BAB IV DATA, HASIL, DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III METODOLOGI. bagian penting untuk dapat mengetahui sifat aliran fluida pada medium berpori.

Pada Bab III akan dijelaskan metode untuk memperoleh besaran fisis dari citra

Data eksperimen didapat melalui pengolahan data skala centimeter dan skala

BAB III PEMBUATAN MODEL BATUAN DAN PERHITUNGAN BESARAN FISIS MODEL. 3.1 Pengujian Model dengan Menggunakan Metode Selular Automata

Batuan berpori merupakan media dengan struktur fisik yang tersusun atas bahan

BAB IV HASIL SIMULASI DAN PEMBAHASAN. Proses simulasi dilakukan pada komputer dengan spesifikasi sebagai. - prosesor : Pentium Dual Core 2,66 Ghz,

BAB III METODE PENELITIAN. Daerah penelitian secarageografisterletakpada107 o o BT

BAB IV PENGUJIAN DAN ANALISIS

ESTIMASI TORTUOSITAS 3D UNTUK BATUAN SAMPEL DENGAN MENGGUNAKAN METODE SERIAL SECTIONING

BAB 4 HASIL DAN ANALISA

BAB 3 PERANCANGAN SISTEM

BAB II TEORI DASAR. yang cukup banyak mendapatkan perhatian adalah porositas yang

KARAKTERISASI MIKROSTRUKTUR BATUAN KARBONAT PADA BERBAGAI UKURAN: MILI SAMPAI CENTIMETER

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB III ANALISIS, ALGORITMA, DAN CONTOH PENERAPAN

Gambar 4.1 Macam-macam Komponen dengan Bentuk Kompleks

BAB II TEORI DASAR. di bumi. Mineral biasa ditemukan dalam bentuk butiran yang diameternya

Analisis Pengaruh Automatic Thresholding dalam Pemrosesan Citra Batupasir Berea

BAB III REKONTRUKSI 3D MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK PHOTOMODELER.

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang dan Rumusan Masalah. seperti timah, emas, tembaga, hingga uranium dapat ditambang di tanah

Pendekatan Statistik Pada Domain Spasial dan Frekuensi untuk Mengetahui Tampilan Citra Yustina Retno Wahyu Utami 1)

BAB IV. ANALISIS DAN PERANCANGAN PERANGKAT LUNAK

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. robotika dan otomatisasi dalam kehidupan manusia seiring dengan meningkatnya dunia

BAB III PERANCANGAN KECERDASAN-BUATAN ROBOT PENCARI JALUR

III. METODE PENELITIAN. menggunakan matlab. Kemudian metode trial dan error, selalu mencoba dan

BAB III ANALISIS DAN PERANCANGAN. dan memudahkan dalam pengembangan sistem selanjutnya. Tujuan dari analisa

BAB IV UJI COBA DAN ANALISIS

Bab IV Kegempaan dan Cakupan Sinar Gelombang di Kompleks Gunung Guntur

BAB III PERANCANGAN SISTEM. Pada dewasa sekarang ini sangat banyak terdapat sistem dimana sistem tersebut

BAB III METODE PENGUKURAN PERMEABILITAS. berupa rangkaian sederhana dengan alat dan bahan sebagai berikut :

BAB 3 PENGENALAN KARAKTER DENGAN GABUNGAN METODE STATISTIK DAN FCM

KONSTRUKSI BATAS-BATAS WILAYAH YANG BERJARAK MINIMUM DENGAN MENGGUNAKAN GEOMETRI TAXICAB

BAB 2 PENGENALAN IRIS, PENENTUAN LOKASI IRIS, DAN PEMBUATAN VEKTOR MASUKAN

Bab 3 Algoritma Feature Pengurangan

BAB III PERANCANGAN PERANGKAT LUNAK

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB II Tinjauan Pustaka

UKDW BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

MODEL PUSARAN BADAI SKRIPSI

OPTIMASI ALGORITMA IDENTIFIKASI STRABISMUS

BAB II LANDASAN TEORI

Team project 2017 Dony Pratidana S. Hum Bima Agus Setyawan S. IIP

KAJIAN PERKOLASI, TORTUOSITAS, DAN BILANGAN KOORDINASI MODEL BATUAN POROSITAS RENDAH YANG DIBENTUK OLEH RANDOM NUMBER GENERATOR TUGAS AKHIR

IV. RANCANG BANGUN SISTEM. Perangkat lunak bantu yang dibuat adalah perangkat lunak yang digunakan untuk

BAB III PERENCANAAN APLIKASI DESAIN JARINGAN

Bab 4 Studi Kasus. 4.1 Tampilan Awal Aplikasi Perangkat Lunak

BAB 2 LANDASAN TEORI

Algoritma Kohonen dalam Mengubah Citra Graylevel Menjadi Citra Biner

APLIKASI GRAF UNTUK MENENTUKAN JALUR ANGKOT TERCEPAT. Data dari rute-rute angkot di sekeliling ITB (Institut Teknologi Bandung).

ANALISA PERBANDINGAN VISUAL METHOD DAN LIQUID PENETRANT METHOD DALAM PERBAIKAN CITRA FILM RADIOGRAFI

Bab III Perangkat Pengujian

BAB 3 PERALATAN DAN PROSEDUR PENELITIAN

Bab IV Analisis dan Diskusi

BAB II DASAR TEORI Kajian Pustaka a. Penerapan Algoritma Flood Fill untuk Menyelesaikan Maze pada Line Follower Robot [1]

GAMBAR PROYEKSI ORTOGONAL

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengolahan data pada Pre-Stack Depth Migration (PSDM) merupakan tahapan

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN ANALISIS. Pengukuran dilakukan pada empat sampel batuan berbeda. Data yang

BAB 4 ANALISA SISTEM

Rancang Bangun Sistem Penghitung Laju dan Klasifikasi Kendaraan Berbasis Pengolahan Citra

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan di wilayah yang tercemar tumpahan minyak dari

BAB III ALGORITMA PENAMBAHAN FEATURE DAN METODA PENCAHAYAAN

Operasi Piksel dan Histogram

PENGOLAHAN CITRA DIGITAL

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1.2 Rumusan Masalah

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Dasar-Dasar Channels

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TEORI DASAR. Di dalam ilmu kebumian, permeabilitas (biasanya bersimbol κ atau k)

Elemen Elemen Desain Grafis

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. dan bahan, agar mendapatkan hasil yang baik dan terstruktur. Processor Intel Core i3-350m.

BAB II SISTEM PENENTU AXIS Z ZERO SETTER

DAFTAR NOTASI. Notasi Operasi Matematis

PENGUKURAN GETARAN PADA POROS MODEL VERTICAL AXIS OCEAN CURRENT TURBINE (VAOCT) DENGAN METODE DIGITAL IMAGE PROCESSING

BAB 3 PE GEMBA GA METODE DA ALGORITMA PEMESI A MULTI AXIS

Energi ini tersimpan dalam batuan magma yang terdapat di bawah permukaan. bumi dan memiliki fluida di dalamnya. Aktivitas panas bumi ditandai dengan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Pertemuan 2 Representasi Citra

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Matematika IPA (MATEMATIKA TKD SAINTEK)

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

DETEKSI KEBAKARAN BERBASIS WEBCAM SECARA REALTIME DENGAN PENGOLAHAN CITRA DIGITAL

Penerapan Algoritma A-star (A*) Untuk Menyelesaikan Masalah Maze

BAB I PENDAHULUAN. Analisa efek secondary..., Paian Oppu Torryselly, FT UI, 2008

BAB III METODE PENELITIAN. Tujuan tugas akhir ini akan membangun suatu model sistem yang

Proses no 1. Penjelasan: Pembuatan layer baru, klik tombol layers seperti terlihat pada gambar. di atas.

BAB IV IMPLEMENTASI DAN HASIL PENGUJIAN

BAB III PERANCANGAN SISTEM

IMPLEMENTASI METODE SPEED UP FEATURES DALAM MENDETEKSI WAJAH

DAFTAR ISI. DAFTAR ISI... vii. DAFTAR GAMBAR... x. DAFTAR TABEL... xii I. PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah...

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB III PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

Perspektif mata burung : dilihat secara keseluruhan dari atas. Perspektif mata normal : dilihat secara keseluruhan dengan batas mata normal

KULIAH 2 TEKNIK PENGOLAHAN CITRA HISTOGRAM CITRA

MILIK UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB II LANDASAN TEORI

PERANCANGAN PERANGKAT LUNAK REKONSTRUKSI CITRA 3 DIMENSI DARI LEMBARAN CITRA HASIL REKONSTRUKSI 2 DIMENSI

Transkripsi:

32 BAB IV DATA, HASIL, DAN PEMBAHASAN 4.1 Data Eksperimen Data penelitian didapatkan dari dua batuan sampel yaitu batu apung dan batu karbonat. Ukuran dimensi data pada batu karbonat untuk rekonstruksi tiga dimensi adalah (75 x 75 x 75) pixels dengan jarak setiap irisannya bernilai 0.1 mm. Sedangkan dimensi data pada batu apung adalah (50 x 50 x 50) pixels dengan jarak setiap irisan adalah 0.1 mm. Alasan pemilihan jarak 0.1 mm untuk setiap irisan adalah agar tidak ada bagian yang hilang ketika proses perekontruksian dilakukan. Jarak 0.1 mm ini, didapatkan setelah melakukan kalibrasi data. Sebelumnya dilakukan pengukuran terlebih dahulu terhadap dimensi batuan dan besarnya ukuran digital. Hal ini telah dijelaskan sebelumnya pada subbab 3.3 mengenai kalibrasi data dua dimensi. Berikut ini dipaparkan data gambar hasil eksperimen sampel batuan. 4.1.1 Data gambar sampel batuan Gambar berikut [Gambar 4.1] merupakan beberapa gambar irisan melintang batuan sampel pertama yaitu batu karbonat dua dimensi dengan ukuran (432 x 340) pixels.

33 gambar1.jpg gambar2.jpg gambar3.jpg gambar4.jpg gambar5.jpg gambar6.jpg gambar7.jpg gambar8.jpg Gambar 4.1. Data gambar batuan sampel karbonat dua dimensi. Gambar berikutnya [Gambar 4.2] merupakan beberapa data gambar dua dimensi batuan sampel yang kedua yaitu batu apung dengan ukuran (188 x 166) pixels. gambar1.jpg gambar2.jpg gambar3.jpg gambar4.jpg gambar5.jpg gambar6.jpg gambar7.jpg gambar8.jpg Gambar 4.2. Data gambar batuan sampel apung dua dimensi.

34 Data lainnya akan terlampir di lampiran A untuk batuan sampel batu karbonat dan di lampiran B untuk batuan sampel batu apung. 4.1.2 Data gambar sampel batuan setelah dilakukan pengolahan Data gambar batuan sampel pada gambar 4.1 dan 4.2 di atas kemudian diolah ke tahapan berikutnya. Pengolahan data terlebih dahulu dilakukan dengan melakukan pemotongan (croping). Croping ini dilakukan dengan menggunakan bantuan menu crop software ACDsee 6.0. Setelah dilakukan croping dengan ukuran yang sama yaitu (75 x 75) pixels untuk batu karbonat dan (50 x 50) pixels untuk batu apung, kemudian dilakukan pengkontrasan warna pada bagian yang telah dipotong. Pengkontrasan warna ini dilakukan dengan bantuan menu yang ada di Photoshop 7.0. Tujuan dilakukan pengkontrasan warna ini adalah agar kontras warna antara pori dan matriks terlihat dengan jelas, dengan pori untuk warna putih dan matriks dengan warna hitam. Berikut ini beberapa gambar sampel batuan setelah dilakukan pengolahan. Data gambar pertama [Gambar 4.3] adalah data gambar batu karbonat setelah dilakukan pengolahan. gambar1.jpg gambar1.jpg gambar2.jpg gambar2.jpg

35 gambar3.jpg gambar3.jpg gambar4.jpg gambar4.jpg Gambar 4.3. Data gambar batu karbonat setealh dilakukan pengolahan. Data gambar berikutnya [Gambar 4.4] adalah data gambar batu apung setelah dilakukan pengolahan. Data gambar yang ditampilkan ini hanya beberapa gambar saja. gambar1.jpg gambar1.jpg gambar2.jpg gambar2.jpg gambar3.jpg gambar3.jpg gambar4.jpg gambar4.jpg Gambar 4.4. Data gambar batu apung setelah dilakukan pengolahan. Gambar data batuan sampel di atas lebih lengkap akan dipaparkan pada lampiran A untuk batu karbonat dan lampiran B untuk batu apung.

36 4.2 Visualisasi Tiga Dimensi Batuan Sampel Setelah dilakukan pengolahan data seperti yang telah diuraikan pada subbab 4.1 di atas, maka pengolahan selanjutnya adalah melakukan visualisasi batuan sampel. Visualisasi batuan sampel dilakukan dengan menggunakan program Matlab. Untuk rekonstruksi tiga dimensi dari sampel irisan dua dimensi, algoritma kerja programnya dapat dilihat pada gambar 3.5. Berikut ini adalah hasil visualisasi tiga dimensi batuan sampel. Gambar berikut ini [Gambar 4.5] adalah visualisasi batu apung dengan nilai alpha (transparansi) yang berebeda-beda. Visualisasi 3D batu karbonat bagian depan dengan nilai alpha 1 Visualisasi 3D batu karbonat bagian belakang dengan nilai alpha 1 Visualisasi 3D batu karbonat bagian depan Visualisasi 3D batu karbonat bagian belakang

37 dengan nilai alpha 0.5 dengan nilai alpha 0.5 Gambar 4.5. Visualisasi tiga dimensi batu karbonat dengan nilai alpha berbeda-beda. Gambar di bawah ini [Gambar 4.6] adalah visualisasi batu apung dengan nilai alpha (transparansi) yang berebeda-beda. pori matriks Visualisasi 3D batu apung bagian depan dengan nilai alpha 1 Visualisasi 3D batu apung bagian belakang dengan nilai alpha 1 Visualisasi 3D batu apung bagian depan dengan nilai alpha 0.5 Visualisasi 3D batu apung bagian belakang dengan nilai alpha 0.5 Gambar 4.6. Visualisasi tiga dimensi batu apung dengan nilai alpha berbeda-beda. Pada gambar 4.5 dan 4.6 di atas terdapat dua bagian warna yang kontras yaitu warna abu dan biru. Warna abu merupakan representasi dari gambaran matriks (ruang

38 padat) batuan sampel dan warna biru merupakan representasi dinding pori (ruang kosong) dari batuan sampel. Visualisasi batuan sampel dengan nilai alpha yang berbeda-beda di atas berguna untuk memberikan nilai transparansi gambar. Nilai transparansi ini akan terlihat perbedaannya ketika melihat jalur aliran fluida yang terjadi di dalam pori batuan sampel. Terlihat dari gambar di atas, nilai alpha 0.5 dapat menampilkan isi (bagian dalam) batuan sampel apabila dibandingkan dengan visualisasi yang memiliki nilai apha 1. Terlihat juga dari kedua gambar di atas bahwa visualisasi dengan menggunakan Matlab memiliki keuntungan yaitu ketika dilakukan rotasi terhadap gambar dengan sudut berapapun, gambar yang divisualisasikan dapat memperlihatkan bagian samping atau belakang sesuai dengan nilai alpha yang diberikan. Namun ketika melakukan rotasi, prosesnya akan berjalan sedikit lambat. Hal ini dikarenakan dimensi yang digunakan pada batuan sampel cukup besar yaitu (75 x 75 x 75) pixels untuk batu karbonat dan untuk batu apung sebesar (50 x 50 x 50) pixels, sehingga untuk dapat melakukan rotasi dalam waktu yang relatif cepat maka beban dimensi yang diberikan harus lebih sedikit lagi. 4.3 Visualisasi Porositas dan Jalur Tortuositas Batuan Sampel Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pada penelitian ini ada dua besaran fisis batuan yang akan dicari dan dianalisa, kedua besaran fisis tersebut adalah porositas dan tortuositas. Besaran ini memiliki peranan yang sangat penting

39 dalam menentukan banyaknya hidrokarbon yang terkandung dalam suatu batuan dan jalur terpendek yang dapat dilalui oleh hidrokarbon tersebut. 4.3.1 Visualisasi batu karbonat Besarnya nilai porositas dan tortuositas pada setiap batuan akan berbeda. Hal ini bergantung dari karakteristik pori yang dimiliki oleh batuan tersebut. Untuk mengetahui bentuk jalur tortuositas yang terdapat pada pori batuan maka perlu dilakukan visualisasi gambar tiga dimensi. Visualisasi ini akan memberikan gambaran mengenai jalur yang dapat ditempuh oleh fluida pada batuan sampel. Berikut ini [Gambar 4.7] adalah visualisasi jalur tortuositas batu karbonat dengan nilai alpha 0.1. Gambar 4.7. visualisasi 3D batu karbonat dengan nilai alpha 0.1 beserta jalur tortuositas dan nilai porositasnya.

40 Gambar berikutnya [Gambar 4.8] adalah gambar visualisasi tiga dimensi batu karbonat beserta jalur tortuositas dan nilai porositasnya dengan nilai alpha 0.8. tampak bagian depan tampak bagian belakang Gambar 4.8. visualisasi 3D batu karbonat dengan nilai alpha 0.8 beserta jalur tortuositas dan nilai porositasnya. Dari kedua gambar di atas (4.7 dan 4.8) terlihat jalur tortuositas yang lebih jelas pada alpha 0.1. Dengan jumlah 4 entry point yang dapat tembus. Pada kasus ini, keempat entry point tersebut berujung pada satu titik tembus. Bentuk jalur tortuositasnya hampir berbentuk garis lurus. Gambar berikut ini [Gambar 4.8] adalah skema jalur tortuositas batu karbonat dalam bentuk dua dimensi yaitu pada sumbu x dan y.

41 Gambar 4.9. Skema jalur tortuositas batu karbonat dalam bentuk dua dimensi Perjalanan tortuositas batuan sampel karbonat dimulai dari koordinat y =1. Terlihat dari gambar 4.9 di atas, arah jalur tortuositas yang dipilih sesuai dengan prioritas yang telah diterangkan sebelumnya pada subbab 3.8.3. Prioritas pada gambar di atas terlihat jalur yang dipilih adalah prioritas pertama yaitu blok bagian depan dan kemudian melakukan pengecekan ke blok bagian tengah, dan terus dilakukan pengecekan hingga menemukan jalur terpendek yang dapat di tembus. Nilai tortuositas yang dimaksud pada program ini adalah nilai tortuositas ratarata dari seluruh entry point yang tembus. Nilai tortuositas batuan sampel batu karbonat ini pun hampir mendekati nilai 1 yaitu 1.12. Nilai ini merepresentasikan bahwa batu karbonat jenis ini memiliki jalur yang pendek untuk dapat melewati suatu fluida karena nilai tortuositasnya mendekati nilai 1.

42 Sedangkan nilai porositas batuannya adalah 17.6%. Nilai ini menggambarkan bahwa jumlah kandungan fluida yang dapat ditampung oleh batu karbonat jenis ini relatif sedikit. Seperti yang kita ketahui bahwa semakin besar nilai porositas suatu batuan maka semakin banyak fluida yang dapat ditampung oleh batuan tersebut. Namun, nilai porositas yang besar saja tidak cukup untuk menggambarkan batuan tersebut memiliki kemampuan mengalirkan fluida keluar karena hal ini terkait dengan terhubungnya pori yang ada pada batuan tersebut. Keterhubungan pori tersebut dapat kita lihat dari nilai tortuositas yang dimiliki oleh batuan. Dalam hal ini, batuan sampel yang digunakan pada penelitian ini yaitu karbonat memiliki jalur pendek mengalirkan fluida meskipun nilai porositas batuannya relatif kecil. 4.3.2 Visualisasi batu apung Visualisasi batu apung dilakukan untuk dapat menggambarkan jalur tortuositas. Warna merah dari visualisasi gambar tiga dimensi menunjukkan jalur tortuositas pada batuan. Jalur ini menandakan panjang pendeknya aliran fluida yang dapat dilalui. Berikut ini [Gambar 4.10] adalah gambar visualisasi tiga dimensi batu apung dengan nilai alpha 0.1.

43 Gambar 4.10. visualisasi 3D batu apung dengan nilai alpha 0.1 beserta jalur tortuositas dan nilai porositasnya. Gambar berikutnya [Gambar 4.11] adalah gambar visualisasi tiga dimensi batu apung dengan nilai alpha 0.8. tampak bagian depan tampak bagian belakang Gambar 4.11. visualisasi 3D batu apung dengan nilai alpha 0.8 beserta jalur tortuositas dan nilai porositasnya.

44 Dari kedua gambar di atas (4.7 dan 4.8) terdapat 9 entry point yang dapat di tembus pada jenis batu ini dengan bentuk jalur yang sedikit berbelok. Jumlah titik tembus yang dimiliki jalur ini adalah 2. Gambar berikut ini [Gambar 4.12] adalah skema jalur tortuositas batu apung dalam bentuk dua dimensi yaitu pada sumbu x dan y. Gambar 4.12. Skema jalur tortuositas batu apung dalam bentuk dua dimensi Terlihat dari gambar di atas [Gambar 4.12] bahwa jalur tortuositas yang terdapat pada batu apung sedikit lebih berbelok dan panjang dibandingkan dengan jalur tortuositas yang ada pada batu karbonat. Hal ini terlihat dari nilai tortuositasnya yang juga lebih besar yaitu 1.35. Berbeda halnya dengan batu karbonat, nilai porositas batu apung ini lebih besar dibandingkan dengan batu karbonat. Porositas pada batu jenis ini adalah 29.7%. Hal ini menandakan bahwa volume untuk menampung fluida pada batu jenis ini lebih

45 besar dibandingkan dengan batu karbonat. Namun jalur yang ditempuh fluida tersebut untuk dapat keluar dari pori batuan sedikit lebih panjang dan rumit dibandingkan dengan batu karbonat. 4.4 Hubungan Porositas dan Tortuositas Berdasarkan hasil yang telah didapat dari penelitian, diketahui bahwa nilai porositas dan tortusoitas terihat pada tabel [Tabel 4.1] berikut ini : Sampel Porositas efektif (%) Tortuositas Batu karbonat 17.6 1.12 Batu Apung 29.7 1.35 Tabel 4.1. Porositas dan tortuositas batuan sampel. Porositas yang diestimasi pada penelitian ini adalah porositas efektif. Porositas efektif merupakan jumlah pori yang terhubung dalam batuan sampel. Nilai porositas ini lebih kecil dibandingkan dengan nilai porositas total karena porositas total merupakan jumlah seluruh pori yang ada pada batuan sampel yang terhubung atau buntu. Pada beberapa kasus, didapatkan bahwa nilai porositas yang besar memiliki jalur melewatkan fluida lebih pendek dibandingkan dengan porositas yang lebih kecil. Namun, hal ini tidak berlaku untuk seluruh sampel batuan. Banyak faktor yang mempengaruhi diantaranya adalah keterhubungan pori yang satu dengan yang lainnya. Seperti yang terlihat pada tabel di atas, porositas pada batu apung yaitu 29.7% lebih besar dibandingkan dengan porositas batu karbonat yaitu 17.6%. Namun,

46 jalur untuk mengalirkan fluida keluar lebih pendek pada batu karbonat (1.12) dibandingkan batu apung (1.35). Hal ini dapat disebabkan karena sebaran pori yang dimiliki oleh batu apung tidak berada pada satu kawasan (area) sehingga fluida harus berbelok untuk mencapai pori berikutnya [lihat lampiran B]. Dari program yang digunakan terdapat 9 entry point yang ada pada batu apung dengan dua titik yang dapat ditembus fluida. Dua titik tembus dari 9 entry point menandakan bahwa dari 9 peluang yang ada untuk mengalirkan fluida keluar hanya dua titik yang dapat tembus keluar sehingga untuk mencapai kedua titik tembus ini ke sembilan entry point tersebut harus melewati jalur berbelok. Hal ini menyebabkan nilai tortuositas batu ini menjadi besar. Berbeda halnya dengan batu karbonat, sebaran pori lebih merata pada satu kawasan yang menyebabkan fluida tidak perlu berbelok terlalu jauh untuk mencapai pori berikutnya [lihat lampiran A]. Terlihat pada gambar 4.9, jalur yang dilewati fluida hampir berbentuk lurus karena sebaran pori yang lebih cendrung merata meskipun dari 4 entry point yang ada hanya terdapat satu titik tembus. Faktor ini menyebabkan nilai tortuositas batu apung lebih besar dibandingkan batu karbonat meskipun porositas yang dimiliki oleh batu apung lebih besar daripada batu karbonat. 4.5 Kesalahan Visualisasi Tiga Dimensi Pada penelitian ini, visualisasi merupakan bagian yang cukup penting untuk mendeskripsikan jalur pori yang dapat dilewati pada batuan. Namun, pada tampilannya terdapat sedikit penyimpangan visualisasi yang terjadi dengan

47 menggunakan program matlab. Berikut ini adalah beberapa gambar kesalahan visualisasi pada matlab. Gambar di bawah ini merupakan gambar visualisasi tiga dimensi batu karbonat bagian belakang. Gambar 4.13. Visualisasi 3D bagian belakang batu karbonat. Pada bagian ini ketika dilakukan visualisasi terlihat bahwa entry point batuan keluar dari matriks Dari gambar 4.13 di atas terlihat secara kasat mata bahwa jalur tortuositas batuan sampel batu karbonat keluar melalui matriks (ruang padat). Padahal seharusnya hal ini tidak terjadi. Untuk itu, perlu diamati lebih lanjut koordinat entry point pada gambar tersebut. Berikut ini adalah gambar visualisasi tiga dimensi batu karbonat beserta koordinat entry pointnya.

48 Gambar 4.14. Koordinat entry point batu karbonat. Dari gambar 4.14 di atas terlihat bahwa koordinat entry point adalah (23,75,58). Angka 58 menunjukkan posisi z pada gambar, angka 75 menunjukkan posisi kolom pada gambar dan angka 23 menunjukkan posisi baris pada gambar. Setelah dilihat kembali ke bagian workspace yang ada di matlab, ternyata nilai yang kelihatannya berbentuk matriks seperti gambar di atas merupakan pori dengan nilai 0. Hal ini juga terjadi pada batu apung ketika dilakukan visualisasi. Berikut adalah gambar yang memperlihatkan visualisasi batu apung yang entry pointnya keluar dari matriks [Gambar 4.15].

49 Bagian pada visualisasi dimana entry point terlihat keluar dari matriks. Gambar 4.15. Visualisasi 3D batu apung. Untuk memastikan bahwa kedua entry point di atas tidak keluar dari matriks maka perlu diketahui koordinat masing-masing entry point. Berikut adalah gambar koordinat masing-masing entry point [gambar 4.16]. Gambar 4.16. Koordinat entry point batu apung.

50 Dari gambar 4.16 di atas terdapat dua koordinat entry point yaitu (12,1,30) dan (31,50,31). Kedua koordinat ini diperiksa pada bagian workspace di matlab dan ternyata nilainya adalah 0 (pori). Kesalahan visualisasi ini terjadi karena posisi pori pada entry point pada gambar 4.13 dan 4.15 berada disekeliling matriks. Jadi kemungkinan visualisasi yang keluar adalah visualisasi yang dominan yaitu matriks. Sehingga visualisasi pori tidak kelihatan pada gambar.