BAB I PENDAHULUAN. Bali, respon reaktif dan proaktif telah banyak bermunculan dari berbagai pihak, baik

dokumen-dokumen yang mirip
Situasi HIV & AIDS di Indonesia

Dr Siti Nadia M Epid Kasubdit P2 AIDS dan PMS Kementerian Kesehatan RI. Forum Nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. akan mempunyai hampir tiga kali jumlah orang yang hidup dengan HIV dan AIDS

BAB I PENDAHULUAN. (2004), pelacuran bukan saja masalah kualitas moral, melainkan juga

BAB 1 : PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Millennium Development Goals (MDGs), sebuah deklarasi global yang telah

Pelibatan Komunitas GWL dalam Pembuatan Kebijakan Penanggulangan HIV bagi GWL

BAB I PENDAHULUAN Pada Januari hingga September 2011 terdapat penambahan kasus sebanyak

SKRIPSI. Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Kesehatan Masyarakat. Disusun Oleh :

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency

BAB I PENDAHULUAN. Angka HIV/AIDS dari tahun ke tahun semakin meningkat. Menurut laporan

BAB I PENDAHULUAN. Acquired Immune Deficiency Syndrome atau yang lebih dikenal dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. kekebalan tubuh manusia, sedangkan Acquired Immunodeficiency Syndrom. penularan terjadi melalui hubungan seksual (Noviana, 2013).

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan HIV/AIDS di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan karena

BAB I PENDAHULUAN. (HIV/AIDS) merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. World Health

BAB I PENDAHULUAN. Epidemi human immunodeficiency virus/acquired immune deficiency

BAB 1 PENDAHULUAN. menjalankan kebijakan dan program pembangunan kesehatan perlu

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang mengakibatkan

Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS Pada Penduduk Usia Muda. Dr. Nafsiah Mboi, Sp.A, MPH Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional

Jurnal Keperawatan, Volume X, No. 1, April 2014 ISSN

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus yang dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala yang timbul akibat

UNIVERSITAS UDAYANA. Skripsi ini diajukan sebagai SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT I GUSTI AGUNG AGUS MAHENDRA NIM

BAB 1 PENDAHULUAN. AIDS (Aquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan kumpulan gejala

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini di berbagai belahan bumi mengalami masalah kesehatan

SURVEI TERPADU BIOLOGIS DAN PERILAKU

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dalam kurun waktu adalah memerangi HIV/AIDS, dengan target

GLOBAL HEALTH SCIENCE, Volume 2 Issue 1, Maret 2017 ISSN

SITUASI EPIDEMI HIV DAN AIDS SERTA PROGRAM PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI DKI JAKARTA KOMISI PENANGGULANGAN AIDS PROVINSI DKI JAKARTA 2015

BAB I PENDAHULUAN. diselesaikan. Pada akhir abad ke-20 dunia dihadapkan dengan permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

komisi penanggulangan aids nasional

ESTIMASI ORANG DENGAN HIV/AIDS (ODHA) DI KABUPATEN/KOTA PROVINSI BALI TAHUN 2007

Informasi Epidemiologi Upaya Penanggulangan HIV-AIDS Dalam Sistem Kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. mengatakan bahwa homoseksual bukan penyakit/gangguan kejiwaan.di Indonesia

Satiti Retno Pudjiati. Departemen Dermatologi dan Venereologi. Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

KERANGKA ACUAN KEGIATAN

BAB I PENDAHULUAN. meninggal akibat HIV/AIDS, selain itu lebih dari 6000 pemuda umur tahun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA sudah mencapai tahap terkonsentrasi pada beberapa sub-populasi berisiko

BAB I PENDAHULUAN. HIV dan AIDS merupakan penyakit yang dapat ditularkan melalui

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia dan masih sering timbul sebagai KLB yang menyebabkan kematian

BAB 1 PENDAHULUAN. Di Indonesia pelaku transeksual atau disebut waria (Wanita-Pria) belum

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut Profil Kesehatan Sumatera Utara Tahun 2013, salah satu penyakit

BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Balakang. Timur yang teridentifikasi menjadi wilayah terkonsentret HIV dan AIDS selain Malang

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan insidens dan penyebaran infeksi menular seksual (IMS) di seluruh dunia,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human Immunodefficiency Virus (HIV) adalah virus penyebab Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) yang

Kebijakan Program PMTS Paripurna KPA Nasional Dibawakan pada Lecture Series: Overview PMTS Kampus Atmajaya Jakarta, 7 November 2012

BAB I PENDAHULUAN. dan diduga akan berkepanjangan karena masih terdapat faktor-faktor yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sangat umum dan penting, sedangkan infeksi bakteri lebih sering

BAB 1 PENDAHULUAN. pencegahan IMS yang dilaksanakan di banyak negara, nampaknya belum

BAB 1 PENDAHULUAN. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency

BAB I PENDAHULUAN. masalah kesehatan masyarakat di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Masalah

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan di dunia, baik negara maju maupun negara berkembang. Upaya

BAB 1 PENDAHULUAN. Pandemi Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), saat ini merupakan

BAB I PENDAHULUAN. bonus demografi, dimana penduduk usia produktif yaitu penduduk dengan usia 15

BAB I PENDAHULUAN. pada sejarah, United National HIV/AIDS (UNAIDS) & Word Health. diperkirakan sebanyak 1.6 juta orang diseluruh dunia.

BAB I PENDAHULUAN. dalam Undang-Undang Kesehatan No. 36 tahun 2009 pasal 5 ayat 1, yang

ESTIMASI POPULASI DEWASA RAWAN TERINFEKSI HIV 2009

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di negara berkembang, dimana penyakit IMS membuat

Program Peningkatan Cakupan Tes HIV, Inisiasi Dini ART dan Kelangsungan ODHA Minum ARV pada Populasi Berisiko Tinggi di Kota Denpasar,

DETERMINAN PERILAKU SEKS PASANGAN KONKUREN DARI PELANGGAN PEKERJA SEKS PEREMPUAN, DENPASAR, BALI, 2014

Penyebaran HIV/AIDS Pada Pasangan Tetap ODHA di Indonesia

WALIKOTA DENPASAR PERATURAN WALIKOTA DENPASAR NOMOR 21 TAHUN 2011 T E N T A N G PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KOTA DENPASAR WALIKOTA DENPASAR,

BAB 1 PENDAHULUAN. AIDS (Aquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan kumpulan gejala

BAB I PENDAHULUAN. dampaknya terus berkembang (The Henry J. Kaiser Family Foundation, 2010).

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiensy Vyrus (HIV) adalah virus yang menyerang sistem

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

Sugiarto Program Studi Kesehatan Masyarakat, STIKES Harapan Ibu Jambi

BAB I PENDAHULUAN. yang diakibatkan oleh HIV (Human Immunodeficiency Virus). Jalur transmisi

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang awalnya

Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP), 2007

BAB 1 PENDAHULUAN. belum ditemukan, yang dapat mengakibatkan kerugian tidak hanya di bidang

dan kesejahteraan keluarga; d. kegiatan terintegrasi dengan program pembangunan di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota; e.

Laporan Hasil SSP 2003 B a l i. iii. iii

BAB 1 PENDAHULUAN. hancurnya kehidupan rumah tangga serta penderitaan dan kesengsaraan yang

BAB I PENDAHULUAN. Masalah kesehatan masyarakat yang yang dialami Indonesia saat ini sangat

UNDANGAN. Konsep Usulan Penelitian HIV dan AIDS Tahun 2012: Prioritas pada Pencegahan Melalui Transmisi Seksual Kelompok Laki-laki berisiko tinggi

OLEH A A ISTRI YULAN PERMATASARI ( ) KADEK ENA SSPS ( ) WAYLON EDGAR LOPEZ ( )

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV), merupakan suatu virus yang

Laporan Hasil SSP 2002 Jawa Timur. iii. iii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Laporan Hasil SSP 2003 Maluku. iii. iii

Laporan Hasil SSP 2002 Jawa Barat. iii. iii

Laporan Hasil SSP 2002 Merauke (Papua)

LEMBAR FAKTA HARI AIDS SEDUNIA 2014 KEMENTERIAN KESEHATAN 1 DESEMBER 2014

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodefficiency Virus (HIV) merupakan virus penyebab

RENCANA AKSI NASIONAL PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA

GAMBARAN PENDERITA HIV DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KAHURIPAN KECAMATAN TAWANG KOTA TASIKMALAYA. Nur Lina 1, Kusno Prayitno 2

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan kasus-kasus baru yang muncul. Acquired Immuno Deficiency

BAB I PENDAHULUAN. masalah berkembangnya Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS). Masalah HIV/AIDS yang

DETERMINAN STATUS HIV PADA PENGGUNA NAPZA SUNTIK: PENELITIAN DI DKI JAKARTA TAHUN 2013

Situasi Perilaku Berisiko dan Prevalensi HIV di Tanah Papua 2006

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dua dasa warsa lebih sudah, sejak dilaporkannya kasus AIDS yang pertama di Indonesia tahun 1987 di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar Bali, respon reaktif dan proaktif telah banyak bermunculan dari berbagai pihak, baik dari Indonesia sendiri maupun dari negara lainnya (Mboi, 2009 : 2). Setelah kemunculanya tahun 1987 tersebut, dan setelah dipantau ternyata terjadi peningkatan kasus dari tahun ke tahun. Secara kumulatif, jumlah kasus AIDS dari 1 April 1987 sampai dengan 30 Juni 2011 yang dilaporkan oleh Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PP dan PL), Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, adalah 26.483 kasus dengan 5.056 kematian, dimana lima besar Provinsi yang memiliki kasus AIDS terbanyak adalah DKI Jakarta 3.997 kasus, Papua 3.938 kasus, Jawa Barat 3.809 kasus, Jawa Timur 3.775 kasus dan Bali 1.747 kasus. Namun apabila dilihat dari prevalensi kasus AIDS per 100.000 penduduk, maka yang menjadi peringkat pertama adalah Provinsi Papua sebesar 180,69 per 100.000 penduduk, kemudian disusul oleh Provinsi Jawa Barat 51,48 per 100.000 penduduk dan Provinsi Bali berada di peringkat ketiga yaitu sebesar 48,29 per 100.000 penduduk. Indonesia telah memasuki epidemi terkonsentrasi (Concentrated Level Epidemic) untuk kasus HIV dan AIDS, yang artinya adanya prevalensi lebih tinggi pada populasi-populasi tertentu atau yang sering disebut dengan populasi kunci. 1

2 Surveilans Terpadu HIV dan Perilaku menunjukkan prevalensi HIV pada populasi kunci yaitu WPS (Wanita Pekerja Seks) langsung sebesar 10,4%, WPS tidak langsung sebesar 4,6%, Waria sebesar 24,4%, Pelanggan WPS sebesar 0,8%, LSL (Lelaki Berhubungan Seks dengan Lelaki) sebesar 5,2%, dan Pengguna Narkoba Suntik (Penasun) atau yang sering disebut dengan IDU (Injecting Drug Users) yaitu sebesar 52,4% (STHP Populasi Kunci, 2007). Berbeda dengan yang terjadi di Provinsi Papua dan Papua Barat yang terdapat pergerakan kasus HIV ke arah Generalized Epidemic Level, atau meluas ke masyarakat umum lainnya tidak hanya pada populasi kunci saja, dengan prevalensi HIV sebesar 2,4% pada penduduk 15-49 tahun (STHP Penduduk Papua, 2007). Di Provinsi Bali sendiri, kumulatif jumlah kasus HIV dan AIDS dari tahun 1987 sampai dengan November 2011 mencapai 5.222 kasus, dimana kasus AIDS sebanyak 2.443 kasus dan HIV sebanyak 2.779 kasus (KPA Provinsi Bali, 2011). Hasil surveilans yang juga dilaksanakan setiap tahun di Provinsi Bali menunjukkan bahwa Provinsi Bali sudah berada pada tingkat epidemi terkonsentrasi karena prevalensi HIV tertinggi terdapat pada populasi kunci tertentu terutama pada kelompok narapidana, WPS dan IDU secara terus-menerus di atas 5% (Dinas Kesehatan Provinsi Bali, 2010). Populasi kunci merupakan populasi yang berisiko tinggi tertular dan menularkan HIV, baik karena menggunakan jarum suntik yang tidak steril secara bergantian bagi IDU, maupun berhubungan seksual yang berisko tinggi dengan tidak menggunakan kondom dan berganti-ganti pasangan seksual. Menurut hasil surveilans generasi kedua yang memproyeksikan kecenderungan epidemi HIV di masa mendatang yaitu sampai tahun 2025, terjadi

3 peningkatan pada populasi kunci yaitu pada kelompok Pelanggan WPS, LSL dan dengan meningkatnya epidemi HIV pada pelanggan WPS, maka secara otomatis meningkatkan epidemi HIV pada pasangannya pula (KPAN Indonesia, 2011). Kecenderungan epidemi HIV ke depan menggambarkan perubahan penularan HIV, dimana selain populasi kunci yang sudah ditangani selama ini, penting pula memperhatikan peningkatan infeksi HIV pada kelompok LSL (SRAN Penanggulangan HIV dan AIDS, 2010). LSL merupakan salah satu populasi kunci yang keberadaanya akan meningkat menurut hasil proyeksi KPA Nasional. Kelompok LSL merupakan kelompok yang berisiko tinggi terhadap penularan IMS (Infeksi Menular Seksual) maupun HIV dan AIDS. Hal tersebut dikarenakan perilaku seksual mereka yang berisiko tinggi seperti melakukan anal seks tanpa kondom dan pelicin serta bergantiganti pasangan seksual. Selain itu, keberadaan kelompok LSL juga menyerupai fenomena gunung es, dimana yang bisa dan telah dijangkau hanya sebagian kecil saja, dan lainnya masih tersembunyi dan tidak mau mengungkapkan dirinya sebagai LSL ataupun tidak mengidentifikasikan dirinya sebagai LSL, sehingga membuatnya menjadi Hidden Population. Menurut hasil penjangkauan dari Yayasan GAYa Dewata (YGD) Bali dari Juni 2010 sampai dengan 25 Oktober 2011, memperlihatkan bahwa jumlah LSL yang sudah berhasil dijangkau adalah sebanyak 1.213 orang, yang terdiri dari kelompok Gay, Pekerja Seks Laki-laki (PSL), kelompok Biseksual, maupun pelanggan PSL (YGD Bali, 2011). Dari seluruh LSL yang dijangkau tersebut yang melakukan VCT (Voluntary Counseling and Testing) dari Januari 2011 sampai

4 Oktober 2011 adalah sebanyak 165 orang, dimana yang hasil testnya reaktif atau positif HIV adalah sebanyak 18 orang atau sebesar 10,9% (YGD Bali, 2011). Untuk mencegah meningkatnya kasus HIV, maka pemakaian kondom yang benar dan konsisten saat berhubungan seksual menjadi satu metode yang paling baik (Davis dan Weller, 1999), begitu juga di kalangan LSL. Pencapaian pemakaian kondom konsisten di kalangan LSL di tahun 2011 masih sangat rendah yaitu sebesar 30%, kurang dari setengahnya dari target yang tercantum dalam Inpres Nomor 3 Tahun 2010 Tentang Percepatan Pencapaian MDGs, yaitu mencapai 65% sampai tahun 2014 (Inpres No.3, 2010 : 42-43). Hasil STBP tahun 2011, memperlihatkan pemakaian kondom konsisten pada LSL pada pasangan tetap (laki-laki) 19,5%, pada pasangan kasual 26,4%, pada pasangan komersial (laki-laki) 29,2%, pada pasangan waria 30,6%, pada pasangan perempuan 18,3% dan pada pasangan pekerja seks perempuan 18,5%. Di Provinsi Bali sendiri, perilaku pemakaian kondom saat berhubungan seksual di kalangan LSL, menurut hasil Survei Perilaku Populasi Paling Berisiko dan Kepuasan Pelanggan di Provinsi Bali untuk LSL (2010), memperlihatkan bahwa dari 266 LSL yang menjadi responden, frekuensi penggunaan kondom dalam sebulan terakhir dengan pasangan tetap adalah tidak pernah sebesar 12%, kadang-kadang 25%, sering 26% dan selalu sebesar 36% (KPA Provinsi Bali, 2010). Sedangkan frekuensi penggunaan kondom sebulan terakhir dengan pasangan tidak tetap atau pelanggan yaitu tidak pernah 9%, kadang-kadang 17%, sering 27% dan selalu sebesar 47% (KPA Provinsi Bali, 2010). Dari data di atas, terlihat bahwa terdapat perbedaan antara perilaku selalu memakai kondom atau perilaku pemakaian kondom konsisten pada masing-masing jenis pasangan seksual LSL. Hal tersebut erat dipengaruhi oleh beragamnya

5 karakteristik dan persepsi dari pasangan seksual yang pada akhirnya mempengaruhi persepsi individu LSL tentang pemakaian kondom saat berhubungan seksual. Program-program penanggulangan HIV di kalangan LSL selama ini melihat bahwa ketersediaan kondom dan pelicin merupakan Enabling Factor dan rendahnya pengetahuan LSL adalah Predisposing Factor. Kedua faktor tersebut merupakan bagian dari Contributing Risk Factor yang dapat menyebabkan Risk Factor terjadi yang dalam hal ini adalah tidak menggunakan kondom saat berhubungan seksual, yang berujung pada adanya peningkatan kasus HIV di kalangan LSL sebagai Health Problem (Hawe et al, 1991 : 33-35). Namun tidak banyak yang melihat ataupun berorientasi pada persepsi yang kuat dari individu LSL untuk tidak memakai kondom saat berhubungan seksual karena pengaruh pasangan seksual ataupun menyesuaikan dengan perasaannya dengan pasangan-pasangan seksualnya, yang menjadikan pemakaian kondom tidak konsisten di masing-masing jenis atau tipe pasangan seksual (pasangan tetap, kasual dan komersial). Sebenarnya persepsi dari masing-masing individu LSL yang seperti dijelaskan di atas merupakan Predisposing Factor yang penting selain pengetahuan yang rendah dari kelompok LSL tentang HIV dan pemakaian kondom, yang selama ini telah diidentifikasi. Walaupun ketersediaan kondom dan peningkatan pengetahuan sudah diprogramkan oleh pihak pemerintahan maupun LSM, namun tetap saja penggunaan kondom secara konsisten masih tetap rendah untuk setiap tipe pasangan seksual, yaitu kurang dari satu pertiganya (STBP, 2011). Banyak penelitian-penelitian terkait perilaku penggunaan kondom pada kelompok beresiko lainnya yang melihat adanya korelasi antara penggunaan kondom dan tipe relasi

6 dengan pasangan seksualnya. Namun, sangat sedikit informasi yang tersedia mengenai hubungan antara kedua hal tersebut pada kelompok LSL. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraian di atas, peneliti ingin melihat hubungan antara perilaku pemakaian kondom dengan atribut relasi seksual yang mencakup tipe hubungan dengan pasangan seksual, status hubungan dengan pasangan seksual, perilaku anal seks dengan pasangan seksual dan alasan memilih pasangan seksual. Penelitian ini merupakan penelitian yang menganalisis data sekunder menggunakan data dari penelitian yang dilakukan Universitas Udayana (Wulandari, Supriyadinata dan Lubis, 2011). Informasi yang diperoleh pada penelitian ini diharapkan dapat dijadikan dasar untuk membuat suatu program yang lebih komprehensif oleh pihak-pihak yang bergerak dalam bidang penanggulangan HIV dan AIDS di kalangan LSL di Kabupaten Badung, khususnya di Wilayah Kuta. 1.2 Rumusan Masalah Kelompok LSL merupakan salah satu populasi kunci dalam penyebaran HIV di Indonesia pada umumya dan Bali pada khususnya, namum keberadaanya masih tersembunyi (Hidden Population). Banyak program yang telah dilakukan pihak pemerintahan ataupun LSM untuk menjangkau dan memberikan intervensi kepada kelompok LSL ini, termasuk upaya penyediaan kondom dan peningkatan pengetahuan. Namun program-program tersebut terbilang masih kurang berhasil karena tingkat penggunaan kondom di kalangan LSL masih di bawah 50%. Sehingga timbul pemikiran bahwa adanya beberapa faktor determinan lainnya yang mempengaruhi penggunaan kondom saat berhubungan seksual di kalangan LSL seperti halnya adanya atribut relasi. Maka dari itu, rumusan masalah dalam penelitian

7 ini adalah perlu untuk mengetahui hubungan antara pemakaian kondom saat berhubungan seksual dengan atribut relasi pada kelompok LSL yang berada di Wilayah Kuta. 1.3 Pertanyaan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka dapat ditarik pertanyaan penelitian berupa Bagaimanakah hubungan antara perilaku pemakaian kondom saat berhubungan seksual dengan atribut relasi seksual di kalangan LSL di Wilayah Kuta?. 1.4 Tujuan Penelitan 1.4.1 Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara perilaku pemakaian kondom saat berhubungan seksual dengan atribut relasi di kalangan LSL dan pasangan seksualnya di Wilayah Kuta. 1.4.2 Tujuan Khusus Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara: 1. Tipe hubungan pasangan seksual dengan perilaku pemakaian kondom saat berhubungan seksual di kalangan LSL di Wilayah Kuta. 2. Status hubungan pasangan seksual dengan perilaku pemakaian kondom saat berhubungan seksual di kalangan LSL di Wilayah Kuta. 3. Perilaku anal seks pasangan seksual dengan perilaku pemakaian kondom saat berhubungan seksual di kalangan LSL di Wilayah Kuta.

8 4. Alasan memilih pasangan seksual dengan perilaku pemakaian kondom saat berhubungan seksual di kalangan LSL di Wilayah Kuta. 1.5 Maanfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan keilmuan di bidang kesehatan masyarakat terutama dalam isu HIV dan AIDS di kalangan LSL di Kabupaten Badung, khususnya di Wilayah Kuta dalam hal pemakaian kondom terkait atribut relasi seksual. 1.5.2 Manfaat Praktis Bagi instansi pemerintahan seperti Dinas Kesehatan Kabupaten Badung, KPA Kabupaten Badung dan pihak LSM seperti YGD Bali, agar penelitian ini dapat dijadikan masukan dalam menyusun strategi maupun program yang menyasar kelompok LSL di Kabupaten Badung khususnya Wilayah Kuta, sehingga program dapat lebih komprehensif lagi. 1.6 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian untuk mengetahui hubungan antara perilaku pemakaian kondom saat berhubungan seksual dengan atribut relasi seksual di kalangan LSL di Wilayah Kuta. Dimana penelitian ini nantinya dapat dijadikan acuan atau refernsi dalam bidang ilmu kesehatan masyarakat terutama dalam penyusunan program penanggulangan HIV dan AIDS khususnya pada populasi kunci LSL.