Arnold.Ch Tabun *, Petrus Kune **, M.L. Molle *** Oleh:

dokumen-dokumen yang mirip
PENGARUH JENIS PENGENCER TERHADAP MOTILITAS DAN DAYA TAHAN HIDUP SPERMATOZOA SEMEN CAIR SAPI SIMMENTAL

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

Tampilan Berahi dan Tingkat Kesuburan Sapi Bali Timor yang Diinseminasi (The Performance of Estrus and Fertility Rate of Timor Bali Cow Inseminated)

Jurnal Pertanian ISSN Volume 2 Nomor 1, April PENGARUH VITAMIN B 2 (Riboflavin) TERHADAP DAYA TAHAN SPERMATOZOA DOMBA PADA SUHU KAMAR

BAB III MATERI DAN METODE. Ongole (PO) dan sapi Simmental-PO (SIMPO) dilaksanakan pada tanggal 25 Maret

DAYA HIDUP SPERMATOZOA EPIDIDIMIS KAMBING DIPRESERVASI PADA SUHU 5 C

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan protein hewani di Indonesia semakin meningkat seiring dengan

PENDAHULUAN. masyarakat Pesisir Selatan. Namun, populasi sapi pesisir mengalami penurunan,

Keberhasilan IB menggunakan semen beku hasil sexing dengan metode sedimentasi putih telur pada sapi PO cross

Agros Vol. 16 No. 1, Januari 2014: ISSN

HUBUNGAN BODY CONDITION SCORE (BCS),SUHU RECTAL DAN KETEBALAN VULVA TERHADAP NON RETURN RATE (NR) DAN CONCEPTION RATE (CR) PADA SAPI POTONG

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan yang dihadapi Provinsi Jambi salah satunya adalah pemenuhan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dibagikan. Menurut Alim dan Nurlina ( 2011) penerimaan peternak terhadap

BAB VI TEKNOLOGI REPRODUKSI

I. PENDAHULUAN. dikembangkan di Indonesia. Bahkan untuk memenuhi kebutuhan daging di

BAB I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan

BAB I PENDAHULUAN. agar diperoleh efisiensi dan efektifitas dalam penggunaan pejantan terpilih,

TINGKAT KEBERHASILAN INSEMINASI BUATAN SAPI POTONG DI TINJAU DARI ANGKA KONSEPSI DAN SERVICE PER CONCEPTION. Dewi Hastuti

PENGARUH TINGKAT PENGENCERAN TERHADAP KUALITAS SPERMATOZOA KAMBING PE SETELAH PENYIMPANAN PADA SUHU KAMAR

HUBUNGAN BODY CONDITION SCORE (BCS),

I. PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dengan kemajuan teknologi membawa pengaruh pada

Salmiyati Paune, Jurusan Peternakan Fakultas Ilmu-ilmu Pertanian Universitas Negeri Gorontalo, Fahrul Ilham, Tri Ananda Erwin Nugroho

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu

I PENDAHULUAN. dikembangkan di Indonesia. Sistem pemeliharannya masih dilakukan secara

Pengaruh Pemberian Susu Skim dengan Pengencer Tris Kuning Telur terhadap Daya Tahan Hidup Spermatozoa Sapi pada Suhu Penyimpanan 5ºC

I. PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan salah satu penghasil protein hewani, yang dalam

PENGARUH LAMA THAWING DALAM AIR ES (3 C) TERHADAP PERSENTASE HIDUP DAN MOTILITAS SPERMATOZOA SAPI BALI (Bos sondaicus)

Semen beku Bagian 1: Sapi

SERVICE PER CONCEPTION (S/C) DAN CONCEPTION RATE (CR) SAPI PERANAKAN SIMMENTAL PADA PARITAS YANG BERBEDA DI KECAMATAN SANANKULON KABUPATEN BLITAR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia. Sebagai ternak potong, pertumbuhan sapi Bali tergantung pada kualitas

penampungan [ilustrasi :1], penilaian, pengenceran, penyimpanan atau pengawetan (pendinginan dan pembekuan) dan pengangkutan semen, inseminasi, pencat

I. PENDAHULUAN. tentang pentingnya protein hewani untuk kesehatan tubuh berdampak pada

BAB I PENDAHULUAN. khususnya daging sapi dari tahun ke tahun di Indonesia mengalami peningkatan

I. PENDAHULUAN. Teknologi Inseminasi Buatan (IB) atau dikenal dengan istilah kawin suntik pada

HASIL DAN PEMBAHASAN. Evaluasi Semen Segar

I. PENDAHULUAN. Perkembangan peternakan mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan

Semen beku Bagian 1: Sapi

PENDAHULUAN. Latar Belakang. setiap tahunnya, namun permintaan konsumsi daging sapi tersebut sulit dipenuhi.

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada April 2014 di Balai Inseminasi Buatan Daerah

Animal Agricultural Journal, Vol. 2. No. 2, 2013, p 1-7 Online at :

I PENDAHULUAN. berasal dari daerah Gangga, Jumna, dan Cambal di India. Pemeliharaan ternak

ABSTRAK. Kata Kunci : Jarak Tempuh; Waktu Tempuh; PTM; Abnormalitas; Semen ABSTRACT

I. PENDAHULUAN. Ketahanan pangan merupakan prioritas ke-5 tingkat Nasional dalam Rancangan

APLIKASI IB DENGAN SPERMA HASIL PEMISAHAN DI SUMATERA BARAT

AGRINAK. Vol. 01 No.1 September 2011:43-47 ISSN:

PENGARUH SUHU DAN LAMA THAWING TERHADAP KUALITAS SPERMATOZOA KAMBING PERANAKAN ETAWA

I PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong

PENGARUH LINGKAR SCROTUM DAN VOLUME TESTIS TERHADAP VOLUME SEMEN DAN KONSENTRASI SPERMA PEJANTAN SIMMENTAL, LIMOUSINE DAN BRAHMAN

EFEKTIFITAS INSEMINASI BUATAN PADA SAPI POTONG MENGGUNAKAN SEMEN CAIR

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Laju pertambahan penduduk yang terus meningkat menuntut

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. kebutuhan sehingga sebagian masih harus diimpor (Suryana, 2009). Pemenuhan

PENGARUH METODE PERKAWINAN TERHADAP KEBERHASILAN KEBUNTINGAN SAPI DONGGALA DI KABUPATEN SIGI

PERBEDAAN KUANTITATIF DAN KUALITATIF SEMEN SEGAR PADA BERBAGAI BANGSA SAPI POTONG. Candra Aerens D.C, M. nur ihsan, Nurul Isnaini ABSTRACT

PENGARUH JENIS PENGENCER TERHADAP KUALITAS SEMEN BEKU DOMBOS TEXEL DI KABUPATEN WONOSOBO

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. indicus yang berasal dari India, Bos taurus yang merupakan ternak keturunan

F.K. Mentari, Y. Soepri Ondho dan Sutiyono* Program Studi S-1 Peternakan Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Contak person: ABSTRACT. Keywords: Service per Conception, Days Open, Calving Interval, Conception Rate and Index Fertility

PERFORMANS REPRODUKSI SAPI BALI DAN SAPI PO DI KECAMATAN SUNGAI BAHAR

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Unit Pelayanan Tekhnis Daerah Balai

LEMBAR PERSETUJUAN ARTIKEL

MUHAMMAD RIZAL AMIN. Efektivitas Plasma Semen Sapi dan Berbagai Pengencer

Semen beku Bagian 2: Kerbau

PENDAHULUAN. Domba merupakan salah satu ternak penghasil daging yang banyak diminati

Sayed Umar* dan Magdalena Maharani** *)Staf Pengajar Departemen Peternakan FP USU, **)Alumni Departemen Peternakan FP USU

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus


CARA MUDAH MENDETEKSI BIRAHI DAN KETEPATAN WAKTU INSEMINASI BUATAN (IB) PADA SAPI INSEMINASI BUATAN(IB).

PENDAHULUAN. Latar Belakang. kelahiran anak per induk, meningkatkan angka pengafkiran ternak, memperlambat

KUALITAS SEMEN SEGAR SAPI PEJANTAN PADA PENYIMPANAN DAN LAMA SIMPAN YANG BERBEDA

KEBERHASILAN IB MENGGUNAKAN SEMEN SEXING SETELAH DIBEKUKAN

I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan

WILAYAH KERJA KRADENAN III, KECAMATAN KRADENAN, KABUPATEN GROBOGAN, JAWA TENGAH SKRIPSI

ABSTRAK. Oleh: *Ramli Idris Mantongi, **Suparmin Fathan, ***Fahrul Ilham

RENCANA KINERJA TAHUNAN

PENGUJIAN KEMURNIAN SAPI BALI DENGAN MENGGUNAKAN METODE ISOELEKTRIC FOCUSING

HASIL DAN PEMBAHASAN

SKRIPSI. PERFORMAN REPRODUKSI INDUK SAPI BALI PASCA SINKRONISASI ESTRUS MENGGUNAKAN PROSTAGLANDIN (PGF 2α ) DAN HUMAN CHORIONIC GONADOTROPIN (hcg)

STATUS REPRODUKSI DAN ESTIMASI OUTPUT BERBAGAI BANGSA SAPI DI DESA SRIWEDARI, KECAMATAN TEGINENENG, KABUPATEN PESAWARAN

JIMVET E-ISSN : Juni 2018, 2(3):

PENGGUNAAN TELUR ITIK SEBAGAI PENGENCER SEMEN KAMBING. Moh.Nur Ihsan Produksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang ABSTRAK

PERFORMA REPRODUKSI PADA SAPI POTONG PERANAKAN LIMOSIN DI WILAYAH KECAMATAN KERTOSONO KABUPATEN NGANJUK

Korelasi Motilitas Progresif dan Keutuhan Membran Sperma dalam Semen Beku Sapi Ongole. Terhadap Keberhasilan Inseminasi

RESPON PENYUNTIKAN HORMON CAPRIGLANDIN PGF2 ERHADAP SINKRONISASI BERAHI INDUK SAPI BALI DI KABUPATEN BANTAENG SULAWESI SELATAN

Pengaruh lama gliserolisasi terhadap keberhasilan produksi semen beku Sapi Simmental

TEKNIK DAN MANAJEMEN PRODUKSI BIBIT SAPI BALI DI SUBAK KACANG DAWA, DESA KAMASAN, KLUNGKUNG ABSTRAK

Pengaruh Penggunaan Tris Dalam Pengencer Susu Skim Terhadap Resistensi Spermatozoa Sapi Simmental Pasca Pembekuan

PENGELOLAAN SEMEN DAN INSEMINASI BUATAN

PENGARUH PENAMBAHAN KACANG KEDELAI ( Glycine max ) DALAM PAKAN TERHADAP POTENSI REPRODUKSI KELINCI BETINA NEW ZEALAND WHITE MENJELANG DIKAWINKAN

Pengaruh Penambahan Streptomycin dalam Skim Kuning Telur Sebagai Pengencer terhadap Kualitas Semen Ikan Mas (Cyprinus Carpio L.)

I. PENDAHULUAN. Propinsi Lampung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Semen beku merupakan semen cair yang telah ditambah pengencer sesuai

Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi Vol.15 No.4 Tahun 2015

KESIMPULAN DAN SARAN. Kesimpulan. Hasil estimasi heritabilitas calving interval dengan menggunakan korelasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Flemish giant dan belgian hare dan berasal dari Amerika. Kelinci ini mempunyai

ABSTRAK ANALISIS KEBERHASILAN INSEMINASI BUATAN PADA SAPI BALI DI KABUPATEN KARANGASEM

PEDOMAN PELAKSANAAN UJI PERFORMAN SAPI POTONG TAHUN 2012

Kinerja Reproduksi Sapi Perah Peranakan Friesian Holstein (PFH) di Kecamatan Pudak, Kabupaten Ponorogo

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2016

Transkripsi:

PERBANDINGAN TINGKAT KESUBURAN SAPI BALI INDUK YANG DIINSEMINSI DENGAN SEMEN BEKU DAN SEMEN CAIR SAPI SIMMENTAL DI KECAMATAN AMARASI BARAT KABUPATEN KUPANG Oleh: Arnold.Ch Tabun *, Petrus Kune **, M.L. Molle *** ABSTRACT A research on fertility of Bali cows inseminated by frozen semen and liquid semen of Simmental cattle was carried out at UPTD Pembibitan dan Hijauan Makanan Ternak in Lili Village and Merbaun village, West Amarasi District. The research was aimed to determine the level of Bali cows fertility which was inseminated by frozen semen and liquid semen of Simmental. The research was arranged by a Completely Randomized Design with two treatments of 40 Bali cows. The result showed that Non Return Rate (NRR) obtained for treatment using frozen semen was 45% and treatment using liquid semen was 60%, while the Conception Rate (CR) on treatment using frozen semen was 45% and liquid semen was 65%. T-student test showed that there was no significant difference between the use of frozen semen and liquid semen in the implementation of artificial insemination. This was caused by the liquid semen had 70% motility and its spermatozoa concentration was above 10-12 million spermatozoa per ml.the liquid semen can be used as an alternative way in genetic improvement of livestock, with the NRR of 60% and 65% CR, in order to overcome the problems of distribution and availability of frozen semen and liquid nitrogen. Key words: Simmental cattle, frozen semen, liquid semen Penelitian tentang perbandingan tingkat kesuburan sapi bali induk yang diinseminsi dengan semen beku dan semen cair sapi simmental telah dilakukan di UPTD Pembibitan dan Hijauan Makanan Ternak Lili dan Desa Merbaun Kecamatan Amarasi Barat Kabupaten Kupang. Tujuan penelitian untuk mengetahui tingkat kesuburan sapi bali betina yang diinseminasi dengan semen beku dan semen cair sapi simmental. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan dua perlakuan sebanyak 40 ekor sapi bali betina. Hasil penelitian menunjukan bahwa angka Non Return Rate (NRR) yang diperoleh untuk perlakuan dengan semen beku adalah 45% dan perlakuan dengan semen cair adalah 60% sedangkan Conception Rate (CR) pada perlakuan dengan semen beku adalah 45% dan semen cair adalah 65%. Hasil uji t-student menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata antara penggunaan semen beku dan semen cair dalam pelaksanaan IB. Hal ini disebabkan oleh karena semen cair mempunyai motilitas 70%P dan konsentrasi spermatozoa di atas 10-12 juta spermatozoa per ml. Untuk mengatasi distibusi ketersediaan semen beku dan nitrogen cair dalam menunjang penerapan teknologi inseminasi buatan maka semen cair dapat digunakan sebagai salah satu alternatif dalam perbaikan mutu genetik ternak dengan nilai NRR sebesar 60% dan CR sebesar 65%. 1 Kata Kunci : Sapi Simmental, semen cair, Semen Beku *. Staf Pengajar Prodi.Produksi Ternak, Politeknik Pertanian Negeri Kupang ** *** Staf Pengajar Fakultas Pertanian-UNDANA Staf Dinas Peternakan Kabupaten Kupang

Teknologi inseminasi buatan (IB) merupakan salah satu teknologi di bidang reproduksi ternak yang telah lama dikembangkan dengan tujuan untuk memaksimalkan pemanfaatan pejantan unggul dan terbaik dalam rangka meningkatkan produktivitas ternak. Teknologi ini telah lama dilaksanakan secara intensif sebagai alat pengembangbiakan pada sapi perah dan sapi potong di sebagian besar daerah peternakan di Pulau Jawa. Nusa Tenggara Timur (NTT), IB diperkenalkan pertama kali sejak tahun 1976 dan secara besar-besar mulai dimasyarakatkan di seluruh pelosok NTT pada awal tahun 1990-an tetapi hingga saat ini belum berkembang secara intensif seperti pada sapi di Pulau Jawa (Toelihere, 1993). Salah satu faktor penyebabnya adalah karena ketersediaaan nitrogen cair dan semen beku yang tidak kontiniu dan sangat tergantung pada bantuan dari pemerintah. Masalah transportasi pengangkutan semen beku dan Nitrogen cair dari Balai Inseminasi Buatan (BIB) di Pulau Jawa ke NTT cukup jauh dan mahal, ditambah sifat fisik nitrogen cair yang mudah menguap, menyebabkan IB yang hanya dapat mengandalkan semen beku terus menjadi kendala. Pemerintah dan beberapa kabupaten telah mendatangkan pejantan unggul ke daerah ini dengan harapan agar dapat terjadi kawin alam dengan sapi bali sehingga dapat memperbaiki mutu genetik sapi bali. Namun dalam pelaksanaannya masih mengalami hambatan dalam proses perkawinan terutama perkawinan secara alami. Jika pejantan unggul (Bull) dikawinkan dengan ternak sapi bali betina, hal tidak dapat terjadi karena perbedaan bangsa, ukuran dan berat badan. Dengan demikan harapan pemerintah daerah baik kabupaten maupun propinsi akan sulit terwujud. Pejantan unggul yang didatangkan tidak dapat dipakai dalam proses perkawinan alami, sehingga untuk memaksimalkan pemanfaatan pejantan unggul dapat dilakukan dengan menampung semennya untuk dapat digunakan dalam penerapan teknologi inseminasi buatan. Produksi dan pemanfaatan semen cair pejantan unggul terbaik adalah cara lain untuk memanfaatkan keberadaan sapi jantan yang telah ada. Hasil kegiatan penerapan teknik produksi dan pemanfaatan semen cair yang dilaksanakan Kune dkk, (2003) pada pejantan simmental di Unit Pelaksanaan Teknis Daerah (UPTD) Pembibitan dan

Hijauan Makanan Ternak Lili merupakan bukti bahwa kesulitan kawin alam antara ternak yang berbeda bangsa, ukuran tubuh dan berat badan dapat teratasi. Meskipun demikian keterbatasan pejantan unggul baik jumlah maupun jenisnya tetap merupakan permasalahan dalam mengintensifkan kegiatan IB di daerah yang jauh dari lokasi pemeliharaan pejantan hal ini disebabkan karena kemampuan bertahan semen cair pada kualitas semen layak IB (Motilitas 40%) berlangsung singkat yakni berkisar 3-4 hari (Toelihere, 1993 dan Nesimnasi, 1994). Untuk mengatasi kendala rutinitas pengadaan terutama distribusi semen beku dalam pengembangan teknologi IB di NTT, maka telah dilakukan uji coba penggunaan semen beku dan semen cair di Kecamatan Amarasi Barat. MATERI DAN METODE Penelitian telah dilaksanakan di UPTD pembibitan dan Hijauan makanan ternak Lili dan Desa Merbaun Kecamatan Amarasi barat. Materi yang digunakan adalah sapi Jantan Simmental (Bull), sapi bali betina 40 ekor, semen cair, semen beku, mikroskop, kulkas, ependrope tube, cover glass, object glass, kuning telur, citrat natricus, termos, nitrogen cair, container. Rancangan Acak Lengkap (RAL) terdiri dari 2 perlakuan (semen beku dan semen cair) sebanyak 40 ekor sapi bali betina. Variabel yang diukur adalah Non Return Rate (NRR) dan Conception rate (CR). Data yang diperoleh kemudian ditabulasi dengan menggunakan uji t-student untuk mengetahui pengaruh perlakuan ternahadap NRR dan CR. HASIL DAN PEMBAHASAN KEADAAN KUALITAS SEMEN BEKU DAN SEMEN CAIR Motilitas adalah kemampuan dari spermatozoa untuk bergerak progresif (maju kedepan) yang merupakan suatu patokan yang dipakai untuk penilaian kualitas semen yang digunakan dalam melakukan inseminasi buatan. Motilitas spermatozoa dalam suatu sampel ditentukan secara keseluruhan atau sebagian dari rata-rata suatu populasi spermatozoa. Pengamatan terhadap kualitas semen beku yang digunakan dalam penelitian adalah dilakukan pengamatan pada satu strow semen beku yang ada dalam

konteiner. Sedangkan pengamatan terhadap kualitas semen cair dilakukan setiap kali menggunakan semen cair. Semen cair yang digunakan semen cair yang telah diencerkan dan disimpan paling lama 3 hari setelah pengenceran dengan suhu penyimpanan 3-5 0 C seperti yang diamati Kune (2004), meskipun spermatozoa semen cair masih memperhatikan motilitas layak IB hingga hari ketujuh. Tabel 1. Motilitas Spermatozoa semen cair dan semen beku. Bentuk semen Motilitas semen (%) selama 7 hari beku 1 2 3 4 5 6 7 Semen cair 70 70 65 60 50 50 40 Semen beku BIB 60 Dari data tabel 1 menunjukan bahwa motilitas spermatozoa pada semen cair terjadi penurunan motilitas dari hari pertama 70%P (progresif) sampai 40%P pada hari ke tujuh. Motilitas spermatozoa pada semen beku motilitasnya adalah 60%P. Selama penyimpanan terlihat adanya penurunan pergerakan progresif (motilitas) spermatozoa. Penurunan ini karena semakin bertambahnya jumlah spermatozoa yang rusak akibat umur yang semakin menua, berkurangnya sumber energi yang tersedia dalam medium dan adanya pengaruh suhu. NON RETURN RATE (NRR) SAPI BALI YANG DIINSEMINASI DENGAN SEMEN BEKU DAN SEMEN CAIR Non Return Rate (NRR) adalah jumlah ternak betina yang tidak kembali menunjukan birahinya setelah dikawinkan atau diinseminasi. Hal ini sering menjadi salah satu tolak ukur penentu keberhasil IB atau kawin alam karena sapi yang tidak birahi setelah diinseminasi selalu dianggap telah terjadi kebuntingan dan ternak tersebut mulai menjani massa kebuntingan. Untuk mengatasi NRR dilakukan pengamatan pada hari yang ke 19 sampai dengan 24. Hasil pengamatan NRR dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2. NRR sapi Bali yang di Inseminasi dengan semen beku dan semen cair Perlakuan Dengan melihat tabel di atas dapat diuraikan sebagai berikut pada perlakuan semen beku terdapat 9 ekor dari 20 ekor atau (45%) dan perlakuan semen cair terdapat 12 ekor dari 20 ekor atau (60%) yang tidak kembali minta kawin. Sehingga total sapi yang tidak kembali minta kawin adalah 21 ekor dari 40 ekor atau (52,5%) jumlah sapi yang kembali birahipada perlakuan dengan semen beku terdapat 11 ekor dari 20 ekor atau (55%) dan pada perlakuan dengan semen cair terdapat 8 ekor dari 20 ekor atau (40%). Secara keseluruhan 40 ekor yang telah diinseminasi ternyata yang kembali birahi sebanyak 19 ekor. Jumlah ternak akseptor Hasil pengamatan estrus pasca IB (18-24 hari) Birahi kembali Tidak birahi kembali Dari 21 ekor sapi betina yang tidak kembali menunjukan birahinya, setelah diinseminasi positif bunting, ditambah satu ekor yang birahi kembali dan positif bunting. Secara teoritis (Toelihere, 1993) menyatakan bahwa tidak semua ternak yang bunting tidak menunjukkan birahi artinya terdapat 3-5 % ternak betina dapat memperlihatkan birahi sekalipun dalam keadaan bunting. Hasil Uji t-studen menunjukan perbedaan yang tidak nyata (P>0.05), atau perlakuan semen beku dan semen cair terhadap nilai NRR. Namun kalau dilihat dari tabel 4 di atas terdapat perbadaan perlakuan semen beku dan semen cair yaitu sebesar 3 ekor atau 15% yang kembali birahi (11 ekor : 8 ekor). NRR hasil pengamatan jika dibandingkan dengan penelitian lain masih sangat rendah penelitian terdahulu. Sitorus (1973) nilai NRR 63% pada sapi perah yang diinseminasi dengan semen beku inport; NRR 75% pada sapi potong (Sitorus dkk, 1975); Robert (1971) dalam Toelihere (1985), di Amerika Serikat Nilai NRR mencapai rata-rata 65-72%. Hal ini disebabkan oleh bangsa sapi yang digunakan, kondisi pada saat penelitian dan manajeman pemeliharaan ternak terutama pengamatan birahi yang mengandalkan peternak. NRR (%) Semen Beku 20 11 9 45 Semen cair 20 8 12 60 Jumlah 40 19 21

ANGKA KEBUNTINGAN TERNAK SAPI BALI YANG DIINSEMINASI DENGAN SEMEN BEKU DAN SEMEN CAIR Salah satu teknik penentuan fertilitas dalam mendapatkan informasi tentang keberhasilan dari kegiatan inseminasi adalah angka konsepsi (Conseption Rate) yaitu persentasi sapi betina yang bunting pada IB pertama melalui palpasi perektal dibagi dengan jumlah seluruh ternak yang diinseminasi dikali 100 persen. Untuk mengetahui seekor sapi betina bunting atau dapat dilakukan palpasi rektal. Setelah diinseminasi selama 60 hari selanjutnya baru dapat dilakukan pemeriksaan kebuntingan. Untuk mengetahui angka kebuntingan dari masing-masing sapi betina dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 3. Angka Kebuntingan (Conception Rate) Sapi Betina Akseptor. Perlakuan Jumlah Ternak Akseptor Hasil PKB per Rektal CR (%) Tidak Bunting Bunting Semen Beku 20 11 9 45 Semen Cair 20 7 13 65 Jumlah 40 18 22 Mencermati hasil yang diperlihatkan pada tabel 3 tampak bahwa penggunaan semen cair dalam kegiatan inseminasi buatan memperlihatkan angka kebuntingan yang lebih tinggi sebesar 65% (13 ekor yang menjadi bunting). Sedangkan pada perlakuan dengan semen cair hanya 45% (9 ekor yang menjadi bunting) dan secara keseluruhan 22 ekor dari 40 ekor (55%) menjadi bunting dan ada 18 ekor dari 40 ekor (45%) yang tidak bunting. Hasil Uji t-student menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>0.05) antara perlakuan semen beku dan semen cair. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa selisih semen beku dan semen cair yaitu 4 ekor atau 20% dimana angka kebuntingan yang tinggi diperlihatkan ternak-ternak yang diinseminasi dengan semen cair dari pada ternak-ternak yang diinseminasi dengan semen beku. Hal ini disebabkan oleh dua hal mendasar yakni 1) dosis semen cair yang digunakan adalah 0,5 cc sedangkan dosis semen beku 0,25 cc. 2) konsentrasi spermatozoa per dosis IB untuk semen beku seperti

yang dikemukakan dalam Toelihere (1993) adalah sebesar 12 juta spermatozoa sehingga jika motilitasnya sebesar 40%, maka masih ada sekitar 5 juta spermatozoa yang motil saat dinseminasi sedangkan semen cair yang digunakan adalah semen yang disimpan lebih dari satu hari setelah pengenceran dengan motilitas 70% dan masih terdapat 10-12 juta spermatozoa. Semen cair yang digunakan untuk inseminasi ternak sapi masih berada dalam kisaran waktu yang tidak lebih dari 3 hari setelah diencerkan dan disimpan pada suhu 3-5 0 C (Tabun, 2004), dan dosis semen cair sebanyak 0,50 cc serta konsentrasi spermatozoa di atas 6 juta spermatozoa merupakan faktor penyebab tingginya angka kebuntingan. Angka kebuntingan pada penelitian ini jika dibandingkan dengan penelitian terdahulu masih sangat rendah. Beli (1991) yang menggunakan semen beku dengan angka CR sebesar 62,28% (Doke, 1996). Sedangkan angka kebuntingan ternak dengan menggunakan semen cair masih lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nesimnasi (1994), yang mengunakan semen cair dengan CR 47,64% dan Kune, dkk (2000) CR sebesar 41%. Hal ini mungkin disebabkan oleh bangsa ternak sapi yang digunakan, kondisi ternak dan dukungan lingkungan saat penelitian serta manajemen pemeliharaan ternak. Kesuburan atau kemampuan berproduksi pada sekelompok ternak ditentukan oleh banyaknya ternak betina yang menjadi bunting atau melahirkan anak, (Salisbury dan Van Demark, 1985), fertilitas atau efisiensi reproduksi ternak sangat tergantung pada kesuburan ternak betina dan kesuburan ternak jantan.

SIMPULAN Untuk mengatasi distibusi ketersediaan semen beku dan nitrogen cair dalam menunjang penerapan teknologi inseminasi buatan maka semen cair dapat digunakan sebagai salah satu alternatif dalam perbaikan mutu genetik ternak dengan angka NRR sebesar 60% dan CR sebesar 65%.

DAFTAR RUJUKAN Belli, H. L.L., 1991. Pengaruh Berbagai Dosis dan Cara Pemberian ProstaglandinF terhadap performans reproduksi sapi bali. Tesis Program Pasca sarjana IPB. Bogor. Kune, P., T Matahine dan S Doke., 2000. Produksi dan pemanfaatan Semen Cair Pejantan Unggul dalam Meningkatkan Produktivitas sapi bali melalui teknologi Inseminasi Buatan di Kabupaten Timor Tengah Utara. Laporan IPTEK Lembaga pengabdian Pada Masyarakat Undana Kupang. Nesimnasi, N. 1994. Pengaruh Lama penyimpanan Semen cair terhadap angka kebuntingan pada sapi bali di Besipae TTS Salisbury, G.W., N.L. Van Demark dan R. Januar. 1985. Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan Pada Ternak. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Sitorus, P dan S.B. Siregar, 1973. Tinjauan Perkembangan Pelaksanaan AI di Pulau Jawa. Lembaga Penelitian Peternakan No.2 1-12 Sitorus, P. A Muljadi, Subandrio, L.H. Prasetyo, S.N. Tambing, S. Semali, N. Jarmani dan S. B Siregar,. 1994. Studi tentang peranan inseminasi buatan dalam upaya peningkatan produktifitas dan pengembangan ternak sapi. Pusat Penelitian dan pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan pengembangan Pertanian Bogor. Tabun. A. 2004. Daya tahan hidup dan motilitas spermatozoa sapi simmental dalam pengencer sitrat kuning telur bergliserol pada suhu penyimpanan berbeda. Skripsi. Fapet Undana. Toelihere, M. R., 1993. Inseminasi Buatan Pada Ternak. Angkasa Bandung.