Telah diterbitkan dalam Manajemen Pembangunan No. 57/I/Tahun XVI, 2007

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. gagalnya sebuah organisasi dalam melayani masyarakat?. Berikutnya, bagiamana standar dan proses

SISTEM AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH (SAKIP) DAN LAPORAN AKUNTANTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH (LAKIP)

BAB I PENDAHULUAN. melalui Otonomi Daerah. Sejak diberlakukannya Undang-Undang No.22 tahun

TEHNIK MENYUSUN INDIKATOR KINERJA UTAMA ORGANISASI

BAB. I PENDAHULUAN. Dalam konsep New Public Management (NPM) birokrasi pemerintah sebagai pemberi

INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) DINAS PERHUBUNGAN KABUPATEN INDRAGIRI HULU TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. kontribusi penelitian, proses penelitian dan sistematika penelitian.

INDIKATOR KINERJA UTAMA ( I K U )

I. PENDAHULUAN. Akuntabilitas kinerja organisasi sektor publik, khususnya organisasi pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menganut asas desentralisasi yang memberikan kebebasan dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Berkembangnya isu di masyarakat yang menggambarkan kegagalan

BAB 1 PENDAHULUAN. Bab ini akan membahas mengenai latar belakang penelitian, rumusan

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS. bermacam-macam. Hal tersebut merupakan konsekuensi dari luasnya wilayah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I INTRODUKSI. Bab ini merupakan pendahuluan yang berisi mengenai latar belakang

PENERAPAN SAKIP BAGIAN KEUANGAN DAN ASSET SEKRETARIAT DAERAH KABUPATEN LAMONGAN

Diterbitkan di Manajemen Pembangunan No. 58/II/Tahun XVI, 2007

BAB 1 PENDAHULUAN. penerapan sistem pertanggung jawaban yang tepat, jelas, terukur, dan legitimate

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Bagian Hukum dan HAM pada Sekretariat Daerah Kota Bandung KATA PENGANTAR

BAB VI INDIKATOR KINERJA YANG MENGACU PADA TUJUAN DAN SASARAN RPJMD

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Pemerintah merupakan organisasi sektor publik yang mempunyai tanggung

Menyusun Key Performance Indicator (KPI) untuk Mengukur Kinerja Anda

BAB I PENDAHULUAN. akuntabel serta penyelenggaraan negara yang bersih dari unsur-unsur KKN untuk

P E M E R I N T A H K O T A M A T A R A M

BUPATI BINTAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN BUPATI BINTAN NOMOR 27 TAHUN 2014 TENTANG SISTEM AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah (RENSTRA SKPD)

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat terhadap hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Kesadaran tersebut

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang didasarkan pada prinsip-prinsip good governance (Bappenas,

Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang nomor 25 tahun 1999, tentang. Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah telah memberikan

KATA PENGANTAR. Bandung, Januari 2015 KEPALA BADAN PENANAMAN MODAL DAN PERIJINAN TERPADU PROVINSI JAWA BARAT

PERUBAHAN RENSTRA (PERENCANAAN STRATEGIS) DINAS SOSIAL KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2015

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan perkembangan gagasan yang terjadi di berbagai negara,

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT TANAMAN REMPAH DAN PENYEGAR TAHUN 2015

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Akuntabilitas kinerja pemerintah merupakan salah satu isu yang terdapat dalam

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUWANGI,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

DR. ASROPI, SIP, MSi SEKOLAH TINGGI ILMU ADMINISTRASI LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA

2 2. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 104, Tamba

Alamat blog: Kedeputian II Bidang Kajian Manajemen Kebijakan dan Pelayanan Lembaga Administrasi

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Adapun yang melatarbelakangi perlunya penyusunan Penetapan Kinerja Tahun 2013

BAB I PENDAHULUAN. menjadi rumusan masalah penelitian, kemudian dilanjutkan dengan pertanyaan

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS

S A L I N A N BERITA DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 91 TAHUN No. 91, 2016 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, serta untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BKD KABUPATEN GRESIK 1

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

Catatan: dalam kesempatan ini akan disampaikan khusus untuk bidang Komunikasi dan Informatika

Rencana Kinerja Tahunan 2013 i KATA PENGANTAR

Rencana Kinerja Tahunan Dinas Kebudayaan & Pariwisata Kota Bandung Tahun 2016 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PERATURAN DAERAH NO. 07 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) KABUPATEN PROBOLINGGO TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. mulai mencoba mengenalkan konsep baru dalam pengelolaan urusan publik

RENCANA KINERJA TAHUNAN PUSAT PERLINDUNGAN VARIETAS TANAMAN DAN PERIZINAN PERTANIAN TA. 2012

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab pertama ini akan dibahas mengenai latar belakang penelitian,

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

KOTA BANDUNG DOKUMEN RENCANA KINERJA TAHUNAN DINAS PELAYANAN PAJAK KOTA BANDUNG TAHUN 2014

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu faktor yang penting dalam pembangunan sumber daya

BAB V PENUTUP. Berdasarkan hasil dan pembahasan, dapat disimpulkan hal-hal sebagai

PEMERINTAH KOTA SOLOK LAPORAN KINERJA TAHUN 2016

LAMPIRAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PROBOLINGGO NOMOR : 07 TAHUN 2013 BAB I PENDAHULUAN

Sekretariat Jenderal KATA PENGANTAR

RENSTRA SKPD JAKARTA, 2013 DR. ASROPI, SIP, MSI SEKOLAH TINGGI ILMU ADMINISTRASI LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA

KOTA BANDUNG TAHUN 2016

BAB II TELAAH PUSTAKA DAN MODEL PENELITIAN

RENCANA STRATEGIS (RENSTRA) BADAN PERPUSTAKAAN DAN KEARSIPAN DAERAH KABUPATEN GARUT TAHUN

2 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4614); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan Ev

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah adalah pengemban tanggung jawab kepentingan publik, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Anggaran merupakan suatu hal yang sangat penting dalam suatu organisasi.

PETUNJUK TEKNIS EVALUASI SISTEM AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH DI LINGKUNGAN BADAN KEPEGAWAIAN NEGARA

RENCANA KINERJA TAHUNAN 2017 DINAS PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN DESA, ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DAN PENCATATAN SIPIL PROVINSI GORONTALO

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

WALIKOTA TEBING TINGGI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kontribusi penelitian dan sistematika penulisan. mencanangkan suatu kebijakan yang dikenal dengan nama Gerakan Reformasi

Independensi Integritas Profesionalisme

KECAMATAN UJUNGBERUNG KOTA BANDUNG KATA PENGANTAR

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PEDOMAN EVALUASI LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA MAHKAMAH AGUNG DAN PENGADILAN TINGKAT BANDING SELURUH LINGKUNGAN PERADILAN BAB I PENDAHULUAN

KATA PENGANTAR. Semarapura, 30 Maret 2016 Kepala Bappeda Kabupaten Klungkung, I Wayan Wasta, SE, M.Si Pembina Tk. I (IV/b) NIP

KOTA BANDUNG DOKUMEN RENCANA KINERJA TAHUNAN BPPT KOTA BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. diantaranya adalah Undang-Undang No.17 Tahun 2003 Tentang Keuangan

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatkan kinerjanya. Menurut Propper dan Wilson (2003), Manajemen

BAB IV TARGET KINERJA DAN KERANGKA PENDANAAN PROGRAM PENGAWASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

I K U D P R K P P. I K U Dinas Perumahan Rakyat Kawasan Permukiman & Pertanahan DPR K P P K a b u p a t e n L a h a t 1-1

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Tuntutan akan adanya perubahan pada organisasi sektor publik yang

BAB I PENDAHULUAN. penerimaan dan pengeluaran yang terjadi dimasa lalu (Bastian, 2010). Pada

BAB I PENDAHULUAN. Renstra BAPPEDA I - 1

BAB I PENDAHULUAN. (government) menjadi kepemerintahan (governance). Pergeseran tersebut

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

PERATURAN BUPATI SIAK NOMOR 35 TAHUN 2015 TENTANG

Transkripsi:

Membangun Key Performance Indicator Lembaga Pelayanan Publik (Asropi, SIP, MSi) I. Latar Belakang Dalam konsep New Public Management (NPM), birokrasi pemerintah sebagai pemberi pelayanan kepada masyarakat dituntut untuk lebih mengedepankan aspek hasil (results) dibandingkan dengan sekedar kontrol terhadap pembelanjaan anggaran dan kepatuhan terhadap prosedur (Akizuki, 2004). Penekanan terhadap hasil ini merupakan kritik dan perbaikan terhadap konsep lama dari public management yang kurang memadai lagi untuk diterapkan pada masyarakat yang menuntut adanya birokrasi pemerintah yang berkinerja, yang dapat memberikan hasil nyata bagi masyarakat. Dalam perspektif NPM, konsep lama birokrasi yang cenderung sentralistik dinilai telah menjauhkan pelayanan birokrasi dari kebutuhan masyarakat. Sejak dikembangkan pada tahun 1980-an, ajaran NPM tersebut telah menyedot perhatian masyarakat dunia. Tidak sedikit lembaga-lembaga internasional seperti OECD, Word Bank, dan IMF, terlibat aktif untuk mengawal pengembangan dan penerapan NPM pada berbagai negara dalam kerangka reformasi birokrasi. Dalam perkembangan terakhir, sebagian besar negara-negara dunia telah mengadopsi NPM, khususnya yang terkait dengan konsep kinerja birokrasi pemerintah (Schiavo-Campo, 1999). Dalam penyelenggaran pemerintahan dan pembangunan di Indonesia, praktek NPM yang ditandai dengan reorientasi terhadap kinerja lembaga pelayanan publik juga telah tampak, bahkan secara eksplisit telah dinyatakan dalam beberapa produk perundang-undangan. Penekanan kinerja dalam lembaga pelayanan publik ini dimulai sejak tahun 1999 melalui diterbitkannya Inpres No. 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP). Berdasarkan Inpres No. 7 Tahun 1999 tersebut maka selanjutnya instansi pelayanan publik memiliki kewajiban untuk merancang program dan kegiatannya berdasarkan rencana hasil yang ditetapkan terlebih dahulu. Dalam perkembangan kemudian, posisi kinerja dalam aktivitas lembaga pelayanan publik semakin dikuatkan dengan diterbitkannya sejumlah kebijakan, khususnya yang terkait dengan perencanaan dan penganggaran. Kebijakan tersebut antara lain meliputi: UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; UU No. 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara; UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional; PP No. 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah; PP No. 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementrian/Lembaga; PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah; PP No. 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah dan Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Bagi lembaga pelayanan publik, reformasi pada bidang aparatur negara ini berimplikasi secara mendasar pada pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya. Lembaga pelayanan publik harus berfokus pada kinerja, sejak tahap desain program dan kegiatan, implementasi, monitoring, evaluasi sampai dengan pelaporan. Dengan demikian, dalam pelaksanaan tugas-tugas yang diamanatkan kepadanya, lembaga 1

pelayanan publik memerlukan desain manajemen baru yang berfokus pada kinerja yang dikenal dengan performance management. Berdasarkan konsepsi performance management ini, kinerja yang dirancang lembaga pelayanan publik dapat diketahui pencapaiannya jika lembaga tersebut memiliki Key Performance indicator (KPI) atau indikator-indikator kunci yang dapat digunakan sebagai tolok ukur dalam pengukuran kinerja organisasi. Namun demikian, manfaat Indikator kinerja ini sebenarnya bukan hanya untuk kepentingan pengukuran kinerja dalam kegiatan monitoring dan evaluasi. Dalam kenyataannya, KPI juga merupakan instrumen yang sangat baik untuk mengarahkan unsur-unsur dalam organisasi bergerak menuju sasaran yang sama. Selanjutnya, dalam tulisan ini diuraikan secara singkat tentang konsep KPI, penerapan KPI dan beberapa tentangan penerapan KPI pada lembaga pelayanan publik. II. Konsep Key Performance Indicator (KPI) KPI pada dasarnya adalah bagian dari Performance Indicators atau indikator kinerja organisasi. Keunggulan KPI dibandingkan dengan indikator-indikator kinerja lainnya, adalah bahwa KPI merupakan indikator kunci yang benar-benar mampu mempresentasikan kinerja organisasi secara keseluruhan. Jumlah indikator kinerja yang dipilih sebagai KPI ini biasanya tidak banyak, namun demikian hasil pengukuran melalui indikator tersebut dapat digunakan untuk menilai tingkat keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. Adapun KPI, merujuk pada definisi yang dirumuskan dalam Performance Indicator Resource Catalogue yang diterbitkan oleh Australian Government, Department of Finance and administration (2006), adalah ukuran spesifik tentang kinerja organisasi dalam wilayah bisnisnya. Ukuran tersebut dapat berupa financial dan non-financial yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja strategis organisasi. Sebagai alat ukur kinerja strategis organisasi, KPI dapat mengindikasikan kesehatan dan perkembangan organisasi, dan atau keberhasilan kegiatan, program atau penyampaian pelayanan untuk mewujudkan target-target atau sasaran organisasi. KPI dapat berbentuk ukuran kuantitatif maupun kualitatif. Namun demikkian, dalam praktek penyusunan KPI oleh berbagai organisasi public dan private, sebagaian besar KPI berupa ukuran kuantitatif. Hal ini dikarenakan, ukuran kuantitatif relatif lebih mudah digunakan dalam proses penggalian data maupun pada saat pengukuran dan evaluasi. Sedangkan untuk ukuran kualitatif, biasanya memerlukan survey atau kegiatan penelitian sebagai upaya untuk memperoleh data kinerja yang diperlukan. Proses penggalian data untuk ukuran kualitatif ini seringkali memerlukan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Pemilihan terhadap bentuk KPI, apakah kuantitatif atau kualitatif, tergantung pada kebutuhan dan karakter organisasi. Tidak dapat dipaksakan bahwa semua KPI harus kuantitatif atau harus kualitatif. Adapun pertimbangan utama yang harus menjadi dasar dalam pemilihan KPI adalah bahwa indikator tersebut dapat diukur (measurable). Hal ini berarti bahwa untuk setiap KPI baik ukuran kuantitatif maupun kualitatif - sudah tersedia informasi tentang jenis data-data yang akan digali, sumber data, dan cara mendapatkan data tersebut. 2

Selain kriteria dapat diukur tersebut, KPI juga harus memiliki sejumlah kriteria lain. Pada beberapa literatur disebutkan kriteria-kriteria KPI yang antara lain meliputi: Specific, Achievable, Realistic, dan Timely, yang jika digabungkan dengan kriteria Measurable dapat diringkas dalam akronim SMART. Dengan bahasa yang berbeda, Schiavo-Campo (1999) juga menguraikan kriteria-kriteria yang harus dipenuhi oleh KPI, yang kemudian dirumuskannya dalam akronim CREAM. Kriteria tersebut meliputi: a. Clear; KPI terdefinisikan secara jelas dan tidak memiliki makna ganda. b. Relevant: mencukupi untuk pencapaian tujuan, atau menangani aspek-aspek obyektif yang relevan. c. Economic: data/informasi yang diperlukan akan dapat dikumpulkan, diolah, dan dianalisis dengan biaya yang tersedia. d. Adequate: oleh dirinya sendiri atau melalui kombinasi dengan yang lain, pengukuran harus menyediakan dasar yang mencukupi untuk menaksir kinerja, dan e. Monitorable: dalam rangka kejelasan dan ketersediaan informasi, indikator harus dapat diterima bagi penilai atau evaluator kinerja yang independent. Kriteria-kriteria tersebut diatas adalah alat bantu yang efektive untuk memilih KPI. Indikator kinerja yang memenuhi kriteria tersebut, sudah barang tentu akan menjadi alat ukur yang memadai untuk mengukur perkembangan pencapaian tujuan organisasi. Adapun indikator kinerja yang tidak memenuhi keseluruhan kriteria tersebut, lebih baik tidak dijadikan KPI bahkan tidak perlu digunakan sebagai indikator kinerja. Adalah sangat penting untuk mendefinisikan secara jelas masing-masing KPI, dan menjadikan definisi tetap selama beberapa tahun. Tiap definisi KPI harus memuat judul, definisi, dan cara mengukur. Selanjutnya, setelah KPI didefinisikan dan siap digunakan untuk mengukur, target yang jelas harus dirumuskan dan dapat difahami oleh seluruh orang. Target tersebut juga harus spesifik sehingga setiap individu dalam organisasi dapat mengambil tindakan dalam rangka pemenuhan target tersebut. Jika dipandang perlu, target tersebut juga dilengkapi dengan time frame, yang memberikan informasi waktu kapan target tersebut harus sudah diwujudkan. III. Penerapan KPI pada Lembaga Pelayanan Publik di Indonesia Istilah performance indicator (PI) atau indikator kinerja bisa jadi sudah cukup populer di lingkungan lembaga pelayanan publik. Kepemilikan lembaga pelayanan publik atas PI dapat dilihat pada beberapa dokumen organisasi, khususnya dokumen yang terkait dengan SAKIP yang meliputi dokumen Rencana Startegis (Renstra), Rencana Kinerja Tahunan (RKT) dan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Sementara KPI, meskipun dirumuskan dari indikator kinerja, belum dikenal sebagai instrumen penting yang digunakan untuk mengukur kinerja lembaga pelayanan publik. Beberapa lembaga pelayanan publik tertentu mungkin sudah memiliki dan menerapkannya dalam waktu yang cukup lama, namun sebagian besar lembaga pelayanan publik belum menggunakan KPI untuk mengukur perkembangan pencapaian tujuan dan sasaran yang mereka miliki. Kurangnya perhatian lembaga pelayanan pulik terhadap KPI ini dapat difahami, karena KPI tidak secara eksplisit 3

dimasukkan sebagai bagian dari sistem manajemen pemerintahan. Dalam pola pikir dan budaya organisasi yang masih kental dengan paradima lama public management, maka hanya konsep-konsep yang secara tegas disebutkan dalam kebijakan perundang-undangan yang dilaksanakan sebagai bentuk kepatuhan terhadap peraturan. KPI lembaga pelayanan publik, sebenarnya dapat dipilih dari indikatorindikator kinerja yang sudah mereka rumuskan. Indikator kinerja yang ditetapkan dalam rangka penerapan SAKIP maupun sistem perencanaan dan penganggaran dapat digunakan sebagai bank indikator kinerja. Dari indikator-indikator tersebut kemudian dipilih beberapa indikator yang sangat penting yang dapat merefleksikan kinerja organisasi. IV. Tantangan Penerapan KPI pada Lembaga Pelayanan Publik Berdasarkan konsep dasarnya, penerapan manajemen kinerja dan KPI-nya pada lembaga pelayanan publik adalah pemindahan best practice lembaga private kedalam lembaga publik. Sementara itu, secara alamiah lembaga pelayanan publik memiliki karakter yang sangat berbeda dengan lembaga private (Yamamoto, 2003). Lembaga private memiliki orientasi yang sangat jelas yakni untuk mendapatkan keuntungan yang besar, sedangkan lembaga pelayanan publik memiliki tujuan pelayanan yang kinerjanya relatif lebih susah diukur. Perbedaan ini berimplikasi pada praktek penerapan manajemen kinerja dan KPI-nya pada lembaga pelayanan publik. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa penerapan konsep manajemen kinerja pada instansi pemerintah menemui banyak hambatan yang cukup berarti. Sejak diperkenalkanya konsep manajemen kinerja dalam instansi pemerintah secara tidak langsung pada tahun 1999 melalui Inpres 7 Tahun 1999 tentang AKIP, hingga saat ini penguasaan instansi pemerintah terhadap manajemen kinerja belum menunjukkan peningkatan yang significant. Penelitian LAN tahun 2005 menunjukkan bahwa persoalan utama dalam praktek sistem yang terkait dengan manajemen kinerja adalah penguasaan terhadap konsep tersebut. Selain faktor karakter yang secara alamiah berbeda antara lembaga pelayanan publik dan lembaga private, penerapan KPI untuk lembaga pelayanan publik juga dihadapkan pada pola pikir yang susah bergeser dari paradigma lama public management. Bahkan meskipun sekarang ini terdapat sejumlah kebijakan perundangundangan yang secara tegas mengarahkan kepada hasil, kebijakan baru tersebut belum merekat dalam praktek penyelenggaran pelayanan publik. Penyelenggara pelayanan publik saat ini masih condong untuk melakukan control terhadap input dan prosedur, atau meminjam istilah Osborne (1992) lembaga pelayanan publik yang masih rule driven. Sebagai akibatnya kritik terhadap kinerja lembaga pelayanan publik, juga belum beralih dari penyakit tradisional birokrasi seperti berbelit-belit, tidak efisien, lama, dan mahal. Tantangan ketiga dalam penerapan KPI pada lembaga pelayanan publik, dapat disebut paling berat karena melekat pada KPI sendiri. Hal ini karena penetapan KPI sebagai proses identifikasi, pengembangan, seleksi dan konsultasi tentang indikator kinerja atau ukuran kinerja atau ukuran keberhasilan sasaran, kegiatan dan program- 4

program instansi, dalam prakteknya bukan kegiatan yang mudah. Penetapan KPI memerlukan banyak pertimbangan atas sejumlah pilihan, sementara KPI yang terpilih tersebut harus benar-benar mampu mengindikasikan kinerja instansi secara baik. Sebagai akibatnya lembaga pelayanan publik seringkali susah untuk mendapatkan KPI yang mereka inginkan. Tidak jarang lembaga pelayanan publik hanya berkutat pada indikator yang bukan kunci (non-key indicator). Mereka gunakan indikator-indikator tersebut sebagai KPI karena pertimbangan daripada tidak ada sama sekali. Terkait dengan persoalan tersebut, pertanyaan yang sering muncul adalah bagaimana cara termudah untuk menetapkan KPI? Jawaban terhadap pertanyaan tersebut telah menjadi kebutuhan pokok. Namun sayangnya belum ada satupun jawaban yang memuaskan untuk pertanyaan tersebut. Setiap instansi dapat menggunakan cara yang menurut mereka paling mudah dalam penetapan KPI, seperti memanfaatkan teknik BSC atau Benchmarking. Dengan demikian tidak ada kesepakatan tentang cara terbaik dalam penetapan KPI. Kesepakatan yang ada adalah bahwa pemilihan KPI sangat dipengaruhi oleh ketersediaan data yang diperlukan sesuai dengan indikator tersebut. Data dan informasi kinerja yang baik mengikuti perumusan KPI yang terdefinisikan dengan baik. Sebaliknya, ketika data kurang memadai, pengukuran kinerja melalui KPI hanya permainan dan cenderung mengadaada. Sehubungan dengan data dan informasi kinerja tersebut, pemilihan terhadap indikator kinerja perlu mempertimbangkan kemampuan anggaran dalam proses pengumpulan dan analisis data kinerja. Indikator kinerja meskipun sangat relevan untuk mengukur kinerja instansi, dapat saja tidak mampu mengukur kinerja nyata dari instansi ketika tidak didukung anggaran yang cukup untuk pengumpulan datanya. Terhadap indikator kinerja yang demikian, maka instansi perlu mengganti dengan indikator kinerja yang lain atau menyediakan anggaran khusus sehingga memadai untuk pengumpulan data-data dan informasi relevan. V. Penutup Bagi lembaga pelayanan publik, KPI menyediakan seperangkat pengukuran yang dapat digunakan untuk mengukur Critical Success factors atau berbagai faktor yang dianggap penting bagi keberhasilan organisasi dimasa yang akan datang. Dengan demikian keberadaan KPI adalah sangat penting, terutama untuk mengetahui kinerja lembaga tersebut terkait dengan tujuan, sasaran, visi dan misi yang telah ditetapkan. Sebagai katagori tertentu dari indikator kinerja, KPI memiliki beberapa fungsi, sebagai berikut (Ismail Mohamad, 2004). a. Memperjelas tentang apa, berapa dan kapan suatu kegiatan dilaksanakan. KPI yang terumuskan dengan baik, selain dapat mengindikasikan hasil yang akan dicapai organisasi pada kurun waktu tertentu, juga dapat menegaskan kegiatan apa yang mesti dilaksankan oleh organisasi. Demikian pula dengan penentuan waktu kapan kegiatan tersebut akan dilaksanakan dan berapa sumber daya yang dieprlukan serta hasil yang ditargetkan. b. Menciptakan konsensus yang dibangun oleh berbagai pihak terkait untuk menghindari kesalahan interpretasi selama pelaksanaan kebijaksanaan/program/kegiatan dan dalam menilai kinerja lembaga pelayanan 5

publik. Karena KPI dapat memberikan apa yang akan dicapai oleh instansi, maka KPI dapat menyatukan pemahaman semua anggota tentang tahapan dan kriteria yang dibangun dalam menjalankan aktivitasnya. Selain itu, KPI juga bersifat monitorable sehingga dapat menghindari perbedaan pemahaman, khususnya antara evaluator dan yang dievaluasi tentang ukuran kinerja. c. Membangun dasar bagi pengukuran, analisis, dan evaluasi kinerja organisasi/unit kerja. Dalam proses kebijakan, evaluasi diperlukan untuk mengetahui kinerja suatu kebijakan dan untuk mendapatkan bahan-bahan pertimbangan yang diperlukan bagi perbaikan atau kelanjutan kebijakan tersebut. Dengan adanya berbagai fungsi tersebut diatas, maka sangat penting bagi lembaga pelayanan publik untuk membangun KPI-nya. Namun demikian, membangun KPI pada lembaga pelayanan publik bukan pekerjaan yang mudah. Banyak faktor yang dapat menjadi tantangan dalam proses pembangunan KPI tersebut, yang antara lain meliputi: 1) perbedaan karakter dasar lembaga pelayanan publik dibandingkan dengan lembaga private yang merupakan rumah asal konsep KPI, 2) mind setting penyelenggara pelayanan publik yang masih cenderung pada old public management, dan 3). Karakter KPI yang tidak mudah dikenali. Hal utama yang perlu diperhatikan oleh lembaga pelayanan publik adalah menggunakan kriteria-kriteria KPI (SMART, CREAM) secara konsisten dalam penetapan KPI. Selain itu, beberapa langkah berikut dapat dipertimbangkan dalam menyusun dan menetapkan KPI, meliputi: a. Susun dan tetapkan rencana strategis lebih dahulu. Dalam tahap ini, tujuan dan sasaran organisasi harus dapat dirumuskan secara jelas. b. Identifikasi data/informasi yang dapat dijadikan atau dikembangkan menjadi indikator kinerja. c. Pilih dan tetapkan KPI berdasarkan kriteria SMART/CREAM. Indikator yang tidak memenuhi kriteria tersebut tidak boleh dipilih sebagai KPI. 6