BAB III BATAS DAERAH DAN NEGARA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II PENENTUAN BATAS LAUT DAERAH

BAB II TINJAUAN UMUM PENENTUAN BATAS DAERAH

BAB 2 DASAR TEORI 2.1 Pembagian Wilayah Laut

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Sejarah Perundingan Batas Maritim Indonesia Singapura

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2002 TENTANG DAFTAR KOORDINAT GEOGRAFIS TITIK-TITIK GARIS PANGKAL KEPULAUAN INDONESIA

BAB II DASAR TEORI. Dalam UNCLOS 1982 disebutkan adanya 6 (enam) wilayah laut yang diakui dan ditentukan dari suatu garis pangkal yaitu :

ASPEK TEKNIS PEMBATASAN WILAYAH LAUT DALAM UNDANG UNDANG NO. 22 TAHUN 1999

MENGGAMBAR BATAS DESA PADA PETA

ASPEK-ASPEK GEODETIK DALAM HUKUM LAUT

Bab IV ANALISIS. 4.1 Hasil Revisi Analisis hasil revisi Permendagri no 1 tahun 2006 terdiri dari 2 pasal, sebagai berikut:

URGENSI PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS LAUT DALAM MENGHADAPI OTONOMI DAERAH DAN GLOBALISASI. Oleh: Nanin Trianawati Sugito*)

Bab III KAJIAN TEKNIS

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARA ENIM NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PENEGASAN BATAS DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI,

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PENEGASAN BATAS DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI,

BAB V ANALISIS IMPLIKASI DEFORMASI CO-SEISMIC TERHADAP BATAS DAERAH DAN NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB III PERANCANGAN PETA BATAS LAUT TERITORIAL INDONESIA

Bab II TEORI DASAR. Suatu batas daerah dikatakan jelas dan tegas jika memenuhi kriteria sebagai berikut:

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERUYAN NOMOR 24 TAHUN 2006 TENTANG PENETAPAN BATAS DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERUYAN,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PEDOMAN PENEGASAN BATAS DAERAH

BAB IV ANALISIS. 4.1 Analisis terhadap Seleksi Unsur Pemetaan Laut Teritorial Indonesia

BAB III REALISASI DELINEASI BATAS LAUT

BAB II DASAR TEORI PENETAPAN BATAS LAUT DAERAH

BAB III TAHAPAN KEGIATAN PENETAPAN BATAS LAUT DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

PERANAN STRATEGIS PETADALAM PENETAPAN BATAS WILAYAH DESA

BAB III PENENTUAN GARIS BATAS MARITIM INDONESIA SINGAPURA PADA SEGMEN TIMUR MENGGUNAKAN PRINSIP EKUIDISTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 1998 TENTANG

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 141 TAHUN 2017 TENTANG PENEGASAN BATAS DAERAH

Mengapa proyeksi di Indonesia menggunakan WGS 84?

BAB IV ANALISIS. 4.1 Analisis Terhadap Penentuan Datum, Titik Dasar dan Garis Pangkal

BAB I PENDAHULUAN. Gambar I.1. Grafik One Earthquake cycle fase interseismic postseismic[andreas, 2005]

BAB I PENDAHULUAN BAB I. PENDAHULUAN

Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 44 Tahun 2012 TENTANG PEDOMAN PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA DI JAWA BARAT

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Studi Penentuan Batas Maritim Antara Dua Negara Berdasarkan Undang Undang yang Berlaku di Dua Negara yang Bersangkutan (Studi Kasus : NKRI dan RDTL)

BAB III PENETAPAN BATAS ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA - FILIPINA DI LAUT SULAWESI. Tabel 3.1 Tahapan Penetapan Batas Laut

PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Abstrak. Ria Widiastuty 1, Khomsin 1, Teguh Fayakun 2, Eko Artanto 2 1 Program Studi Teknik Geomatika, FTSP, ITS-Sukolilo, Surabaya, 60111

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang

BAB IV ANALISIS IMPLEMENTASI DAN DATA CHECKING

Pendekatan Aspek Hukum, Geomorfologi, dan Teknik Dalam Penentuan Batas Wilayah Laut Daerah

2 rencana tata ruang itu digunakan sebagai media penggambaran Peta Tematik. Peta Tematik menjadi bahan analisis dan proses síntesis penuangan rencana

BAB II LANDASAN TEORITIK

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III TAHAPAN PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS KEWENANGAN WILAYAH LAUT DAERAH

BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR: 9 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA

PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS WILAYAH DESA KAUMAN KECAMATAN KARANGREJO PROPINSI JAWA TIMUR

BAB II DASAR TEORI 2.1 Pengertian Batas Darat

Home : tedyagungc.wordpress.com

BAB 3 PROSES REALISASI PENETAPAN BATAS LAUT (ZONA EKONOMI EKSKLUSIF) INDONESIA DAN PALAU DI SAMUDERA PASIFIK

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Geodesi dan Keterkaitannya dengan Geospasial

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2002 TENTANG DAFTAR KOORDINAT GEOGRAFIS TITIK-TITIK GARIS PANGKAL KEPULAUAN INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2000 TENTANG TINGKAT KETELITIAN PETA UNTUK PENATAAN RUANG WILAYAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 6

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA SELATAN NOMOR 46 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

xvii MARITIM-YL DAFTAR ISI

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Kartografi Kelautan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

2016, No Indonesia Nomor 2514); 3. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tamba

BAB III IMPLEMENTASI PENENTUAN BATAS LAUT KABUPATEN SELAYAR

BEBERAPA PEMIKIRAN TENTANG SISTEM DAN KERANGKA REFERENSI KOORDINAT UNTUK DKI JAKARTA. Hasanuddin Z. Abidin

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

Gambar 2. Zona Batas Maritim [AUSLIG, 2004]

SPESIFIKASI PEKERJAAN SURVEI HIDROGRAFI Jurusan Survei dan Pemetaan UNIVERSITAS INDO GLOBAL MANDIRI

BAB III PROSES GENERALISASI GARIS PANTAI DALAM PETA KEWENANGAN DAERAH DI WILAYAH LAUT MENGGUNAKAN ALGORITMA DOUGLAS-PEUCKER

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN I.1.

Sistem Proyeksi Peta. Arif Basofi PENS 2012

PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN. Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si www. Khodijahismail.com

BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG

BAB II DASAR TEORI II.1 Kewenangan Daerah di Wilayah Laut

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2000 TENTANG TINGKAT KETELITIAN PETA UNTUK PENATAAN RUANG WILAYAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KLASIFIKASI PENGUKURAN DAN UNSUR PETA

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

PEMERINTAH KABUPATEN EMPAT LAWANG

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN. Oleh : Ida Kurnia*

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2000 TENTANG TINGKAT KETELITIAN PETA UNTUK PENATAAN RUANG WILAYAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DAERAH KOTA BANJAR NOMOR 30 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN, PEMEKARAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 27 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS DESA DI KABUPATEN PURBALINGGA

BAB III TINJAUAN UMUM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN MENGENAI BATAS WILAYAH DESA

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN PEMODELAN DEFORMASI CO-SEISMIC

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

Hukum Laut Indonesia

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

Datum Geodetik & Sistem Koordinat Maju terus

ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut

Transkripsi:

BAB III BATAS DAERAH DAN NEGARA III.1. Tujuan Penentuan Batas Wilayah negara baik itu darat maupun laut serta ruang diatasnya merupakan salah satu unsur utama dari suatu negara. Tujuan kegiatan penentuan batas wilayah darat ini adalah untuk mengetahui sejauh mana batas spasial suatu status hukum, langkah ini guna mengantisipasi terjadinya permasalahan batas, sehingga mewujudkan batas daerah yang jelas dan pasti, baik itu dari aspek yuridis maupun aspek teknis. Pekerjaan penentuan batas mencakup: 1. penetapan batas menurut aspek yuridis. 2. pengukuran koordinat batas di lapangan. 3. pemetaan kawasan perbatasan di atas peta ataupun di atas basis data digital. III.2. Aspek Penentuan Batas. Batas wilayah yang dianggap paling mudah ditentukan secara alami adalah adanya air misalnya garis tengah sungai dan batas teritorial 12 mil laut dari pantai. Namun sungai atau pantai ini ternyata mengalami dinamika. Pantai atau tepi sungai bisa bergeser karena pasang surut, sedimentasi, erosi bahkan deformasi karena gempa. Selain air, yang juga sering dijadikan batas alam adalah patahan bukit, di mana air hujan akan mengalir ke dua arah yang berbeda. Definisi ini menguntungkan karena dengan demikian air tidak harus mengalir dari satu wilayah ke wilayah lain selain pada sungai. Selain batas alam, batas buatan dibuat dengan suatu perjanjian. Batas ini bisa berupa jalan raya yang secara fisis kelihatan, atau bisa pula batas maya yang hanya didefinisikan secara verbal, misalnya dalam bentuk undang-undang, peraturan daerah, perjanjian historis atau juga sertifikat tanah. Baik batas fisik maupun maya ternyata memiliki dinamika., jika tidak mencantumkan koordinat dan datum geodetiknya, masih akan memiliki potensi sengketa, terutama bila apa yang dideskripsikan secara verbal sudah sulit dijumpai di lapangan. Patok yang hilang tidak berkoordinat, maka sangat sulit 17

untuk direkonstruksi. Satu-satunya bentuk batas dengan perjanjian yang mudah direkonstruksi adalah batas dengan angka-angka lintang atau bujur ataupun elevasi tertentu dan datum yang diakui bersama. III.3. Penentuan Batas Daerah Penentuan batas daerah meliputi dua bagian, yaitu di darat dan di laut. III.3.1 Penentuan Batas Daerah Di Darat Kegiatan penentuan batas di darat terdiri dari dua tahap, yaitu tahap penetapan batas dan tahap penegasan batas. III.3.1.1. Tahap Penetapan Batas Daerah Di Darat Penetapan batas wilayah di darat adalah proses penetapan batas daerah secara kartometrik diatas suatu peta dasar yang disepakati. Proses penetapan ini terdiri atas tiga tahapan kegiatan, yaitu: 1. Penelitian dokumen batas Dokumen batas yang perlu diteliti adalah ketentuan peraturan perundang-undangan tentang pembentukan daerah yang bersangkutan serta data dan dokumen lainnya yang dianggap perlu. Selain itu perlu dipersiapkan juga antara lain: a. peta rupabumi (topografi) kawasan perbatasan, b. peta perbatasan wilayah yang telah ada, c. peta batas wilayah di darat yang ada, d. dokumen sejarah, 2. Penentuan peta dasar Peta dasar yang digunakan untuk menggambarkan batas wilayah di darat secara kartometrik adalah peta rupabumi atau peta topografi dengan spesifikasi: a. Ketentuan skala 1:500.000 (untuk propinsi), 1:100.000 (untuk kabupaten) dan 1:50.000 (untuk kota), b. Datum yang digunakan adalah DGN 95 (WGS 1984), c. Sistem proyeksi peta yang digunakan adalah TM (Traverse Mercator), 18

d. Sistem grid yang digunakan adalah UTM (Universal Traverse Mercator), dengan grid geografis dan metrik, 3. Pembuatan peta batas wilayah kartometrik Peta batas wilayah kartometrik dibuat sesuai spesifikasi teknis yang ditentukan. Peta batas wilayah ini kemudian akan digunakan dalam tahap penegasan batas wilayah darat. III.3.1.2. Tahap Penegasan Batas Daerah Di Darat Tahapan kegiatan penetapan dan penegasan batas wilayah di darat meliputi : 1. Tahap penelitian dokumen batas Pada tahap ini dilakukan inventarisasi dasar hukum tertulis maupun dasar hukum lainnya yang berkaitan dengan batas wilayah. Dasar hukum penegasan batas wilayah di darat antara lain adalah : staatsblad, nota residen, undang-undang pembentukan daerah, atau kesepakatan-kesepakatan yang pernah ada termasuk peta-peta kesepakatan mengenai batas wilayah, peta minuteplan, peta topografi, peta rupabumi, atau peta-peta lain yang memuat tentang batas daerah yang bersangkutan dan kesepakatan antara dua daerah yang berbatasan yang dituangkan dalam dokumen kesepakatan penentuan batas wilayah. Jika tidak ada sumber hukum yang disepakati, maka kedua tim bermusyawarah untuk membuat kesepakatan baru dalam menentukan batas wilayah. Tetapi sebelum membuat kesepakatan kedua tim harus melakukan penelitian/pengkajian terhadap dokumen/data batas wilayah tersebut untuk: a. Menentukan dokumen/data yang akan dijadikan dasar dalam melakukan pelacakan di lapangan, b. Menentukan titik-titik batas yang disepakati, c. Pembuatan peta kerja pelacakan dan penegasan batas wilayah, d. Menentukan metode pelacakan, pemasangan pilar batas, pengukuran dan penentuan posisi pilar batas dan pembuatan peta batas wilayah. 19

2. Tahap pelacakan batas Kegiatan penentuan garis batas sementara adalah untuk menentukan garis batas sementara diatas peta yang sudah disepakati sebagai dasar hukum batas wilayah. Pelacakan di lapangan adalah kegiatan untuk menentukan letak batas wilayah secara nyata di lokasi sepanjang batas wilayah berdasarkan garis batas sementara pada peta atau berdasarkan kesepatakan sebelumnya. Kegiatan ini merupakan tahap untuk mendapatkan kesepakatan letak garis batas di lapangan, dengan atau tanpa sumber hukum tertulis mengenai batas tersebut. Kegiatannya dimulai dari titik awal yang diketahui kemudian menyusuri garis batas sampai dengan titik akhir sesuai dengan peta kerja. Berdasarkan kesepakatan, pada titik-titik tertentu atau pada jarak tertentu di lapangan dapat dipasang tanda atau patok kayu sementara sebagai tanda posisi untuk memudahkan pemasangan pilar-pilar batas. Penentuan garis batas sementara didasarkan pada : a. Tanda/simbol batas-batas yang tertera di peta, baik batas administratif maupun batas kenampakan detail lain di peta, b. Koordinat titik batas yang tercantum dalam dokumen-dokumen batas daerah, c. Nama geografis dari obyek-obyek geografis sepanjang garis batas, baik itu obyek alam, obyek buatan manusia, maupun obyek administratif, d. Jika tidak ada tanda-tanda batas yang tertera sebelumnya, maka penentuan garis sementara diatas peta ini dilakukan melalui kesepakatan bersama, 3. Tahap pemasangan pilar batas wilayah Pembuatan dan pemasangan pilar batas wilayah ditujukan untuk memperoleh kejelasan dan ketegasan batas antar wilayah di darat sesuai dengan kesepakatan yang telah ditetapkan sebelumnya. Jenis-jenis pilar batas adalah: a. Pilar Batas Utama (PBU) yaitu pilar batas yang dipasang di titik-titik tertentu terutama di titik awal, titik akhir garis batas, dan atau pada jarak tertentu di sepanjang garis batas wilayah. b. Pilar Batas Antara (PBA) adalah pilar batas yang dipasang diantara pilar-pilar batas utama dengan tujuan untuk menambah kejelasan garis batas antara dua 20

wilayah, atau pada titik-titik tertentu yang dipertimbangkan perlu untuk dipasang pilar batas utama. c. Pilar Acuan Batas (PAB) adalah pilar yang dipasang di sekitar batas wilayah dengan tujuan sebagai petunjuk keberadaan batas wilayah. Pilar acuan dipasang sehubungan pada batas yang dimaksud tidak dapat dipasang pilar batas utama karena kondisinya yang tidak memungkinkan (seperti pada kasus sungai atau jalan raya sebagai batas) atau keadaan tanah yang labil. Letak PBA dan PBU dapat dilihat pada gambar III.1 Gambar III.1 Contoh kedudukan PBU dan PBA (buku pedoman penetapan dan penegasan batas daerah) Pemasangan pilar batas harus memenuhi kriteria sebagai berikut : a. Pada kondisi tanah yang stabil, terhindar dari erosi dan abrasi. b. Mudah ditemukan dan mudah dijangkau. c. Aman dari gangguan aktivitas manusia maupun binatang. d. Punya ruang pandang ke langit yang relatif luas (untuk pilar batas yang akan diukur dengan metode GPS). 4. Tahap penentuan posisi pilar batas dan pengukuran garis batas Penentuan posisi pilar batas diukur sesegera mungkin setelah tahap pemasangan pilar batas selesai dlaksanakan. Standar ketelitian untuk koordinat pilar batas (satu simpangan baku) adalah (berdasarkan pedoman penetapan dan penegasan batas daerah): Untuk PBU dan PABU (Pilar Acuan Batas Utama) = ± 15 cm Untuk PBA dan PABA (Pilar Acuan Batas Antara) = ± 25 cm 21

Pengukuran garis batas hanya dilaksanakan kalau dianggap perlu, dan dilaksanakan terhadap segmen garis batas yang dianggap penting dan ditetapkan secara bersama oleh wilayah-wilayah yang berbatasan. Pengukuran garis batas dimaksudkan untuk menentukan koordinat horizontal dan vertikal titik-titik batas yang berbentuk patokpatok pada jarak tertentu sehingga dapat digambarkan bentuk garis batas sepanjang batas wilayah. 5. Tahap pembuatan peta batas wilayah Peta batas wilayah dapat dibuat berdasarkan penurunan/kompilasi dari peta-peta yang sudah ada, pemetaan terestris, atau pemetaan fotogrametris. Selain berdasarkan batas wilayah, jenis peta batas dapat dibuat berdasarkan prosedur pembuatannya, yaitu : a. Peta hasil penetapan batas b. Peta batas hasil penetapan batas adalah peta yang dibuat secara kartometrik dari peta dasar yang telah ada dengan tidak melakukan pengukuran di lapangan. c. Peta hasil penegasan batas d. Peta batas hasil pengukuran adalah peta yang dibuat dengan peta dasar yang ada ditambah dengan data yang diperoleh dari hasil pengukuran di lapangan. e. Peta hasil verifikasi f. Peta batas hasil verifikasi adalah peta batas yang telah dibuat oleh daerah dan hasilnya dilakukan verifikasi oleh tim PPBD pusat sebelum ditandatangani oleh menteri dalam negeri. Proses pembuatan peta batas wilayah dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain penurunan/kompilasi dari peta-peta yang sudah ada dan pemetaan terestris. III.3.2. Penentuan Batas Daerah Di laut Undang-undang no.22 tahunm 1999 tentang pemerintah daerah, pasal 3 dan pasal 10, ayat 3 harus diartikan bahwa kewenangan provinsi di wilayah laut adalah selebar 12 millaut diukur dari garis pantai ke arah laut terbuka (kearah laut teritorial) dan kearah laut kepulauan (perairan nusantara). Tentu banyak yang bertanya garis pantai mana yang dimaksud, karena garis pantai itu bervariasi mengikuti variasi antarapasang surut (pasut) tinggi dan pasut rendah, dan 22

berubah setiap hari. Dalam UNCLOS 1982 maupun dalam UU no.6 tahun 1996, dipakai garis air rendah atau surut, low water line, untuk menentukan lebar laut teritorial. Oleh karena itu dalam penentuan lebar laut kewenangan daerah juga dipakai garis air rendah yang ditentukan pada saat pengukuran dilapangan. (Jacub Rais, 2003). Kegiatan penentuan batas di laut seperti halnya batas di darat terdiri dari dua tahap, yaitu tahap penetapan batas dan tahap penegasan batas. Penetapan batas wilayah di laut adalah proses penetapan batas daerah secara kartometrik diatas suatu peta dasar yang disepakati. Dalam setiap tahap kegiatan penegasan batas daerah di lapangan harus melibatkan tim PPBD daerah yang saling berbatasan. Tim teknis melakukan survey di lapangan menggunakan acuan peta batas kartometrik yang dimiliki, langkah pelacakan dimulai dilapangan. Pelacakan batas dimaksud pada tahap ini adalah kegiatan secara fisik di lapangan untuk meyakinkan apabila titik acuan yang ada pada peta kartometrik dapat dibuatkan titik referensinya. Sebagai hasil kegiatan pelacakan ini dapat ditandai dengan dipasangnya titik acuan atau pilar sementara ynag belum ditentukan titik koordinatnya. Idealnya setiap titik awal dilengkapi dengan satu titik acuan. Maka pembuatan pilar titik acuan diutamakan pada: a) daerah dengan pantai saling berhadapan dengan jarak kurang dari 2x12 mil laut b) pulau terluar dari satu daerah c) Daerah yang saling berbatasan dengan negara lain atau laut lepas d) Daerah yang pantainya sangat dinamis e) Daerah yang disekitar pantainya terdapat sumber daya alam yang potensial III.4. Penentuan Batas Negara di Laut Dalam pembahasan penentuan batas negara, akan dititik beratkan pada penentuan batas negara di laut, karena daerah studi kasus penyusunan tugas akhir ini (Nanggro Aceh Darussalam) hanya memiliki batas dengan negara tetangga di laut saja. III.4.1. Aspek Hukum Latar belakang dari penentuan batas negara di laut berawal dari klaim bangsa Indonesia dengan mengeluarkan Deklarasi Djuanda (13 Desember 1957) dan UU 23

No.6/1996 (Pengganti Perpu No.4/1960). Pada deklarasi ini Negara Indonesia mengklaim dirinya sebagai negara kepulauan. Dengan kedua produk hukum ini, maka ordonasi laut teritorial yang sebelumnya berlaku di Indonesia, tidak berlaku. Dalam Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim 1939, laut teritorial membentang ke arah laut hanya sampai jarak tiga mil laut dari garis surut pulau-pulau atau bagian-bagian pulau dan daerah laut yang terletak pada sisi laut daerah laut dalam batas bandar yang ditetapkan. Sedangkan dalam Deklarasi Djuanda 1957, batas laut teritorial ditentukan sejauh 12 mil laut dari garis yang menghubungkan titik-titik ujung terluar pulau-pulau dan dalam PP Pengganti UU/Perpu No. 4 Tahun 1960 perairan Indonesia terdiri dari laut teritorial (lajur laut selebar 12 mil laut yang garis luarnya diukur tegak lurus terhadap garis dasar atau titik pada garis dasar yang terdiri dari garis-garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis air rendah pulau-pulau atau bagian pulau-pulau terluar) dan perairan pedalaman (semua perairan yang terletak pada sisi dalam dari garis dasar) Dengan adanya Konvensi PBB tentang Hukum Laut III (10 Desember 1982) yang berlaku efektif sejak 16 November 1994, dimana Konvensi internasional ini untuk mengatur masalah kelautan. Karena Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut dengan UU No.17/1985, sehingga status Indonesia sebagai Negara Kepulauan diakui secara internasional, namun dengan begitu Indonesia harus melaksanakan kewajiban yang berkaitan dengan wilayah kepulauan. Dan pada prakteknya UNCLOS 1982 dijadikan landasan hukum dalam melakukan kegiatan survei dan penetapan batas negara di wilayah perairan. Selain di atas landasan Hukum Laut Nasional lainya adalah: UU No.6/1996 tentang Perairan Indonesia UU No.1/1973 tentang Landas Kontinen Indonesia UU No.5/1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia UU No.17/1985 tentang Pengesahan Konvensi Hukum Laut PBB tahun 1982 Lampiran peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 38 Tahun 2002 tanggal 28 JUNI 2002 daftar koordinat geografis titik-titik garis pangkal kepulauan Indonesia (yang digunakan dalam tugas akhir ini) 24

Dan landasan hukum internasionalnya adalah: Konvensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1982 : Pasal 5 : Garis Pangkal Normal Pasal 6 : Karang Pasal 7 : Garis Pangkal Lurus Pasal 9 : Mulut Sungai Pasal 10 : Teluk Pasal 13 : Elevasi Surut Pasal 14 : Kombinasi Cara Penetapan Garis Pangkal Pasal 47 : Garis Pangkal Kepulauan Selain itu terdapat pula batas-batas yang didapat dari hasil perjanjian dengan negara tetangga, misalnya pada tugas akhir ini digunakan koordinat titik-titik batas dari perjanjian: Persetujuan antara Thailand Indonesia India mengenai titik Trijunction dan batas ke tiga negara di sekitar laut Andaman, tanggal 22 Juni tahun 1978. Persetujuan antara pemerintah Kerajaan Thailand, Pemerintah Republik India, dan Pemerintah Republik Indonesia mengenai penentuan Titik Trijunction dan deliminasi batas yang berhubungan dari ketiga negara dilaut Andaman III.4.2. Aspek Teknis Dalam penetapan batas suatu negara dengan negara lain di laut, aspek Geodesi adalah aspek yang menjadi pertimbangan utama. Aspek-aspek tersebut antara lain: titik pangkal, garis pangkal, garis air rendah, dan datum geodetik. III.4.2.1. Titik Pangkal Titik pangkal merupakan titik-titik yang memiliki koordinat geografis yang dapat digunaklan untuk membentuk garis pangkal dalam penentuan batas suatu negara. Dalam UNCLOS 1982 disebutkan bahwa garis pangkal harus ditunjukan pada peta, oleh karena itu titik pangkal yang membentuknya harus memiliki sistim koordinat yang sesuai sertatinkat ketelitian yang handal. Namun tingkat ketelitiannya tidak dicantumkan dalam 25

UNCLOS 1982, sehingga ketelitianya adalah ketelitian maksimal yang memungkinkan dicapai. III.4.2.2. Garis Pangkal Garis pangkal merupakan acuan awal untuk menentukan batas zona maritim suatu negara pantai. Pengertian garis pangkal itu sendiri menurut UNCLOS 1982, adalah kedudukan garis air rendah sepanjang pantai yang ditunjukan pada peta sekala besar resmi dari suatu negara pantai. Ada beberapa macam garis pangkal, antara lain: a) Garis Pangkal Normal (Normal Baseline) b) Garis Pangkal Lurus (Straight Baseline) c) Garis Penutup (Closing Line) d) Garis Pangkal Kepulauan (Archipelagic Baseline) Berikut ini akan diberikan penjelasan mengenai masing-masing garis pangkal tersebut. a) Garis Pangkal Normal (Normal Baseline) Menurut UNCLOS 1982, garis pangkal normal didefinisikan sebagai garis air rendah sepanjang tepian daratan dan sekeliling pulau, atol dan batas instalasi pada pelabuhan permanen yang ditandai dengan simbol yang sesuai pada peta laut skala besar, ilustrasi garis pangkal normal dapat dilihat pada gambar III.2 Laut sepanjang Pantai = Garis Pangkal Normal Pantai Garis Pantai ( Tinggi) Gambar III.2. Garis Pangkal Normal (Normal Baseline) (Djunarsjah, 2000) 26

b) Garis Pangkal Lurus (Straight Baseline) Menurut UNCLOS 1982, garis pangkal lurus didefinisikan sebagai suatu sistem yang terdiri dari garis-garis lurus yang menghubungkan titik tertentu pada garis air rendah yang merupakan titik terluar. Penarikan terhadap garis pangkal lurus dapat ditentukan bila telah dilakukan survei terhadap kedinamikan pantai. Ilustrasi garis pangkal lurus dapat dilihat pada gambar III.3 Terluar Tidak Boleh Negara AA ` Elevasi Surut Kepentingan Ekonomi < 12 mil laut Tidak Boleh Negara B Gambar III.3. Garis Pangkal lurus (Straight Baseline) (Djunarsjah, 2000) c) Garis Penutup (Closing Line) Secara umum merupakan garis pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik pada muara sungai, teluk, instalasi pelabuhan dan lain-lain yang panjangnya tidak lebih dari 24 mil laut. Terdapat 3 macam garis penutup, yaitu: garis penutup sungai, garis penutup teluk dan garis penutup pelabuhan. Ilustrasi garis penutup dapat dilihat pada gambar III.4 27

Laut Garis Lurus Garis Penutup Laut Sungai Laut Garis Penutup Teluk Pelabuhan Gambar III.4 Garis Penutup (Closing Line) (Djunarsjah, 2000) Garis penutup sungai dapat digunakan jika terdapat sungai yang mengalir langsung ke laut, maka garis pangkalnya yang ditarik adalah suatugaris lurus yang menghubungkan titik-titik pada garis air rendah kedua tepi sungai yang melintasi mulut sungai atau muara. Sedangkan mengenai garis penutup teluk, teluk itu sendiri didefinisikan sebagai suatu lekukan pantai, dimana luasnya sama atau lebih besar dari lauas setengah lingkaran yang mempunyai garis tengah yang melintasi mulut lekukan tersebut. d) Garis Pangkal Kepulauan (Archipelagic Baseline) Garis Pangkal Kepulauan (Archipelagic Baseline) didefinisikan sebagai garis pangkal lurus yang menghubungkan titik-tititk terluar dari pulau-pulau atau karang-karang terluar yang digunakan untuk menutup seluruh atau sebagaian dari negara kepulauan. Ilustrasi garis pangkal kepulauan dapat dilihat pada gambar III.5 28

Mercusuar Pulau Elevasi Surut Luas Perairan : Luas Daratan antara 1 : 1 dan 9 : 1 Garis Pangkal Kepulauan Pula u Pulau =< 100 M atau 125 M (3 % dari Total) Gambar III.5 Garis Pangkal Kepulauan (Archipelagic Baseline) (Djunarsjah, 2000) IV.4.2.3. Garis air rendah merupakan garis yang menandakan pertemuan permukaan air pada saatv air rendah dengan daratan. Tentu banyak yang bertanya garis mana yang dimaksud, karena garis pantai itu bervariasi mengikuti variasi antarapasang surut (pasut) tinggi dan pasut rendah, dan berubah setiap hari. Dalam UNCLOS 1982 maupun dalam UU no.6 tahun 1996, dipakai garis air rendah atau surut, low water line, untuk menentukan lebar laut teritorial. Oleh karena itu dalam penentuan lebar laut kewenangan juga dipakai garis air rendah yang ditentukan pada saat pengukuran dilapangan. (Jacub Rais, 2003). Secara praktis bidang pertemuan tersebut diwakili oleh muka surutan peta atau chart datum. PANTAI MUKA AIR TINGGI MSL MSL θ MUKA AIR RENDAH GARIS AIR RENDAH TITIK PANGKAL ACUAN PENARIKAN BATAS LAUT DASAR LAUT Gambar III.6 Garis air rendah, serta kedudukannya dengan garis air tinggi dan MSL 29

IV.4.2.4. Datum Geodetik Datum geodetik adalah sejumlah parameter yang digunakan untuk mendefinisikan bentuk dan ukuran ellipsoid referensi yang digunakan untuk pendefinisian koordinat geodetik, serta kedudukan dan orientasinya dalam ruang terhadap tubuh Bumi. Definisi lain dari datum geodetik adalah besaran-besaran yang menggambarkan kedudukan dan orientasi spasial elipsoid referensi terhadap bumi atau geoid (Purworahardjo,1986). Elipsoid referensi yag digunakan sebagai datum geodetik dapat diwakili oleh: Parameter elipsoid (setengah sumbu panjang dan penggepengan) Koordinat titik datum, termasuk defleksi vertikal Undulasi deoid yang biasanya bernilai nol Azimuth geodetik (untuk penentuan orientasi jaring survei) Penetapan batas laut antara dua negara, akan mengalami kesulitan apabila masing-masing negara yang berbatasan tersebut menggunakan datum lokal yang berbeda-beda. Kesulitan ini terjadi karena posisi garis pantai dari masing-masing negara harus dibandingkan dalam rangka penentuan titik pangkal. Untuk mengantisipasi itu, maka IHO menyarankan penggunaan datum bersama sebagai referensi dalam penentuan batas tersebut. Penggunaan datum bersama bisa dilakukan dengan transformasi antar datum, dari datum lokal ke datum bersama atau dengan memakai datum salah satu negara yang berbatasan. IV.4.2.5. Proyeksi Peta Sistem proyeksi peta adalah suatu persamaan tertentu untuk memindahkan unsurunsur pada permukaan yang melengkung ke bidang datar untuk dapat menyajikan unsurunsur dipermukaan bumi (bentuk ellipsoid) ke bidang datar dilakukan suatu transformasi dengan menggunakan rumus matematika tertentu, cara ini disebut proyeksi peta. Dalam kaitannya dengan penetrapan garis pangkal dan batas-batas di wilayah perairan, tidak ada ketentuan UNCLOS 1982 yang mengharuskan untuk menggunakan sistim proyeksi tertentu. Pada dasarnya tidak ada sistem proyeksi yang tidak 30

menimbulkan kesalahan atau distorsi, akan tetapi kita akan meminimalkan pengaruh tersebut dengan memperhatikan berbagai faktor dalam pemilihan sisitem proyeksi. Beberapa faktor yang menjadi pertimbangan dalam pemilihan sistem proyeksi diantaranya adalah tingkat ketelitian yang ingin dicapai, lokasi geografis,bentuk dan luas wilayah yang akan dipetakan setra ciri-ciri yang akan dipertahankan. Untuk keperluan pembuatan peta batas laut sebaiknya dipilih sistim proyeksi konform, dimana arah dapat dipertahankan, sehingga sudut dapat dipertahankan pula dengan baik terutama untuk keperluan pelayaran. Sistim proyeksi konform yang dapat dipilih antara lain proyeksi mercator dan proyeksi UTM. III.5. Batas-Batas Di Sekitar Aceh Aceh yang berada di ujung utara pulau Sumatra, merupakan provinsi yang berada paling ujung dari Republik Indonesia, sehingga selain ada batas daerah antara provinsi Aceh provinsi Sumatra Utara, batas-batas antara kabupaten-kabupaten di Aceh, terdapat pula batas negara Indonesia dengan negara tetangga seperti Malaysia, Thailand dan India. Diutara Aceh terdapat Laut Andaman, di laut tersebut terdapat batas seabed antara Indonesia dan Thailand, batas kontinen antara Indonesia dan India, batas seabed India dan Thailand serta titik trijunction yang merupakan titik pertigaan batas antara ketiga negara di laut Andaman, dapat dilihat pada gambar III.7. Ketiga negara tersebut melakukan perjanjian atas titik-titik batas tersebut, dengan nama perjanjian PERSETUJUAN THAILAND-INDIA-INDONESIA MENGENAI TITIK TRIJUNCTION DAN BATAS KE TIGA NEGARA DI SEKITAR LAUT ANDAMAN tanggal 22 Juni tahun 1978. Dengan daftar koordinatnya dapat dilihat pada tabel IV.1 Sedangkan di sekitar selat malaka terdapat batas kontinen antara Indonesia dan Malaysia (lihat gambar III.9) dengan perjanjian Persetujuan Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Malaysia Tentang Penetapan Garis Batas Landas Kontinen Antara Kedua Negara Tahun 1969 dengan daftar koordinatnya dapat dilihat pada tabel IV.2. Selain batas kontinen, di sekitar Aceh pada selat Malaka ini terdapat 31

pula titik-titik pangkal kepulauan Indonesia. Dimana titik-titik ini sebagai titik acuan dalam menentukan garis pangkal untuk mengklaim laut teritoral Indonesia. Laut teritorial ini ditarik sejauh 12 mil laut dari garis pangkal tersebut. Titik-titik pangkal tersebut tercantum dalam Lampiran PP RI Nomor 38 Tahun 2002 Tanggal 28 Juni 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Ttitik-titik Garis Pangkal Kepulauan IIndonesia. Untuk titik-titik batas kontinen dan titik-titik pangkal yang akan dilihat besar pergeseran deormasi co-seimicnya hanya diambil pada titik-titik yang berada di sekitar Aceh saja. Dengan daftar koordinatnya dapat dilihat pada tabel IV.3, dan plotingnya pada gambar III.9 Titik-titik batas antara kabupaten di Aceh diambil dari Kordinat beberapa titiktitik batas Kabupaten di Provinsi Aceh, yang didapat dari interpolasi titik-titik batas dari garis batas pada peta rupa bumi, lembar peta nomor 0421, skala 1:250000. Dan batas antara Kabupaten yang diambil adalah batas antara kabupaten Aceh Barat dan Aceh Besar (sebelum dimekarkan) di dekat pantai barat Aceh, serta antara kabupaten Aceh Besar dan kabupaten Pidie. Untuk melihat daftar koordinat batas antara kabupaten Aceh Barat dan Aceh Besar dapat dilihat pada tabel IV.5. Sedangkan untuk melihat daftar koordinat batas antara kabupaten Aceh Besar dan Pidie dapat dilihat pada tabel IV.4. Dan ploting titik batas antara ketiga kabupaten dapat dilihat pada gambar III.8. Gambar III.7 plot batas kontinen, seabed dan trijunction Indonesia-India-Thailand di laut Andaman pada google earth 32

Gambar III.8 plot batas kabupaten Aceh Barat-Aceh Besar-Pidie pada google earth Gambar III.9 plot batas provinsi Aceh-Sumut, batas kontinen Indonesia- Malaysia dan titik-titik pangkal kepulauan Indonesia pada google earth 33