PEMBANGUNAN AGRIBISNIS BERBASIS PETERNAKAN DAN IMPLIKASINYA PADA ASPEK PENYULUHAN DI WILAYAH PERKOTAAN

dokumen-dokumen yang mirip
PEMBANGUNAN AGRIBISNIS BERBASIS PETERNAKAN DAN IMPLIKASINYA BAGI PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA

AGRIBISNIS BERBASIS PETERNAKAN MENGHADAPI ERA PERDAGANGAN BEBAS

PROSPEK DAN STRATEGI PENGEMBANGAN AGRIBISNIS AYAM RAS DALAM ERA PASAR BEBAS

INTEGRASI BISNIS PERUNGGASAN

Barat yang Integratif Melalui Pegembangan Agribisnis

I. PENDAHULUAN. subsistem agribisnis hulu peternakan (upstream agribusiness) yakni kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. Tahun (juta orang)

MEMBANGUN SISTEM AGRIBISNIS BERBASIS AYAM RAS BERDAYA SAING MEMBANGUN SISTEM AGRIBISNIS BERBASIS AYAM RAS BERDAYA SAING

PENGEMBANGAN KOPERASI AGRIBISNIS PETERNAKAN

I. PENDAHULUAN. pemenuhan protein hewani yang diwujudkan dalam program kedaulatan pangan.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

MASALAH DAN PROSPEK AGRIBISNIS PERUNGGASAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN BAHAN PANGAN ASAL UNGGAS DI INDONESIA

I. PENDAHULUAN. Daging ayam merupakan salah satu sumber protein hewani yang paling

I. PENDAHULUAN. serta dalam menunjang pembangunan nasional. Salah satu tujuan pembangunan

19Pengembangan Agribisnis

Peran dan fungsi pemerintah pada era otonomi daerah adalah. berupa pelayanan dan pengaturan (fasilitator, regulator dan dinamisator)

5Kebijakan Terpadu. Perkembangan perekonomian Indonesia secara sektoral menunjukkan. Pengembangan Agribisnis. Pengertian Agribisnis

PETERNAKAN RAKYAT AYAM RAS PERLU DI DORONG MENGUASAI UNIT AGRIBISNIS DARI HULU HINGGA HILIR

PENGEMBANGAN AGRIBISNIS BERBASIS PETERNAKAN DI PERKOTAAN (KASUS DKI JAKARTA)

III. KERANGKA PEMIKIRAN

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan daerah pada hakekatnya merupakan bagian integral dan

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2009 PROSPEK KERJASAMA PERDAGANGAN PERTANIAN INDONESIA DENGAN AUSTRALIA DAN SELANDIA BARU

14Pengembangan Agribisnis

STRATEGI PENGEMBANGAN BISNIS AYAM RAS PEDAGING PERUSAHAAN KAWALI POULTRY SHOP KABUPATEN CIAMIS

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

INDUSTRIALISASI MADURA: PENGEMBANGAN AGRIBISNIS DAN AGROPOLITAN

PENGEMBANGAN AGRIBISNIS BERBASIS PETERNAKAN YANG TERINTEGRASI DE-NGAN PEMBANGUNAN WILAYAH (KASUS JAWA BARAT)

BIAYA& PENERIMAAN USAHA. Sapi Perah

PEMBANGUNAN PETERNAKAN BERWAWASAN AGRIBISNIS DAN BERKELANJUTAN DI KABUPATEN LAMPUNG TIMUR

[Perencanaan Kegiatan Agribisnis Ternak Unggas]

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. dalam pembangunan sektor pertanian. Pada tahun 1997, sumbangan Produk

Wawasan Agribisnis Sudut Pandang Agribisnis. Julian Adam Ridjal PS Agribisnis UNEJ

I PENDAHULUAN. 2,89 2,60 2,98 3,35 5,91 6,20 Makanan Tanaman Perkebunan 0,40 2,48 3,79 4,40 3,84 4,03. Peternakan 3,35 3,13 3,35 3,36 3,89 4,08

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau pemasaran hasil pertanian. Padahal pengertian agribisnis tersebut masih jauh dari

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

MODEL PENGEMBANGAN AGRIBISNIS TERNAK DOMBA

I. PENDAHULUAN. Komoditas hortikultura yang terdiri dari tanaman buah-buahan dan sayuran,

PROSPEK AGRIBISNIS INDONESIA DAN PELUANG PERBANKAN 1 )

PENGEMBANGAN AGRIBISNIS PERUNGGASAN DALAM ERA GLOBALISASI

I. PENDAHULUAN. mempunyai peranan dalam memanfaatkan peluang kesempatan kerja.

I. PENDAHULUAN. industri pertanian, dimana sektor tersebut memiliki nilai strategis dalam

untuk Mendukung Pengembangan Agribisnis dan Ekonomi Pedesaan

I. PENDAHULUAN. Jumlah penduduk selalu bertambah dari tahun ke tahun, hal tersebut terus

PENINGKATAN DAYA SAING UKM DI SEKTOR PERTANIAN : PELUANG DAN TANTANGAN YANG DIHADAPI

Kalau kita membicarakan upaya pemberdayakan ekonomi rakyat, maka

I. PENDAHULUAN. 1 Sapi 0,334 0, Kerbau 0,014 0, Kambing 0,025 0, ,9 4 Babi 0,188 0, Ayam ras 3,050 3, ,7 7

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pada dasamya merupakan kebutuhan bagi setiap. masyarakat, bangsa dan negara, karena pembangunan tersebut mengandung

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, STRATEGI, DAN KEBIJAKAN

X. REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN BERKELANJUTAN BERBASIS PETERNAKAN SAPI POTONG TERPADU DI KABUPATEN SITUBONDO

BAGIAN KETIGA PENGEMBANGAN AGRIBISNIS BERBASIS KOMODITAS DAN SUMBERDAYA

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAWIT-SAPI DI KABUPATEN ROKAN HULU PROVINSI RIAU

BAB I PENDAHULUAN. melalui kegiatan lain yang bersifat komplementer. Salah satu kegiatan itu adalah

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan hubungan antar perusahaan dan pelanggan secara permanen. Untuk

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Jumlah Tenaga Kerja Usia 15 Tahun ke Atas Menurut Lapangan Pekerjaan Tahun 2011

3 KERANGKA PEMIKIRAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peternakan merupakan salah satu sub sektor pertanian yang memiliki peranan cukup penting dalam memberikan

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERANAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PEMBANGUNAN PEREKONOMIAN

I. PENDAHULUAN. pasokan sumber protein hewani terutama daging masih belum dapat mengimbangi

MEMAHAMI BISNIS AYAM RAS DAN IMPLIKASINYA DALAM PENGELOLAAN

10Pilihan Stategi Industrialisasi

Krisis ekonomi yang diawali krisis moneter dan berujung pada krisis. multidimensi yang masih melanda Indonesia, telah menyadarkan

ANALISIS PENAWARAN DAN PERMINTAAN TELUR AYAM RAS DI SUMATERA UTARA

Pembangunan merupakan suatu proses yang dilakukan secara. terus menerus ke arah yang lebih baik dari keadaan semula. Dalam kurun

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Perkembangan Koperasi tahun Jumlah

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

I. PENDAHULUAN. Industri daging olahan merupakan salah satu industri yang bergerak dalam bidang

BAB I PENDAHULUAN. Investasi adalah merupakan langkah awal kegiatan produksi sehingga

Konsep, Sistem, dan Mata Rantai Agribisnis

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Usaha sektor peternakan merupakan bidang usaha yang memberikan

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatkan produktivitas ayam buras agar lebih baik. Perkembangan

I. PENDAHULUAN Kebijakan otonomi daerah yang bersifat desentralisasi telah merubah

BAB I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sektor pertanian adalah salah satu sektor sandaran hidup bagi sebagian besar

MANAJEMEN AGRIBISNIS (TANAMAN PANGAN & HORTIKULTURA) PEMBANGUNAN EKONOMI ISU STRATEGIS PEMBANGUNAN INDUSTRIALISASI

POKOK-POKOK PEMIKIRAN TENTANG AGRIBISNIS BERBASIS PETERNAKAN

I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia.

AGRIBISNIS DAN AGROINDUSTRI

PENDAHULUAN. anemia (kekurangan zat besi), terutama terjadi pada anak-anak. Hal ini

BAGIAN KEEMPAT MEMBANGUN AGRIBISNIS MEMBANGUN EKONOMI RAKYAT

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

REKONSILIASI PELAKU PERUNGGASAN DEMI MEMBANGUN AGRIBISNIS PERUNGGASAN YANG BERDAYA SAING

POLA STRATEGI DAN KEBIJAKAN DALAM MEMBANGUN KEUNGGULAN KOMPETITIF AGRIBISNIS JAWA TIMUR

KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. Tabel 1. Konsumsi Telur dan Daging Broiler pada Beberapa Negara ASEAN Tahun 2009

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian di Indonesia merupakan bagian integral dari

BAB VI INDIKATOR DINAS PERTANIAN YANG MENGACU PADA TUJUAN DAN SASARAN RPJMD RENSTRA D I N A S P E R T A N I A N RENSTRA VI - 130

I. PENDAHULUAN. Komoditas ayam broiler merupakan primadona dalam sektor peternakan di

I. PENDAHULUAN. industri dan sektor pertanian saling berkaitan sebab bahan baku dalam proses

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada

Lingkup program/kegiatan KKP untuk meningkatkan ketahanan pangan rumahtangga berbasis sumberdaya lokal

ABSTRACT ABSTRAK PENDAHULUAN

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengembangan Wilayah

Transkripsi:

bab tujuh PEMBANGUNAN AGRIBISNIS BERBASIS PETERNAKAN DAN IMPLIKASINYA PADA ASPEK PENYULUHAN DI WILAYAH PERKOTAAN Banyak pihak berpendapat bahwa dengan direlokasinya usaha peternakan dari wilayah perkotaan (urban area) ke wilayah pedesaan (rural area), maka kegiatan peternakan tidak ada Iagi di wilayah perkotaan. Pendapat yang demikian adalah sangat keliru. Kalau kita masih melihat kegiatan peternakan hanya terbatas pada kegiatan usaha peternakan (on-farm), memang pendapat tersebut ada benarnya. Namun, bila kegiatan peternakan dilihat sebagai suatu sistem agribisnis peternakan, pendapat diatas jelas salah. Karena peternakan sebagai suatu sistem agribisnis, sebagian subsistemnya terkonsentrasi di sekitar konsumen produk peternakan, yakni wilayah perkotaan. Peternakan sebagai suatu sistem agribisnis terdiri dari 4 (empat) subsistem, yaitu: Pertama, subsistem agribisnis hulu peternakan yakni kegiatan ekonomi yang menghasilkan dan memperdagangkan sapronak, seperti industri pembibitan, 67

industri pakan, industri obat-obatan, dan lain-lain. Kedua, subsistem agribisnis budidaya (on-farm agribusiness) yakni kegiatan yangmenggunakan sapronak untuk menghasilkan komoditi peternakan primer, yang selama ini kita sebut sebagai usaha peternakan, Ketiga, subsistem agribisnis hilir peternakan yakni kegiatan ekonomi yang mengolah komoditi peternakan primer menjadi produk olahan (ready to cook, ready to eat, beserta perdagangannya). Kedalam subsistem ini termasnk industri pengolahan dan pemanfaatan telur, susu, daging, dan industri jasa restoran dan makanan (food service industries). Dan keempat, subsistem penyedia jasa bagi agribisnis peternakan seperti lembaga perbankan, asuransi, penyuluhan/ penelitian dan pengembangan, transportasi dan kebijakan pemerintah. Konsentrasi perkembangan subsistem agribisnis peternakan mengikuti faktor keunggulan wilayah (local comparative advantage) yang relevan dengan kebutuhan subsistem agribsisnis peternakan itu sendiri. Subsistem agribisnis hulu dan agribisnis budidaya (on-farm) peternakan terkonsentrasi pada wilayah pedesaan, yang memiliki keunggulan dari aspek biofisik. Sementara itu subsistem agribisnis hilir pada umumnya berkembang di wilayah perkotaan karena faktor dukungan pasar dan faktor lain yang menguntungkan bagi subsistem agribisnis tersebut Dengan begitu, kegiatan peternakan tetap ada dan bahkan penting di wilayah perkotaan. Karena itu, fungsi-fungsi yang diperankan pemerintah seperti kegiatan penyuluhan juga diperlukan dan penting. Berikut ini akan diuraikan bagaimana paradigma pembangunan dan implikasinya bagi aspek penyuluhan baik dari segi paradigmanya maupun teknis pelaksanaannya di wilayah perkotaan. Paradigma Baru Pembangunan Peternakan Dimasa lalu pelaksanaan pembangunan peternakan (dan umumnya pertanian) di Indonesia, menganut paradigma 68

pembangunan yang berorientasi pada peningkatan produksi primer. Secara historis, paradigma pembangunan yang demikian kita adopsi dari pernikiran Dr. A, T. Mosher dalam bukunya Getting Agriculture Moving (1966) yang menjadi referensi arsitek pembangunan pertanian pada awal Orde Baru. Dengan jurus pembangunan ala Mosher yang dikenal sebagai 5 (lima) syarat mutlak dan 5 (lima) syarat pelancar pembangunan pertanian,, pembangunan peternakan identik dengan pembangunan usahatani ternak (on-farm) dengan orientasi peningkatan produksi hasil ternak primer. Bentuk implementasi dari jurus Mosher tersebut dalam pembangunan peternakan di Indonesia, diwujudkan dalam program BIMAS Ayam Ras (sejak awal tahun 1970-an), Intensifikasi Ayam Buras, Intensifikasi Sapi Potong, dan lain-lain (sejak awal tahun 1980-an). Paradigma pembangunan peternakan dengan orientasi peningkatan produksi primer yang demikian dalam teori ekonomi berakar pada pemikiran ekonomineoklasik Jean Baptis Say (Say s Law) yang menyatakan bahwa penawaran akan menciptakan sendiri permintaannya (supply creates its own demand). Secara implisit pemikiian ini beranggapan bahwa pasar (konsumen) adalah homogen, apapun yang dihasilkan akan sesuai dengan permintaan pasar, tidak mungkin terjadi kelebihan penawaran (excess supply), sehingga yang terpenting adalah bagaimana meningkatkan produksi. Kegiatan pengolahan hasil ternak akan dengan sendirinya berkembang (kegiatan budidaya menentukan agribisnis hilir), Dengan begitu, paradigma pembangunan yang demikian dalam teori pembangunan ekonomi dikenal sebagai pendekatan penawaran (supply side approach). Pada perkembangan lebih lanjut termasuk dewasa ini, paradigma lama tersebut ternyata memperlemah kedudukan peternakan itu sendiri. Peningkatan produksi yang mengabaikan selera konsumen yang berkembang berarti juga membatasi daya serap pasar. Akibatnya yang terjadi adalah kelebihan penawaran yang semu, dalam arti komoditi yang dihasilkan berlebihan, karena apa yang dihasilkan tidak memenuhi (match) apa yang diinginkan konsumen. Dengan kata lain terjadi kelebihan 69

produksi pada segmen pasar tertentu, sementara pada segmen pasar Iainnya justru kekurangan. Sehingga / kita terus mengimpor produk-produk peternakan atau produk yang mengandung produk peternakan, untuk memenuhi kebutuhan segmen pasai yang kekurangan. Terjadinya kelebihan penawaran semu inilah salah satu penyebab mengapa harga komoditas primer peternakan yang diterima pelaku usahaternak cenderung rendah. Sehingga pendapatan peternak tetap rendah dan investasi pada kegiatan agribisnis budidaya juga relatif rendah. Menghadapi masa depan, paradigma pembangunan peternakan tersebut perlu dirubah kepada paradigma baru, yakni paradigma agribisnis. Esensi dari pembangunan peternakan dengan paradigma agribisnis adalah menghasilkan apa yang dituntut pasar (konsumen) atau pendekatan sisi permintaan (demand side approach). Artinya, preferensi konsumen yang berkembang atau dikembangkan merupakan cetak biru (blue print) dari diferensiasi teknologi pengolahan, teknologi budidaya, teknologi pembibitan, teknologi pakan, dan Lain-lain. Dengan kata lain, bila dimasa lalu kegiatan budidaya yang menentukan subsistem agribisnis hilir, maka dengan paradigma agribisnis, subsistem agribisnis hilir-lah yang menjadi penggerak utama (prime mover) bagi kegiatan budidaya dan subsistem agribisnis hulu. Pembangunan peternakan dengan paradigma agribisnis akan sangat relevan dengan tuntutan perubahan lingkungan ekonomi dunia yang makin kompetitif (liberalisasi perdagangan). Menghadapi lingkungan ekonomi yang makin kompetitif, memerlukan kemampuan bersaing. Secara operasional kemampuan bersaing (competitive advantage) diartikan sebagai: the ability todeliver goods and services at the time, place, and form sought by buyer s, in both tlie domestic and international markets, at prices as good or better than tjtose of other potential suppliers, while earning at least opportunity cost on resources employed (Sharpies and Milham, 1990; Cook and Bredahl, 1991). Dengan konsep kemampuan bersaing yang demikian berarti 70

kemampuan menghasilkan suatu produk peternakan yang sesuai dengan selera konsumen merupakan syarat utama (necessary conditions) bagi suatu peternakan yang berdaya saing. Karena mutu produk akhir peternakan merupakan resultante dari teknologi bibit, teknologi pakan, teknologi budidaya, teknologi pengolahan, maka diperlukan pengembangan teknologi tersebut secara simultan dan konsisten. Pembangunan peternakan yang mampu mengakomodir pengembangan teknologi yang demikian adalah pembangunan sistem agribisnis berbasis peternakan. Impiikasi Bagi Aspek Penyuluhan di WilayahPerkotaan Dengan berubahnya paradigma pembangunan peternakan dari pendekatan peningkatan produksi ke pendekatan agribisnis, maka kegiatan penyuluhan pembangunan peternakan juga mengalami perubahan, baik paradigmanya, cakupan, maupun metodenya. Bila dimasa Ialu paradigma penyuluhan pembangunan peternakan terbatas untuk meningkatkan kemampuan petemak pada kegiatan budidaya dalam meningkatkan produksinya, maka dimasa yang akan datang berubah kepada upaya meningkatkan kemampuan seluruh pelaku agribisnis berbasis peternakan baik yang berada pada subsistem agribisnis hulu, budidaya ternak, agribisnis hilir maupun pada lembaga penyediaan jasa, agar mampu meningkatkan konttibusinya bagi pencapaian agribisnis berbasis peternakan yang berdaya saing. Dalam hal ini, aspek yang disuluh bukan hanya kemampuan teknis dan manajerial saja, tapi yang lebih penting lagi adalah aspek kemampuan kerjasama tim (teamwork) dalam agribisnis berbasis peternakan. Kenyataan bahwa subsistem agribisnis hilir peternakan dan konsumen produk peternakan terkonsentrasi di wilayah perkotaan dan mengingat peranan subsistem agribisnis hilir peternakan sebagai penggerak utama menyebabkan kegiatan penyuluhan di wilayah perkotaan menjadi sangat penting bagi pengembangan agribisnis berbasis peternakan secara keseluruhan. 71

Dalam upaya membangun suatu agribisnis berbasis peternakan yang berdaya saing, terdapat paling sedikit 3 (tiga) peranan strategis dari kegiatan penyuluhan peternakan di wilayah perkotaan. Pertama, pembinaan konsumen produk-produk peternakan dalam rangka memperluas dan memperbesar pasar produkproduk peternakan. Dalam halini peranan penyuluh peternakan adalah membina konsumen agar menghargai mutu produkproduk peter nakan, meluruskan persepsi konsumen yang keliru tentang nilai gizi produk peternakan, menyampaikan informasi mutu produk-produk peternakan selengkap mungkin sehingga konsumen memperoleh informasi yang lengkap dalam mengambil keputusan konsumsi dan menciptakan nilai (value) di kalangan konsumen, dan lain-lain, Kedua, pembinaan pelaku-pelaku ekonomi subsistem agribisnis hilir peternakan seperti para pedagang, industri pengolahan, dan industri jasa restoran dan makanan (food service industies), agar mampu menyampaikan dan menyajikan produk-produk peternakan sesuai dengan atribut-atribut produk yang dituntut konsumen masing-masing segmen pasar. Sasaran pokok penyuluhan disini adalah memampukan pelaku-pelaku subsistem agribisnis agar mampu menyampaikan produkproduk peternakan pada waktu, tempat, bentuk yang sesuai dengan nilai (value) konsumen. Ketiga, mengkomunikasikan informasi perubahan pasar produk-produk peternakan yang terjadi pada subsistem agribisnis hilir peternakan kepada penyuluh-penyuluh peternakan yang berada pada subsistem agribisnis budidaya maupun pada subsistem agribisnis hulu peternakan. Dengan begitu, kegiatan penyuluhan pada kegiatan budidaya dan agribisnis hulu dapat menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi. Sebagai contoh, bila konsumen telah menuntut daging ay am yang bebas atau seminimum mungkin residu obat-obatan/ antibiotika, maka infromasi seperti ini perlu dikomunikasikan kepada penyuluh peternakan yang membina agribisnis budidaya, 72

sehingga kegiatan penyuluhan pada kegiatan budidaya ini dapat memberi perhatian yang serius pada pembinaan petemak dalam menggunakan antibiotika/obat-obatan. Informasi yang sama juga perlu disampaikan kepada penyuluh yang membina industri pembibitan DOC dan industri obat-obatan, agar industri pembibitan dan mengadopsi bioteknologi transgenic atau industri obat-obatan mengembangkan antibiotika/obatobatan yang memiliki waktu paruh yang singkat, sehingga ayam hidup yang dihasilkan mengandung residu obat-obatan/ antibiotika seminimum mungkin. Tentu saja, sesuai dengan kondisi wilayah perkotaan, metode penyuluhan peternakan juga perlu disesuaikan. Barangkali penyampaian pesan pembangunan peternakan di wilayah perkotaan akan lebih efektif dengan memanfaatkan media televisi, radio (melalui iklan layanan masyarakat, dialog jarak jauh dengan konsumen), media cetak, brosur, pamflet, dan Iain-lain. Seiain itu, karena subsistem agribisnis hilir peternakan menyangkut kepentingan lintas sektoral, seperti Departemen Kesehatan, Departemen Perdagangan dan Industri, PHRI, dan lain-lain, maka pelaksanaan kegiatan penyuluhan perlu bekerjasama dengan instansi tersebut. Catatan Penutup Pembangunan petemakan dengan pendekatan agribisnis, menempatkan subsistem agribisnis hilir petemakan yang terkonsentrasi di perkotaan menjadi penggerak utama bagi agribisnis berbasis peternakan secara keseluruhan. Oleh sebab itu, kegiatan layanan pemerintah seperti kegiatan penyuluhan yang bertujuan untuk memampukan subsistem agribisnis hilir peternakan, menjadi sangat penting. Untuk meningkatkan kemampuan penyuluh peternakan di wilayah perkotaan, diperlukan peningkatan pendidikan/ pengetahuan para penyuluh baik melalui pendidikan formal maupun informal seperti bentuk-bentuk pelatihan khususnya tentang aspek perilaku konsumen dan komunikasi media. 73

Selain itu, pertemuan teknis penyuluhan secara reguler antara penyuluh peternakan yang membina subsistem agribisnis hilir, budidaya/ dan subsistem agribisnis hulu sangat penting guna mengembangkan suatu sistem penyuluhan agribisnis berbasis peternakan yang simultan dan konsisten mulai dari hulu hingga ke hilir. 74