22 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Kabupaten Lampung Timur Kabupaten Lampung Timur merupakan salah satu dari 15 kabupaten di Provinsi Lampung. Kabupaten ini berada di ujung Timur Provinsi Lampung yang berbatasan langsung dengan garis pantai Laut Jawa. Kabupaten Lampung Timur terbagi menjadi 24 kecamatan, yaitu Sukadana, Labuhan Maringgai, Jabung, Batanghari, Bumi Agung, Sekampung, Pekalongan, Way Jepara, Purbolinggo, Raman Utara, Marga Tiga, Sekampung Udik, Metro Kibang, Batanghari Nuban, Labuhan Ratu, Bandar Sribhawono, Mataram Baru, Melinting, Gunung Pelindung, Psair Sakti, Braja Selebah, Way Bungur, Waway Karya dan Marga Sekampung. Perbatasan wilayah Kabupaten Lampung Timur sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Lampung Tengah dan Kabupaten Tulang Bawang, sebelah Timur berbatasan dengan Laut Jawa, Provinsi Banten dan DKI Jakarta, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Lampung Selatan serta sebelah Barat berbatasan dengan Kota Metro dan Kabupaten Lampung Tengah (Pemerintah Kabupaten Lampung Timur, 2015). Peta Kabupaten Lampung Timur dapat dilihat pada Ilustrasi 4. Secara geografis, Kabupaten Lampung Timur terletak pada posisi 105º15' BT - 106º20' BT dan 4º37' LS - 5º37' LS. Secara topografi, kabupaten Lampung Timur berupa dataran yang terdiri dari lima jenis daerah yaitu daerah berbukit sampai bergunung (>200 m dpl), daerah berombak sampai bergelombang (50-200 m dpl), daerah dataran alluvial (25-75 m dpl), daerah rawa pasang surut (0,5-1 m dpl), dan daerah aliran sungai (BPS Lampung Timur, 2015 dalam Pemerintah Kabupaten Lampung Timur (2015 ). Menurut Smith dan Ferguson dalam
23 Pemerintah Kabupaten Lampung Timur (2015 ) Kabupaten Lampung Timur termasuk dalam kategori iklim B, yang dicirikan oleh bulan basah selama 6 bulan yaitu Desember-Juni dengan temperatur rata-rata 24-34 0 C. Curah hujan merata tahunan sebesar 2000-2500 mm. Menurut Oldeman (1979) dalam Pemerintah Kabupaten Lampung Timur (2015 ), iklim Kabupaten Lampung Timur temasuk tipe C2 dengan jumlah bulan basah 5-6 bulan dan bulan kering 2-3 bulan. Sumber : Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Indonesia, 2012) Ilustrasi 4. Peta Kabupaten Lampung Timur.
24 Kabupaten Lampung Timur memiliki luas wilayah 532.503 ha. Potensi daerah Kabupaten Lampung Timur dari sektor Agribisnis meliputi Lahan Sawah, Lahan Perkebunan dan Lahan Hutan. Total keseluruhan penggunaan lahan di Kabupaten Lampung Timur dengan tujuan Agribisnis mencapai 432.710,89 ha atau 81,26 % dari total luas wilayah Kabupaten Lampung Timur dengan luas Lahan Sawah 36,89% serta luas Lahan Perkebunan dan Hutan 44,36% (BPS Lampung Timur, 2015 dalam Pemerintah Kabupaten Lampung Timur, 2015). Potensi daerah sektor pertanian di Kabupaten Lampung Timur dirangkum pada Tabel 2. Tabel 2. Potensi Daerah Sektor Agribisnis Kabupaten Lampung Timur No Luas (ha) % Lahan Sawah 196.455,00 36,89 Lahan Perkebunan dan Hutan 236.255,89 44,36 Total 432710,89 81,26 4.2 Gambaran Umum Gedung Walet di Kabupaten Lampung Timur Gedung walet yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 6 gedung yang terletak di Kecamatan Way Jepara, Bandar Sribhawono dan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur. Gedung-gedung tersebut kemudian di beri label untuk mempermudah pencatatan dengan label gedung A, B, C, D, E, dan F (Ilustrasi 5). Gedung A dan B terletak di Kecamatan Way Jepara, gedung C dan D berlokasi di Kecamatan Bandar Sribhawono serta gedung E dan F di Kecamatan Labuhan Maringgai.
25 Ilustrasi 5. Gedung Walet di Kabupaten Lampung Timur (a) gedung A; Way Jepara (b) gedung B; (c) gedung C; Bandar Sribhawono (d) gedung D; (e) gedung E; (f) gedung F Labuhan Maringgai Manajemen pengelolaan pada gedung penelitian ini menerapkan pengelolaan secara ekstensif, yaitu tidak adanya perlakuan tambahan seperti pemberian pakan dan penetasan buatan, pengelola hanya melakukan pemanenan sarang. Menurut Nazaruddin dan Widodo (2008) pemanenan yang dapat diterapkan pada pengelolaan gedung walet yaitu pola panen buang telur, rampasan dan tetasan. Pemanenan yang dilakukan pada gedung walet A, B, C, D, E maupun F dilakukan dengan tidak mengikuti pola panen diatas, melainkan dengan
26 cara menggabungkan ketiga pola panen sehingga ketika proses pemanenan semua sarang di dalam gedung dipanen tanpa diseleksi. Pemanenan sarang dilakukan setiap tiga bulan sekali atau 4 kali dalam setahun. Gedung walet di Kabupaten Lampung Timur memiliki usia yang hampir seragam yaitu berkisar antara 12-16 tahun. Pembangunan gedung A, C dan D dilakukan pada tahun 2000, gedung B dan F dibangun pada tahun 2001 serta gedung E dibangun pada tahun 2004. Bentuk dan tingginya gedung juga tidak jauh berbeda yaitu berbentuk persegi panjang dengan jumlah lantai tiga tingkat. Karakteristik fisik gedung walet yang diteliti di Kabupaten Lampung Timur dijabarkan dalam Tabel 3. Tabel 3. Karakteristik Gedung Walet Gedung Ukuran Kolam Air Atap Sirip A B C D E F 3 lantai 8x5x3m/lantai 3 lantai 12x9x3m/lantai 3 lantai 10x8x3m/lantai 3 lantai 10x8x3m/lantai 3 lantai 6x4x3m/lantai 3 lantai 8x6x3m/lantai Ada, di lantai 1 posisi di tengah ruangan Ada, di dalam gedung lantai 1 posisi di tengah ruangan dan sisi kiri-kanan, di luar gedung posisi sisi kirikanan. Ada, di dalam gedung lantai 1 posisi di tengah ruangan dan sisi kiri-kanan, di luar gedung posisi sisi kirikanan. Ada, di dalam gedung lantai 1 posisi di tengah ruangan dan sisi kiri-kanan, di luar gedung posisi sisi kirikanan. Ada, di lantai 1 posisi di tengah ruangan Ada, di lantai 1 posisi di tengah ruangan Genting Genting Genting Genting Genting Genting Persegi Persegi Persegi Persegi Persegi Persegi
27 Dari segi ukuran, gedung B merupakan gedung yang memiliki luas ruangan yang paling besar, selanjutnya gedung C dan D, lalu F dan A, dan yang paling kecil yaitu gedung E. Tidak ada aturan khusus mengenai luas gedung walet, melainkan ukuran gedung walet disesuaikan dengan modal pelaku usaha. Lain hal nya dengan jarak antara lantai dengan sirip atau tinggi ruangan, menurut Taufiqurohman (2002) sebaiknya tinggi ruangan lebih dari 2 meter, karena semakin tinggi ruangan akan semakin banyak menampung udara yang akan menciptakan suhu udara yang lebih sejuk. Tinggi ruangan pada gedung A, B, C, D, E dan F yaitu 3 m, artinya ruangan pada gedung walet A, B, C, D, E dan F mampu menampung udara yang cukup. Kolam air pada gedung A, E dan F tidak sebanyak kolam air pada gedung B, C, dan D. Pada gedung A, E dan F kolam air hanya terdapat di dalam gedung pada pertengahan lantai 1, sedangkan pada gedung B, C, dan D kolam air tidak hanya terdapat pada pertengahan melainkan juga pada sisi kiri dan kanan lantai 1, serta terdapat di luar gedung. Menurut Adiwibawa (2000) beberapa perlengkapan gedung dapat ditambahkan untuk mencapai iklim mikro yang optimum salah satunya yaitu dengan membuat kolam air. Volume air di sekitar gedung dapat membantu menurunkan suhu dan melembabkan udara di dalam gedung. Atap yang digunakan oleh ke-6 gedung yang diamati yaitu atap genting. Hal ini dimaksudkan agar dapat menjaga kestabilan suhu di dalam gedung, sesuai dengan pernyataan Nazarrudin dan Widodo (2008) bahwa atap gedung Burung Walet sebaiknya menggunakan atap genting, karena atap asbes, seng dan atap beton tidak dapat menjaga kestabilan suhu di dalam gedung. Sirip yang dipasang pada plafon gedung berbentuk persegi dengan bahan kayu Meranti. Sirip pada gedung Walet sebaiknya berbahan kayu yang tidak
28 mudah terkena jamur, tidak beraroma menyengat, tidak mudah lapuk seperti kayu jati, dan harganya terjangkau seperti kayu meranti (Nazarrudin dan Widodo, 2008). Bentuk sirip melintang dari arah datangnya Burung Walet, agar dapat memutus cahaya yang datang dari lubang masuk Burung Walet sehingga intensitas cahaya dapat optimum. Gedung yang menggunakan sirip bentuk persegi akan lebih banyak menghasilkan sarang sudut, hal ini diakibatkan oleh Burung Walet lebih menyukai membuat sarang pada bidang sudut dibandingkan dengan pada bidang datar (Nazarrudin dan Widodo, 2008). 4.3 Habitat Mikro Burung Walet Habitat mikro Burung Walet adalah lingkungan di dalam gedung tempat Burung Walet beristirahat, membuat sarang, bertelur dan membesarkan anak-anak walet yang baru menetas. Habitat mikro bersifat setempat sehingga dapat dengan mudah dikondisikan sesuai dengan kondisi yang dibutuhkan Burung Walet. Kondisi habitat mikro diatur dengan meniru kondisi habitat aslinya seperti mengatur temperatur, kelembaban dan instensitas cahaya layaknya di dalam gua. Kondisi seperti ini akan tercapai dengan cara pemilihan bahan dan desain bangunan yang tepat serta menambahkan alat-alat pendukung. Pengukuran suhu dan kelembaban dilakukan dengan menggunakan thermometer dan hygrometer digital selama tiga hari. Hasil pengukuran suhu dan kelembaban di dalam gedung Burung Walet A, B, C, D, E dan F ditunjukkan pada Tabel 4.
29 Tabel 4. Hasil Pengukuran Temperatur dan Kelembaban Temperatur ( C) Kelembaban (%) Gedung Min. Maks. Ratarata Min. Maks. Ratarata Way Jepara A 28,29 32,64 30,47 69,22 75,78 72,50 B 27,57 30,24 28,91 78,11 86,89 82,50 Seluruh Gedung 27,93 31,44 29,69 81,34 73,67 77,50 B. Sribhawono C 27,66 30,34 29,00 78,00 87,56 82,78 D 27,59 30,37 28,98 77,44 86,33 81,89 Seluruh Gedung 27,63 30,36 28,99 77,72 86,95 82,33 L. Maringgai E 28,64 32,86 30,75 66,67 77,67 72,17 F 28,60 32,78 30,69 66,00 77,67 71,83 Seluruh Gedung 28,62 32,82 30,72 66,34 77,67 72,00 Lampung Timur Rata-rata 28,05 31,53 29,80 72,57 81,98 77,27 Berdasarkan Tabel 4 rata-rata temperatur gedung yang berada di tiga Kecamatan Way Jepara, B. Sribhawono dan Labuhan Maringgai yaitu 29,69 C; 28,99 C; dan 30,72 C. Nilai temperatur minimum berada pada gedung B dengan suhu 27,57 C, dan suhu maksimum berada di gedung E dengan nilai 32,86 C. Suhu optimum gedung walet menurut Mardiastuti dkk (1998) yaitu 26-28 C dengan kelembaban relatif berkisar 85-98%. Sementara menurut Sofwan dan Winarso (2005) berkisar 27-29 C dengan kelembaban 70-95%. Dengan kisaran tersebut, gedung B, C, dan D telah mencapai suhu dan kelembaban optimum, sedangkan suhu di gedung A, E dan F melebihi kisaran meskipun kelembaban udara masih berada pada kisaran optimum. Tingginya suhu di gedung A, E dan F disebabkan oleh kurangnya kubangan air di dalam gedung tersebut sebagai pencegah kenaikan suhu dan penambah kelembaban. Gedung B, C, dan D
30 dilengkapi dengan 2 kolam di luar gedung (Ilustrasi 3) sehingga kondisi di dalam gedung dapat mencapai suhu dan kelembaban yang optimum. Ilustrasi 6. Kolam Air di Luar Gedung (a) gedung B; (b) gedung C; (c) gedung D. Suhu dan kelembaban optimum di dalam gedung dibutuhkan Burung Walet sebagai zona nyaman Burung Walet untuk beristirahat. Suhu dan kelembaban yang terlalu rendah atau terlalu tinggi akan mengurangi produktivitas sarang dan mengganggu kenyamanan Burung Walet (Ibrahim dkk., 2009). Pengukuran intensitas cahaya gedung dilakukan dengan menggunakan luxmeter. Intensitas cahaya pada seluruh ruangan gedung Walet A-F yaitu 0 lux, kecuali pada lantai 3 gedung E dan F yang memiliki intensitas cahaya sebesar 7 dan 6 lux.hasil pengukuran intensitas cahaya di dalam gedung walet seperti pada Tabel 5.
31 Tabel 5. Hasil Pengukuran Intensitas Cahaya Gedung Intensitas Cahaya Lantai 1 Lantai 2 Lantai 3 A 0 0 0 B 0 0 0 C 0 0 0 D 0 0 0 E 0 0 7 F 0 0 6 Menurut Francis (1987) intensitas cahaya yang disukai oleh Burung Walet untuk bersarang adalah 0 lux (gelap total). Nilai intensitas cahaya di lantai tiga rumah Burung Walet E dan F melebihi 0 lux dikarenakan terdapat dua lubang masuk Burung Walet yang mengahadap arah datangnya sinar matahari (barat dan timur) sehingga cahaya masuk dengan mudah. Burung Walet (Collocalia fuciphaga) memilih tempat yang pencahayaannya mendekati 0 lux atau gelap total sebagai tempat meletakkan sarangnya. Hal ini berkaitan dengan fungsi sarang sebagai tempat Burung Walet beristirahat, sehingga Burung Walet membutuhkan lokasi yang sesuai dengan zona nyamannya. Oleh karena itu ruang gedung yang berintensitas tinggi akan menurunkan produksi sarang atau bahkan tidak akan dihuni oleh Burung Walet (Marhiyanto dkk. 1996). Mardiastuti dkk. (1998) menyatakan bahwa untuk mendapatkan kondisi rumah dengan intensitas cahaya 0 lux dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya yaitu dengan menempatkan pintu Burung Walet di bagian utara atau selatan. Cara lain untuk mendapatkan cahaya 0 lux di dalam ruangan gedung walet yaitu: (1) meminimalkan jumlah dan ukuran lubang masuk, (2) menempatkan kotak kayu tepat di dalam lubang masuk untuk mengarahkan cahaya yang masuk pada suatu titik tertentu, (3) menempatkan karung goni di
32 depan pintu Burung Walet agar cahaya yang masuk tertahan karung, dan (4) menutup permanen semua pintu dan jendela bagi rumah Burung Walet yang berasal dari bangunan tua. 4.4 Habitat Makro Burung Walet Habitat makro merupakan daerah tempat Burung Walet untuk mencari pakan dan berkembang biak. Jenis habitat sumber pakan di Kabupaten Lampung Timur meliputi Sawah dan Tegalan yang terdiri dari lahan sawah, tegalan dan kebun tanaman musiman, Lahan Basah yang terdiri dari kolam, tambak, sungai, danau dan laut serta Daerah Berhutan yang terdiri dari perkebunan tanaman karet, kakao, akasia dan tumbuhan kayu lainnya. Data luas habitat sumber pakan di tiga Kecamatan dijabarkan pada Tabel 6. Tabel 6. Luas Habitat Sumber Pakan Total Sawah dan Daerah Lahan Basah Lahan Tegalan Berhutan Kecamatan Sumber (ha) (%) (ha) (%) (ha) (%) Pakan Way Jepara (Gedung A dan B) 8865 6076 68,54 1012 11,41 1777 20,04 B. Sribhwono (Gedung C dan D) 15784 5878 37,24 1510 9,56 8396 53,19 L. Maringgai (Gedung E dan F) 10503 4390 41,79 3950 37,61 2163 20,59 Sumber : Pemerintah Kabupaten Lampung Timur (2015) Kecamatan Way Jepara memiliki luas sawah dan tegalan sebanyak 68,54% dari total keseluruhan luas habitat sumber pakan, lahan basah 11,41%, dan daerah berhutan 20,04%. Luas sumber pakan di Kecamatan Bandar Sribhawono meliputi sawah dan tegalan 37,24%, lahan basah 9,56% dan daerah berhutan 53,19%.
33 Luas habitat sumber pakan di kabupaten Labuhan Maringgai meliputi 41,79 % daerah sawah dan tegalan, 37,61% lahan berair, dan 20,59% daerah berhutan. Habitat makro Burung Walet adalah di sekitar pantai dan daerah yang ditumbuhi banyak tanaman atau hutan (Gosler, 2007 dalam Hakim, 2011). Habitat makro sangat penting bagi kelangsungan hidup Burung Walet karena serangga pakan Burung Walet bergantung pada kondisi habitat makronya yang terdiri dari area bervegetasi dan berair. Ketersediaan serangga pakan Burung Walet tersebut bergantung pada kondisi iklim dan luasnya lokasi habitat serangga sebagai penyedia tempat dan makanan (Hakim, 2011). Menurut Soehartono dan Mardiastuti (2003 ), habitat mencari pakan yang paling cocok untuk spesies Collocalia fuciphaga adalah campuran antara sawah dan tegalan (50%), lahan basah (20%), dan daerah berhutan (30%). Komposisi ini berkaitan dengan habitat serangga yang paling disukai oleh Burung Walet. Urutan serangga yang paling disukai oleh Burung Walet yaitu serangga yang berasal dari ordo Hymenoptera dan Homoptera yang hidup di daerah sawah dan tegalan, Diptera yang hidup di daerah lahan berkayu, dan Ephemenoptera yang hidup di lahan basah (Adiwibawa, 2000). Pada Tabel 6. menunjukkan bahwa tidak ada kecamatan yang memiliki luas habitat sumber pakan yang mendekati kisaran yang ditentukan oleh Soehartono dan Mardiatuti (2003). Meskipun demikian, bukan berarti ketiga kecamatan di atas merupakan tempat yang tidak cocok bagi habitat Burung Walet, karena menurut Mardiastuti dkk. (1998) kemampuan Burung Walet dalam menjelajah home range mencapai radius 25-40 km, maka tidak menutup kemungkinan Burung Walet akan mecari pakan di luar area sekitar tempat tinggalnya. Jarak
34 yang ditempuh Burung Walet untuk menjangkau lokasi sumber pakan diuraikan pada Tabel 7. Tabel 7. Jarak gedung ke Lokasi Sumber Pakan Gedung Sawah dan Tegalan (km) Lahan Basah (km) Perkebunan dan Hutan (km) Rata-rata (km) A 2,44 4,36 5,44 4,08 B 0,74 7,23 7,89 5,28 C 1,53 2,57 2,27 2,12 D 1,53 2,57 2,27 2,12 E 0,62 0,79 1,21 0,87 F 0,70 0,79 1,21 0,90 Keterangan : Pengukuran menggunakan GPS Rata-rata jarak gedung A, B, C, D, E dan F ke lokasi sumber pakan sejauh 4,08 km, 5,28 km, 2,12 km, 2,12 km, 0,87 km, dan 0,90 km. Rata-rata jarak gedung ke lokasi sumber pakan pada ke-6 gedung tentu dapat dijangkau oleh Burung Walet yang memiliki kemampuan menjelajah wilayah sejauh 25-40km Mardiastuti dkk. (1998). Menurut Michael (1995) dalam Balai Besar Pembenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan (2013) kepadatan populasi serangga di lapangan tidak hanya ditentukan oleh tersedianya sumberdaya seperti makanan dan ruang tempat hidup, melainkan ada dua faktor penting lainnya yaitu (1) kemampuan sera ngga untuk memperoleh pakan, seperti mencari pakan di beberapa vegetasi (2) waktu atau kesempatan dalam memanfaatkan laju pertumbuhan yang tinggi, misalnya keadaan iklim yang menguntungkan untuk pertumbuhan. Maka dari itu, suatu wilayah yang memiliki sumberdaya sebagai penyedia pakan serangga juga harus memiliki kondisi iklim yang mendukung bagi perkembangan serangga. Kondisi iklim di Kabupaten Lampung Timur tahun pada 2015 diurai pada Tabel 8.
35 Tabel 8. Iklim Kabupaten Lampung Timur Tahun 2015 Temperatur ( C) Kelembaban (%) Curah Hujan (mm) Minimum 22,50 76 39 Maximum 33,90 88 333 Rata-rata 27,85 82 186 Total/tahun 1976 Sumber : Pemerintah Kabupaten Lampung Timur (2015) Kabupaten Lampung Timur termasuk dalam kategori iklim B, yang dicirikan oleh bulan basah selama 6 bulan yaitu Desember-Juni dengan temperatur rata-rata 24-34 0 C (Geotopografi Lampung Timur, 2016). Pada tahun 2015, suhu rata-rata di Kabupaten Lampung Timur sebesar 27,85 0 C, kelembaban rata-rata 82% dan curah hujan 1976 mm pertahun. Suhu, Kelembaban dan Curah Hujan tersebut mendukung pertumbuhan serangga sebagai sumber pakan Burung Walet. Jumar (2000) menyatakan bahwa kisaran suhu habitat makro yang efektif adalah suhu minimum 15 0 C, suhu optimum 25 0 C dan suhu maksimum 45 0 C. Suhu ratarata di Kabupaten Lampung Timur termasuk kedalam suhu optimum untuk pertumbuhan serangga, sehingga kemampuan serangga untuk menghasilkan keturunan sangat tinggi dan kemungkinan mortalitas rendah. Bagi serangga pada umumnya kisaran toleransi terhadap kelembaban udara yang optimum terletak di dalam titik rentang 73-100 % (Jumar, 2000). Kelembaban udara di Kabupaten Lampung Timur berkisar antara 76-88% artinya kelembaban udara di Kabupaten Lampung Timur merupakan kisaran kelembaban optimum bagi perkembangan hidup serangga.
36 4.5 Produksi Sarang Produksi sarang Burung Walet di Kabupaten Lampung Timur diukur menggunakan data sekunder yang diperoleh langsung dari peternak. Data produksi sarang Burung Walet diurai dalam Tabel 9. Tabel 9. Produksi Sarang di Kabupaten Lampung Timur Gedung Produksi Sarang/ Rataan (gram) Simpangan baku Koefisien Variasi Pendugaan Parameter Way Jepara A 19,000 0,736 3,87 18,415 µ 19,585 B 22,627 1,751 7,74 21,235 µ 24,020 Seluruh Gedung 20,814 B.Sribawono C 22,813 0,807 3,54 22,171 µ 23,454 D 22,344 0,598 2,68 21,868 µ 22,820 Seluruh Gedung 22,580 L.Maringgai E 18,229 1,458 8,00 17,069 µ 19,989 F 19,479 0,496 2,55 19,085 µ 19,874 Seluruh Gedung 18,854 Lampung Timur Rata-rata 20,479 2,066 4,73 18,311 µ 22,647 Berdasarkan Tabel 9 rata-rata produksi sarang Burung Walet di Kabupaten Lampung Timur dalam satuan gram/ yaitu sebesar 20,479 gram/. Rata-rata produksi sarang Burung Walet di Kecamatan Bandar Sribhawono yaitu sebesar22,580 gram/, nilai rata-rata ini lebih besar dibandingkan dengan kecamatan Way Jepara maupun Labuhan Maringgai yang hanya memiliki ratarata produksi sebesar 20,814 gram/ dan 18,854 gram/. Gedung yang memiliki nilai produksi di bawah rata-rata adalah gedung A, E dan F dengan nilai produksi 19,000 gram/, 18,229 gram/, dan 19,479 gram/. Sementara
37 gedung yang memiliki nilai produksi di atas rata-rata yaitu gedung B, C dan D dengan nilai produksi 22,627 gram/, 22,813 gram/, dan 22,344 gram/. Produksi gedung B, C dan D lebih besar dari pada produksi gedung A, E dan F. Nilai produksi gedung A dan B berbeda meskipun gedung A dan B berada di Wilayah yang sama yaitu Way Jepara. Gedung B memiliki habitat mikro yang optimum, sedangkan gedung A di luar kisaran optimum. Hal ini menunjukkan bahwa produksi sarang tidak dipengaruhi oleh habitat makro melainkan dipengaruhi oleh habitat mikro. Proses pemanenan sarang Burung Walet sarang putih (Collocalia fuciphaga) di Gedung A, B, C, D, E maupun F dilakukan sebanyak 4 kali dalam satu tahun atau pemanenan dilakukan setiap 3 bulan. Pola panen yang digunakan yaitu dengan cara memanen semua sarang yang menempel pada sirip tanpa mempertimbangkan keberadaan telur ataupun anak walet (piyik). Artinya pemanenan pada gedung walet di Kabupaten Lampung Timur menggunakan pola panen rampasan, buang telur dan tetasan dalam satu waktu. Dengan menerapkan pola campuran secara berturut-turut selama satu tahun penuh akan mengurangi kesempatan Burung Walet untuk melakukan perkembangbiakannya, sehingga pola pemanenan ini akan menurunkan populasi Burung Walet secara perlahan. Hal ini tidak sesuai dengan Kepmenhut Nomor 449/Kpts-II/1999 yang menjelaskan bahwa pemanenan sarang Burung Walet dilakukan dalam rangka pembinaan populasi sehingga pemanenan sarang Burung Walet harus dengan memperhatikan kelestariannya.