang menimpa mereka. Konsep untuk memecahkan permasalahan ini disebut dengan coping. Coping dilakukan untuk menyeimbangkan emosi individu dalam situasi yang penuh tekanan. Coping merupakan reaksi terhadap tekanan yang berfungsi

7 memecahkan, mengurangi dan menggantikan kondisi yang penuh tekanan (Rustiana, 2003). Menurut Lazarus (Davison dkk, 2006) coping adalah bagaimana orang berupaya mengatasi masalah atau menangani emosi yang umumnya negatif yang ditimbulkannya. Mu tadin (2002) juga menambahkan bahwa coping strategy adalah segala upaya dan usaha, baik mental maupun perilaku untuk menguasai, mentoleransi, mengurangi, meminimalis situasi atau kejadian yang penuh tekanan. Individu akan memberikan reaksi yang berbeda-beda dalam mengatasi stres, tergantung pada pengalaman dan persepsi individu tentang stres. Umumnya, coping terjadi secara otomatis, begitu individu merasakan adanya situasi yang menekan atau mengancam, maka individu dituntut untuk sesegera mungkin mengatasi ketegangan yang dialaminya. Tetapi dari pengalamannya ini, individu akan melakukan evaluasi untuk seterusnya memutuskan coping strategy apa yang seharusnya ditampilkan (Rustiana, 2003). Lazarus dan Folkman (1984) menyatakan bahwa coping strategy yang merupakan respon individu terhadap tekanan yang dihadapi secara garis besar dibedakan atas dua fungsi utama yaitu: Problem Focused Coping (PFC) dan Emotional Focused Coping (EFC). PFC atau yang biasa disebut strategi menghadapi masalah yang berorientasi pada masalah merupakan usaha yang dilakukan oleh individu dengan cara menghadapi secara langsung sumber penyebab masalah. EFC atau yang biasa disebut strategi menghadapi masalah yang berorientasi pada emosi

8 merupakan perilaku yang diarahkan pada usaha untuk menghadapi tekanan-tekanan emosi atau stres yang ditimbulkan oleh masalah yang dihadapi. Untuk dapat melakukan respon terhadap stres secara efektif maka individu memerlukan dukungan sosial. Sebagaimana dikemukakan oleh Smet (1994) bahwa salah satu faktor yang dapat mengubah pengalaman stres adalah dengan mencari dukungan sosial. Menurut Yusuf dan Nurihsan (2005: 266) dukungan sosial dapat diartikan sebagai pemberian bantuan atau pertolongan terhadap seseorang yang mengalami stres dari orang lain yang memiliki hubungan dekat (kerabat atau teman). Selain itu Cassel, Caplan, dan Cobb (Vaux, 1988) berpendapat bahwa dukungan sosial bertindak sebagai pelindung, dan penuntun jika terdapat efek-efek yang merugikan dari stres, baik yang menganggu fisik maupun psikis. Mu tadin (2002) juga mendukung bahwa coping strategy dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya yaitu dukungan sosial yang meliputi dukungan kebutuhan informasi dan emosional. Saronson (2005) menerangkan bahwa dukungan sosial dapat dianggap sebagai sesuatu keadaan yang bermanfaat bagi individu yang diperoleh dari orang lain yang dapat dipercaya. Dari hal tersebut, individu akan mengetahui bahwa orang lain memperhatikan, menghargai dan mencintainya. Sumber dukungan sosial bisa berasal dari suami atau istri, teman atau sahabat. Menurut Barrera (Suhita, 2005) terdapat lima macam dukungan sosial yaitu: (a) bantuan materi dapat berupa pinjaman uang, (b) bantuan fisik berupa interaksi yang mendalam, mencakup pemberian kasih sayang dan kesediaan untuk

9 mendengarkan permasalahan, (c) bimbingan termasuk pengajaran dan pemberian nasehat, (d) feedback yaitu pertolongan seseorang yang paham dengan masalahnya sekaligus memberikan pilihan respon yang tepat untuk menyelesaikan masalah, (e) partisipasi sosial yaitu bersenda gurau dan berkelakar untuk menghibur seseorang. Sedangkan House (Sarafino, 1990) mengemukakan bahwa dukungan sosial memiliki empat tipe, yaitu: Dukungan emosional (emotional support), dukungan penghargaan (esteem support), dukungan informasi (informational support), dan dukungan instrumental (instrumental support). Dukungan ini yang sangat diperlukan bagi seorang ibu yang memiliki anak tunagrahita dimana dukungan sosial merupakan mediator yang penting dalam menyelesaikan masalah ibu yang memiliki anak tunagrahita. Dalam hal ini, ibu sangat memerlukan bantuan dari keluarga, teman, terutama suami yang dapat berperan aktif dalam penanganan anak tunagrahita baik secara langsung ataupun tidak, sehingga peran orang-orang terdekat dapat mempengaruhi ibu dalam mengatasi permasalahan yang ada. Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti termotivasi untuk mencari hubungan (korelasi) antara dukungan sosial dengan coping strategy pada ibu yang memiliki anak penyandang tunagrahita di SLB-C YPLB Cipaganti Bandung. Sebagian ibu di sekolah luar biasa tersebut mungkin memberikan persepsi yang berbeda tentang dukungan sosial yang diterimanya dengan coping strategy yang mereka lakukan.

10 B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana gambaran dukungan sosial pada ibu yang memiliki anak penyandang tunagrahita di SLB-C YPLB Cipaganti Bandung? 2. Bagaimana gambaran coping strategy pada ibu yang memiliki anak penyandang tunagrahita di SLB-C YPLB Cipaganti Bandung? 3. Apakah terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara dukungan sosial dengan coping strategy pada ibu yang memiliki anak penyandang tunagrahita di SLB-C YPLB Cipaganti Bandung? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengkaji hubungan antara dukungan sosial dengan coping strategy pada ibu yang memiliki anak penyandang tunagrahita di SLB-C YPLB Cipaganti Bandung. 2. Tujuan Khusus Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data mengenai: a. Dukungan sosial pada ibu yang memiliki anak penyandang tunagrahita di SLB-C YPLB Cipaganti Bandung. b. Coping strategy pada ibu yang memiliki anak penyandang tunagrahita di SLB-C YPLB Cipaganti Bandung.

11 c. Hubungan antara dukungan sosial dengan coping strategy pada ibu yang memiliki anak penyandang tunagrahita di SLB-C YPLB Cipaganti Bandung. D. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan memberi manfaat bagi peneliti khususnya, dan pembaca pada umumnya. Adapun manfaat dari penelitian ini antara lain: 1. Kegunaan Teoritis Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat ikut memperkaya wawasan dan teori-teori dari literatur yang sudah ada, dapat memberi masukan dan sumbangan bagi ibu yang memiliki anak penyandang tunagrahita dan mencari coping yang sesuai, serta dapat dijadikan dasar bagi penelitian-penelitian serupa, selanjutnya agar penelitian di masa mendatang hasilnya lebih baik lagi. 2. Kegunaan Praktis a. Untuk orangtua (ayah dan ibu), diharapkan mampu menerima kondisi anak dan mampu melakukan coping ketika menghadapi permasalahan anak tunagrahita untuk perkembangan yang lebih optimal pada anak. b. Untuk sekolah, diharapkan mampu memberikan cara-cara baru untuk menghadapi anak sesuai dengan pengalaman yang didapat orangtua yang berhasil menghadapi dan menangani anak tunagrahita.

12 E. Struktur Organisasi Skripsi 1. JUDUL Disertai pernyataan maksud penelitian skripsi. 2. TIM PEMBIMBING Beserta nama dan kedudukannya. 3. PERNYATAAN Tentang keaslian karya ilmiah 4. KATA PENGANTAR 5. ABSTRAK Ringkasan dari penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti dalam karya ilmiah ini. 6. DAFTAR ISI Urutan isi karya ilmiah. 7. DAFTAR LAMPIRAN Berisi daftar lampiran berdasarkan urutan bab dalam karya tulis ilmiah ini. 8. BAB I. PENDAHULUAN Terdiri dari lima sub bab meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta struktur organisasi penelitian skripsi. 9. BAB II. KAJIAN TEORI Meliputi pembahasan mengenai konsep dukungan sosial, coping strategy, dan tunagrahita, teori-teori tentang dukungan sosial, coping strategy, dan

13 tunagrahita, penelitian terdahulu serta hipotesis peneliti mengenai penelitian ini. 10. BAB III. METODE PENELITIAN Adalah Metode Penelitian yang terdiri atas identifikasi variabel penelitian, definisi operasional, populasi dan sampel, serta metode pengambilan sampel, alat ukur yang digunakan, validitas dan reliabilitas alat ukur dan metode analisis data. 11. BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Terdiri dari analisa dan interpretasi data yang berisikan mengenai subjek penelitian dan hasil penelitian. 12. BAB V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Merupakan kesimpulan, diskusi dan saran dari hasil penelitian yang telah dilakukan. 13. DAFTAR PUSTAKA Kumpulan literatur yang dijadikan referensi oleh peneliti dalam pembuatan karya ilmiah ini, ditulis berdasarkan urutan alphabet. 14. LAMPIRAN-LAMPIRAN Lampiran berupa data pendukung dalam penelitian. 15. RIWAYAT HIDUP PENELITI Biografi singkat dari peneliti.