BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit Jantung Koroner (PJK) masih menjadi penyebab utama

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit Jantung Koroner (PJK) masih menjadi penyebab utama kematian di seluruh dunia (Lozano dkk., 2012). Setiap tahun diperkirakan 17 juta orang di dunia meninggal akibat penyakit jantung dan sebanyak 7,6 juta dari kematian itu adalah akibat serangan jantung. Salah satu bentuk manifestasi klinis dari PJK adalah Infark Miokard (Delima dkk., 2009; Ndindjock dkk., 2011; Mendis dkk., 2011). yang dilakukan oleh Yeh dkk., (2010) menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan insiden infark miokard sebesar 24% dalam kurun waktu Namun demikian, beban penyakit ini masih tinggi karena pasien masih berisiko mengalami re-current atau kematian. Pasien yang pernah mengalami infark miokard akut (IMA) memiliki risiko re-current dan kematian 1,5-15 kali lebih tinggi dari orang normal. Setelah serangan IMA yang pertama, risiko pasien berusia tahun mengalami re-current myocardial infarction (re-mi) atau kejadian fatal dalam waktu 5 tahun adalah 15% pada laki-laki dan 22% pada wanita, sedangkan risiko pada pasien berusia 65 tahun adalah 22% baik laki-laki maupun wanita dan risiko kematian dalam 5 tahun pada usia 45 tahun adalah 36% pada laki-laki dan 47% pada wanita (Go dkk., 2013). oleh Nakatani dkk., (2013) di Jepang menyebutkan bahwa insiden terjadinya re-mi per tahun adalah 2,65% di tahun pertama dan menjadi 0,91-1,42% dalam 5 tahun. oleh Sayehmiri dkk., (2012) di Iran 1

2 menyebutkan bahwa angka mortalitas infark miokard setelah satu bulan adalah sebesar 25,8%, 6 bulan sebesar 29,7%, dan satu tahun sebesar 32,8% sedangkan angka in-hospital mortality adalah sebesar 7,99% berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Seghieri dkk., (2012) di Italia. Di Indonesia, berdasarkan hasil survei kesehatan rumah tangga 2001, penyakit jantung telah menjadi penyebab kematian pertama pada tahun 2000 yaitu sebesar 26,3%. Proporsi kematian semakin meningkat dengan bertambahnya umur dan meningkat nyata pada usia 35 tahun ke atas. Statistik rumah sakit di Indonesia tahun 2002 dan 2003 menunjukkan penyakit jantung iskemik merupakan kasus terbanyak di rawat inap maupun rawat jalan. Angka fatalitas kasus (Case Fatality Rate = CFR) infark miokard akut adalah yang tertinggi dibandingkan dengan penyakit-penyakit jantung yang lain, yaitu 16,6% dan 14,1% pada tahun 2002 dan 2003 (Delima dkk., 2009). Secara umum, di masyarakat, infark miokard lebih dikenal dengan istilah serangan jantung (heart attack). Infark miokard didefinisikan sebagai bentuk terjadinya nekrosis sel miokard karena iskemia yang terus menerus dan signifikan akibat dari penurunan aliran darah melalui salah satu arteri koroner. Penyebab utama terjadinya infark miokard adalah aterosklerosis koroner (Antman, 2012; Mendis dkk., 2011). Aterosklerosis merupakan penyakit inflamasi progresif yang ditandai dengan akumulasi fokal lipid pada lapisan intima pembuluh darah koroner. Akumulasi lipid menimbulkan reaksi inflamasi dan pembentukan jaringan fibrosa sehingga membentuk plak pada dinding arteri. Plak yang membesar berisiko 2

3 mengalami ruptur, dan bila ruptur dapat menimbulkan reaksi agregasi trombosit yang kemudian membentuk trombus dan membuat lumen pembuluh darah semakin sempit atau mengalami oklusi. Akibatnya, volume darah yang mengalir melalui pembuluh darah koroner tersebut berkurang atau terhenti dan sel-sel miokardium mengalami iskemia. Bila keadaan iskemia ini tidak dapat dipulihkan segera maka akan terjadi infark miokard (Evans, 2012; Kowalak dkk., 2003). Berbagai langkah penting dalam penatalaksanaan terapi infark miokard telah dilakukan berdasarkan evidence-based yang ada, seperti kemajuan dalam terapi reperfusi, ditegakkannya pengobatan preventif sekunder melalui pemberian obat seperti aspirin, penyekat beta, Inhibitor ACE (Angiotensin Converting Enzyme), dan statin serta diperbaharuinya program rehabilitasi jantung. Langkahlangkah ini kemungkinan telah memberikan pengaruh terhadap insidensi dan mortalitas setelah IMA (Nakatani dkk., 2013). Statin adalah obat penurun lipid paling poten hingga saat ini karena statin dapat menurunkan LDL sebesar 22-60%, bergantung pada jenis obat dan dosis yang digunakan. Terapi statin juga dapat menurunkan mortalitas pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler. Selain itu, statin juga dipercaya memiliki efek pleiotropik, seperti: memperbaiki fungsi endotelium, antioksidan, antiinflamasi, dan stabilisasi plak (Ito, 2013). Beberapa penelitian telah dilakukan dalam rangka menilai manfaat pemberian statin pada pasien kardiovaskuler, antara lain adalah studi MIRACL (Myocardial Ischemia Reduction with Aggressive Cholesterol Lowering) yang dilakukan oleh Schwartz dkk., (2001). Studi ini membandingkan pengaruh 3

4 pemberian atorvastatin 80 mg/hari terhadap placebo pada pasien dewasa dengan diagnosa angina tidak stabil atau Infark Miokard Akut (IMA) non-qwave di 122 clinical centers di Eropa, Amerika Utara, Afrika Selatan, dan Australasia. Studi ini menemukan bahwa atorvastatin 80 mg/hari yang diberikan dalam waktu jam setelah terjadinya sebuah sindrom koroner akut dan diamati selama 16 minggu, dapat mengurangi rekurensi kejadian iskemik sebesar 14,8% dibanding plasebo sebesar 17,4% (RR: 0,84; 95% CI 0,7-1,0, p=0,048). Kadar rata-rata kolesterol LDL juga menurun pada kelompok atorvastatin, yaitu dari 124 mg/dl menjadi 72 mg/dl sedangkan kelompok plasebo meningkat menjadi 135 mg/dl. Pada studi ini manfaat atorvastatin mulai terlihat di minggu keempat dan semakin nyata di bulan keempat. Hasil sekunder lainnya adalah penurunan risiko stroke fatal dan non-fatal hingga 50% pada penerima atorvastatin. Studi di atas juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara penurunan kadar LDL yang dicapai dengan penurunan kejadian vaskuler dengan LDL merupakan penyebab utama aterosklerosis sehingga kenaikan kadar LDL dapat berkontribusi pada timbulnya kejadian vaskuler. Sebuah studi yang dilakukan oleh SEARCH Collaborative Group, (2010), yang membandingkan antara pemberian simvastatin 20 mg dengan 80 mg pada pasien dengan riwayat infark miokard, menunjukkan bahwa penurunan LDL sebesar 0,35 mmol/l ( 13 mg/dl) dapat menurunkan kejadian vaskuler mayor sebesar 6%. Sebuah studi meta-analisis yang menganalisis 26 trials antara statin versus kontrol dan more versus less intensive therapy menyebutkan bahwa setiap penurunan kadar LDL 4

5 sebesar 1 mmol/l ( 39 mg/dl) memberikan penurunan kejadian vaskuler mayor sebesar 21%, non-fatal myocardial infarction 27%, coronary death 20%, stroke iskemik 16%, dan mortalitas 10% (CTT=Cholesterol Treatment Trialists ) Collaboration, 2010). -penelitian di atas telah menunjukkan bahwa pemberian statin bermanfaat bagi pasien IMA karena dapat menurunkan angka kejadian vaskuler mayor setelah infark miokard melalui penurunan kadar LDL dimana semakin besar penurunan LDL yang dicapai akan semakin besar pula penurunan terhadap kejadian vaskuler mayor. National Cholesterol Education Program Adult Treatment Panel III (NCEP ATP III) up-date 2004 telah menetapkan kolesterol LDL sebagai target utama terapi dan menggolongkan pasien infark miokard sebagai pasien berisiko sangat tinggi sehingga target LDL yang direkomendasikan untuk dicapai dalam terapi adalah <70 mg/dl (Grundy dkk., 2004). European Society of Cardiology (ESC) juga merekomendasikan pencapaian kadar LDL <70 mg/dl sebagai target terapi obat penurun lipid pada pasien IMA dan mengevaluasi kembali lipid 4-6 minggu setelah kejadian infark. Pada awal terapi IMA disarankan menggunakan statin dalam dosis tinggi untuk mendapatkan manfaat klinis yang cepat. Namun, pemberian statin dalam dosis yang lebih rendah sebaiknya perlu dipertimbangkan pada pasien yang berisiko tinggi mengalami efek samping statin seperti pasien lanjut usia, pasien dengan gangguan hati atau ginjal, pasien yang pernah mengalami efek samping statin, atau pasien yang sedang menggunakan obat lain yang potensial berinteraksi dengan statin (Steg dkk., 2012). 5

6 Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, pemberian statin bermanfaat bagi pasien IMA dalam menurunkan terjadinya rekurensi dan kematian. Manfaat ini dapat diperoleh bila terapi statin yang diberikan dapat diarahkan untuk mencapai hasil terapi sesuai target LDL yang direkomendasikan bagi pasien IMA, yaitu < 70 mg/dl. Namun, masih belum diketahui sampai sejauh mana rekomendasi tersebut dapat dicapai dengan terapi statin yang telah dilakukan saat ini sehingga penulis berkeinginan untuk melakukan penelitian ini dalam rangka mengevaluasi efek statin terhadap pencapaian target terapi LDL pada pasien IMA dan juga untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pencapaian target tersebut. Hasil evaluasi ini diharapkan dapat menjadi masukan dalam memilih managemen terapi yang tepat bagi pasien IMA supaya didapat hasil terapi yang baik dan dengan demikian juga mencegah pasien IMA untuk mengalami rekurensi atau kematian di masa yang akan datang. B. Perumusan Masalah Rumusan masalah penelitian ini adalah: 1. Bagaimanakah karakteristik pasien IMA di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta yang mendapat terapi statin dalam kurun waktu 6 bulan sejak pasien didiagnosis IMA? 2. Apakah terdapat perbedaan rerata pada kadar LDL antara sebelum dan sesudah diberi terapi statin dalam kurun waktu 6 bulan sejak pasien didiagnosis IMA (dimana perbedaan rerata itu menghasilkan penurunan yang signifikan bagi pasien IMA)? 6

7 3. Apakah terapi statin dalam kurun waktu 6 bulan dapat mencapai target terapi LDL <70 mg/dl yang direkomendasikan untuk pasien IMA dan faktor-faktor apa sajakah yang berhubungan dengan pencapaian target tersebut? C. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui karakteristik pasien IMA yang mendapat terapi statin dalam kurun waktu 6 bulan sejak didiagnosis IMA. 2. Untuk mengetahui ada/tidak adanya perbedaan rerata yang signifikan pada kadar LDL pasien IMA yang mendapat terapi statin dalam kurun waktu 6 bulan. 3. Untuk mengetahui proporsi pasien IMA yang dapat mencapai target LDL <70 mg/dl dan mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan pencapaian target tersebut pada pasien IMA yang mendapatkan terapi statin dalam kurun waktu 6 bulan. D. Manfaat 1. Memberi informasi kepada rumah sakit tentang hasil evaluasi terapi statin dalam kurun waktu 6 bulan pada pasien IMA sehingga diharapkan dapat menjadi masukan bagi rumah sakit dalam memilih managemen terapi yang tepat sehingga dapat meningkatkan kualitas pelayanan kepada pasien. 2. Memberikan pengetahuan dan pemahaman mendalam bagi peneliti tentang manfaat pengobatan statin pada pasien infark miokard. 7

8 E. Keaslian Beberapa penelitian terkait efek terapi statin terhadap pencapaian target LDL pada pasien infark miokard disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Beberapa penelitian tentang terapi statin dan pencapaian target LDL Nama Peneliti dan Tahun Kauffman dkk., 2010 Olsson dkk., 2011 Judul Attainment of lowdensity lipoprotein cholesterol goals in coronary artery disease. LDL cholesterol goals and cardiovascular risk during statin treatment: the IDEAL study. Metode dan Subyek Crosssectional, retrospektif. Subyek: pasien dengan penyakit arteri koroner. Randomized controlled trial (RCT). Subyek: pasien dengan riwayat infark miokard akut (IMA). Hasil dan Kesimpulan Pasien yang dapat mencapai target LDL < 70 mg/dl: 43,4% dengan rata-rata kadar LDL adalah 58 mg/dl. Di antara yang dapat mencapai target: 92,4%-nya mendapat monoterapi statin atau kombinasi, 70,7%-nya mendapat statin potensi sedang-tinggi, 87,4%-nya diterapi dengan statin generik. Hampir sepertiga dari pasien yang dapat mencapai target LDL <70 mg/dl mendapat terapi kombinasi. Ezetimibe adalah obat yang paling sering digunakan dalam kombinasi (70,6%). Faktor-faktor independent yang berhubungan dengan tidak tercapainya target LDL <70 mg/dl: usia <65 tahun, tidak menerima terapi statin, memiliki riwayat peningkatan creatine-kinase, dan jenis kelamin wanita. Proporsi pasien yang dapat mencapai kadar LDL <2,5 mmol/l setelah 1 tahun antara kelompok yang diberi simvastatin (20-40 mg/hari) dan atorvastatin 80 mg/hari adalah 40% vs 80% (p=<0,001). Proporsi pasien yang dapat mencapai kadar LDL <2 mmol/l setelah 1 tahun antara kelompok yang diberi simvastatin (20-40 mg/hari) dan atorvastatin 80 mg/hari adalah 12% vs 52% (p=<0,001). Hazard ratio (HR) untuk pasien yang dapat mencapai kadar LDL 2,0-2,5 mmol/l versus pasien yang dapat mencapai kadar LDL <2,0 mmol/l adalah 1,16 (95% CI: 1,02-1,33, p=0,023). Kesimpulan: Pasien yang diobati dengan atorvastatin lebih banyak mencapai target LDL daripada yang diberi simvastatin. Pasien yang mencapai target LDL < 2,0 mmol/l menunjukkan kejadian CVD (cardiovascular disease) yang lebih sedikit dibandingkan dengan yang hanya mencapai target LDL < 2,5 mmol/l. 8

9 Tabel 1. Beberapa penelitian tentang terapi statin dan pencapaian target LDL (lanjutan) Nama Peneliti dan Tahun Han dkk., 2012 Jones dkk., 2012 Karalis dkk., 2012 Judul Cost-effectiveness of the use of statins in the Korean Population. Prevalence of dyslipidemia and lipid goal attainment in statin-treated subjects from 3 data sources (EMR, adm claims data, NHANES survey): A retrospective analysis. Use of lipidlowering medications and the likehood of achieving optimal LDL cholesterol in coronary artery disease (CAD) patients. Metode dan Subyek Subyek: populasi dengan risiko tinggi kardiovaskuler. Cross-sectional, retrospective study. Subyek: pasien dengan riwayat CHD dan telah mendapat monoterapi statin >90 hari. Retrospective analysis. Subyek: 9950 pasien dengan CAD yang mendapat terapi penurun lipid selama minimal 6 bulan. Hasil dan Kesimpulan Tidak banyak subyek yang dapat mencapai target LDL <100 mg/dl pada terapi statin dosis terendah (rosuvastatin 5 mg, atorvastatin 10 mg, dan simvastatin 20 mg) bahkan pada subyek yang kadar LDL basalnya relatif rendah (<160 mg/dl). Pada subyek dengan kadar LDL basal > 160 mg/dl, sebagian besar statin juga tidak dapat mencapai target LDL kecuali atorvastatin 80 mg. Pada subyek dengan kadar LDL basal < 160 mg/dl, atorvastatin 20 mg adalah yang paling cost-effective dalam menurunkan LDL. Simvastatin 40 mg juga cost-effective jika kadar LDL basal antara mg/dl. Kesimpulan: Statin yang paling cost-effective untuk mencapai target LDL pada pasien risiko tinggi dengan kadar LDL moderat adalah atorvastatin 20 mg, sedangkan simvastatin 40 mg atau rosuvastatin 10 mg dapat dijadikan sebagai pilihan kedua. Perbandingan antara persentase pasien yang mencapai kadar LDL < 70 mg/dl vs < 100 mg/dl pada ketiga sumber data tersebut adalah: Electronic medical records: 26,0% vs 66,6% Administrative claims data: 20,1% vs 69,0% NHANES survey: 24,0% vs 76,8% Kesimpulan: Dari 3 sumber data tersebut, didapat proporsi yang konsisten tentang pasien-pasien risiko tinggi yang dapat mencapai kadar LDL < 70 mg/dl dan < 100 mg/dl. Pasien yang diterapi dengan statin saja dan dapat mencapai kadar LDL < 70 mg/dl: 37%. Sebagian besar adalah pasien yang diterapi dengan statin potensi menengah-tinggi. Pasien yang diterapi dengan statin + ezetimibe dan dapat mencapai kadar LDL < 70 mg/dl: 41% (p=0,01 versus statin saja). Pasien yang diterapi dengan statin + niacin dan dapat mencapai kadar LDL < 70 mg/dl: 46% (p<0,0001 versus statin saja). Bila pengobatan statin di-switch ke statin potensi tinggi, maka yang dapat mencapai kadar LDL < 70 mg/dl akan meningkat menjadi 46% dan menjadi 72% pada terapi kombinasi. Kesimpulan: Kebanyakan pasien CAD tidak dapat mencapai kadar LDL <70 mg/dl bahkan juga pasien yang telah mendapat terapi statin potensi tinggi. Kombinasi statin dengan ezetimibe atau niacin adalah regimen paling efektif untuk mencapai kadar LDL <70 mg/dl, namun kombinasi obat ini masih jarang digunakan dalam praktek klinis. 9

10 Tabel 1. Beberapa penelitian tentang terapi statin dan pencapaian target LDL (lanjutan) Nama Peneliti dan Tahun Martin dkk., 2013 Vonbank dkk., 2013 Judul Modifiable factors associated with failure to attain lowdensity lipoprotein cholesterol goal at 6 months after acute myocardial infarction. Current cholesterol guideline and clinical reality: a comparison of two cohorts of coronary artery disease patients. Metode dan Subyek Kohort prospektif. Subyek: 366 pasien yang masuk rumah sakit dalam waktu 24 jam sejak didiagnosis infark miokard akut (IMA). Observasional analisis retrospektif terhadap 2 studi kohort. Subyek: pasien dengan riwayat penyakit arteri koroner dan dirujuk untuk angiografi koroner. Kohort I: 346 pasien, kohort II: 850 pasien. Hasil dan Kesimpulan Sepertiga dari subyek penelitian tidak dapat mencapai target terapi LDL < 100 mg/dl dalam waktu 6 bulan sejak IMA. Nilai median LDL awal untuk pasien yang tidak dapat mencapai target LDL < 100 mg/dl adalah 124 mg/dl, setelah 6 bulan menjadi 125 mg/dl. Nilai median LDL awal untuk pasien yang dapat mencapai target LDL < 100 mg/dl adalah 118 mg/dl, setelah 6 bulan menjadi 78 mg/dl. Faktor-faktor independent yang berhubungan dengan kegagalan mencapai target LDL < 100 mg/dl adalah tidak diresepkan statin saat keluar rumah sakit (OR: 3,16; 95% CI: 2,65-3,76), kurangnya persistensi terhadap terapi statin (OR: 2,10; 95% CI: 1,50-2,96), tidak patuh terhadap pengobatan (OR: 1,94; 95% CI: 1,26-2,97), tidak berpartisipasi dalam program rehabilitasi jantung (OR: 1,68; 95% CI: 1,29-2,17), tidak memiliki jaminan (asuransi) kesehatan (OR: 1,66; 95% CI: 1,33-2,07), dan ras bukan kulit putih (OR: 1,52; 95% CI: 1,13-2,05). Proporsi pasien yang memiliki kadar LDL awal < 70 mg/dl pada Kohort I: 6,1% sedangkan Kohort II: 7,3%. Setelah diikuti selama 2 tahun, proporsi pasien dengan kadar LDL < 70 mg/dl adalah 1,3% di Kohort I dan 9,5% di Kohort II. Hasil analisis regresi logistik menunjukkan bahwa prediktor independent untuk mencapai target terapi LDL adalah jenis kelamin laki-laki (OR 1,33 95% CI: 1,11-2,96 p = 0,021) dan diabetes (OR 1,76, 95% CI: 1,30-2,38 p<0,001). kali ini mengevaluasi hasil monoterapi statin dalam kurun waktu 6 bulan sejak pasien didiagnosis IMA untuk mengetahui karakteristik pasien IMA, penurunan LDL yang dihasilkan, pencapaian target terapi LDL <70 mg/dl dan menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan pencapaian target tersebut. ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan penelitian deskriptif analitis yang dilakukan secara retrospektif melalui pengambilan data dari rekam medis dan data laboratorium pasien IMA dan dilakukan di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Indonesia. 10