PESAN POKOK APAKAH PEMERINTAH INDONESIA MAMPU MENGAKSELERASI PEMBIAYAAN OBAT-OBATAN STRATEGIC USE OF ANTIRETROVIRAL (SUFA)?

dokumen-dokumen yang mirip
Untuk komunitas dari komunitas: Jangan hanya di puskesmas dan rumah sakit!

Latar belakang, Skema & Implementasi SUFA (Strategic Use of Antiretroviral) di Indonesia

PESAN POKOK LAYANAN HIV & AIDS YANG KOMPREHENSIF DAN BERKESINAMBUNG- AN (LKB): PERAN PEMERINTAH DAERAH DAN MASYARAKAT SIPIL

Kertas Kebijakan. Agustus Penanggulangan HIV dan AIDS PUSAT KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN KESEHATAN

BAB I PENDAHULUAN. menjadi prioritas dan menjadi isu global yaitu Infeksi HIV/AIDS.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tabel 1. Jumlah Kasus HIV/AIDS Di Indonesia Yang Dilaporkan Menurut Tahun Sampai Dengan Tahun 2015

Penjangkauan dalam penggulangan AIDS di kelompok Penasun

Perlindungan Sosial yang Sensitif

BAB I PENDAHULUAN. masalah HIV/AIDS. HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang

PESAN POKOK BAGAIMANA MENINGKATKAN PENDANAAN DAERAH UNTUK PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS?

BAB I PENDAHULUAN. masalah kesehatan masyarakat di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Masalah

komisi penanggulangan aids nasional

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

LEMBAR FAKTA HARI AIDS SEDUNIA 2014 KEMENTERIAN KESEHATAN 1 DESEMBER 2014

PESAN POKOK MEMPERKUAT PENYEDIA LAYANAN HIV DAN AIDS LINI TERDEPAN (FRONTLINE SERVICE) MELALUI PERENCANAAN TERPADU

BAB I PENDAHULUAN. hangat dibahas dalam masa sekarang ini adalah penyakit HIV/AIDS (Human

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV)/ Accuired Immune Deficiency Syndrome (AIDS)

KEBIJAKAN NASIONAL KOLABORASI TB HIV

SUFA (Strategic Use of ARV) di Kabupaten Jember ; Capaian dan Kendala

POINTER ARAHAN KETUA KPA NASIONAL UNTUK PENINGKATAN KEMANDIRIAN PENANGGULANGAN AIDS

PESAN POKOK AGENDA PRIORITAS PENELITIAN UNTUK MENDUKUNG PROGRAM PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA POLICY BRIEF

MONITORING DAN EVALUASI PROGRAM HIV & AIDS

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV) semakin mengkhawatirkan secara kuantitatif dan

KEBIJAKAN PROGRAM PENGENDALIAN HIV-AIDS DAN IMS. Subdit AIDS dan PMS DITJEN PP & PL, KEMENKES KUPANG, 4 September 2013

BAB 1 PENDAHULUAN. merusak sel-sel darah putih yang disebut limfosit (sel T CD4+) yang tugasnya

BAB I PENDAHULUAN. kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat

Kebijakan Pembiayaan Penanggulangan dan Pencegahan HIV AIDS Dalam Sistem Kesehatan Indonesia

Peningkatan Kemandirian Penanggulangan AIDS

Panduan Wawancara Mendalam dengan CSO/CBO. I. Panduan untuk Peneliti

PERAN LSM/KOMUNITAS DALAM KOLABORASI TB-HIV

Revisi PP.38/2007 serta implikasinya terhadap urusan direktorat jenderal bina upaya kesehatan.

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

SITUASI PENDANAAN PROGRAM HIV DAN AIDS DI DKI JAKARTA. Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi DKI Jakarta 2013

BAB I PENDAHULUAN. menjadi masalah kesehatan global. Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan secara global

Survei Delphi Pengembangan Model Pencegahan Melalui Transmisi Seksual di Tingkat Pelayanan Primer Puskesmas dan Jejaringnya

2017, No Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Neg

ARAH KEBIJAKAN PENANGGULANGAN HIV/AIDS PROVINSI DKI JAKARTA. Disampaikan Pada Acara :

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV di Indonesia termasuk yang tercepat di Asia. (2) Meskipun ilmu. namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan.

OUT-OF-POCKET PASIEN HIV/AIDS RAWAT JALAN DI RUMAH SAKIT KETERGANTUNGAN OBAT JAKARTA TAHUN 2012

Peluang Pendanaan APBN Program HIV kepada LSM. dr Siti Nadia, M Epid Kasubdit AIDS & PMS Kemkes, Ditjen PPPL

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA sudah mencapai tahap terkonsentrasi pada beberapa sub-populasi berisiko

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan sekaligus merupakan investasi

Perlukah promosi test HIV pada pasangan populasi kunci dan serodiskordan?

Integrasi Program PPIA (PMTCT ) di Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak

MODUL PEMBELAJARAN DAN PRAKTIKUM MANAJEMEN HIV AIDS DISUSUN OLEH TIM

Kegiatan Penanggulangan HIV/AIDS Melalui Serosurvey Di Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan Tahun Sitti Fatimah 1, Hilmiyah 2

Kebijakan Penanggulangan HIV dan AIDS: Masa Lalu, Saat ini dan Masa Mendatang. Dr. Kemal N. Siregar, Sekretaris KPAN 2012

W A L I K O T A Y O G Y A K A R T A

PerPres 75 /2006 vs PerPres 124 /2016 Peran KPAN,dan Kab/Kota Kewenangan KPA paska PerPres 124/ 2016 Rekomendasi Penutup

Informasi Epidemiologi Upaya Penanggulangan HIV-AIDS Dalam Sistem Kesehatan

SRAN Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia. Per 1 September 2015

BAB I PENDAHULUAN. Angka HIV/AIDS dari tahun ke tahun semakin meningkat. Menurut laporan

Integrasi Upaya Penanggulangan. Kesehatan Nasional

Isu Strategis Kebijakan Penanggulangan HIV dan AIDS, Indonesia

2 2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik I

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency

PESAN POKOK MENGOPTIMALKAN PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN DAERAH UNTUK PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS

BAB V PEMBAHASAN. 1. Analisis Konteks dalam Program Skrining IMS dengan VCT di LP

KERANGKA ACUAN KEGIATAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Peringatan Hari AIDS Sedunia 2013: Cegah HIV dan AIDS. Lindungi Pekerja, Keluarga dan Bangsa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dunia. Penyakit ini membunuh 1,5 juta orang pada tahun 2014 (1,1 juta orang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

Laporan Ketua Panitia Pelaksana Selaku Chief Rapporteur Dalam Acara Penutupan Pertemuan Nasional AIDS IV Pembukaan

DELPHI II Survei Delphi Pengembangan Model Pencegahan Melalui Transmisi Seksual di Tingkat Pelayanan Primer Puskesmas dan Jejaringnya

Satiti Retno Pudjiati. Departemen Dermatologi dan Venereologi. Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

LAPORAN TENTANG PELAKSANAAN PERJALANAN DINAS KE JAKARTA TANGGAL 17 SEPTEMBER 21 SEPTEMBER 2017

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Pemetaan Pendanaan Publik untuk Perubahan Iklim di Indonesia

MATRIKS BUKU I RKP TAHUN 2011

AIDS dan Sistem Kesehatan: Sebuah Kajian Kebijakan PKMK FK UGM

dan kesejahteraan keluarga; d. kegiatan terintegrasi dengan program pembangunan di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota; e.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Review Kebijakan Anggaran Kesehatan Nasional. Apakah merupakan Anggaran Yang Kurang atau Berlebih?

Perluasan Respon Penanggulangan HIV dan AIDS dalam Kerangka Sistem Kesehatan

BAB I BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Sumber : Ditjen PP & PL, Kemenkes RI, 2014 [1]

1 Universitas Kristen Maranatha

HASIL LOKAKARYA REVIEW PENANGGULANGAN HIV & AIDS PROVINSI JAWA TENGAH

BAB I. PENDAHULUAN A.

BAB 1 PENDAHULUAN. Inggris pada tahun 1911 (ILO, 2007) yang didasarkan pada mekanisme asuransi

BAB 1 PENDAHULUAN. Masalah HIV-AIDS, mulai dari penularan, dampak dan sampai

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi

BAB I PENDAHULUAN. Immunodeficiency Syndrome) merupakan salah satu penyakit infeksi yang

PENDAHULUAN. Sumber : Ditjen PP & PL, Kemenkes RI, 2014 [1]

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan HIV/AIDS di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan karena

57 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

sebuah tinjauan strategi dr. Abednego Dani N Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul PROGRAM PENGENDALIAN HIV&AIDS KABUPATEN BANTUL

BAB I. PENDAHULUAN. infeksi Human Immunodificiency Virus (HIV). HIV adalah suatu retrovirus yang

Memperkuat Peran Daerah

MANAJEMEN KASUS HIV/AIDS. Sebagai Pelayanan Terpadu Bagi Orang dengan HIV/AIDS (Odha)

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Berdasarkan data yang diterbitkan oleh Joint United National Program on

Dukungan DPR dalam Menangani Defisit JKN dan Keberlangsungan Program JKN. Ketua Komisi IX DPR RI Dede Yusuf Macan Effendi, S.T, M.

BAB I PENDAHULUAN. dan diduga akan berkepanjangan karena masih terdapat faktor-faktor yang

BAB I PENDAHULUAN. juga berpengaruh terhadap keadaan sosioekonomi meskipun berbagai upaya. penyakit ini (Price & Wilson, 2006; Depkes RI 2006).

BAB I PENDAHULUAN. generasi baik secara kualitas maupun kuantitas. sesuatu yang mengarah pada aktivitas positif dalam pencapaian suatu prestasi.

BAB I PENDAHULUAN. meninggal akibat HIV/AIDS, selain itu lebih dari 6000 pemuda umur tahun

Transkripsi:

POLICY BRIEF 02 PESAN POKOK APAKAH PEMERINTAH INDONESIA MAMPU MENGAKSELERASI PEMBIAYAAN OBAT-OBATAN STRATEGIC USE OF ANTIRETROVIRAL (SUFA)? Akselerasi Strategic Use of An retroviral (SUFA) selama ini telah menjadi prioritas dalam upaya menekan laju penularan HIV dan AIDS serta meningkatkan kualitas hidup penduduk Indonesia. Namun demikian, akselerasi ini akan menghadapi tantangan dalam pelaksanaannya karena adanya keterbatasan dukungan bantuan internasional. Upaya-upaya untuk meningkatkan ketersediaan pendanaan dalam negeri juga bukan merupakan hal yang mudah untuk dilakukan, hal ini akan mengancam keberlanjutan program pencegahan dan mi gasi dampak penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia. Untuk itu, selain mengupayakan tambahan dana pada pemerintah ngkat pusat maupun daerah, pemerintah perlu memperha kan aspek alokasi dan teknis yang efisien dari program ini agar dak terjadi pembalikan dari semboyan pencegahan lebih baik daripada pengobatan. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran UGM

MASALAH Cakupan orang yang memperoleh perawatan HIV dan AIDS menunjukkan peningkatan yang cukup menggembirakan yang pada tahun 2012 baru mencapai 17% meningkat pada September 2014 hingga 26% dari estimasi ODHA pada tahun 2012 (lihat Gambar 2.1). Meskipun demikian cakupan tersebut masih jauh dari yang ditargetkan pemerintah seperti yang dinyatakan dalam SRAN 2015-2019 yaitu sebesar 40% ODHA harus mengetahui statusnya dan 50% dari mereka yang memenuhi syarat dapat memperoleh ART. Gambar 2. 1: Cascade Perawatan HIV dan AIDS hingga September 2014 700000 600000 500000 400000 300000 200000 100000 0 Estimasi ODHA (2012) Masuk Perawatan HIV Memenuhi Syarat Pernah terima ART Dalam Perawatan Sumber: Kementerian Kesehatan Indonesia (2014) Untuk menutup kesenjangan dalam link to care (rujukan ke perawatan) di atas maka salah satu strategi penting di dalam SRAN 2015-2019 adalah melakukan intensifikasi dan akselerasi SUFA yang telah diluncurkan oleh Kemenkes RI pada pertengahan tahun 2013. Akselerasi SUFA ini bertujuan untuk meningkatkan cakupan tes HIV, meningkatkan cakupan ART serta meningkatkan retensi terhadap ART. SUFA telah dilaksanakan di 13

kabupaten/kota dan akan diperluas secara bertahap pada tahun 2014 menjadi total 75 kabupaten/kota 1. Komitmen pemerintah terkait penyediaan anggaran untuk obat-obatan ARV terus meningkat. Total pengadaan ARV pada tahun 2007 sebesar Rp. 17.9 juta; tahun 2008 sebesar Rp. 49.8 juta; tahun 2009 sebesar Rp. 43.2 juta; tahun 2010 sebesar Rp. 84.2 juta; tahun 2011 sebesar Rp. 85.9 juta. Untuk tahun 2012, seluruh kebutuhan obat-obatan ARV sudah dapat terpenuhi melalui anggaran APBN. 2 Pada tahun 2012, anggaran sebelumnya direncanakan akan dibiayai oleh APBN sebesar Rp. 119 juta dan meningkat tajam pada tahun 2013 menjadi Rp. 260 juta. Perbandingan antara pembiayaan ARV domestik dan pembiayaan dari Global Fund adalah sebagai berikut. Gambar 2.2: Pengadaan ARV 60.000.000 50.000.000 40.000.000 30.000.000 20.000.000 10.000.000 GF Nat Budget - 2010 2011 2012 2013 2014 GF 218.400 1.605.5 3.285.8 918.583 913.238 Nat Budget 9.505.9 11.882. 12.592. 26.387. 55.555. Sumber: Kementerian Kesehatan Indonesia (2015) 1 http://www.depkes.go.id/article/view/201408140001/sufa-inovasi-baru-dalam-upayapengendalian-hiv-aids-di-indonesia.html#sthash.0pchz06v.dpuf 2 http://www.depkes.go.id/article/view/1851/pengendalian-hiv-aids-diindonesia.html#sthash.btnhmor5.dpuf

Data tersebut di atas menunjukkan komitmen yang tinggi dari pemerintah terkait pendanaan untuk penyediaan ARV. Akan tetapi jika dikaji lebih jauh, kemauan untuk meningkatkan secara ekstensif cakupan perawatan HIV dan AIDS tidak bisa hanya terbatas pada penyediaan ARV saja melainkan harus ada upaya yang luar biasa baik sebelum atau sesudah perawatan itu diberikan. Kenyataan bahwa cakupan perawatan HIV hingga kini masih rendah dan membutuhkan usaha ekstra dalam: 1) meningkatkan cakupan orang yang dijangkau melalui program ini, 2) meningkatkan cakupan tes HIV, 3) memastikan manfaat perawatan dini, 4) memperkuat sistem rujukan antar petugas lapangan, 5) layanan tes HIV dan layanan perawatan HIV, 6) pendampingan bagi mereka yang tidak memiliki akses terhadap terapi ART serta pendampingan bagi mereka yang tengah menjalankan terapi ART untuk memastikan kepatuhan terapi dan viral load testing. Dengan demikian dapat diartikan bahwa pada dasarnya keinginan pemerintah untuk memperluas cakupan SUFA dapat mempertahankan dan mengoptimalkan layanan HIV dan AIDS di tingkat daerah dan dimulai di 75 kota dan kabupaten prioritas. Sejak inisiasinya pada pertengahan tahun 2013, implementasi SUFA banyak menemui kendala operasional. Setidaknya ada empat titik lemah utama yang terkait dengan: 1) kesiapan fasilitas kesehatan, 2) lemahnya jejaring rujukan, 3) penyedia layanan kesehatan yang tidak terkoordinir, dan 4) lemahnya pemahaman tentang SUFA itu sendiri di antara staf penyedia layanan SUFA. Sebuah contoh dari suatu Puskesmas di Yogyakarta menunjukkan bahwa ketersediaan dan kesiapan sumber daya, meliputi dokter, bidan, perawat, konselor, dan laboratorium, dan teknisi data yang melaksanakan inisiasi terapi ARV di sebuah fasilitas kesehatan tidak menjamin bahwa terapi dapat dilakukan dengan baik. Bahkan sulit untuk dibayangkan bagaimana layanan dapat diberikan di pulau terpencil di luar Jawa yang umumnya memiliki keterbatasan dokter, bidan, perawat, dan konselor, terlebih lagi biasanya dengan tidak adanya laboratorium maupun teknisi data. Dari sisi pendanaan, pertanyaan yang belum terjawab adalah: Apakah akselerasi implementasi SUFA merupakan pilihan yang realistis bagi

pemerintah dalam lima tahun mendatang? Mengingat pemerintah selama ini lebih banyak membelanjakan dananya (78% dari USD 28 juta di tahun 2012) untuk perawatan, khususnya untuk pembelian ARV dan menyerahkan upaya pencegahan dan pendampingan bagi ODHA untuk didanai oleh mitra pembangunan internasional atau pemerintah daerah. Hal tersebut menjadi lebih dilematis jika akselerasi ini akan sepenuhnya didukung oleh dana dalam negeri seperti tergambar dalam grafik berikut ini: Gambar 2.3: Perkiraan Jumlah ODHA on Treatment, Biaya untuk Perawatan (ARV) dan Ketersediaan dana 140.000 120.000 100.000 80.000 60.000 40.000 20.000-2015 2016 2017 2018 2019 Jumlah ODHA on Treatment Biaya untuk Perawatan (ribuan USD) Ketersediaan dana untuk seluruh program HIV (dalam ribuan USD) Sumber: Diolah dari data SRAN 2015-2019 Gambar di atas menunjukkan bahwa saat pembiayaan Global Fund berakhir paska 2017, seluruh dana yang diharapkan dapat terkumpul baik dari dalam negeri (pemerintah daerah, swasta) maupun bantuan luar negeri akan habis terserap untuk program perawatan dan pengobatan. Dalam situasi demikian, ada kemungkinan dana untuk program pencegahan dan mitigasi harus dihapuskan. Yang menjadi permasalahan ke depan adalah bagaimana akselerasi SUFA dapat tetap dilakukan tanpa meninggalkan komponen pencegahan maupun mitigasi dampak.

Sejumlah kalangan yang mendukung implementasi SUFA menyatakan bahwa penggunaan ARV sejak dini juga merupakan cara yang efektif untuk pencegahan seperti yang dibuktikan dalam penelitian HPTN 052 yang menunjukkan penurunan tingkat penularan sebesar 96% di antara pasangan yang memulai ART lebih dini dibandingkan dengan pasangan HIV positif yang menunggu sampai hitungan CD4 menurun 3. Oleh karenanya upaya pencegahan bisa dilakukan melalui strategi ini daripada melalui cara yang lebih konvensional (promosi dan pencegahan bagi orang yang terpapar risiko penularan HIV). Dengan adanya fakta yang pasti seperti ini dan adanya kecenderungan berkurangnya dukungan keuangan untuk pencegahan yang konvensional, tampaknya upaya pencegahan dengan inisiasi dini ARV lebih menjadi prioritas. OPSI KEBIJAKAN Di dalam SRAN 2015-2019 dinyatakan bahwa akselerasi SUFA di 75 daerah secara bertahap hingga 2017 ini akan sepenuhnya didukung oleh dana domestik. Namun demikian, analisis kesenjangan dana untuk pelaksanaan program penanggulangan HIV dan AIDS masih menunjukkan kekurangan dana untuk memenuhi kebutuhan program dan kesenjangan itu akan semakin membesar setelah 2017 dimana pembiayaan Global Fund akan berakhir. Risiko yang paling nyata adalah terabaikannya program pencegahan dan mitigasi dampak karena prioritas pengunaan dana pada komponen kuratif. Risiko ini tidak terlalu terlihat pada tahun 2015-2017 karena masih tersedianya dana mitra pembangunan internasional (seperti GF, DFAT dan USAID) yang memberikan lebih banyak dukungan pada komponen pencegahan. Pengabaian terhadap komponen pencegahan dan mitigasi dampak pada hakekatnya akan menjadi risiko yang lebih besar bagi keberhasilan SUFA dalam jangka panjang. Semakin banyak orang terinfeksi dan semakin banyak orang tidak memenuhi persyaratan perawatan pada akhirnya akan membebani komponen kuratif. 3 WHO, The strategic use of antiretrovirals to help end the HIV epidemic, 2012.

Meskipun demikian, akselerasi pelaksanaan SUFA tersebut tetap menjadi prioritas dalam penanggulangan AIDS di Indonesia karena pada dasarnya akan menyelamatkan ratusan bahkan ribuan orang dari kematian dan sekaligus meningkatkan kualitas hidup mereka. Dengan pemahaman seperti ini maka pemerintah perlu mengembangkan kebijakan yang secara langsung dapat meningkatkan pendanaan dalam negeri baik di tingkat nasional maupun tingkat daerah dan sekaligus mempertimbangkan efisiensi alokasi dan teknis pelaksanaan program penanggulangan HIV dan AIDS 4. STRATEGI IMPLEMENTASI Strategi yang harus dikembangkan dalam melaksanakan kebijakan yang memungkinkan pemerintah memenuhi kebutuhan dana untuk mendukung perluasan pelaksanaan SUFA di Indonesia adalah sebagai berikut: 1. Memperkuat regulasi matching fund (dana pendamping) dari pemerintah daerah yang menjadi area perluasan pelaksanaan SUFA. Strategi matching fund sudah dilakukan sebelumnya dalam penyediaan reagen dan obat-obatan seperti diatur dalam Surat Edaran Menteri Kesehatan (SE Menkes) No. 41 Tahun 2015 tentang Upaya Menjamin Ketersediaan Obat-obatan di Fasilitas Layanan Kesehatan Tingkat 4 Efiesiensi alokatif dan efisiensi teknis merupakan indikator untuk mengukur efisiensi sebuah anggaran. Efisiensi alokatif menunjuk pada seberapa jauh berbagai sumbersumber daya sebagai input dikombinasikan untuk memproduksi tujuan yang telah diharapkan. Sementara efisiensi teknis lebih berfokus pada pencapaian hasil yang maksimum dengan sumber daya yang minimum. Diskusi tentang konsep ekonomi kesehatan bisa dilihat pada WHO, (2003) Policy tools for allocative efficiency of health services http://apps.who.int/iris/handle/10665/42787#sthash.mv8bitiv.dpuf, Bruce Hollingsworth (2008), The measurement of efficiency and productivity of health care delivery, Health Economics vol. 7 Issue 10, pp. 1107 1128, October 2008 ; Linna M, Nordblad A, Koivu M, (2002) Technical and cost-efficiency of oral health Care provision in Finnish health centres, Social Science and Medicine 2002;56:343-353.

Pertama dan Surat Edaran Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (SE Dirjen P2PL) No. 823 Tahun 2014 tentang Alokasi Pembiayaan Logistik Program Pengendalian HIV dan AIDS. Pada kenyataannya strategi ini belum berjalan secara optimal di lapangan terbentur kapasitas anggaran provinsi dan kabupaten yang terbatas. Hal tersebut dipersulit dengan lemahnya regulasi dan penegakan hukum dalam pelaksanaan regulasi tersebut. Agar strategi ini dapat lebih efektif perlu ditambahkan atau diubah dengan regulasi pada tingkatan yang lebih tinggi dan disertai dengan penegakan hukum yang lebih konsisten dalam pelaksanaan regulasi tersebut. Strategi ini juga memungkinkan daerah untuk memahami situasi epidemik di wilayahnya dan memberikan ruang untuk melakukan perencanaan di tingkat daerah sementara perencanaan atas perawatan dan pengobatan sepenuhnya dikendalikan oleh pemerintah pusat. Pelaksanaan strategi ini juga perlu disertai dengan pengembangan kapasitas daerah untuk merencanakan, menganggarkan kebutuhan dana dan mengelola ketersediaan dana. Faktor eksternal penting yang harus dipertimbangkan untuk mendorong upaya peningkatan pandanaan SUFA adalah kapasitas fiskal dari sebuah daerah. Semakin tinggi kapasitas fiskal sebuah daerah maka diharapkan dapat mengalokasikan dana daerah untuk matching fund bagi SUFA yang lebih besar. 2. Pemerintah perlu mengintegrasikan pembiayaan perawatan dan pengobatan ARV ke dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Sejauh ini skema JKN telah mencakup perawatan HIV dan AIDS khususnya untuk perawatan Infeksi Oportunistik (IO), akan tetapi belum mencakup pembiayaan untuk diagnostik dan obat-obatan ARV. Advokasi terkait inklusi pembiayaan perawatan HIV dan AIDS secara komprehensif perlu dilakukan oleh Kemenkes kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Pengalihan pembiayaan dari Kemenkes ke BPJS ini akan memungkinkan Kemenkes untuk fokus pada upaya promosi dan pencegahan dalam layanan kesehatan dasar seperti telah diarahkan oleh RPJMN 2015-2019.

Perlu juga diperhatikan bahwa pengalihan pembiayaan perawatan dan pengobatan ini tidak boleh membatasi akses ODHA untuk memperoleh layanan kesehatan karena sebagian dari mereka merupakan kelompok masyarakat marjinal. Kemungkinan munculnya berbagai hambatan struktural/administratif perlu diantisipasi sebelumnya sehingga tidak menghilangkan hak ODHA sebagai warga negara untuk memperoleh pelayanan kesehatan. Perlu dipahami bahwa pembiayaan dari skema JKN dapat dialokasikan untuk pembiayaan preventif seperti untuk menjangkau populasi yang lebih luas atau kelompok resiko tinggi, dan penjangkauan lainnya. Pembiayaan preventif tersebut hendaknya dapat dialokasikan dari APBN, APBD atau Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) dari Kemenkes. 3. Secara teknis telah disebutkan sebelumnya bahwa agar akselerasi SUFA lebih efektif tidak dapat hanya dilaksanakan melalui penyediaan obatobatan ARV semata melainkan juga harus melibatkan perbaikan rangkaian intervensinya, terutama pada tahap sebelum dan sesudah seseorang memperoleh perawatan ARV. Demikian pula implementasi SUFA dikhawatirkan dapat mengecilkan arti upaya pencegahan konvensional. Perlu dipahami bahwa sifat dari upaya pencegahan yang konvensional melalui treatment as prevention (pengobatan sebagai pencegahan) yang ditawarkan oleh SUFA berbeda sasarannya dengan upaya pencegahan konvensional. Keberhasilan upaya pencegahan konvensional akan mampu mewujudkan visi zero infection (tidak ada penularan) HIV dan AIDS dan sekaligus dapat mendongkrak keberhasilan perawatan dan pengobatan. Berbagai upaya pencegahan dan mitigasi dampak perlu memperoleh pendanaan yang memadai jika pelaksanaan SUFA efektif dalam mengurangi kematian dan meningkatkan kualitas hidup ODHA. Secara khusus, berbagai intervensi yang perlu disertakan dalam skema pendanaan pelaksanaan SUFA adalah:

Keberhasilan SUFA akan tergantung pada kapasitas dalam melakukan tes di antara orang-orang yang memiliki risiko terpapar HIV, khususnya mereka yang tidak menyadari bahwa telah terjadi penularan. Tidak terdiagnosa atau keterlambatan untuk mengetahui status HIV telah didokumentasikan secara luas dan terbukti memberikan dampak negatif dalam penularan HIV. Untuk melakukan mobilisasi tes HIV memerlukan upaya yang lebih besar dari penyedia layanan dalam melakukan penjangkauan dan promosi tes HIV ini ke berbagai kalangan. Hal ini menjadi salah satu kendala bagi puskesmas untuk melaksanakan SUFA. Mereka cenderung hanya menunggu kedatangan pasien untuk melakukan tes HIV. Dengan demikian, upaya untuk membangun kerja sama dengan lembaga yang bekerja di lapangan dan memperluas tes HIV melalui layanan bergerak perlu menjadi prioritas. Salah satu situasi nyata yang tercipta dari intervensi yang dilakukan selama ini menunjukkan masih adanya keterlambatan bagi ODHA yang telah mengetahui statusnya untuk memperoleh perawatan. Angka ini misalnya dapat dilihat dari sebuah layanan komunitas pengguna napza suntik (penasun) di Jakarta yang telah melakukan tes HIV bagi hampir 900 penasun selama tahun 2013-2014 dan hasil tes menunjukkan sekitar 53% dari mereka yang mengikuti tes diketahui terkena HIV positif. Kurang dari 10 orang yang diketahui statusnya memperoleh perawatan ARV 5 hingga akhir 2014. Contoh ini menunjukkan bahwa membangun keterkaitan antara pencegahan dan perawatan (linkage to care) masih diperlukan agar SUFA bisa berjalan optimal. Tantangan teknis lain yang muncul adalah terkait pengembangan strategi untuk mencegah terjadinya loss to follow up (LFU) yang saat ini masih berkisar 20%. Ini menunjukkan bahwa pelaksanaan SUFA perlu memahami peran dari para pendamping ODHA yang selama ini ada untuk memastikan kepatuhan terhadap pengobatan dan perawatan. Tetapi pada sisi lain, perlu juga diperhatikan bahwa ada 5 Laporan Tahunan Kios Atma Jaya, 2014

kecenderungan ODHA tidak mandiri dalam mengakses layanan perawatan dan pengobatan karena ketergantungan mereka pada pendampingnya. Keberhasilan SUFA pada dasarnya akan tergantung pada seberapa jauh HIV di dalam tubuh pasien bisa ditekan (viral suppression) sehingga diperlukan juga peralatan untuk memonitor dan menentukan viral load dari pasien secara reguler. DAFTAR PUSTAKA Bruce Hollingsworth (2008), the measurement of efficiency and productivity of health care delivery, Health Economics Volume 17, Issue 10, pages 1107 1128, October 2008. Linna M, Nordblad A, Koivu M, (2002) Technical and cost-efficiency of oral health care provision in Finnish health centres, Social Science and Medicine 2002; 56; 343-353. http://www.depkes.go.id/article/view/201408140001/sufa-inovasi-baru-dalam-upayapengendalian-hiv-aids-di-indonesia.html#sthash.0pchz06v.dpuf http://www.depkes.go.id/article/view/1851/pengendalian-hiv-aids-diindonesia.html#sthash.btnhmor5.dpuf Kios Atma Jaya (2014), Laporan Tahunan. WHO (2012), The strategic use of antiretrovirals to help end the HIV epidemic. WHO (2003), Policy tools for allocative efficiency of health services http://apps.who.int/iris/handle/10665/42787#sthash.mv8bitiv.dpuf