4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Produksi Alginat dari Pseudomonas aeruginusa 4.1.1. Biomassa kering P. aeruginosa Biomassa P. aeruginosa yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar antara 0,23 1,5 g/l selama 48 jam waktu inkubasi pada kultur cair medium BHI (Brain Heart Infusion) broth (Lampiran 2). Pengukuran biomassa dilakukan untuk mendapatkan kurva pertumbuhan bakteri P. aeruginosa. Kurva pertumbuhan bakteri P. aeruginosa dapat dilihat pada Gambar 11. Biomassa kering (g/l) 1,6 1,4 1,2 1,0 0,8 0,6 0,4 0,2 0,0 0 3 6 9 12 18 24 30 36 42 48 Waktu inkubasi (jam) Gambar 11. Grafik hubungan waktu inkubasi dengan biomassa kering bakteri. Pertumbuhan bakteri P. aeruginosa dalam media BHI broth menghasilkan biomassa kering optimum sebanyak 1,5 g/l pada jam ke-6 dan minimum pada jam ke-48 sebanyak 0,23 g/l. Bakteri P. aeruginosa pada penelitian ini berasal dari perairan tawar. Pertumbuhan P. aeruginosa dengan media BHI broth lebih cepat dibandingkan pertumbuhan P. aeruginosa dengan media lain. Hal ini terbukti bahwa pada penelitian sebelumnya dengan media glukosa dan penambahan ekstrak khamir, pertumbuhan optimum bakteri ini baru didapatkan pada jam ke-96 dengan biomassa kering sebanyak 1,75 g/l (Hendri 1995). Selain itu, Desniar (2003) melaporkan bahwa jumlah biomassa kering optimum yang didapatkan sebanyak 4,34 g/l yang diinkubasi dalam media tetes tebu dan urea selama 72 jam waktu inkubasi.
Kurva pertumbuhan bakteri biasanya mengikuti pertumbuhan jasad renik. Fase log (eksponensial) P. aeruginosa terjadi pada waktu inkubasi jam ke-0 hingga jam ke-6 dengan biomassa yang didapatkan 0,5 1,5 g/l. Pseudomonas aeruginosa mulai mengalami fase stationer pada jam ke-6 hingga jam ke-12 dan fase kematian pada jam ke-12 hingga jam ke-48 waktu inkubasi. Fase lag (fase adaptasi) tidak terlihat pada kurva pertumbuhan di atas. Hal ini karena sebelum proses kultur P. aeruginosa dilakukan proses inokulasi dengan media dan kondisi yang sama, sehingga pada proses kultur bakteri sudah tidak lagi beradaptasi dengan media kultur. Fase logaritmik pada penelitian ini sudah dimulai dari awal proses kultur. Sel jasad renik membelah sangat cepat dan konstan pada fase logaritmik. Jumlah sel akan meningkat, mula-mula perlahan dan semakin lama semakin meningkat. Fase logaritmik pada penelitian ini lebih lama dan mengalami peningkatan yang signifikan dibandingkan dengan yang dilaporkan oleh Hendri (1995) maupun Sabra (1998). Fase logaritmik pertumbuhan P. aeruginosa pada penelitian yang dilakukan oleh Hendri terjadi dari jam ke-3 hingga jam ke-7 dengan biomassa yang didapatkan berkisar antara 0,4 1,3 g/l. Fase logaritmik pada penelitian Sabra dengan menggunakan bakteri Azotobacter vinelandii terjadi dari jam ke-10 hingga jam ke-22 dengan biomassa kering sel, yaitu 1,0-7,5 g/l. Fase logaritmik pada penelitian ini terjadi mulai dari awal kultur, yaitu jam ke-0 hingga jam ke-6 dengan biomassa 0,5-1,5 g/l. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan media dan juga metode yang digunakan. Fase logaritmik terjadi pada saat terdapat kelebihan semua bahan nutrien, yang sangat dipengaruhi oleh medium tempat tumbuhnya seperti ph dan kandungan nutrien, juga kondisi lingkungan termasuk suhu dan kelembaban udara (Fardiaz 1989). Fase stasioner terjadi ketika jumlah sel yang tumbuh sama banyak dengan jumlah sel yang mati. Hal ini ditunjukkan dengan garis datar pada kurva pertumbuhan. Fase stasioner pada penelitian ini terjadi selama 6 jam, yaitu dari jam ke-6 hingga jam ke-12 waktu inkubasi, sedangkan fase stasioner pada penelitian Hendri (1995) terjadi selama 5 jam yaitu dari jam ke-11 hingga jam ke- 16 waktu inkubasi. Fase stasioner pada penelitian Sabra (1998) dengan menggunakan bakteri Azotobacter vinelandii terjadi selama 13 jam yaitu dari jam
ke-17 hingga jam ke-30 waktu inkubasi. Sel menjadi lebih kecil padaa fase stasioner, karena sel tetap membelah meskipun zat-zat nutrisi sudah habis dan umumnya jumlah sel konstan selama fase stasioner. Kurangnya nutrien dalam kultur, mengakibatkan sel kemungkinan mempunyai komposisi yang berbeda dengan sel yang tumbuh pada fase logaritmik (Fardiaz 1989). Fase terakhir dari kurva pertumbuhan bakteri, yaitu fase kematian (The phase of decline or death). Fase ini terjadi ketika nutrien habis sehingga bakteri tidak dapat memproduksi sel baru dan jumlah sel dalam kultur berkurang. Fase kematian pada penelitian ini terjadi dari jam ke-12 hingga ke-48 waktu inkubasi. Hal ini tidak jauh berbeda dengan yang dilaporkan oleh Hendri (1995), yaitu mulai dari jam ke-9 hingga ke-96 waktu inkubasi. 4.1.2. Konsentrasi alginat Konsentrasi alginat selama 48 jam inkubasi bervariasi antara 2,30 4,04 g/l (Lampiran 3). Konsentrasi alginat menunjukkan peningkatann dari jam ke-3 dan jam ke-6 waktu inkubasi, setelah itu cenderung menurun. Alginat tertinggi yang dihasilkan yaitu sebesar 4.04 g/l pada jam ke-3 (Gambar 12). Gambar 12. Grafik hubungan lama inkubasii dengan kadar alginat yang dihasilkan. Hasil ini lebih tinggi dari pada penelitian sebelumnya, yaitu sebanyak 1,78 g/l selama 7 jam inkubasii dalam media glukosa dan penambahan ekstrak khamir (Hendri 1995), 3,00 g/l selama 25 jam dalam NRM (Nitrogen-rich medium) dengan bakteri Azotobacter vinelandii (Sabra et al. 2001), dan 7,55 g/l
selama 70 jam dalam NFM (Nitrogen-free medium) dengan bakteri Aztobacter vinelandii (Cheze-Lange et al. 2002). Hasil tersebut menunjukkan bahwa penggunaan media yang berbeda dapat mempengaruhi konsentrasi alginat yang dihasilkan. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Sabra (2001) dengan menggunakan bakteri Azotobacter vinelandii, bahwa variasi sumber pepton, fosfat dan karbon yang digunakan akan merubah jumlah alginat yang dihasilkan. Hasil penelitian dengan continuous-cultures limit akan memberikan produksi alginat yang maksimum. Berdasarkan biomassa kering dan konsentrasi alginat maksimum yang menunjukka an bahwa media dengan kandungann fosfat yang didapatkan, waktu inkubasi selama 6 jam dipilih sebagai waktu panen kultur alginat pada proses kultur alginat skala besar. 4.1.3. Viskositas Viskositas kultur mengalami kenaikan dari jam ke-0 hingga jam ke-24, berkisar antara 1,18-1,38 cp, kemudian menurun hingga jam ke-48 menjadi 1,13 cp (Lampiran 4). Viskositas tertinggii terlihat pada jam ke 24 dengann nilai 1,376 cp. Viskositas alginat hasil penelitian ini lebih rendah jika dibandingkan dengan viskositas yang dilaporkan oleh Seanez et al. ( 2001) sebesar 7 cps dengan menggunakan bakteri Azotobacter vinelandii. Hasil pengukuran viskositas kultur dapat dilihat pada Gambar 13. Gambar 13. Grafik hubungan waktu inkubasi dengan viskositas. Viskositas dan kemampuan pembentukan gel merupakan karakteristik penting untuk alginat. Hal ini nantinya akan dipengaruhi oleh struktur blok dan rantai panjang dari alginat tersebut. Perbedaan viskositas alginat dapat disebabkan
karena adanya perbedaan proporsi asam guluronat (G). Semakin tinggi kandungan asam guluronat akan menyebabkan semakin kuat interaksi antara alginat dan kalsium, yang akan menghasilkan gel yang lebih kuat dan stabil sehingga viskositas akan tinggi. Sebaliknya, semakin tinggi kandungan asam manuronat akan menghasilkan gel yang lebih lemah dan lebih elastis sehingga viskositasnya pun akan berkurang (Yunizal 2004 dikutip oleh Subaryono 2009). Berdasarkan hal tersebut diduga alginat yang dihasilkan padaa penelitian ini memiliki kandungann asam mannuronat yang tinggi sehingga viskositas alginat yang dihasilkan pada penelitian ini menjadi rendah. 4.2. Karakteristik Membran 4.2.1. Permeabilitas Membran Nilai fluks meningkat secara linier dengan semakin meningkatnya tekanan transmembran. Gambar 14 menunjukkan bahwaa tekanan transmembran mempunyai nilai gradien 0,059 terhadap air murni. Hal tersebut menunjukkan setiap kenaikan tekanan transmembran sebesar 1 kpa akan meningkatkan fluks sebesar 0, 059 l.m -2.h - -1. Gambar 14. Pengaruh tekanan transmembran terhadap nilai fluks. Wenten (1999) melaporkan bahwa secara umum permeabilitas air melalui membran berdaya dorong tekanan berbanding lurus dengan tekanan hidrostatik yang diberikan. Padaa air murni semakin tinggi tekanann yang diberikan maka fluks
juga akan semakin tinggi. Hasil analisis menunjukkan transmembran tidak berpengaruh signifikann terhadap nilai fluks. bahwa tekanan 4.2.2. Pengaruh tekanan terhadap nilai fluks Hasil analisiss menunjukkan bahwaa tekanan transmembran memberikan pengaruh yang nyataa terhadap nilai fluks (P < 0.05) (Lampiran 5). Gambar 15 menunjukkan tekanann transmembran mempunyai nilai gradien 0,016. Hal tersebut menunjukkan setiap kenaikan tekanan transmembran sebesar 1 kpa maka fluks naik sebesar 0,016 l.m -2.h -1. Namun demikian, gradien kenaikann fluks ini lebih rendah jika dibandingkan dengan pelarut air murni yang mencapai 0,059 l.m -2.h -1 per kpa. Hal ini terjadi karena adanya kandungan alginat pada umpan yang menyebabkan larutan umpan menjadi lebih kental dan diduga alginat terlarut ini dapat menutupi pori membran. Adanya alginat yang terlarut dalam umpan juga menyebabkan munculnya tekanan osmotik. Hal ini terlihat dari nilai intersep yang menunjukkan nilai negatif, sehingga dibutuhkan tekanan yang lebih besar untuk mendorong permeat melewati permukaan membran. Tingginya tekanan yang dibutuhkan pada proses ini disebabkan semakin besar tekanan osmotik zat terlarut, Semakin tinggi konsentrasi zat terlarut (alginat) maka akan semakin meningkatkan tekanan osmotik. Gambar 15. Pengaruh tekanan transmembran terhadap nilai fluks permeat
4.2.3. Penentuan waktu tunak (steady state) Pola perubahan nilai fluks yang disebabkan oleh perubahan tekanan transmembran ( P) pada selang waktu 60 menit dapat dilihat pada Gambar 16. Waktu tunak pada proses inii cenderung tidak mengalami perubahan yang signifikan. Fluks permeat berkisar antara 4,02 l.m -2.h -1 sampai dengan 3,87 l.m -2.h -1. Hal ini berbeda dengan yang dilaporkan oleh Jayarayah dan Lee (1999) dalam prosess filtrasi dengan membran ultrafiltrasi, dimana waktu tunak dicapai pada menit ke 10. Gambar 16. Pola perubahan nilai fluks permeat yang tekanan transmembran disebabkan oleh perubahan Adanya perbedaan waktu tunak dikarenakan dalam proses reverse osmosis tidak terdapat polarisasi konsentrasi. Hal tersebut didukung oleh Routenbach dan Albrecht (1989) yang melaporkan bahwa polarisasi konsentrasi peluangnya sangat besar pada proses mikrofiltrasi dan ultrafiltrasi sedangkan pada pada proses reverse osmosis sangat kecil. 4.3. Pengaruh Variabel Operasi 4.3.1. Pengaruh tekanan transmembran dan suhu terhadap nilai fluks Berdasarkan hasil analisis terlihat bahwa tekanan transmembran dan suhu memberikan pengaruh yang signifikan terhadap nilai fluks (Lampiran 6). Tekanan transmembran mempunyai nilaii gradien 0,3. Hal tersebut menunjukkan bahwa fluks akan meningkat sebesar 0,3 l.m -2.h -1 untuk setiap kenaikan tekanan
transmembran sebesar 1 kpa. Sedangkan suhu mempunyai nilai gradien 0,12. Hal ini berarti fluks akan meningkat sebesar 0,12 l.m -2.h -1 untuk setiap kenaikan suhu sebesar 1 o C. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa interaksi antara tekanan dan suhu tidak berpengaruh signifikan. Pengaruh tekanan transmembran dan suhu umpan terhadap nilai fluks dapat dilihat pada Gambar 17. Gambar 17. Pengaruh tekanan transmembran dan suhu umpan terhadap nilai fluks. Gambar 17 menunjukkan bahwa semakin meningkat tekanan transmembran dan suhu yang diberikan nilai fluks akan semakin meningkat. Peningkatan nilai fluks seiring dengan peningkatan tekanan terjadi karena semakin besar tekanan maka semakin besar pula daya dorong larutan menuju permukaan membran. Adanya peningkatan tekanan juga dapat mempercepat akumulasi solute dipermukaan membran. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Jayarajah dan Lee (1999) dimana tekanan transmembran yang dioperasikan dengan suhu tertentu meningkatkan nilai fluks secara linier dengan kenaikan tekanan dan suhu yang diberikan. Secara umum suhu yang lebih tinggi akan menghasilkan harga fluks yang tinggi pula. Suhu berpengaruh terhadap viskositas larutan, semakin tinggi suhu maka viskositas larutan akan semakin rendah. Hal ini disebabkan karena semakin rendah nilai viskositas maka semakin kecil pula tekanan osmotik dan konsentrasi larutan umpan yang mengakibatkan daya difusi larutan meningkat sehingga jumlah pelarut yang melewati membran lebih tinggi.
4.3.2. Pengaruh tekanan transmembran dan suhu terhadap nilai rejeksi Berdasarkan hasil analisis terlihat bahwa tekanan transmembran dan suhu umpan tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap nilai rejeksi (Lampiran 7). Hal ini berbeda dengan hasil rejeksi abu pada whey dengan ultrafiltrasi yang dilaporkan D Souza dan Wiley (2003), bahwa suhu umpan memberikan pengaruh yang siginifikan terhadap nilai rejeksi. Perbedaan ini diduga karena kinerja membran yang sangat spesifik terhadap bahan yang dipisahkan. Hasil rejeksi alginat dengan perlakuan tekanan transmembran dan suhu umpan berkisar antara 92,7 97,5% yang dapat dilihat pada Gambar 18. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat 2,5-7,3% alginat yang mampu lolos dari poripori membran dengan adanya pengaruh kenaikan tekanan transmembran dan suhu yang diberikan. Gambar 18. Pengaruh tekanan transmembran dan suhu umpan terhadap nilai rejeksi. 4.4. Proses Pengkonsentrasian Alginat Proses pemekatan hasil kultur alginat menghasilkan konsentrat. Kinerja proses juga diteliti berdasarkan indikator kinerja membran, yaitu fluks dan rejeksi yang terjadi. Setelah itu dilakukan karakteristik pada konsentrat yang dihasilkan. 4.4.1. Respon fluks Pada menit pertama proses pengkonsentrasian, fluks yang di dapatkan 5,2895 l.m -2.h -1 dan seiring dengan waktu proses fluks menurun hingga 0,7895 l.m -2.h -1 pada menit ke-95 (Gambar 19). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa semakin lamaa waktu proses pemekatan, nilai fluks semakin menurun, dan menjadi stabil pada menit-menit terakhir. Gambar 19. Pengaruh lamanya waktu filtrasi terhadap fluks. Penurunan fluks tertinggi terjadi pada awal proses dibandingkan pada menit-menit berikutnya. Kondisi ini sama dengan hasil penelitian Purbosari (2009) yang melaporkan bahwaa penurunann fluks secara tajam terjadi pada awal- adanya pengaruh tekanan yang mendorong partikel-partikel terlarut ke permukaan membran sehingga terjadi penumpukan partikel pada permukaan membran tersebut yang akhirnya dapat menyebabkann terjadinyaa polarisasi konsentrasi dan awal proses dan cenderung stabil pada menit-menit berikutnya. Hal ini disebabkan fouling yang diakibatkan oleh semakin meningkatnya kadar alginat dalam umpan. 4.4.2. Respon rejeksi Hasil rejeksi alginat selama prosess pemekatan terlihat pada Gambar 20. Nilai rejeksi alginat pada pemelitian ini mencapai 100% %. Hasil inii lebih tinggi dari rejeksi alginat dengan menggunakan membran keramik yang memiliki pori 0,2 1,4 µm, yaitu berkisarr 42 71% (Cheze-Lan nge et al. 2002). Perbedaan nilai tersebut diduga karena pengaruh jenis dan karakteristik membran yang berbeda dan bahan baku yang berbeda pula.
Gambar 20. Pengaruh lamanya waktu filtrasii terhadap rejeksi. Hasil ini didukung pula dengan kadar alginat yang dihasilkan (Gambar 21). Alginat hasil pemekatan dengan membran jauh lebih banyak dibandingkan alginat yang belum diproses dengann membran. Alginat hasil pemekatan dengan membran diperoleh sebanyak 3,7 g/l sedangkan alginat yang tidak diproses dengan membran hanya menghasilkan 2,7 g/l. Pada proses pemurniann alginat, dilakukan dengan menambahkan etanol 96% dengan perbandingan 2-3 kali. Hasil penelitian menunjukkan n bahwa alginat yang telah dipekatkan dengan membran mampu mengurangi penggunaan etanol 96% sebanyak 40%. Hal ini membuktikan bahwa teknologi membran mampu digunakann sebagai alternatif untuk memekatkan alginat dari bakteri. Gambar 21. Konsentrasi alginat sebelum dan sesudah pengkonsentratan dengan membran.
4.4.3. Viskositas dan warna alginat Viskositas alginate yang dihasilkan pada akhir penelitian ini sebesar 1,08 cp. Nilai ini lebih rendah dibandingkan nilai viskositas awal sebesar 1,38 cp. Penurunan viskositas ini dapat diakibatkan karena adanya kenaikan suhu selama proses filtrasi membran. Suhu berpengaruh terhadap viskositas larutan, semakin tinggi suhu maka viskositas larutan akan semakin rendah. Alginate dari rumput laut memiliki tiga tingkatan berdasarkan nilai viskositasnya, yaitu viskositas rendah (< 250 cp), viskositas sedang (250-3500 cp) dan viskositas tinggi untuk (3500-14000 cp) (Rasyid dan Rachmat 2002). Berdasarkan pembagian tersebut, maka viskositas alginat pada penelitian ini termasuk dalam viskositas rendah. Alginat yang diperoleh berwarna cerah merah kekuningan yang terlihat pada Tabel 3. Nilai L (kecerahan) sebesar 54,09 telah memenuhi standar yang ditetapkan oleh Food Chemical Chodex (1981) diacu dalam King (1983) sebesar 52,80. Tabel 3. Hasil pengukuran warna alginat Keterangan Nilai L 54,09 + 0,0707 a (+) 3,61 + 0,0070 b (+) 32,76 + 0,0777 Keterangan : L = Kecerahan (a+) = merah (b+) = kuning (a-) = hijau (b-) = biru