BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

commit to user BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

commit to user BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum acara pidana dan hukum pidana merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan. Hukum acara pidana adalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah.

Meskipun hakim dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh serta rekomendasi pihak manapun juga, tetapi dalam melaksanakan tugas pekerjaanya,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Guna mendapatkan suatu putusan akhir dalam persidangan diperlukan adanya bahan-bahan mengenai

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. commit to user

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

III. METODE PENELITIAN. hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. adalah termasuk perbankan/building society (sejenis koperasi di Inggris),

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. Berawal dari sebuah adegan di film Arwah Goyang Karawang, Julia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. tersendiri. Pelaksanaan jual beli atas tanah yang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap

BAB I PENDAHULUAN. masih tetap berlaku sebagai sumber utama. Unifikasi hak-hak perorangan atas

BAB I PENDAHULUAN. menyatakan Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Adapun tujuan

KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

PELAKSANAAN PENDAFTARAN HAK ATAS TANAH BAB I PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping. pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I LATAR BELAKANG. yang diajukan oleh warga masyarakat. Penyelesaian perkara melalui

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

I. PENDAHULUAN. jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi

BAB I PENDAHULUAN. yang telah didaftarkan di kepaniteraan pengadilan agama. Pencabutan gugatan

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

BAB III METODE PENELITIAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, Indonesia menerima hukum sebagai ideologi untuk menciptakan ketertiban, keamanan, keadilan serta kesejahteraan bagi warga negaranya. Konsekuensi dari itu semua adalah bahwa hukum mengikat setiap tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia. Indonesia sebagai negara hukum memiliki beberapa macam hukum untuk mengatur tindakan warga negaranya, antara lain adalah hukum pidana dan hukum acara pidana. Kedua hukum ini memiliki hubungan yang sangat erat, karena pada hakekatnya hukum acara pidana termasuk dalam pengertian hukum pidana. Hanya saja hukum acara pidana lebih tertuju pada ketentuan yang mengatur bagaimana negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana. Sedangkan hukum pidana lebih tertuju pada peraturan hukum yang menunjukan perbuatan mana yang seharusnya dikenakan pidana dan pidana apa yang dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana tersebut. Dalam Buku Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebutkan bahwa, tujuan hukum acara pidana adalah: untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan. Intisari hukum acara pidana terletak pada proses pembuktian to di user dalam persidangan perkara pidana, 1

penuntut umum berupaya membuktikan kebenaran dari dakwaan yang ditujukan terhadap terdakwa. Dakwaan penuntut umum berisi tentang adanya suatu tindak pidana yang telah terjadi dan terdakwalah pelakunya. Tugas hakim adalah memberikan penilaian sejauh mana kebenaran yang telah dikemukakan oleh penuntut umum dalam mempertahankan surat dakwaan yang diajukannya. Di sisi lain, terdakwa atau melalui penasehat hukumnya berupaya semaksimal mungkin mengelak atau menghindari kebenaran dari dakwaan yang dituujukan kepadanya. Hakim di depan persidangan posisinya berada di tengah tengah antara satu sisi penuntut umum yang berupaya mempertahankan kebenaran atas dakwaan yang diajukan ke depan persidangan, di sisi lain terdakwa atau melalui penasehat hukum berupaya memungkiri atau menghindari kebenaran dakwaan dari penuntut umum. Setelah selesai pemeriksaan, yaitu berupa pemeriksaan alat bukti yang sah (Pasal 184 KUHAP), hakim harus menentukan keyakinannya tentang kebenaran atas dakwaan penuntut umum, selanjutnya hakim menjatuhkan putusannya. Dengan demikian, maka pembuktian memegang peranan yang sangat penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan, karena dengan pembuktian inilah nasib erdakwa ditentukan, dan hanya dengan pembuktian, suatu perbuatan pidana dapat dijatuhi hukuman. Apabila hasil pembuktian alat-alat bukti yang dinilai tidak cukup menurut undangundang, maka terdakwa dapat dibebaskan dari hukuman, tapi jika kesalahan terdakwa dapat dibuktikan, terdakwa harus dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana. Untuk mengetahui apakah seseorang bersalah atau tidak terhadap perkara yang didakwakan, bukan merupakan hal yang mudah. Hal tersebut harus dengan dibuktikanalat-alat bukti yang cukup. Untuk membuktikan bersalah tidaknya seseorang terdakwa haruslah melalui proses pemeriksaan didepan sidang pengadilan (Darwan Prinst, 1998: 1320). Dan untuk membuktikan benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan diperlukan adanya suatu to user pembuktian. 2

Dalam pembuktian ini, hakim perlu memperhatikan kepentingan masyarakat dan kepentingan terdakwa. Kepentingan masyarakat berarti bahwa seseorang yang telah melanggar ketentuan pidana atau undangundang pidana lainnya, harus mendapat hukuman yang setimpal dengan kesalahannya. Sedangkan kepentingan terdakwa berarti bahwa terdakwa harus diperlakukan secara adil sedemikian rupa, sehingga tidak ada seorang yang tidak bersalah mendapat hukuman. Dan bila memang terbukti bersalah maka hukuman itu harus seimbang dengan kesalahannya. Pembuktian memegang peranan yang sangat penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan, karena dengan pembuktian inilah nasib terdakwa ditentukan, dan hanya dengan pembuktian suatu perbuatan pidana dapat dijatuhi hukuman pidana. Sehingga apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, maka terdakwa dibebaskan dari hukuman, dan sebaliknya jika kesalahan terdakwa dapat dibuktikan, maka terdakwa harus dinyatakan bersalah dan kepadanya akan dijatuhkan pidana.. Oleh karena itu hakim harus hati-hati, cermat, dan matang menilai dan mempertimbangkam nilai pembuktian. Menilai sampai mana batas minimum kekuatan pembuktian atau bewijs kracht dari setiap alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak memberikan penafsiran atau pengertian mengenai pembuktian baik pada Pasal 1 yang terdiri dari 32 butir pengertian, maupun pada penjelasan umum dan penjelasan Pasal demi Pasal. KUHAP hanya memuat macammacam alat bukti xv yang sah menurut hukum acara pidana di Indonesia. Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan (M. Yahya Harahap, to user 2000: 273). 3

Menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP, jenis alat bukti yang sah dan dapat digunakan sebagai alat bukti adalah : 1. Keterangan saksi; 2. Keterangan ahli; 3. Surat; 4. Petunjuk; 5. Keterangan terdakwa. Maksud penyebutan alat-alat bukti dengan urutan pertama pada keterangan saksi, selanjutnya keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa pada urutan terakhir, menunjukkan bahwa pembuktian (bewijsvoering) dalam hukum acara pidana diutamakan pada kesaksian. Namun perihal nilai alat-alat bukti yang disebut oleh Pasal 184 KUHAP tetap mempunyai kekuatan bukti (bewijskracht) yang sama penting dalam menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa. Alat bukti keterangan saksi dalam hukum acara pidana merupakan hal yang sangat penting dan diutamakan dalam membuktikan kesalahan terdakwa, maka disini hakim harus sangat cermat, teliti dalam menilai alat bukti keterangan saksi ini. Karena dengan alat bukti keterangan saksi ini akan lebih mengungkap peristiwanya. Tidak selamanya keterangan saksi dapat sah menjadi alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian dalam pemeriksaan di persidangan. Ada syarat-syarat yang harus di penuhi agar alat bukti keterangan saksi dan mempunyai nilai kekuatan pembuktian. Keterangan saksi agar dapat menjadi alat bukti yang sah harus memenuhi beberapa persyaratan (M. Yahya harahap, 2000: 265-268), yaitu: 1. Keterangan saksi yang diberikan harus diucapkan diatas sumpah, hal ini diatur dalam Pasal 160 ayat (3) KUHAP. 2. Keterangan saksi yang diberikan dipengadilan adalah apa yang saksi lihat sendiri, dengar sendiri dan dialami sendiri oleh saksi. Hal ini diatur dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP. 3. Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan, hal ini sesuai dalam Pasal 185 ayat to (1) user KUHAP. 4

4. Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup, agarmempunyai kekuatan pembuktian maka keterangan seorang saksi harus ditambah dan dicukupi dengan alat bukti lain. Hal ini sesuai dengan Pasal 185 ayat (2) KUHAP. 5. Keterangan para saksi yang dihadirkan dalam sidang pengadilan mempunyai saling hubungan atau keterkaitan serta saling menguatkan tentang kebenaran suatu keadaan atau kejadian tertentu, hal ini sesuai dengan Pasal 185 ayat (4) KUHAP. Dengan demikian berarti apabila alat bukti keterangan saksi tidak memenuhi persyaratan seperti disebutkan di atas, maka keterangan saksi tersebut tidak sah sebagai alat bukti dengan demikian tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian. Dalam penelitian ini Penulis akan lebih spesifik untuk meneliti pembuktian keterangan saksi yang diberikan orang tua kandung terdakwa dalam tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan. Dalam hukum pidana perbuatan tidak menyenangkan sebagaimana telah disebut diatas diatur dalam Bab XVIII tentang Kejahatan Terhadap Kemerdekaan Orang Pasal 335 KUHP yang rumusannya berbunyi: 1. Diancam dengan pidana penjara paling lama satau tahun atau denda paling banyak tiga ratus rupiah; Ke-1: barangsiapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri atau orang lain. Ke-2: barangsiapa memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu dengan ancaman pencemaran atau pencemaran tertulis. 2. Dalam hal diterangkan ke-2, kejahatan hanya dituntut atas pengaduan orang yang terkena. to user 5

Berdasarkan hal tersebut diatas, yaitu persoalan yang berkaitan dengan kekuatan pembuktian kesaksian, maka penulis merasa perlu untuk mengadakan penelitian sebagai bahan penulisan hukum dengan judul TINJAUAN TENTANG PEMBERIAN KESAKSIAN OLEH ORANG TUA KANDUNG TERDAKWA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PUTUSAN HAKIM DALAM PERKARA PERBUATAN TIDAK MENYENANGKAN (STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI LABUHAN BAJO NOMOR : 18/Pid.B/2013/PN.LB) B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dalam penelitian hukum yang akan dibahas dalam penelitian ini antara lain : 1. Apakah pemberian kesaksian oleh orang tua kandung dalam perkara perbuatan tidak menyenangkan sudah sesuai dengan ketentuan KUHAP? 2. Bagaimanakah implikasi pemberian kesaksian oleh orang tua kandung dalam perkara perbuatan tidak menyenangkan terhadap putusan hakim? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian adalah sebagai berikut : 1. Tujuan Obyektif a. Untuk mengetahui apakah pemberian kesaksian oleh orang tua kandung dalam perkara perbuatan tidak menyenangkan sudah sesuai dengan ketentuan KUHAP; b. Untuk mengetahui implikasi pemberian kesaksian oleh orang tua kandung dalam perkara perbuatan tidak menyenangkan terhadap putusan hakim. 2. Tujuan Subyektif to user 6

a. Untuk mengetahui menambah ilmu pengetahuan penulis mengenai kekuatan pembuktian saksi dalam sengketa pidana di pengadilan negeri b. Untuk memberikan pemahaman bagi penulis serta sebagai wahana pengembagan teori kedalam praktik penerapan undangundang dalam penelitian ini. D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian adalah sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis : a. Memberikan perkembangan ilmu pengetahuan dibidang ilmu hukum pada umumnya dan Hukum Acara pada khususnya; b. Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan penelitian sejenisnya. 2. Manfaat Praktis : a. Menambah wawasan bagi pembaca mengenai kekuatan pembuktian saksi dalam sengketa pidana di pengadilan negeri; b. Untuk memenuhi prasyarat guna mencapai gelar kesarjanaan di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. E. Metode Penelitian Metodologi merupakan suatu cara untuk mengumpulkan data, merealisasikan data dan menyusun data sebagai suatu kebulatan. Suatu penelitian pada umumnya bertujuan untuk menemukan, mengembangkan, atau menguji kebenaran suatu pengetahuan, walaupun pengeathuan itu sendiri adalah kumpulan dari pengalaman dan pengetahuan manusia yang dipadukan ssecara teratur. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan. Data yang digunakan merupakan data sekunder yang diperoleh dari artikel internet dan buku referensi. Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menentukan to user aturan hukum, prinsip-prinsip 7

hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2005:35). Penelitian hukum dilakukan untuk mencari pemecahan atas isu hukum yang timbul. Oleh karena itu, penelitian hukum merupakan suatu penelitian didalam kerangka know-how di dalam hukum. Hasil yang dicapai adalah untuk memberikan preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2005:41). Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori ataupun konsep baru sebagai perskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi. 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam menyusun penelitian ini adalah penelitian hukum Doktrinal. Penelitian hukum doktrinal memiliki definisi yang sama dengan penelitian hukum normatif yaitu penelitian berdasarkan bahan-bahan hukum (librabry based) yang fokusnya pada membaca dan mempelajari bahan-bahan hukum primer dan sekunder. Sehingga penelitian hukum menurut Johnny Ibrahim ialah suatu prosedur ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuwan hukum dari sisi normatifnya (Johnny Ibrahim, 2006: 57). Bahan-bahan tersebut kemudian disusun secara sistematis, dikaji, dan ditarik kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti yaitu dalam hal kekuatan pembuktian yang diberikan oleh orang tua dalam pengaruh pertimbangan hakim terhadap kasus perbuatan tidak menyenangkan. 2. Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat preskriptif dan terapan,preskriptif yang diberikan dalam penelitian hukum harus dapat dan mungkin diterapkan. Dengan demikian, preskriptif yang diberikan bukan merupakan sesuatu yang telah diterapkan atau yang sudah ada. Oleh karena itu, yang dihasilkan to user oleh penelitian hukum sekalipun 8

bukan asas hukum yang baru atau teori yang baru, paling tidak sebuah argumentasi yang baru. Bertolak dari argumentasi itulah diberikan preskripsi, sehingga preskriptif tersebut bukan merupakan suatu fantasi atau angan-angan kosong (Peter Mahmud Marzuki,2006:206). 3. Pendekatan Penelitian Metode analisis yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah menggunakan metode kualitatif, yakni analisis dengan mengumpulkan data, kemudian memadukannya semua data yang diperoleh dan akan memberikan suatu hasil yang menggambarkan permasalahan yang diteliti. Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan pendekatan tersebut, maka peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabnya. Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum adalah pendekatan Undang-Undang (stante approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2005:93). Adapun pendekatan yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kasus (case approach).pendekatan kasus (case approach)dilakukan dengan mempelajari penerapan dan norma-norma kaidah hukum yang dilakukan dalam praktek hukum. Misalnya mengenai kasus-kasus yang telah diputus dan putusan tersebut telah memiliki kekuatan hukum tetap sebagaimana yang dilihat dalam yurispudensi terhadap perkara-perkara yang menjadi fokus penelitian. Jelas kasus-kasus yang terjadi bermakna empiris, namun dalam suatu penelitian normatif, kasus-kasus tersebut dipelajari untuk memperoleh gambaran terhadap dampak dimensi penormaan dalam suatu aturan to user hukum dalam praktik hukum, serta 9

menggunakan hasil analisisnya untuk bahan masukan (input) dalam eksplanasi hukum (Johny Ibrahim, 2006: 321). 4. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian skripsi yang dipilih penulis dalam melakukan riset skripsi ini adalah perpustakaan fakultas hukm dan perpustakaan umum universitas sebelas maret surakarta 5. Jenis dan Bahan Hukum Penelitian Menurut Peter Mahmud Marzuki, mengatakan bahwa dasarnya penelitian hukum tidak mengenal adanya data, sehingga digunakan adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas sedangkan bahan hukum sekunder berupa semua bahan hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi ( Peter Mahmud Marzuki, 2005:141). 6. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Studi Kepustakaan Yakni pengumpulan data yang diperoleh dengan cara mempelajari berbagai buku, peraturan perundangundangan, dan data-data yang diperoleh yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti. Teknik pengumpulan bahan hukum dimaksudkan untuk memperoleh bahan hukum dalam penelitian. Prosedur pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara studi kepustakaan (Library Research), yaitu suatu bentuk pengumpulan bahan hukum melalui membaca, mengkaji, dan mempelajari buku literatur, hasil penelitian terdahulu, dan membaca dokumen yang berhubungan dengan penelitian yang erat kaitannya dengan permaslahan yang dibahas kemudian dikategorisasi menurut jenisnya. 7. Teknik Analisis Bahan Hukum Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode silogisme dan inteprestasi dengan menggunakan pola berfikir deduktif. Pola to berfikir user deduktif yang berpangkal dari 10

prinsip-prinsip dasar, kemudian peneliti tersebut menghadirkan objek yang hendak diteliti. Sedangkan metode silogisme yang menggunakan pendekatan deduktif menurut yang diajarkan Aristoteles yaitu berpangkal dari pengajuan premis mayor. Kemudian diajukan premis minor, dari kedua premis ini kemudian ditarik suatu kesimpulan atau conclusion (Peter Mahmud Marzuki, 2005:46). Mengutip pendapat Von Savigny, inteprestasi merupakan suatu konstruksi buah pikiran yang tidak terungkap di dalam undang-undang. Untuk kajian akademis, seorang peneliti hukum juga dapat melakukan interprestasi. Bukan tidak mungkin hasil penelitian ini akan digunakan oleh praktisi hukum dalam praktek mungkin. Dalam hal demikian, penelitian tersebut telah memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu dan praktek hukum. Interprestasi dibedakan menjadi interprestasi berdasarkan kata undang-undang, interprestasi berdasarkan kehendak pembentuk undang-undang, interprestasi sistematis, interprestasi historis, interprestasi teleteologis, interprestasi antisipatoris, dan interprestasi modern (Peter Mahmud Marzuki: 2005: 106-107). Adapun metode interprestasi yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah: a. Interprestasi berdasarkan kata Undang-Undang Interprestasi ini beranjak dari makna kata-kata yang tertuang didalam Undang-Undang. Interprestasi ini akan dapat dilakukan apabila kata-kata yang digunakan dalam Undang- Undang itu singkat artinya tidak bertele-tele, tajam artinya akurat tidak mengenai apa yang dimaksud dan tidak mengandung sesuatu yang bersifat dubious atau makna ganda. Hal itu sesuai dengan karakter Undang-Undang sebagai perintah atau aturan ataupun to user larangan. 11

b. Interprestasi Sistematis Menurut Pendapat P.W.C Akkerman, interprestasi sistematis adalah interprestasi dengan melihat hubungan diantara aturan-aturan dalam suatu Undang-Undang yang saling bergantungan. Disamping itu juga harus dilihat bahwa hubungan itu tidak bersifat teknis, melainkan juga harus dilihat asas yang melandasinya. Landasan pemikiran interprestasi sistematis adalah Undang-Undang merupakan suatu kesatuandan tidak satu pun ketentuan didalam Undang-Undang merupakan aturan yang berdiri sendiri (Peter Mahmud Marzuki: 2005: 111-112) to user 12

F. Sistematika Penulisan Hukum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Pembuktian Alat Bukti : 1. Keterangan Saksi 2. Keterangan Ahli 3. Surat 4. Petunjuk 5. Keterangan Terdakwa Kekuatan Pembuktian t terhadap Kasus Perbuatan Tidak Menyenangkan Pertimbangan Hakim Putusan to user 13

Keterangan : Menurut Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undan- undang Hukum Acara Pidana, dalam proses pemeriksaaan di sidang pengadilan meliputi beberapa proses dan salah satunya Adalah pembuktian, pembuktian memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan dalam Sidang pengadilan, Karena denganpembuktian ini akan menentukan Nasib terdakwa Apakah dia Bersalah atau tidak. Dalam proses pembuktian ini tentunya tidak terlepas dengan jenisjenis alat bukti apa saja yang sah digunakan dalam pembuktian di sidang pengadilan dan bagaiman nilai kekuatan pembuktian dari masing-masing alat bukti tersebut. Menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP, jenis alat bukti yang sah dan dapat digunakan sebagai alat bukti adalah : 1. Keterangan saksi; 2. Keterangan ahli; 3. Surat; 4. Petunjuk; 5. Keterangan terdakwa. Agar Putusan pengadilan keterangan saksi dapat menjadi alat bukti yang sah terdapat dalam Pasal 185 ayat (4) KUHAP, dinyatakan bahwa keterangan para saksi yang dihadirkan dalam sidang pengadilan mempunyai saling hubungan atau keterkaitan serta saling menguatkan tentang kebenaran suatu keadaan atau kejadian tertentu. Tapi bagaimana apabila keterangan dari beberapa saksi yang dihadirkan di sidang pengadilan saling berdiri-sendiri, maksudnya adalah bahwa keterangan antara saksi yang satu dengan saksi yang lain di sidang pengadilan tidak terdapat kesesuaian atau tidak ada keterkaitan atau hubungan yang dapat mewujudkan suatu kebenaran akan adanya kejadian atau keadaan tertentu. Lalu bagaimana kekuatan pembuktian dari kesaksian yang berdiri-sendiri tersebut dan bagaiman pula pengaruhnya terhadap putusan pengadilan. to user 14