Evidence-Based Medicine dalam Penatalaksanaan Angina Tidak Stabil

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. penyakit jantung dan pembuluh darah telah menduduki peringkat pertama sebagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. maju, dan negara berkembang termasuk di Indonesia. Diperkirakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit jantung koroner atau penyakit kardiovaskuler saat ini merupakan

BAB I PENDAHULUAN. memfokuskan diri dalam bidang life support atau organ support pada pasienpasien

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. secara global, termasuk Indonesia. Pada tahun 2001, World Health Organization

BAB I PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang. Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan masalah kesehatan dunia yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sindrom Koroner Akut (SKA)/Acute coronary syndrome (ACS) adalah

BAB I PENDAHULUAN. sering kita jumpai di Intensive Care Unit (ICU) dan biasanya membutuhkan

BAB 1 PENDAHULUAN. dan mortalitas yang tinggi di dunia. Menurut data World Health Organization

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. negara-negara maju maupun di negara berkembang. Acute coronary syndrome

BAB 1 PENDAHULUAN. arrhythmias, hypertension, stroke, hyperlipidemia, acute myocardial infarction.

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan problem kesehatan utama yang

SKRIPSI STUDI PENGGUNAAN ANTIKOAGULAN PADA PASIEN INFARK MIOKARD AKUT

ANTICOAGULANT Quick Outlook To Guideline Review Widya Istanto Nurcahyo

BAB I PENDAHULUAN. membutuhkan penanganan khusus di ruang rawat intensif (ICU). Pasien yang dirawat

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit Acute Myocardial Infarction (AMI) merupakan penyebab

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab nomor satu kematian di

PREVALENSI FAKTOR RESIKO MAYOR PADA PASIEN SINDROMA KORONER AKUT PERIODE JANUARI HINGGA DESEMBER 2013 YANG RAWAT INAP DI RSUP.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. jantung koroner yang utama dan paling sering mengakibatkan kematian (Departemen

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. penelitian kohort selama 13 tahun di 3 wilayah di propinsi Jakarta ibukota

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan usia harapan hidup penduduk dunia membawa dampak

BAB I PENDAHULUAN. utama pada sebagian besar negara-negara maju maupun berkembang di seluruh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. cenderung meningkatkan risiko terjadinya penyakit vaskular seperti stroke

BAB I PENDAHULUAN. menggambarkan pasien yang datang dengan Unstable Angina Pectoris. (UAP) atau dengan Acute Myocard Infark (AMI) baik dengan elevasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Prevalensi depresi pada populasi umum sekitar 4 % sampai 7 %.

Tatalaksana Sindroma Koroner Akut pada Fase Pre-Hospital

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) merupakan suatu

BAB 1 PENDAHULUAN. darah termasuk penyakit jantung koroner, gagal jantung kongestif, infark

BAB I. Pendahuluan. I.1 Latar Belakang. Angina adalah tipe nyeri dada yang disebabkan oleh. berkurangnya aliran darah ke otot jantung.

BAB 1 PENDAHULUAN. tersering kematian di negara industri (Kumar et al., 2007; Alwi, 2009). Infark

Gambaran Jenis dan Biaya Obat pada Pasien Rawat Inap dengan. Sindroma Koroner Akut di Rumah Sakit Umum Pusat. Haji Adam Malik Medan pada Tahun 2011

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Penyebab terjadinya IMANEST dapat disebabkan oleh rupturnya plak. (Liwang dan Wijaya, 2014; PERKI, 2015).

BAB I PENDAHULUAN. kardiovaskuler secara cepat di negara maju dan negara berkembang.

BAB I PENDAHULUAN. Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah salah satu manifestasi klinis

Informed Consent Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) adalah penyakit

SKRIPSI. Diajukan oleh : Enny Suryanti J

BAB I PENDAHULUAN. segmen ST yang persisten dan peningkatan biomarker nekrosis miokardium.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit Jantung Koroner (PJK) masih menjadi penyebab utama

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Profesor Shahryar A. Sheikh, MBBS dalam beberapa dasawarsa terakhir

sebesar 0,8% diikuti Aceh, DKI Jakarta, dan Sulawesi Utara masing-masing sebesar 0,7 %. Sementara itu, hasil prevalensi jantung koroner menurut

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. penting dari pelayanan kesehatan termasuk hasil yang diharapkan dengan berbasis

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Tingkat morbiditas dan mortalitas penyakit jantung. iskemik masih menduduki peringkat pertama di dunia

Panduan Registri Online

Ns. Furaida Khasanah, M.Kep Medical surgical department

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Warfarin merupakan antagonis vitamin K yang banyak digunakan sebagai

ANGKA KEJADIAN SINDROMA KORONER AKUT DAN HUBUNGANNYA DENGAN HIPERTENSI DI RSUP H. ADAM MALIK, MEDAN PADA TAHUN 2011 KARYA TULIS ILMIAH

BAB 1 PENDAHULUAN. Jantung merupakan suatu organ yang berfungsi memompa darah ke

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Infark miokard adalah nekrosis miokardial yang berkepanjangan yang

BAB I PENDAHULUAN. data statistik yang menyebutkan bahwa di Amerika serangan jantung. oleh penyakit jantung koroner. (WHO, 2011).

BAB 1 PENDAHULUAN. terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit negara-negara industri (Antman

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Kardiovaskuler adalah penyebab utama kematian pada orang

BAB I PENDAHULUAN. paling sering adalah berupa angina pektoris stabil (Tardif, 2010; Montalescot et al.,

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit kardiovaskuler memiliki banyak macam, salah satunya adalah

B A B I PENDAHULUAN. negara-negara maju maupun berkembang. Diantara penyakit-penyakit tersebut,

BAB I PENDAHULUAN. jantung yang utama adalah sesak napas dan rasa lelah yang membatasi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan pembunuh nomor satu di seluruh dunia. Lebih dari 80% kematian

BAB II LANDASAN TEORI. A. Tinjauan Pustaka

BAB I PENDAHULUAN UKDW. tidak menular puskesmas menunjukkan angka yang selalu meningkat ditiap tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. atau gabungan keduanya (Majid, 2007). Penyakit jantung dan pembuluh darah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sindroma Koroner Akut (SKA) merupakan manifestasi klinis akut penyakit

BAB I PENDAHULUAN. seluruh dunia. Fenomena yang terjadi sejak abad ke-20, penyakit jantung dan UKDW

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan oksigen miokard. Biasanya disebabkan ruptur plak dengan formasi. trombus pada pembuluh koroner (Zafari, 2011).

Peri-procedural myocardial injury pada multi vessel disease: Hubungan dengan skor SYNTAX.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. berkembang. Berdasarkan data WHO (2010), setiap tahunya terdapat 10 juta

POLA PENGGUNAAN OBAT PADA PASIEN PENYAKIT JANTUNG KORONER RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KUDUS TAHUN 2012 SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) adalah

PERBANDINGAN MANFAAT ANTIPLATELET KOMBINASI ASPIRIN DAN KLOPIDOGREL DENGAN ASPIRIN TUNGGAL PADA STROKE ISKEMIK

Lampiran 1 LEMBAR PENJELASAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tidak stabil atau unstable angina (UA) dan infark miokard akut. Berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. bervariasi. Insidensi stroke hampir mencapai 17 juta kasus per tahun di seluruh dunia. 1 Di

Introduction to Cardiology and Vascular Medicine. Cardiology and Vascular Medicine

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Gambaran Profil Lipid pada Pasien Sindrom Koroner Akut di Rumah Sakit Khusus Jantung Sumatera Barat Tahun

BAB I PENDAHULUAN. (dipengaruhi oleh susunan saraf otonom) (Syaifuddin, 2006). Pembuluh

BAB I. PENDAHULUAN. Pada tahun 2012, diperkirakan sebanyak 17,5 juta orang di dunia

BAB I PENDAHULUAN. menempati peringkat ke-3 penyebab kematian setelah stroke dan hipertensi.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penyakit jantung koroner merupakan penyakit yang sangat menakutkan

BAB 4 HASIL. Hubungan antara..., Eni Indrawati, FK UI, Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. angka morbiditas penderitanya. Deteksi dini masih merupakan masalah yang susah

Hubungan Kadar Troponin - T dengan Gambaran Klinis Penderita Sindroma Koroner Akut

ABSTRAK... 1 ABSTRACT

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit jantung koroner (PJK) adalah keadaaan dimana terjadi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

Gambaran kadar glukosa darah pada pasien SKA di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode Januari-Desember 2014

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. tindakan radiologi. Contrast induced nephropathy didefinisikan sebagai suatu

GAMBARAN HEMATOLOGI PADA PASIEN SINDROM KORONER AKUT YANG DIRAWAT DI BLU RSUP PROF. Dr. R.D. KANDOU MANADO TAHUN 2010

Transkripsi:

Tinjauan Pustaka Evidence-Based Medicine dalam Penatalaksanaan Angina Tidak Stabil A. A. Subiyanto Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta Abstrak: Angka kejadian masuk ke rumah sakit akibat sindroma koroner akut (ACS) misalnya angina tidak stabil dan infark miokard akut (AMI) masih meningkat hingga dekade ini. Ahli medis harus mempertimbangkan manfaat terapi dari obat-obatan yang mengaktivasi trombosit maupun pembentuk trombin sebelum digunakan, untuk mengurangi prevalensi percutaneous coronary intervention (PCI) dini dengan intracoronary stenting serta risiko lanjut trombosis stent. Unfractionated heparin (UFH) merupakan komponen penatalaksanaan terapi AMI dan angina tidak stabil untuk mengurangi insidensi kematian dan re-infark jantung. Low-molecular-weight heparin (LMWH) direkomendasikan sebagai alternatif UFH pada penatalaksanaan akut pasien non-st elevation myocard infarction (NSTEMI). Anti koagulasi dengan LMWH subkutan atau UFH intravena (i.v) sebaiknya ditambahkan ke dalam terapi anti platelet dengan aspirin (ASA) dan/atau Clopidogrel. Enoxaparin ialah LMWH dengan rasio anti-faktor Xa: anti-faktor IIa tertinggi. Enoxaparin lebih disenangi dibandingkan UFH sebagai suatu anti koagulan pada pasien angina tidak stabil atau NSTEMI. Kata kunci: Angina tidak stabil, NSTEMI, UFH, LMWH 164

Evidence-Based Medicine in Management of Unstable Angina A. A. Subiyanto Faculty of Medicine, University of Sebelas Maret Surakarta Abstract: Hospital admissions for acute coronary syndromes (ACS) such as unstable angina and acute myocardial infarction (AMI) remain rising until this decades. Medical experts need to consider the value of pre-treatment with thrombin formation and platelet activity agents to reduce prevalence of early percutaneous coronary intervention (PCI) with intracoronary stenting and the risk of subsequent stent thrombosis. Unfractionated heparin (UFH) are integral component of therapeutic management on AMI and unstable angina to reduce the incidence of cardiac death and reinfarction. Low-molecular-weight heparin (LMWH) has led to recommendations that may be suitable alternatives to UFH in the acute management of patients with non-st elevation myocard infarction (NSTEMI). Anti coagulation with subcutaneous LMWH or intravenous UFH should be added to anti platelet therapy with aspirin (ASA) and or Clopidogrel. Enoxaparin is a LMWH with the highest anti-factor Xa: anti-factor IIa ratio. Enoxaparin is preferable to UFH as an anticoagulant in patients with unstable angina or NSTEMI. Keywords: Unstable Angina, NSTEMI, UFH, LMWH Pendahuluan Pada dekade terakhir, mortalitas yang berhubungan dengan penyakit jantung menurun. Akan tetapi, angka kejadian masuk ke rumah sakit akibat sindroma koroner akut (ACS) misalnya angina tidak stabil dan infark miokard akut (AMI) masih meningkat. 1 ACS masih tetap terjadi, meskipun telah terjadi kemajuan yang pesat di bidang farmakologi maupun terapi-terapi yang agresif dengan peralatan mekanik yang secara efektif dan aman mampu menurunkan iskemia jantung. 1,2 Meningkatnya prevalensi percutaneous coronary intervention (PCI) dini dengan intracoronary stenting serta risiko lanjut trombosis stent membutuhkan seorang ahli intervensi medis untuk mempertimbangkan nilai terapi sebelum menggunakan obat-obatan pembentuk trombin dan aktivitas platelet. 3 Tujuan tinjauan ini adalah untuk memahami penggunaan obat antikoagulan berbasis bukti dalam penatalaksanaan angina tidak stabil atau NSTEMI. Penatalaksanaan Antitrombosis pada ACS Ruptur plak aterosklerosis disertai aktivasi platelet lanjut, deposisi fibrin dan akhirnya pembentukan trombus merupakan dasar patofisiologis terjadinya ACS. Aspirin dan unfractionated heparin (UFH) adalah komponen integral dalam penatalaksanaan AMI dan angina tidak stabil untuk mengurangi insidensi kematian dan re-infark jantung. Keterbatasan UFH memicu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui terapi kombinasi anti platelet yang lebih aman dan efektif. Baru-baru ini dikenalkannya low-molecularweight heparin (LMWH) menjadikan suatu rekomendasi yang dapat dijadikan suatu alternatif yang baik dalam penatalaksanaan akut pasien non-st elevation myocard infarction (NSTEMI). 2,3 Rekomendasi of American College of Cardiology/ American Heart Association (ACC/AHA) 2002 mengenai panduan terkini penatalaksanaan pasien angina tidak stabil dan NSTEMI ialah: 1. Antikoagulasi dengan LMWH subkutan atau UFH intravena sebaiknya ditambahkan ke dalam terapi anti platelet dengan aspirin (ASA) dan/atau Clopidogrel (tingkat bukti A) 2. LMWH lebih disukai dibanding UFH sebagai anti koagulan pada pasien angina tidak stabil dan NSTEMI, kecuali direncanakan suatu coronary artery bypass graft (CABG) dalam waktu 24 jam (tingkat tingkat A). 1 Ulasan singkat mengenai obat ini serta beberapa uji klinis yang menggambarkan keuntungan pemberian dini LMWH pada ACS akan diterangkan lebih lanjut. Farmakologi Heparin UFH ialah suatu campuran heterogen rantai polisakarida sulfat yang panjangnya bervariasi dengan berat molekul sekitar 5 000 sampai 30 000 Da. 4 Efek antikoagulan UFH 165

tergantung pada sekuens pentasakarida spesifik yang berikatan dengan antitrombin III (AT-III). Ikatan ini menginduksi suatu perubahan konformasional pada AT III, meningkatkan kemampuannya untuk menghambat trombin (faktor IIa) dan faktor Xa, sehingga aktivasi koagulasi menurun. 4,5 Molekul heparin dengan panjang 18 unit sakarida dan berat molekul 6000 Da dapat mengikat trombin (faktor IIa) secara simultan, membentuk suatu kompleks tersier yang secara efektif menghambat aktivitas faktor IIa. 6 LMWH ialah campuran fragmen heparin babi yang tidak terfraksinasi yang dipecah secara kimiawi dengan berat molekul sekitar 4000-6000 Da. Proses ini menghasilkan rantai yang lebih pendek, mempengaruhi afinitas masing-masing LMWH untuk mengikat faktor IIa. Dibandingkan UFH yang memiliki rasio anti-faktor Xa: anti-faktor IIa sama dengan 1:1, LMWH memiliki rasio 4,1:1 sampai 2,1:1. Karena dampak faktor Xa pada pembentukan trombin lebih besar, maka penghambatan aktivitas pada tingkat ini tampaknya lebih efisien dalam mencegah pembentukan trombin. 6-8 Berat molekul yang lebih kecil dan peningkatan aktivitas hampir seluruh produk LMWH anti-xa berhubungan dengan waktu paruh yang lebih lama, sehingga dapat diberikan dalam interval dosis 12 jam. 8 Walau tiap LMWH didapatkan dari sumber yang sama, produk ini tidak dapat ditukar karena perbedaan aktivitas antara faktor-faktor koagulasi. 8-10 Keuntungan LMWH LMWH menghasilkan respons terapi yang lebih mudah diprediksi sehingga menjadi alternatif yang lebih disukai dan UFH. 11,12 Hal ini berkaitan dengan bioavailabilitas yang lebih baik dan eliminasi rute ginjal yang berfungsi secara independen terhadap dosis yang diberikan. Bioavailabilitas pemberian LMWH subkutan melebihi 90%, dibandingkan dengan 40% pada UFH, dan mungkin berkaitan dengan efek anti koagulan. 11,13 Protrombin Time (PT), dengan hasil international normalized ratio (INR), merupakan tes standar laboratorium yang digunakan untuk memantau terapi antikoagulan oral, tetapi activated partial thromboplastin time (aptt) yang digunakan untuk memantau anti koagulasi heparin dalam pemantauan aptt atau INR tidak dibutuhkan pada penderita yang mendapatkan LMWH. Respons antikoagulan yang lebih mudah diprediksi mengurangi kebutuhan pemantauan aptt intensif dan penyesuaian dosis. Selain itu, pemberian secara subkutan dapat dilakukan pada pasien rawat jalan sesuai kebutuhan. 13,14 Pemberian UFH juga berhubungan dengan komplikasi serius misalnya perdarahan mayor, trombositopenia dan rebound hypercoagulable state setelah penghentian pada Uji klinis yang mengevaluasi LMWH pada ACS telah menunjukan bahwa frekuensi kejadian yang merugikan tersebut tidak melebihi UFH. 14-16 Tabel 1. Deskripsi Penelitian yang Dilibatkan dalam Tinjauan Studi Subjek Metode Hasil Penelitian Lin 2006, 966 pasien 966 pasien PJK yg memenuhi syarat Hematoma signifikan lebih tinggi Studi acak terkontrol PJK rawat inap CAG dibagi acak dengan amplop tersegel terjadi pada grup UFH (p<0,05) 455 pasien dg PCI menjadi grup LMWH (484) dan UFH (482) dibandingkan grup LMWH 283 pasien NSTEACS Grup LMWH diberi inj. Enoxaparin s.c 1 mg/ 511 pasien tanpa PCI kg/12 jam; Grup UFH diberi 25 mg UFH i.v sebelum CAG. Kateterisasi dilakukan 8 jam pasca dosis terakhir, sampel darah diambil untuk diperiksa aktivitas anti-xa. Selama prosedur PCI, UFH diberikan 20mg/jam Massel 2002, 2 Enoxaparin-UFH trials Enoxaparin signifikan menurunkan Meta analisis 4 UFH-plasebo angka risiko kematian atau AMI, 6 controlled trials OR: 0,82 (95% CI, 0,69-0,97) Collet 2004, 347 pasien NSTEACS Membandingkan 347 pasien NSTEACS Tidak terjadi AMI pada grup Studi retrospektif yang menjalani PCI yang menjalani PCI setelah 2 inj. Enoxa- Enoxaparin yang diberikan dini (EI) tanpa acak parin s.c (Grup El) dengan yang setelah dibandingkan dengan yang diberikan >3 inj. Enoxaparin s.c (Grup Dl) lanjut (DI) secara signifikan Pengukuran anti-xa saat PCI, evaluasi (4.3% vs 7.0%) perdarahan dan iskemik hebat (mati/ami) dilakukan pada hari ke-30 Keterangan : PJK : penyakit jantung koroner PCI : percutaneous coronary intervention NSTEACS : non ST-elevation acute coronary syndrome CAG : coronary angiography LMWH : low molecular weight heparin UFH : unfractionated heparin s.c : sub cutaneous i.v : intra vena AMI : acute myocardial infarction OR : odds ratio CI : confidence interval IU : international unit 166

Uji Klinis LMWH pada ACS Beberapa penelitian yang diterangkan dalam tinjauan ini akan dijelaskan lebih lanjut. Selanjutnya pada tabel berikut ini dapat mendeskripsikan beberapa penelitian tersebut. Banyak uji klinis mendukung keamanan dan efikasi LMWH saat dikombinasi dengan aspirin pada pasien ACS. Uji acak keamanan dan efikasi LMWH diuji dengan penggunaan Enoxaparin subkutan pada non-q wave coronary events (ESSENCE) terhadap 3 171 pasien ACS yang mendapatkan terapi jangka pendek (48 jam- 8 hari) dengan Enoxaparin (1 mg/kg subkutan tiap12 jam) ditambah aspirin atau UFH intravena (5 000 unit bolus dilanjutkan dengan infus ditambahkan untuk mendapatkan aptt 60-85 detik) ditambah aspirin dalam waktu 24 jam setelah gejala timbul. Pasien kemudian dinilai kejadian triple end point adalah kematian AMI atau angina rekurens pada hari ke-14 dan 30. Laju keseluruhan revaskularisasi dan perdarahan mayor maupun minor juga dicatat. 16 Pada hari ke-14, penurunan risiko 16,2% dicapai dalam triple end point pasien dengan terapi Enoxaparin, terutama oleh karena penurunan gejala angina rekuens. Penurunan tersebut bertahan pada hari ke-30 tanpa adanya peningkatan signifikan kejadian perdarahan mayor, stroke atau trombositopenia. Laju perdarahan ringan yang lebih tinggi terkait situs injeksi dilaporkan pada pasien yang diberi Enoxaparin, walaupun hal ini mungkin merupakan fungsi pengukuran terapi aptt yang rendah yang dicapai dengan UFH selama periode studi. 16 Studi follow up pada satu tahun menunjukkan keuntungan pemberian LMWH secara signifikan menurunkan triple endpoint dibandingkan UFH (19,8 % vs 23,3 %, p= 0.016). 17 Thrombolysis in myocardial infarction (TIMI) 11B, suatu uji acak tersamar ganda terkontrol placebo yang membandingkan penggunaan LMWH jangka pendek dan panjang dengan pemberian UFH hanya selama fase akut iskemia yang diverifikasi dengan electrocardiogram (ECG) atau peningkatan petanda jantung serum. Semua pasien diberikan aspirin (100-325 mg) perhari. Pada fase akut, pasien diberikan UFH (70 unit/kgbb i.v bolus, dilanjutkan dengan 15 unit/kgbb/jam) dan ditambahkan untuk mencapai target aptt 55-85 detik atau Enoxaparin (30 mg i.v bolus dilanjutkan segera dengan 1 mg/kgbb subkutan tiap 12 jam) selama 8 hari atau sampai keluar rumah sakit. Pada fase rawat jalan, pasien yang mendapatkan UFH dialihkan ke injeksi plasebo subkutan dua kali sehari, sementara pasien yang diterapi Enoxaparin melanjutkan terapi dengan dosis yang sesuai BB (40 atau 60 mg) tiap 12 jam sampai hari ke-43. Penurunan signifikan pada primary composite endpoint dan kematian, MI dan revaskularisasi segera pada terapi hari ke-8, 14 dan 43. Perdarahan mayor pada kedua kelompok terapi adalah rendah, tetapi insidensi meningkat dengan terapi Enoxaparin yang diperpanjang pada pasien rawat jalan. 18 Meta analisis terkini pada uji ESSENCE dan TIMI 11B melibatkan hampir 7 000 pasien yang konsisten dengan penurunan composite triple point (odds ratio 0,8 dan 95% CI 0,71-0,91, p=<0.002) tanpa peningkatan risiko perdarahan mayor. Hal ini lebih lanjut mendukung penggunaan Enoxaparin rutin sebagai satu-satunya LMWH dengan keuntungan yang menetap dibandingkan UFH dalam penatalaksanaan ACS akut. 19,20 Kesimpulan LMWH merupakan alternatif UFH sebagai antitrombotik yang bermanfaat dalam penatalaksanaan ACS. Keuntungan farmakokinetik dan farmakodinamik meningkatkan kepercayaan dalam pemberian dosis dan pemantauan, sementara pencapaian efikasi secara potensial menurunkan insidensi kejadian serius yang merugikan. Enoxaparin ialah LMWH dengan rasio anti-faktor Xa: anti-faktor IIa tertinggi, telah menunjukkan kelebihan dibandingkan UFH dalam penatalaksanaan ACS jangka pendek dan panjang. Studi lanjut dibutuhkan untuk mengetahui kombinasi sinergistik yang dapat digunakan dengan aman untuk meningkatkan hasil terapi dalam intervensi invasif dini. Daftar Pustaka 1. Braunwald E, Gibbons RJ, Antman EM. ACC/AHAGuidelines update for the management of patients with unstable angina and non ST segment elevation myocardial infarction. Am Heart J 2002;52:1274-89. 2. Gruberg L, Bexar R. The search for optimal combination of antiplatelet and anticoagulation regimens. J Invasive Cardiol 2003;15(5):240-1. 3. Massel D, Cruickshank MK. Enoxaparin in acute coronary syndrome: Evidence for superiority over placebo or untreated control. Am Heart J 2002;143(5):748-52. 4. Aguilar OM, Kleiman NS. Low molecular weight heparins. J Invasive Cardiol 2001;13(5S):3-7. 5. Gorog DA, Kabir AMN, Marber MS. Role of LMWH in ACS, with or without PCI and II b /IIIa blockade. Br J Cardiol 2004;11(2):45-52. 6. Mathis AS, Meswani P, Spinler SA. Risk stratification in non-st segment elevation acute coronary syndormes with special focus on recent guidelines. Pharmacotherapy 2001;21(8):954-87. 7. Cohen M, Antman EM. Superiority of Enoxaparin over unfractionated heparin for the treatment of acute coronary syndromes. Pharmacotherapy 2002;22(4):542-50. 8. Ferguson J. Low molecular weight heparins and glycoprotein II b /III an antagonist in acute coronary syndromes. J Invasive Cardiol 2004;16(3):136-44. 9. Moustapha A, Anderson V. Contemporary view of the acute coronary syndromes. J Invasive Cardiol 2003;15(2):71 9. 10. Racine E. Differentiation of the low-molecular-weight heparins. Pharmacotherapy 2001;21(6):62S-70S. 11. Nutescu E, Racine E. Traditional versus modern anticoagulant strategies: Summary of the literature. Am J Heart Syst Pharm 2002;59(6):7-14. 12. Barclay L. Guidelines updated on management of ST-elevation myocardial infarction. Available at: http://www.medscape.com/ ST-elevation myocardialinfarction_ management/viewarticle/ 487327.html. Accessed on November 27 th, 2007. 13. Berger PB, Orford JL. Acute myocardial infarction. Available at: http://www.medscape.com/ami_viewarticle/491020.html. Accessed on December 15 th, 2007. 14. Kereiakes DJ, Montalescot G, Antman EM. Low molecular weight 167

heparin therapy for non-st elevation acute coronary syndromes and during percutaneous coronary intervention. Am Heart J 2002;144(4):615 24. 15. Zidar JP. Combining treatment strategies in the 21 st century: Low-molecular-weight heparins in acute coronary syndromes. J Invasive Cardiol 2000;12(3):16 21. 16. Collet JP, Montalescot G, Golmard J, Tanguy M, Ankri A, Choussat R, et al. Subcutaneous enoxaparin with early invasive strategy in patients with acute coronary syndromes. American Heart Journal 2004;147(4):655-61. 17. Wang JC, Goldhaber SZ, Popma JJ. Use of Enoxaparin in a patient with unstable angina. J Invasive Cardiol 2000;12(45):18-20. 18. Reiss RA, Haas CE, Griffis DL. Point of care versus laboratory monitoring of patients receiving different anticoagulant therapies. Pharmacotherapy 2002;22(6):677-85. 19. Noviasky JA, Gaffney BJ. The superiority of Enoxaparin for treatment of acute coronary syndromes. Pharmacotherapy 2001;21(10):1250 2. 20. Lin CJ, Jue C, Shu-bin Q, Yuan-lin G, Yong-jian WU, Jun D, et al. A randomized comparative study of using enoxaparin instead of unfractionated heparin in the intervention treatment of coronary heart disease. Chin Med J 2006;119(5):355-9. MS 168