PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA BAB 16 PENINGKATAN IIMESTASI DAN EKSPOR NON MIGAS

dokumen-dokumen yang mirip
Analisis Perkembangan Industri

Mendukung terciptanya kesempatan berusaha dan kesempatan kerja. Meningkatnya jumlah minat investor untuk melakukan investasi di Indonesia

PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO SAMPAI DENGAN BULAN JANUARI 2002

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era perdagangan bebas saat ini, telah terjadi perubahan secara

BAB 16 PENINGKATAN INVESTASI DAN EKSPOR NONMIGAS

PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO SAMPAI DENGAN BULAN SEPTEMBER 2001

Siaran Pers. Realisasi Investasi Januari-September 2016 Mencapai Rp 453 Triliun

BAB 16 PENINGKATAN INVESTASI DAN EKSPOR NON MIGAS

Indeks PMI Manufaktur Capai Posisi Terbaik Dibawah Kepemimpinan Presiden Jokowi

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB IV GAMBARAN UMUM PERDAGANGAN INDONESIA KE ASEAN PLUS THREE

Indonesia Investment Coordinating Board KATA PENGANTAR

STRATEGI PEMBANGUNAN NASIONAL BIDANG INVESTASI

Menteri Perindustrian Republik Indonesia PAPARAN MENTERI PERINDUSTRIAN PADA ACARA RAKER KEMENTERIAN PERDAGANGAN JAKARTA, 27 JANUARI 2016

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian

BERITA RESMI STATISTIK

ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU, KINERJA DAN DAYA SAING INDUSTRI ELEKTRONIKA DI INDONESIA JOHANNA SARI LUMBAN TOBING H

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Pertumbuhan Ekonomi Negara di Dunia Periode (%)

SATU DEKADE KERJASAMA EKONOMI UNI EROPA-INDONESIA EKSPOR-IMPOR PENDORONG INVESTASI UNI EROPA DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Pada awal masa pembangunan Indonesia dimulai, perdagangan luar negeri

BAB I PERTUMBUHAN EKONOMI TRIWULAN II (SEMESTER I) TAHUN 2014

Grafik 1 Laju dan Sumber Pertumbuhan PDRB Jawa Timur q-to-q Triwulan IV (persen)

PERKEMBANGAN PERDAGANGAN INDONESIA - THAILAND PERIODE : JANUARI AGUSTUS 2014

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Analisis Perkembangan Industri

BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL

CAPAIAN KINERJA PERDAGANGAN 2015 & PROYEKSI 2016

Ketua Komisi VI DPR RI. Anggota Komisi VI DPR RI

BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD)

BAB I PENDAHULUAN. industri tercepat dan terbesar yang menggerakkan perekonomian. Menurut World

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

NARASI MENTERI PERINDUSTRIAN RI Pembangunan Industri yang Inklusif dalam rangka Mengakselerasi Pertumbuhan Ekonomi yang Berkualitas

BAB V. Kesimpulan dan Saran. 1. Guncangan harga minyak berpengaruh positif terhadap produk domestik

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Sektor industri merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang berperan

Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

Realisasi Investasi PMDN dan PMA Tahun 2017 Melampaui Target

1. Visi BKPM Terwujudnya Iklim Penanaman Modal Yang Berdaya Saing Untuk Menunjang Kualitas Perekonomian Nasional.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. perubahan sistem ekonomi dari perekonomian tertutup menjadi perekonomian

PEMBANGUNAN SEKTOR UNGGULAN

PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO ACEH

DAFTAR ISI DAFTAR ISI BAB III EKONOMI

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun

MEMBANGUN INDUSTRI TELEKOMUNIKASI, INFORMATIKA DAN MEDIA NASIONAL YANG KONDUSIF UNTUK INVESTASI

BAB I PENDAHULUAN. material maupun secara spiritual. Dengan demikian, pembangunan. lain meliputi aspek sosial dan politik (Todaro, 2006).

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah tidak bisa berjalan sendiri karena dibutuhkan biaya yang sangat besar.

Ekspor Indonesia Masih Sesuai Target 2008: Pemerintah Ambil Berbagai Langkah Guna Antisipasi Perlambatan Pertumbuhan Ekonomi Dunia

Menteri Perindustrian Republik Indonesia

BAB IV GAMBARAN UMUM Perkembangan Penanaman Modal Asing (PMA) tahun ke tahun mengalami pertumbuhan yang sangat fluktuatif (Gambar 4.1).

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatkan pembangunan. Sasaran pembangunan yang ingin dicapai

Kebijakan Umum APBD Tahun Anggaran 2010 III- 1

LAMPIRAN PERATURAN KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN RETENSI ARSIP SEKTOR PEREKONOMIAN URUSAN PERDAGANGAN

Berdasarkan PP Nomor 39 Tahun 2006 Konsolidasi Program, Sub Fungsi, dan Fungsi (Form C)

Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN Nomor. 01/ A/B.AN/VI/2007 BIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI

Kondisi Perekonomian Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Di era globalisasi saat ini, tingkat daya saing menjadi tolak ukur yang

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan di berbagai bidang perekonomian. Pembangunan ekonomi secara

Analisis Perkembangan Industri

IV. GAMBARAN UMUM. 4.1 Gambaran Umum Perekonomian di Negara-negara ASEAN+3

BAB I PENDAHULUAN. pesat sesuai dengan kemajuan teknologi. Dalam era globalisasi peran transportasi

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

Berdasarkan PP Nomor 39 Tahun 2006 Konsolidasi Program, Sub Fungsi, dan Fungsi (Form C)

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai wilayah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mulai menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada awal. ekonomi kawasan ASEAN yang tercermin dalam 4 (empat) hal:

BERITA RESMI STATISTIK

Berdasarkan PP Nomor 39 Tahun 2006 Konsolidasi Program, Sub Fungsi, dan Fungsi (Form C)

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia.

LAPORAN LIAISON. Triwulan I Konsumsi rumah tangga pada triwulan I-2015 diperkirakan masih tumbuh

Prospek Ekonomi Regional ASEAN ASEAN+3 Regional Economic Outlook (AREO) Ringkasan

Tantangan dan Peluang UKM Jelang MEA 2015

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

SIARAN PERS Pusat Hubungan Masyarakat Gd. I Lt. 2, Jl. M.I Ridwan Rais No. 5, Jakarta Telp: /Fax:

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki daya tarik wisata yang

IV. GAMBARAN UMUM NEGARA ASEAN 5+3

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Keberhasilan atau tidaknya pembangunan ekonomi di suatu negara

Perdagangan Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. saat ini. Sekalipun pengaruh aktifitas ekonomi Indonesia tidak besar terhadap

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN. A. Perkembangan Penanaman Modal Dalam Negeri di Indonesia

I. PENDAHULUAN. secara umum oleh tingkat laju pertumbuhan ekonominya. Mankiw (2003)

PROVINSI JAWA BARAT JUNI 2017

TANTANGAN EKSTERNAL : Persiapan Negara Lain LAOS. Garment Factory. Automotive Parts

BAB I PENDAHULUAN. (Tanuwidjaya, 2013). Sejak tahun 1969 Pemprov Bali bersama masyarakat telah

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah

Kinerja Ekspor Nonmigas November 2010 Memperkuat Optimisme Pencapaian Target Ekspor 2010

1. Tinjauan Umum

BAB I PENDAHULUAN. Meskipun pertumbuhan ekonomi setelah krisis ekonomi yang melanda

Contents

DISAMPAIKAN OLEH : DIREKTUR JENDERAL INDUSTRI AGRO PADA RAPAT KERJA KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN TAHUN 2013 JAKARTA, FEBRUARI 2013 DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN. dalam negeri sehingga akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

IV. GAMBARAN UMUM INDIKATOR FUNDAMENTAL MAKRO EKONOMI NEGARA ASEAN+3

4. Outlook Perekonomian

VI. SIMPULAN DAN SARAN

Transkripsi:

BAB 16 PENINGKATAN IIMESTASI DAN EKSPOR NON MIGAS

PENINGKATAN BAB 16 IIYVESTASI DAN EKSPOR NON MIGAS A. KONDISI T]MUM Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2007 mencapai sebesar 6,3 persen merupakan pencapaian tertinggi dalam sepuluh tahun terakhir, dimana pada tahun sebelumnya hanya tumbuh sebesar 5,5 persen. Di sisi pengeluaran, pertumbuhan tersebut didorong oleh ekspor barang dan jasa yang tumbuh sebesar 8,0 persen, serta investasi berupa Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto (PMTB) yang tumbuh sebesar 9,2 persen. Pertumbuhan investasi tahun 2007 tersebut jauh di atas tahun sebelumnya yang hanya menc apai 2,9 persen. Tingginya pertumbuhan investasijuga tercermin dari meningkatnya realisasi investasi berupa Ijin Usaha Tetap (lut) sektor nonmigas yang dikeluarkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang meningkat 67,8 persen dibandingkan tahun 2006 yang mengalami penurunan 34,8 persen, atau mencapai nilai tertinggi sejak krisis ekonomi tahun t997. Berdasarkan data BKPM, realisasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) selama tahun 2007 adalah sebesar Rp 34,9 triliun, sedangkan tahun sebelumnya Rp 20,8 triliun. Bidang usaha yang mendominasi besarnya realisasi PMDN pada tahun 2007 adalah (l) sektor industri kertas dan percetakan mencapai 41,7 persen, (2) industri makanan 15,4 persen, dan (3) industri logam, mesin, dan elektronik 10,2 persen dari total realisasipmdn. Sedangkan realisasi Penanaman Modal Asing (PMA), pada tahun 2006 dan 2007 secaru berturut-turut tercatat masing-masing sebesar USD 6,0 miliar dan USD 10,4 miliar. Bidang usaha yang mendominasi besarnya realisasi PMA pada tahun 2007 adalah (1) industri kimia dasar barang kimia dan farmasi mencapai 14,9 persen, (2) industri logam, mesin, dan elektronik 6,9 persen, dan (3) industrimakanan 6,8 persen daritotal realisasi PMA. Baik dari sisi minat terhadap PMDN maupun PMA pada tahun 2007 meningkat cukup pesat sebesar I14,8 persen. Nilai rencana investasi PMDN yang disetujui oleh BKPM pada tahun 2007 sebesar Rp 188,9 triliun atau meningkat 16,0 persen dibandingkan tahun 2006 sebesar Rp 162,8 triliun. Sedangkan untuk rencana PMA pada tahun 2007 adalah sebesar USD 40,2 miliar atau meningkat 156,9 persen dibandingkan tahun 2006 yang sebesar USD 15,7 miliar. Meningkat pesatnya nilai rencana PMA pada tahun 2007 menunjukkan bahwa secara benahap iklim investasi di Indonesia mulai membaik. Seiring dengan perkembangari realisasi investasi berupa IUT sektor nonmigas, perkembangan persetujuan fasilitas keringanan bea masuk barang modal juga cenderung meningkat. Untuk PMDN meningkat dari USD 604,7 juta pada tahun 2006 menjadi USD 771,5 juta pada tahun 2007, sedangkan PMA meningkat dari USD 2,7 miliar menjadi USD 3,2 miliar. Berdasarkan survey Badan Pusat Statistik (BPS), secara umum kondisi bisnis yang diukur dengan indeks tendensi bisnis (ITB) di Indonesia tahun 2007 cenderung membaik dibandingkan tahun sebelumnya. Pada Triwulan l-2007,itb sebesar 100,19 pada Triwulan IV menjadi sebesar 112,25. Pada tahun 2006, ITB Triwulan I sebesar 95,12 dan di akhir Ir.16 - I

tahun sebesar 107,43. Pada Triwulan IV-2007, Sektor Transportasi dan Komunikasi, serta Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan mempunyai nilai ITB tertinggi, masing-masing sebesar 118,62 untuk Transportasi dan Komunikasi dan sebesar 118,20 untuk Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan, sementara sektor Industri mempunyai nilai terendah yaitu 104,75. Sementara itu, berbagai tantangan dan hambatan dalam berinvestasi masih dirasakan dunia usaha, namun upaya perbaikan iklim investasi terus dilakukan melalui berbagai kebijakan baik yang langsung maupun tidak langsung terkait dengan peningkatan investasi sampai dengan tahun 2007. Berdasarkan laporan Doing Business 2008 (Bank Dunia) peringkat Indonesia untuk indikator "kemudahan berusaha" (ease of doing business) meningkat dari peringkat 135 dalam tahun 2007 menjadi peringkat 123 dalam tahun 2008. Peningkatan peringkat Indonesia ini disebabkan antara lain oleh pencapaian stabilitas ekonomi makro, pengesahan UU Nomor 25/2007 tentang Penanaman Modal, Pengesahan UU Nomor 28/2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, dan 3 (tiga) upaya perbaikan yaitu penyederhanaan proses Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) oleh Gubernur DKI, peningkatan perlindungan investor oleh BAPEPAM, dan informasi kredit yang dikelola oleh Bank Indonesia. Menurut hasil laporan Doing Business 2008 (Bank Dunia) untuk tahun 2008, posisi Indonesia masih tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya seperti Singapura yang menduduki peringkat pertama (dari tahun 2007). Sedangkan Thailand, Malaysia, China, dan Vietnam masing-masing menduduki peringkat ke 15, 24,83, dan 91. Rendahnya daya saing Indonesia untuk investasi terutama disebabkan masih lama dan panjangnya waktu yang dibutuhkan untuk memulai usaha yang mencapai 105 hari dengan 12 prosedur perijinan. Sementara itu, Singapura hanya memerlukan 5 hari dengan 5 prosedur, Thailand 33 hari dengan 8 prosedur, Malaysia 24 hari dengan 9 prosedur, China 35 hari dengan 13 prosedur, dan Vietnam 50 hari dengan ll prosedur. Dalam tahun 2009, upaya memperbaiki iklim investasi agar semakin kondusif tetap terus dilakukan, karena berbagai tantangan dan permasalahan yang dihadapi antara lain (1) belum selesainya penyusunan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Penanaman Modal melalui Rencana Umum Penanaman Modal (RUPM) serta perlunya dilakukan evaluasi terhadap berbagai peraturan yang terkait dengan UU PM dan yang berpotensi menghambat iklim investasi, (2) masih diperlukannya penyederhanaan berbagai perijinan dalam membuka usaha seperti HO, ijin lokasi, ijin prinsip, termasuk mengurangi persyaratan untuk memperoleh perijinan, (3) daya dukung dan kualitas infrastruktur masih perlu ditingkatkan, (4) masih perlu diperbaikinya iklim ketenagakerjaan, (5) masih diperlukannya harmonisasi antara peraturan daerah dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, (6) Diperlukannya peningkatan insentif baik fiskal maupun non fiskal, (7) masih perlu ditingkatkannya pemanfaatan akses dana perbankan khususnya untuk investor domestik. Ekspor nonmigas di tahun 2007 telah menyumbangkan devisa sebesar USD 91,9 miliar yang jauh lebih tinggi dibandingkan pada tahun sebelumnya sebesar USD 79,6 millar. Sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2007, ekspor nonmigas Indonesia selalu tumbuh di atas sasaran tahunan RPJMN 2004-2009 dan rencana kerja pemerintah tahunan. Meskipun pertumbuhan ekspor nonmigas di tahun 2007 relatif lebih lambat dibandingkan dengan dua rr.t6-2

tahun sebelumnya, namun pertumbuhannya masih pada kisaran angka yang cukup tinggi. Melambatnya ekspor nonmigas pada tahun 2007 terutama disebabkan oleh faktor eksternal, seperti melemahnya permintaan dunia akibat tingginya harga minyak dunia dan adanya krisis kredit perumahan (subprime mortgage) diamerika Serikat. Upaya untuk melakukan diversifikasi pasar ekspor (terutama ekspor nonmigas) mulai menunjukkan perkembangan yang semakin baik. Pangsa ekspor nonmigas di empat pasar tradisional (Jepang, AS, Singapura, dan UE) pada tahun 2007 telah menjadi 50,7 persen dari yang sebelumnya sebesar 55,4 persen 'nonmigas di tahun 2004. Penurunan pangsa ekspor di empat pasar tradisional tersebut diiringi dengan kenaikan pangsa ekspor di pasar lainnya terutama ke China dan Korea Selatan yang meningkat menjadi 7,3 persen dan 4,1 persen di tahun 2007 dibandingkan tahun 2004 sebesar masing-masing 6,1 persen dan 3,3 persen. Hal ini seiring dengan meningkatnya permintaan China dan Korea Selatan terhadap komoditas ekspor primer, terutama untuk bahan baku industri dan makanan. Pada tahun 2007, ekspor nonmigas meningkat sebesar 15,5 persen, dengan kontribusi sektor pertanian sebesar 4,3 persen, sektor manufaktur sebesar 82,6 persen, dan sektor pertambangan sebesar l3,l persen. Ekspor pertanian dan pertambangan tumbuh sebesar 17,0 persen dan 7,8 persen, dimana pertumbuhannya terutama didorong oleh faktor kenaikan harga. Sedangkan ekspor manufaktur yang tumbuh sebesar 16,8 persen terutama didorong oleh adanya kenaikan volume. Pertumbuhan ekspor nonmigas pada tahun 2008 diperkirakan sedikit melambat dibandingkan dengan tahun 2007, karena adanya gejolak eksternal yang disebabkan oleh meningkatnyaharga minyak dunia dan harga komoditas di pasar internasional, serta krisis subprirne mortgage di AS yang mengganggu stabilitas sektor keuangan dunia. Kondisi ini menyebabkan melambatnya pertumbuhan ekonomi global di tahun 2008, yang berpotensi memberikan tekanan terhadaperkembangan ekspor nonmigas Indonesia. Pada tahun 2009, ekspor nonmigas Indonesia diperkirakan masih akan tumbuh pada kisaran angka yang cukup tinggi, dimana pertumbuhannya diperkirakan akan sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2008. Hal ini karena pada tahun 2009 diperkirakan efek lanjutan perlambatan ekonomi global sudah mulai melunak. Upaya peningkatan ekspor nonmigas perlu didukung oleh pengembangan bidang perdagangan dalam negeri, yang selama ini difokuskan pada peningkatan sarana distribusi perdagangan agar efisiensi distribusi perdagangan dalam negeri dapat lebih meningkat. Pada tahun 2006 dan 2007, telah dibangun 134 pasar penunjang, pasar di daerah perbatasan dan pulau kecil terluar, pasar paska bencana, pasar daerah tertinggal, terpencil, dan terluar, serta pasar tradisional desa. Berdasarkan data dari Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI), sampai saat ini jumlah pasar tradisional seluruh Indonesia adalah sekitar 13.450 unit yang menyerap jumlah pedagang sekitar 12,7 juta orang. Selain itu, pembangunan di bidang perdagangan dalam negeri juga didukung oleh penegakan hukum dan pengembangan kebijakan persaingan usaha, pengembangan Sistem Resi Gudang (SRG) yang berperan besar dalam memberikan alternatif pembiayaan bagi usaha kecil dan menengah, peningkatan upaya perlindungan konsumen, serta pengawasan barang beredat danjasa. Upaya-upaya ini tentunya untuk menciptakan sistem perdagangan dalam negeri yang lebih efisien dan efektif, yang lebih berpihak pada pelaku usaha. II.l6-3

Upaya peningkatan kinerja perdagangan luar negeri dan dalam negeri tetap terus dilakukan, karena masih adanya permasalahan dan tantangan yang perlu diselesaikan. Permasalahan dan tantangan pokok di bidang perdagangan luar negeri, antara lain adalah (i) diversifikasi pasar ekspor nonmigas masih perlu diperluas, agar tidak bertumpu pada empat pasar ekspor tradisional (Jepang, AS, Singapura, dan Uni Eropa) dimana sampai saat ini pangsanya masih pada kisaran angka 50 persen. Hal ini tentunya untuk menurunkan tingkat ketergantungan ekspor nonmigas terhadap pasar tradisional, sehingga ekspor nonmigas Indonesia akan lebih tangguh terhadap perubahan kondisi perekonomian dan fluktuasi permintaan di keempat pasar ekspor tersebut, (ii) diversifikasi produk ekspor nonmigas perlu ditingkatkan, agar pertumbuhannya tidak ditopang oleh ekspor komoditas primer yang relatif bernilai tambah lebih rendah dan harganya cenderung lebih berfluktuasi, (iii) proses penyederhanaan prosedur ekspor dan impor perlu terus disempurnakan agar dapat mengurangi ekonomi biaya tinggi, termasuk mengurangi pungutan liar, (iv) masih besarnya hambatan non tarif di pasar ekspor, serta (v) ketersediaan infrastruktur perlu terus ditingkatkan untuk mendukung kelancaran arus barang ekspor. Beberapa masalah dan tantangan di bidang perdagangan dalam negeri yang masih dihadapi adalah: pertama, masih adanya potensi ketidakstabilan harga bahan pokok seperti beras, terigu, kedelai, dan minyak goreng. Dalam laporan OECD-FAO Agricultural Outlook 2007-20 6 edisi perteng ahan 2007, penurunan pasokan dan stok komoditas pangan dan pertanian di pasar dunia terjadi karena dampak perubahan iklim global dan penurunan stok akibat naiknya permintaan pasar dunia terhadap sejumlah komoditas pertanian yang digunakan sebagai bahan baku energi alternatif. Kedua, sistem perdagangan dalam negeri yang masih perlu disempurnakan, mengingat: (i) masih tingginya disparitas harga antar wilayah dan fluktuasi harga yang cukup tinggi, seperti terjadinya gejolak harga barang pada hari raya keagamaan dan musim paceklik; serta (ii) masih tingginya biaya produksi, yang disebabkan oleh masih tingginya biaya logistik domestik. Berdasarkan data Logistic Performance Index (LPI) dari Bank Dunia tahun 2007, salah satu faktor yang mempengaruhi rendahnya LPI Indonesia adalah masih tingginya biaya logistik domestik, dimana Indonesia menempati peringkat ke-93 dibandingkan dengan Malaysia dan Thailand yang menduduki peringkat ke-36 dan ke-25. Pariwisata mempunyai andil besar untuk mendorong laju pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pemerintah mendorong sektor pariwisata sebagai penghasil devisa terbesar setelah sektor minyak dan gas. Kegiatan pariwisata secara potensial juga dapat mengurangi kemiskinan dan menciptakan lapangan kerja. Namun demikian, sektor pariwisata perlu proses penggandaan (multiplier process) multisektor yang sinergis dan koordinatif. Sejak tragedi bom Bali pada 12 Oktober 2002, pariwisata Indonesia mengalami pertumbuhanegatif dengan menurunnya jumlah kunjungan wisatawan mancanegara. Hal ini diperberat dengan merebaknya isu flu burung, tsunami, dan berbagai bencanalam di daerah tduan wisata (destinasi). Menyusul adanya larangan bagi seluruh maskapai penerbangan Indonesia untuk terbang di wilayah Uni Eropa, semakin memperburuk citra pariwisata Indonesia. Namun demikian dari berbagai upaya yang telah dilakukan, pada tahun 2007 jumlah wisatawan mancanegara (wisman) yang berkunjung ke Indonesia mencapai 5,5 juta orang atau meningkat sekitar 13,14 peisen dibanding tahun 2006, dengan perolehan devisa sebesar USD 5,3 miliar atau meningkat sebesar 19;10 persen dari tahun 2006. Peningkatan tr.t6-4

jumlah perolehan devisa di tahun 2007 mengindikasikan perkembangan yang baik sebagai dasar berpijak pencapaian perolehan devisa pada tahun 2009. Dengan semakin membaiknya citra pariwisata Indonesia seiring dengan semakin membaiknya kondisi keamananan di tanah air dan kondusifnya iklim investasi, maka pada tahun 2008 diperkirakan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara dapat mencapai 7,0 juta orang dengan perolehan devisa sekitar USD 6,3 miliar. Sementara itu pada tahun yang sama jumlah perjalanan wisatawan mencapai sekitar 223,0 itia perjalanan. Namun, walaupun berbagai kemajuan telah berhasil dicapai, pembangunan pariwisata masih menghadapi berbagai kendala yang perlu dituntaskan, Kendala tersebut diantaranya adalah (i) belum optimalnya kesiapan destinasi pariwisata yang disebabkan terutama oleh (a) pembangunan pariwisata yang belum merata, terutama antara kawasan Barat dan Timur, (b) kurangnya kenyamanan dalam berwisata karena antara laiti sarana dan prasarana menuju destinasi pariwisata belum memadai, (ii) belum optimalnya pemasaran pariwisata yang disebabkan terutama oleh (a) pemanf'aatan media massa dalam dan luar negeri sebagai sarana promosi belum maksimal baik elektronik, cetak maupun yang berbasis teknologi informasi, (b) belum seluruh pemerintah provinsi, kota, dan kabupaten mendukung promosi daerahnya sebagai destinasi wisata, bahkan masih terdapat berbagai peraturan daerah yang menghambat pengembangan pariwisata, (iii) belum mapannya kemitraan antarpelaku pariwisata yang disebabkan terutama oleh (a) kerja sama pelaku ekonomi-sosial-budaya dengan pelaku pariwisata dan masyarakat belum berlangsung secara optimal, (b) koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi intra dan antarlembaga, pusat dan daerah dalam pengembangan destinasi dan promosi pariwisata belum maksimal, (c) rendahnya daya saing sumber daya manusia (SDM) pariwisata. Dalam menjawab berbagai permasalahan yang dihadapi tersebut maka kinerja pembangunan pariwisata mas ih perlu diti ngkatkan secara berkes inambungan. B. SASARAN PEMBANGUNAN TAHUN 2OO9 Sasaran yang hendak dicapai dalam upaya meningkatkan investasi dan ekspor nonmigas adalah sebagai berikut: t. Terwujudnya iklim investasi yang kondusif dan kompetitif sehingga mampu meningkatkan investasi dalam bentuk Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto (PMTB) sebesar 12,1 persen. 2. Meningkatnya ekspor non-migasebesar 13,5 persen, dengan produk ekspor yang lebih berkualitas dan beragam, serta perluasan pasar tujuan ekspor. 3. Meningkatnya efisiensi dan efektivita sistem distribusi perdagangan dalam negeri. 4. Meningkatnya jumlah perolehan devisa dari sektor pariwisata menjadi sekitar USD 8 miliar dan meningkatnya perjalanan wisatawan nusantara menjadi sekitar 226 juta perjalanan. C. ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAFI TAHUN 2OO9 Ir.16-5

Dalam rangka mewujudkan sasaran di atas, arah kebijakan bagi peningkatan investasi dan ekspor nonmigas, antara lain dilakukan dengan kegiatan sebagai berikut: Perbaikan iklim investasi diarahkan pada penyederhanaan prosedur, penciptaan iklim investasi yang kondusif, dan peningkatan daya tarik investasi agar investasi tumbuh tinggi. Kegiatannya mencakup: a. Penyederhanaan prosedur, peningkatan pelayanan dan pemberian fasilitas penanaman modal; b. Pengendal ian dan pel aks anaan penanaman modal ; c. Peningkatan promosi investasi di dalam negeri; d. Peningkatan promosi investasi terintegrasi di luar negeri; e. Pengembangan kawasan ekonomi khusus investasi (KEKI); f. Penyelenggaraan dan pengembangan Indonesia Promotion Office (IPO); g D' Pembangunan/pengadaar/ peningkatan sarana dan prasarana. h. Sinkronisasi dan harmonisasi peraturan-peraturan yang terkait dengan pengembangan Penanaman Modal; i. Penyusunan peta komoditi unggulan; j. Perencanaan dan pengembangan penanaman modal; k. Peningkatan kapasitas kelembagaan investasi. Kebijakan perdagangan luar negeri diarahkan pada upaya untuk meningkatkan ekspor yang bernilai tambah tinggi dan meningkatkan diversifikasi pasar tujuan ekspor, terutama pada pasar ekspor nontradisional. Adapun kegiatan-kegiatan pokok untuk mendukung kebijakan tersebut adalah: a. Penyelenggaraan dan pengembangan Indonesia Promotion Office (IPO); b. Pembentukan dan pengembangan National Single Vl/indov,(NSW) dan ASEAN Single Window (ASW); c. Pemetaan dan analisis komoditas utama dan potensial; d. Pengembangan ekspor daerah; e. Pelaksanaan pengamatan pasar (Market Intelligence); f. Pengembangan promosi dagang; g. Penyelenggaraan Indonesia Trade Promotion Center fltpc); h. Peningkatan kualitas dan desain produk ekspor dalam rangka Indonesian Design Product (IDP); i. Promosi produk ekspor Indonesia; j. Pembinaan ekspor, peningkatan daya saing, dan pengendalian impor k. Peningkatan partisipasi aktif dalam perundingan berbagai fora internasional; l. Penyelenggaraan Tim Nasional Perundi ngan Perdagangan Internasional ; m. Peningkatan koordinasi penanganan isu-isu perdagangan internasional; Adapun kebijakan perdagangan dalam negeri akan diarahkan pada pengembangan sistem distribusi perdagangan dalam negeri untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas kelancaran arus barang di pasar domestik. Untuk melaksanakan kebijakan tersebut, kegiatan-kegiatan pokok yang akan dilaksanakan adalah: a. Pembangunan dan pengembangan sarana distribusi; b. Pembinaan pasar dan distribusi; c. Pengembangan Sistem Resi Gudang (SRG); d. Pengembangan pasar lelang daerah; e. Pemberdayaan perlindungan konsumen; II.16-6

. PRESIDEN f. o E' h. i. j. Peningkatan pengawasan barang beredar dan j asa; Peningkatan pengawasan kemetrologian; Penegakan hukum persaingan usaha; Pengembangan dan harmonisasi kebijakan persaingan usaha; Penyelenggaraan monitoring dugaan praktek monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Kebijakan pembangunan industri pariwisata diarahkan rmtuk mendorong peningkatan kesiapan destinasi, pemasaran, dan kemitraan antarpelaku pariwisata melalui pembangunan pariwisata berbasis masyarakat dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsi pembangunan berkelanjutan dan tatakelola yang baik(good Governance) dengan difokuskan pada: a. Peningkatan pemanfaatan berbagai media dan teknoltigi informasi sebagai sarana promosi pariwisata; b. Pengembangan kerjasama pemasaran dan promosi pariwisata dengan lembaga terkait di dalam dan di luar, terutama kerjasama antar travel-agent dan antar tour operator di dalam maupun di luar negeri; c. Pengembangan destinasi pariwisata berbasis budaya, alam, bahari, dan olahraga; d. Penyebaran pengembangan destinasi pariwisata di luar Jawa dan Bali termasuk pengembangan destinasi pariwisata di pulau-pulau perbatasan dan terpencil; e. Fasilitasi kemitraan dengan sektor terkait dalam upaya peningkatan kenyamanan dan kemudahan akses di destinasi wisata; f. Pengembangan sistem informasi pariwisata yang terintegrasi di pusat dan daerah; E. Pengembangan profesionalisme sumber daya manusia di bidang pariwisata. II.16-7