BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB VI PERANCANGAN KEBIJAKAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB V ANALISA PERILAKU MODEL DASAR

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Jagung merupakan komoditi yang penting bagi perekonomian Indonesia,

VII DAMPAK PENCAPAIAN KEBIJAKAN GERNAS DAN PENERAPAN BEA EKSPOR KAKAO TERHADAP KINERJA INDUSTRI HILIR DAN PENERIMAAN PETANI

BAB VI PERANCANGAN KEBIJAKAN. 6.1 Arah Kebijakan dan Proses Perancangan Kebijakan

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Gambar 1 Proyeksi kebutuhan jagung nasional (Sumber : Deptan 2009, diolah)

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA. Oleh : RIKA PURNAMASARI A

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan terigu dicukupi dari impor gandum. Hal tersebut akan berdampak

cair (Djarwati et al., 1993) dan 0,114 ton onggok (Chardialani, 2008). Ciptadi dan

BAB I PENDAHULUAN. adanya keterbukaan ekonomi yang semakin luas dari setiap negara di dunia, baik. financial openness). Keuntungan dari keterbukaan

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Kemampuan sektor pertanian dalam

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Lampung adalah produsen tapioka utama di Indonesia. Keberadaan industri

I. PENDAHULUAN. sangat penting untuk mencapai beberapa tujuan yaitu : menarik dan mendorong

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu sentra produksi tanaman bahan makanan di

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

I. PENDAHULUAN. bermatapencaharian petani. Meskipun Indonesia negara agraris namun Indonesia

PENDAHULUAN. dan tidak bisa dipisahkan yaitu pertama, pilar pertanian primer (on-farm

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

IX. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

I PENDAHULUAN. [3 Desember 2009] 1 Konsumsi Tempe dan Tahu akan Membuat Massa Lebih Sehat dan Kuat.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Produksi, Produktivitas, dan Luas Areal Ubi Kayu di Indonesia Serta

DAFTAR ISI. Halaman Judul... Lembar Pengesahan... Lembar Pernyataan... Kata Pengantar... Daftar Isi...

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini berisikan latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian, batasan masalah, dan sistematika penulisan.

I. PENDAHULUAN. Perekonomian merupakan salah satu indikator kestabilan suatu negara. Indonesia

1 Universitas Indonesia

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. hortikultura, subsektor kehutanan, subsektor perkebunan, subsektor peternakan,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

I. PENDAHULUAN. menjadi produk yaitu pabrik perakitan dan pabrik kimia. Perubahan bahan baku menjadi produk pada pabrik perakitan bukan merupakan

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

PENDAHULUAN. Peranan studi kelayakan dan analisis proyek dalam kegiatan pembangunan. keterbatasan sumberdaya dalam melihat prospek usaha/proyek yang

1. PENDAHULUAN. perekonomian Indonesia. Hal ini terlihat dari beberapa peranan sektor pertanian

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan

RINGKASAN EKSEKUTIF

I. PENDAHULUAN. sebagai dasar pembangunan sektor-sektor lainnya. Sektor pertanian memiliki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Langkah-Langkah Penelitian

Dinamika Pengembangan Subsektor Industri Makanan dan Minuman Di Jawa Timur: Pengaruh Investasi Terhadap Penyerapan Jumlah Tenaga Kerja

I. PENDAHULUAN. dalam hal lapangan pekerjaan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1.

BAB IV PENGEMBANGAN MODEL

BAB I PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L] Merr.) merupakan tanaman komoditas pangan

BAB I PENDAHULUAN. penduduk Indonesia. Bagi perekonomian Indonesia kacang kedelai memiliki

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Lengkap Ekonomi Collins (1997) dalam Manaf (2000),

BAB I PENDAHULUAN. pangan utama di Indonesia setelah padi dan jagung. Di Indonesia, budidaya

I. PENDAHULUAN. yang dimiliki oleh suatu negara. Indonesia merupakan negara berkembang

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini pembangunan pertanian tidak lagi berorientasi semata - mata

VIII SKENARIO ALTERNATIF KEBIJAKAN PENGEMBANGAN SISTEM AGROINDUSTRI KAKAO

XI. PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI UBI KAYU

Produksi Padi Tahun 2005 Mencapai Swasembada

BAB I PENDAHULUAN. Industri pertekstilan merupakan industri yang cukup banyak. menghasilkan devisa bagi negara. Tahun 2003 devisa ekspor yang berhasil

I. PENDAHULUAN. pengekspor jagung (net exporter), namun situasi ini secara drastis berubah setelah

I. PENDAHULUAN. berbasis tebu merupakan salah satu sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sektor non pertanian merupakan suatu proses perubahan struktur ekonomi.

Analisis ekspor karet dan pengaruhnya terhadap PDRB di Provinsi Jambi

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

MODEL SIMULASI PENCEMARAN UDARA DENGAN

POTENSI LAHAN PERTANIAN BAGI PENGEMBANGAN PALAWIJA DI LAMPUNG

BAB I PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Secara fisik Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia

BAB V PERANCANGAN KEBIJAKAN DAN ANALISIS PERILAKU MODEL. V.1 Arah Kebijakan Direktorat Industri Alat Transportasi Darat dan Kedirgantaraan (IATDK)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan pokok manusia yang harus dipenuhi. Di

KINERJA PERDAGANGAN PRODUK KELAUTAN DAN PERIKANAN DI KAWASAN AFRIKA DAN TIMUR TENGAH

Lahan rawa untuk budidaya tanaman pangan berwawasan lingkungan Sholehien

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1. Pertumbuhan PDB Kelompok Pertanian di Indonesia Tahun

I. PENDAHULUAN. serealia, umbi-umbian, dan buah-buahan (Kementan RI, 2012). keunggulan yang sangat penting sebagai salah satu pilar pembangunan dalam

I. PENDAHULUAN. nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar

BAB I PENDAHULUAN. membantu membiayai pembangunan nasional, sedangkan impor dilakukan untuk

I. PENDAHULUAN. menjadi produk yaitu pabrik perakitan dan pabrik kimia. Perubahan bahan baku menjadi produk pada pabrik perakitan bukan merupakan

Boks 1. Dampak Pembangunan Industri Hilir Kelapa Sawit di Provinsi Riau : Preliminary Study IRIO Model

ha1 memberikan peluang kerja bagi masyarakat. Sektor agribisnis holtimtura

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persepsi

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai negara berkembang, Indonesia memiliki laju pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. 1960, namun sampai sekarang ketergantungan terhadap beras dan terigu

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

BAB I PENDAHULUAN. Manihot utilissima (Singkong). Selama ini manihot utilissima biasanya digunakan

LAPORAN AKHIR ANALISIS PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI BERBASIS PANGAN LOKAL DALAM MENINGKATKAN KEANEKARAGAMAN PANGAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI PEDESAAN

, (2007), Limbah Cair Agroindustri Propinsi Lampung, Bapedalda Propinsi Lampung, Bandar Lampung.

BAB I PENDAHULUAN. petani, mengisyaratkan bahwa produk pertanian yang dihasilkan harus memenuhi

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dalam kebijakan pangan nasional. Pertumbuhan ekonomi di negara negara

I. PENDAHULUAN. Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya. bertahap. Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang meliputi

I. PENDAHULUAN. Tanaman jagung merupakan salah satu jenis tanaman pangan biji-bijian dari keluarga

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri.

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ubikayu merupakan komoditi pertanian terbesar di Propinsi Lampung dibanding padi dan jagung dilihat dari nilai produksinya. Nilai produksi ubikayu pada tahun 2005 sebesar 4.67 juta ton sedangkan nilai produksi padi dan jagung sebesar 2.09 juta ton dan 1.21 juta ton (BPS Propinsi Lampung, 2005). Kebijakan pengembangan tanaman ubikayu tidak terlepas dari kemampuan ubikayu yang memiliki daya adaptasi tinggi untuk tumbuh dan berkembang pada lahan kering yang banyak terdapat di Propinsi Lampung, serta sifat dari usaha budidaya ubikayu yang rendah investasi (Zakaria, 2000). Ubikayu yang dihasilkan oleh Propinsi Lampung merupakan bahan baku utama bagi industri tepung tapioka. Ketersediaan ubikayu menjadikan Lampung sebagai produsen tepung tapioka utama dengan volume produksi sebesar 689000 ton pada tahun 2005. Hasil produksi tepung tapioka dari Propinsi Lampung terutama ditujukan untuk pasar domestik (Diskoperindag, 2007). Keberadaan industri tepung tapioka di Propinsi Lampung menjadi penting berkaitan dengan penyediaan lapangan pekerjaan, dimana 64% penyerapan tenaga kerja sektor industri pengolahan berasal dari industri tepung tapioka (Supriyati et al., 2006). Industri tepung tapioka juga merupakan jenis agroindustri yang menyerap tenaga kerja ke tiga terbanyak setelah industri tempe dan tahu (Deptan, 2000) dalam (Asnawi, 2002). Di sisi lain keberadaan industri tepung tapioka di Propinsi Lampung berkaitan dengan penurunan kualitas lingkungan. Limbah cair dari industri tepung tapioka merupakan salah satu kontributor polutan utama yang menyebabkan penurunan kualitas badan sungai di Propinsi Lampung (Bapedalda Propinsi Lampung, 2004). Industri tepung tapioka adalah industri dengan tingkat pencemar air (COD) yang 1

tertinggi yaitu 2.972 mg/l disusul oleh industri pulp, dengan nilai COD berada pada kisaran 1.240-2.174 mg/l (Wiryawan et al., 2001). Konsumsi tepung tapioka di dalam negeri cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini berkaitan dengan fungsinya sebagai bahan bahan baku atau bahan pembantu untuk industri seperti industri makanan dan minuman, tekstil, kertas, sorbitol dan lain sebagainya (Richana et al., 2004). Data konsumsi tepung tapioka dilihat dari realisasi produksi tepung tapioka nasional dengan memperhatikan nilai ekspor dan impor dari Departemen Perindustrian menunjukkan pertumbuhan konsumsi dalam negeri rata-rata sebesar 9 persen pertahun (Gambar 1.1). Konsumsi (Ton/tahun) 1400000 1200000 1000000 800000 600000 400000 200000 0 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Tahun Konsumsi tapioka Gambar 1.1 Konsumsi Tepung Tapioka Dalam Negeri (Depperin, 2007) Kekurangan suplai tapioka yang digunakan di dalam negeri diimpor dari Thailand yang merupakan penghasil tepung tapioka terbesar di dunia. Volume impor tepung tapioka dari Thailand cenderung meningkat dari tahun ketahun (Gambar 1.2). Masuknya tepung tapioka impor tidak terlepas dari faktor harga komoditi tepung tapioka impor yang bersaing dengan tepung tapioka domestik termasuk tepung tapioka dari Propinsi Lampung (Diskoperindag Propinsi Lampung, 2005). 2

Nilai impor (ton/tahun) 300000 250000 200000 150000 100000 50000 0 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Tahun impor Gambar 1.2 Volume Impor Tepung Tapioka Indonesia (Thai Tapioca Trade Association, 2007 (diolah)) Selama ini untuk mendorong peningkatan produksi tepung tapioka di Propinsi Lampung dilakukan dengan meningkatkan produksi ubikayu melalui perluasan areal tanam ubikayu dan peningkatan produktivitas tanaman ubikayu. Sampai tahun 2030 pemerintah daerah mentargetkan perluasan areal tanam ubikayu mencapai 1 juta ha dengan produktivitas tanaman mencapai 100 ton per ha. Hal ini dilakukan untuk menjaga kesinambungan suplai bahan baku bagi industri pengolahan ubikayu (Diskoperindag, 2005). Untuk kebijakan pemerintah pusat terkait dengan industri tepung tapioka adalah penetapan tarif masuk untuk tepung tapioka impor dari 5% untuk periode sebelum tahun 2005 menjadi 10 % pada periode 2005 dan seterusnya (Depkeu, 2005). Sedangkan untuk penanganan air limbah cair tapioka umumnya digunakan instalasi pengolahan air limbah dalam bentuk kolam terbuka berupa kolam anaerob, kolam fakultatif dan kolam aerob (Prayati et al., 2006). Dengan memperhatikan perkembangan konsumsi tapioka dalam negeri yang terus meningkat menjadi dasar pertimbangan bagi industri tepung tapioka di Propinsi Lampung untuk ditingkatkan pertumbuhannya. Peningkatan produksi tepung tapioka diharapkan dapat meningkatkan penyediaan lapangan pekerjaan di Propinsi Lampung. Namun dalam usaha peningkatan produksi diharapkan tidak diikuti dengan peningkatan beban pencemar yang berasal dari limbah cair industri. Penelitian ini mencoba melakukan analisa terhadap serangkaian kebijakan lain sebagai usaha untuk meningkatkan pertumbuhan industri tepung tapioka. Melalui kebijakan yang dirancang selain dapat meningkatkan pertumbuhan 3

industri diharapkan peningkatan beban pencemar yang dihasilkan oleh industri tepung tapioka dapat dikurangi. Dalam melakukan analisa suatu kebijakan, diperlukan suatu pendekatan untuk membantu menentukan kebijakan yang akan dipilih. Salah satu dasar dalam memilih suatu pendekatan yang akan digunakan adalah karakteristik dari sistem yang akan dikaji. Agrosistem secara umum merupakan sektor yang kompleks sehingga tidak dapat direncanakan tanpa sudut pandang sistem. Di dalamnya terdapat keterkaitan beberapa faktor, seperti situasi persaingan, ekonomi, teknologi, sosial, dan lingkungan (Wilk & Fensterseifer, 2000). Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk menangani sistem yang komplek adalah pendekatan sistem dinamis. Pendekatan sistem dinamis adalah metode yang dapat digunakan untuk memahami sistem yang komplek yang berubah secara dinamis dengan sejalannya waktu. Tujuan utama dari penggunaan pendekatan sistem dinamis adalah meningkatkan pemahaman terhadap suatu sistem. Pemahaman yang baik selanjutnya digunakan untuk membantu menentukan kebijakan atau rekomendasi untuk memperbaiki kinerja sistem tersebut (Sterman,2000). Industri tepung tapioka sebagaimana agrosistem umumnya dapat dikategorikan sebagai sistem komplek, terkait dengan hubungan antar faktor didalamnya seperti faktor produksi, tenaga kerja, pasar, dan lingkungan yang selalu berubah dari waktu ke waktu. Oleh karena itu pendekatan yang akan dipilih untuk digunakan dalam penelitian pengembangan industri tepung tapioka adalah pendekatan sistem dinamis. Penggunaan pendekatan sistem dinamis diharapkan dapat membantu menangani keterkaitan antar faktor di dalam sistem sehingga dapat meningkatkan pemahaman terhadap sistem industri tepung tapioka sendiri. Dengan pemahaman yang baik diharapkan akan membantu menentukan rekomendasi kebijakan yang sesuai untuk meningkatkan kinerja dari sistem industri tepung tapioka. 4

1.2 Perumusan Masalah Dari latar belakang yang telah diuraikan di atas mengenai kondisi industri tepung tapioka maka perumusan masalah pada penelitian ini adalah : 1. Bagaimana keterkaitan antar faktor di dalam sistem industri tepung tapioka?. 2. Bagaimana rancangan kebijakan yang dapat diterapkan untuk meningkatkan produksi tepung tapioka dengan meminimumkan beban pencemar?. 1.3 Tujuan Penelitian Dari perumusan masalah di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Membangun suatu model yang dapat menerangkan keterkaitan antara faktor di dalam sistem industri tepung tapioka dengan pendekatan sistem dinamis. 2. Merancang skenario kebijakan yang dapat digunakan untuk meningkatkan produksi tepung tapioka dengan meminimumkan beban pencemar yang dihasilkan oleh industri tepung tapioka. 1.4 Manfaat Penelitian Dari penelitian ini diharapkan beberapa manfaat sebagai berikut : 1. Memberikan gambaran kepada berbagai pihak yang berkepentingan tentang pengembangan komoditi tepung tapioka dalam pendukung pembangunan ekonomi Propinsi Lampung. 2. Sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Daerah Propinsi Lampung dan Departemen Perindustrian dalam perumusan kebijakan pengembangan industri tepung tapioka selanjutnya. 3. Sebagai bahan kajian untuk penelitian lanjutan sektor industri tepung tapioka dan sektor agroindustri lainnya 5

1.5 Batasan dan Asumsi Penelitian Batasan dan asumsi dalam penelitian ini adalah : 1. Industri tepung tapioka yang dikaji adalah industri tepung tapioka di Propinsi Lampung yang termasuk kelompok industri dengan kode HS 19.03. 2. Indikator yang digunakan untuk menilai kinerja sistem industri tepung tapioka adalah tingkat produksi, jumlah tenaga kerja dan jumlah beban pencemar. 3. Kajian jumlah beban pencemar dari industri tepung tapioka dibatasi pada konsentrasi COD pada limbah cair industri. 4. Periode analisis simulasi model dibatasi dari tahun 2001 sampai dengan 2015. 5. Data yang digunakan adalah data sekunder dari berbagai instansi seperti BPS, Pusat Data dan Informasi Departemen Perindustrian (Pusdatin), Diskoperindag Propinsi Lampung, Bapedalda Propinsi Lampung, Disnaker Propinsi Lampung, Industri pengolahan tepung tapioka dan hasil-hasil penelitian dari lembaga pendidikan dan pemerintah. 6. Skenario diterapkan pada tahun 2009 7. Faktor faktor terkait dalam sistem industri tepung tapioka yang bersifat kualitatif seperti keadaan politik, sosial, budaya dan keamanan tidak dicakup dalam penelitian ini. 8. Tingkat teknologi yang digunakan dalam proses pembuatan tepung tapioka diasumsikan tetap. 1.6 Posisi Penelitian Penelitian yang dilakukan ini merupakan pengembangan dari beberapa penelitian sebelumnya. Adapun posisi penelitian dapat dilihat pada tabel 1.1. 6

Tabel 1.1 Posisi Penelitian I-7 7

Dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan ditinjau dari tingkatan penelitian dibedakan menjadi tiga tingkatan. Prasanna (1996) dan Mulyanto melakukan penelitian untuk tingkat perusahaan. Kandelaars (1997), Nasution (2001), Asnawi (2002), Fuglie (2006) dan Supriyati (2006) melakukan penelitian pada tingkat sektor. Wilk (2000) dan Bonilla (2000) melakukan penelitian pada tingkat negara. Penggunaan pendekatan pada penelitian-penelitian di atas dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok. Kandelaars (1997) dan Nasution (2001) menggunakan pendekatan sistem dinamis, Asnawi (2002), Bonilla (2000), Fuglie (2006) menggunakan pendekatan ekonometrik. Wilk (2000) menggunakan pendekatan pakar, dan Supriyati (2006) menggunakan pendekatan input output. Dari indikator kinerja, Asnawi melakukan penelitian tentang nilai produksi tepung tapioka yang dipengaruhi oleh nilai bahan baku, tenaga kerja dan bahan bakar. Supriyati menganalisa penyerapan tenaga kerja yang terlibat pada industri tepung tapioka. Fuglie menganalisa perkembangan industri tepung yang sangat dipengaruhi oleh kebijakan pertanian suatu negara dan struktur biaya produksi industri tepung-tepungan di Asia yang didominasi oleh biaya bahan baku dan tenaga kerja. Bonilla menganalisa kebijakan perdagangan seperti tarif ekspor dan impor suatu negara terhadap perkembangan agroindustri di negara berkembang dan maju. Sedangkan Wilk menyusun kerangka kebijakan untuk sistem agrobisnis ditinjau dari sisi produksi dan permintaan. Prasanna dan Mulyanto menganalisa sistem pengolahan limbah cair tapioka untuk mencari alternatif sistem pengolahan limbah cair industri tepung tapioka. Kandelaar memodelkan sektor pariwisata dengan indikator nilai tambah, investasi, beban pencemar dan produksi. Nasution memodelkan sektor perikanan dengan indikator produksi, tenaga kerja, profitabilitas dan pendapatan nelayan. Usulan penelitian adalah penelitian di sektor industri tepung tapioka untuk merancang kebijakan peningkatan kinerja industri tepung tapioka dengan menggunakan pendekatan sistem dinamis. Indikator yang akan digunakan untuk menilai kinerja industri tepung tapioka adalah tingkat produksi, jumlah tenaga kerja industri dan jumlah beban pencemar. 8

1.7 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan hasil penelitian dibagi menjadi 6 bagian dengan urutan sebagai berikut : BAB 1 Pendahuluan Bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, batasan masalah, manfaat penelitian, posisi penelitian dan sistematika penulisan. BAB II Landasan Teori Bab ini berisi teori-teori dan konsep untuk mendukung pengembangan model serta analisis kebijakan yang dibuat. Bab ini berisi teori tentang sistem industri tepung tapioka dan teori tentang pendekatan sistem dinamis. BAB III Metodologi Penelitian Bab ini berisi langkah-langkah yang digunakan dalam melakukan penelitian. BAB IV Pengembangan Model Bab ini menguraikan pengembangan model dari sistem industri tepung tapioka. Pada bagian ini berisi tahap-tahap pemodelan sistem industri tepung tapioka dengan menggunakan pendekatan sistem dinamis. Bab ini berisi dasar pengembangan model, pembentukan struktur model dan validasi model. BAB V Analisis Perilaku Model Bab ini membahas perilaku model yang telah dibangun. BAB VI Perancangan Kebijakan Pada bab ini akan dikemukakan bahasan mengenai perancangan kebijakan yang akan dilakukan, meliputi jenis rancangan kebijakan, penerapan rancangan kebijakan dan implikasi dari rancangan kebijakan tersebut. BAB VII Kesimpulan dan Saran BAb ini berisi pokok-pokok hasil penelitian dan saran-saran yang berkaitan dengan sistem maupun perbaikan bagi model yang telah dibangun. 9