BAB III. ANALISIS MASALAH

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV. ANALISIS DAN PERANCANGAN PERANGKAT LUNAK

STUDI DAN IMPLEMENTASI NON BLIND WATERMARKING DENGAN METODE SPREAD SPECTRUM

BAB V. IMPLEMENTASI DAN PENGUJIAN

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB II. DASAR TEORI 2.1 CITRA DIGITAL

Studi Perbandingan Metode DCT dan SVD pada Image Watermarking

BAB 1 PENDAHULUAN. Bab 1 Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR ISI. DAFTAR ISI... vii. DAFTAR GAMBAR... x. DAFTAR TABEL... xii I. PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah...

PERBANDINGAN TEKNIK PENYEMBUNYIAN DATA DALAM DOMAIN SPASIAL DAN DOMAIN FREKUENSI PADA IMAGE WATERMARKING

STUDI DAN IMPLEMENTASI WATERMARKING CITRA DIGITAL DENGAN MENGGUNAKAN FUNGSI HASH

BAB III IMPLEMENTASI WATERMARKING PADA VIDEO

IMPLEMENTASI ALGORITMA ADAPTIVE WATERMARKING PADA PELABELAN IDENTITAS FILE CITRA DIGITAL

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan digital watermarking. Watermarking bekerja dengan menyisipkan

Digital Watermarking

METODE PENELITIAN. Gambar 1 Alur metode penelitian.

BAB II DASAR TEORI. 1. Citra diam yaitu citra tunggal yang tidak bergerak. Contoh dari citra diam adalah foto.

Pada tugas akhir ini citra yang digunakan adalah citra diam.

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Kristen Maranatha

PENYISIPAN WATERMARK MENGGUNAKAN METODE DISCRETE COSINE TRANSFORM PADA CITRA DIGITAL

Tabel 6 Skenario pengujian 4

BAB III ANALISIS MASALAH

BAB 2 LANDASAN TEORI

Analisis Hasil Implementasi HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 3 ANALISIS DAN PERANCANGAN. perancangan dan pembuatan akan dibahas dalam bab 3 ini, sedangkan tahap

BAB III ANALISIS MASALAH

BAB II LANDASAN TEORI. Citra digital sebenarnya bukanlah sebuah data digital yang normal,

BAB III ANALISIS DAN PERANCANGAN SISTEM

OPTIMASI AUDIO WATERMARKING BERBASIS DISCRETE COSINE TRANSFORM DENGAN TEKNIK SINGULAR VALUE DECOMPOSITON MENGGUNAKAN ALGORITMA GENETIKA

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Studi Dan Implementasi Steganografi Pada Video Digital Di Mobile Phone Dengan DCT Modification

N, 1 q N-1. A mn cos 2M , 2N. cos. 0 p M-1, 0 q N-1 Dengan: 1 M, p=0 2 M, 1 p M-1. 1 N, q=0 2. α p =

Penerapan Reversible Contrast Mapping pada Audio Watermarking

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2

BAB 3 ANALISIS DAN PERANCANGAN. Perancangan aplikasi yang dibuat dalam skripsi ini menggunakan aturan

METODE BLIND IMAGE-WATERMARKING BERBASIS CHAOS DALAM RANAH DISCRETE COSINE TRANSFORM (DCT)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Kombinasi Teknik Steganografi dan Kriptografi dengan Discrete Cosine Transform (DCT), One Time Pad (OTP) dan PN-Sequence pada Citra Digital

ANALISIS DIGITAL AUDIO WATERMARKING BERBASIS LIFTING WAVELET TRANSFORM PADA DOMAIN FREKUENSI DENGAN METODE SPREAD SPECTRUM

IV. RANCANG BANGUN SISTEM. Perangkat lunak bantu yang dibuat adalah perangkat lunak yang digunakan untuk

Teknik Watermarking Citra Digital Dalam Domain DCT (Discrete Cosine Transform) Dengan Algoritma Double Embedding

BAB 2 LANDASAN TEORI

* Kriptografi, Week 13

BAB II LANDASAN TEORI

PENYEMBUNYIAN DATA SECARA AMAN DI DALAM CITRA BERWARNA DENGAN METODE LSB JAMAK BERBASIS CHAOS

ANALISA WATERMARKING MENGGUNAKAN TRASNFORMASI LAGUERRE

Watermark pada Game I. PENDAHULUAN II. TEKNIK WATERMARKING PADA CITRA

BAB II LANDASAN TEORI

TUGAS AKHIR. Watermarking Citra Digital dengan Metode Skema Watermarking Berdasarkan Kuantisasi Warna

FRAGILE IMAGE WATERMARKING BERBASIS DCT DENGAN OPERATOR EVOLUSI HYBRID OF PARTICLE SWARM OPTIMIZATION

1.1 Latar Belakang Sejak zaman dahulu, pentingnya kerahasiaan suatu informasi telah menjadi suatu perhatian tersendiri. Manusia berusaha mencari cara

STEGANOGRAPHY CHRISTIAN YONATHAN S ELLIEN SISKORY A. 07 JULI 2015

DIGITAL WATERMARKING PADA CITRA DIGITAL FOTOGRAFI METODE DISCRETE WAVELET TRANSFORM

Gambar 13 Pembangkitan ROI Audio dari 4.wav Dimulai dari Titik ke i = 1,2,,2L K, j = 1,2,,2 p.

Penyembunyian Pesan pada Citra GIF Menggunakan Metode Adaptif

BAB II LANDASAN TEORI

PERBANDINGAN KUALITAS WATERMARKING DALAM CHANNEL GREEN DENGAN CHANNEL BLUE UNTUK CITRA RGB PADA DOMAIN FREKUENSI ABSTRAK

Bab 2 LANDASAN TEORI

BAB III PEMBAHASAN. 3.1 Jenis Penelitian

BAB 2 LANDASAN TEORI. 2.1 Citra Analog

PENYISIPAN WATERMARK PADA CITRA GRAYSCALE BERBASIS SVD

Penerapan Steganografi Metode Least Significant Bit (LSB) dengan Invers Matriks Pada Citra Digital

Studi Digital Watermarking Citra Bitmap dalam Mode Warna Hue Saturation Lightness

WATERMARKING CITRA DIGITAL MENGGUNAKAN METODE DISCRETE COSINE TRANSFORM

PERANCANGAN DAN ANALISIS STEGANOGRAFI VIDEO DENGAN MENYISIPKAN TEKS MENGGUNAKAN METODE DCT

BLIND WATERMARKING PADA CITRA DIGITAL DALAM DOMAIN DISCRETE COSINE TRANSFORM (DCT) BERBASIS ALGORITMA GENETIKA

IMPLEMENTASI STEGANOGRAPHY MENGGUNAKAN ALGORITMA DISCRETE COSINE TRANSFORM

Peningkatan Kompresi Citra Digital Menggunakan Discrete Cosine Transform 2 Dimension (DCT 2D)

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

KAJIAN PENERAPAN OPERASI BITWISE PADA STEGANOGRAFI

PERANCANGAN SISTEM WATERMARKING PADA CITRA DIGITAL MENGGUNAKAN METODE DCT DAN LSB

BAB III ANALISIS. 3.1 Dekomposisi Citra Digital yang Akan Disisipi Watermark

KONSEP PENYANDIAN FILE JPEG DENGAN MENGGUNAKAN METODE LSB

WATERMARKING PADA BEBERAPA KELUARGA WAVELET

TUGAS SEKURITI KOMPUTER

Analisis Beberapa Teknik Watermarking dengan Domain Spasial pada Citra Digital

Perbandingan Penggunaan Mean Lokal, Median Lokal dan Invarians Statistik Koefisien DCT dalam Perancangan Image Hashing

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latarbelakang

STEGANOGRAFI GANDA PADA CITRA BERBASISKAN METODE LSB DAN DCT DENGAN MENGGUNAKAN DERET FIBONACCI

PENGOLAHAN CITRA DIGITAL

Blind Watermarking Citra Digital Pada Komponen Luminansi Berbasis DCT (Discrete Cosine Transform) Irfan Hilmy Asshidiqi ( )

BAB I PENDAHULUAN. penyimpangan-penyimpangan berupa penduplikatan-penduplikatan atau

IMPLEMENTASI DIGITAL WATERMARKING PADA CITRA DIGITAL MENGGUNAKAN METODE DISCRETE HARTLEY TRANSFORM (DHT)

BAB 2 LANDASAN TEORI

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 15 Potongan piksel cover video. 2 Windowing

Penerapan Watermarking pada Citra berbasis Singular Value Decomposition

A B C D E A -B C -D E

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Modifikasi Histogram

G a a = e = a a. b. Berdasarkan Contoh 1.2 bagian b diperoleh himpunan semua bilangan bulat Z. merupakan grup terhadap penjumlahan bilangan.

ABSTRAK. Kata kunci : Watermarking, SVD, DCT, LPSNR. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

ANALISA KOMPRESI CITRA DIGITAL MENGGUNAKAN METODE HADAMARD


Lembar Pengesahan Program Studi Sarjana Informatika

PENDAHULUAN. Latar Belakang

VERIFIKASI KEPEMILIKAN CITRA MEDIS DENGAN KRIPTOGRAFI RSA DAN LSB WATERMARKING SKRIPSI. Oleh : Satya Sandika Putra J2A

Transkripsi:

BAB III. ANALISIS MASALAH Pada bab tiga laporan Tugas Akhir ini akan dibahas mengenai analisis pemecahan masalah untuk pengubahan logo biner menjadi deretan bilangan real dan proses watermarking pada citra. 3.1 PROSES ENKODING WATERMARK Menurut metode yang dikembangkan oleh Cox et al [COX97], berkas informasi watermark yang akan disisipkan ke dalam berkas citra digital terdiri dari bilangan-bilangan real sehingga dalam penyisipan logo biner sebagai berkas watermark, logo biner tersebut harus terlebih dahulu ditransformasikan menjadi sebuah deretan bilangan real. Transformasi berkas watermark berupa logo biner menjadi bilangan real dimulai ketika mengganti bit 0 untuk sebuah piksel berwarna hitam dan bit 1 untuk piksel berwarna putih. Berikut diberikan contoh hasil pembacaan sebuah berkas watermark biner berukuran 4 4 bit seperti yang ditunjukkan pada Gambar III-1. Gambar III-1. Contoh matriks watermark logo biner Setelah matriks watermark terbentuk, untuk mempermudah logika penyisipan, dibuat sebuah deret bilangan biner yang berbentuk seperti larik (array) yang ditunjukkan pada Gambar III-2. III-1

III-2 Gambar III-2. Deretan bilangan biner dari contoh berkas watermark Berkas watermark yang akan disisipkan dinotasikan dengan W = w 1,,w n. n merupakan jumlah bit watermark yang akan disisipkan. Bit-bit watermark tersebut akan disisipkan ke dalam citra (C = c i,,c n ) sehingga menghasilkan citra yang mengandung watermark (C = c 1,,c n ). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa koefisien DCTpada citra yang akan diubah sejumlah dengan banyaknya bit-bit watermark yang akan disisipkan. Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, koefisien DCT dimodifikasi menurut persamaan (2.6) dimana adalah koefisien DCT setelah dimodifikasi, merupakan koefisien DCT sebelum dimodifikasi, α merupakan parameter skala yang menentukan sejauh mana W mengubah C, dan adalah nilai bit watermark yang disisipkan. Nilai akan diubah menjadi -1 jika bit yang akan disisipkan adalah 0 atau 1 jika bit yang disisipkan adalah 1. Pengubahan nilai w i akan membentuk deretan bilangan biner termodifikasi seperti yang ditunjukkan pada Gambar III-3. Gambar III-3. Deretan bilangan biner dari contoh berkas watermark hasil pengubahan bit Algoritma pembangkitan bilangan acak semu dipergunakan untuk membuat deretan bilangan real sebanyak jumlah bit watermark yang akan disisipkan. Setiap bilangan real acak yang dibuat akan dikalikan dengan koefisien hasil pengubahan bit {-1,1} seperti yang ditunjukkan pada Gambar III-3. Dengan membangkitkan bilangan acak, setiap bilangan real watermark yang dihasilkan saling lepas antara satu dengan yang lain. Bilangan real acak yang dihasilkan harus berkisar antara 0 dan 1 sehingga perubahan yang terjadi tidak terlalu signifikan dan tidak dapat dipersepsi.

III-3 Deretan bilangan real acak yang telah dikalikan dengan koefisien pengubahan bit {-1,1} akan menjadikan bit watermark yang akan disisipkan pada matriks koefisien DCT citra asal. Gambar III-4 menunjukkan sebuah contoh matriks hasil transformasi DCT dari sebuah citra. Selanjutnya, bit-bit watermark yang telah dihasilkan dan dimodifikasi akan disisipkan ke dalam koefisien-koefisien tertinggi pada matriks koefisien DCT tersebut. Transformasi DCT pada citra digital memanfaatkan tabel nilai cosine 8 8 untuk relatif mempercepat waktu pemrosesan karena lebih efisien untuk mengambil sebuah nilai dalam tabel dibandingkan dengan memanggil fungsi cos untuk mengevaluasi sebuah argumen. Gambar III-4. Contoh matriks koefisien DCT sebuah citra digital [CAB99] Penentuan koefisien-koefisien tertinggi yang terdapat pada matriks koefisien DCT dilakukan dengan melakukan penelusuran pada masing-masing blok. Koefisien-koefisien tersebut tidak termasuk DC atau koefisien pertama pada matriks koefisien DCT. Semua nilai koefisien yang ditelusuri dimutlkakkan sehingga tanda minus tidak mempengaruhi besar kecilnya nilai. Penelusuran

III-4 matriks koefisien DCT untuk mendapatkan nilai-nilai koefisien tertinggi dapat dilihat pada Gambar III-5. Gambar III-5. Skema penelusuran matriks koefisien DCT Untuk implementasi pada sebuah citra dengan ukuran tertentu, citra asal dibagi menjadi blok-blok berukuran 8 8. Pembagian matriks koefisien citra menjadi blok-blok ini bertujuan untuk mengurangi jumlah total operasi pengalian dan penambahan yang dibutuhkan dan mengeliminasi kebutuhan untuk menghitung nilai cosine dari banyak argumen yang berbeda. Pada akhirnya, proses transformasi yang dilakukan dapat lebih cepat dan efisien. Nilai α yang digunakan pada persamaan (2.6) dapat memiliki beberapa nilai atau terdapat satu parameter skala untuk setiap bit watermark yang akan disisipkan. Namun, pada implementasi Tugas Akhir ini, digunakan nilai parameter skala tunggal dengan rentang antara 0 sampai 1. Nilai α merupakan bilangan real positif. Penentuan nilai α ini mempertimbangkan sensivitas citra digital nantinya jika mengalami pengolahan. Nilai α yang besar membuat citra akan rapuh terhadap pengolahan citra atau pengubahan tertentu. Oleh karena itu, pemilihan

III-5 nilai α yang relatif kecil dapat dikatakan membuat watermark menjadi lebih kokoh. Gambar III-6. Matriks koefisien DCT hasil penyisipan watermark Setelah bit-bit watermark tersebut disisipkan ke dalam matriks koefisien DCT dari suatu citra digital, maka akan dilakukan invers DCT untuk mendapatkan kembali sebuah visualisasi citra yang ber-watermark. Citra yang telah mengandung watermark nantinya tidak dapat dipersepsi berbeda dengan citra asal oleh panca indra. Secara umum, skema proses enkoding watermark digambarkan pada Gambar III-7 dan dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Baca citra digital penampung dan informasi watermark berupa logo biner yang akan disisipkan. 2. Watermark yang berupa logo hitam putih ini terlebih dahulu diubah menjadi deretan bilangan biner untuk kemudian dimodifikasi sesuai dengan nilainya (0 menjadi -1 atau 1 menjadi tetap 1). 3. Berkas watermark berupa deretan bilangan real acak antara 0 dan 1 dihasilkan melalui proses pembangkitan bilangan acak.

III-6 4. Deretan bilangan real acak tersebut kemudian dikalikan dengan koefisien hasil pengubahan bit biner {-1,1} dan bilangan α sesuai dengan metode yang diperkenalkan oleh Cox. 5. Citra digital yang dibaca diubah menjadi matriks koefisien melalui transformasi DCT. 6. Dengan mengambil koefisien DCT dengan nilai tertinggi atau pada kebanyakan citra dapat diasosiasikan dengan elemen frekuensi rendah, bit-bit watermark disisipkan sehingga dihasilkan nilai koefisien citra termodifikasi. 7. Setelah mendapatkan koefisien-koefisien citra termodifikasi, invers DCT dilakukan untuk mendapatkan lagi sebuah visualisasi citra yang telah mengandung watermark. Gambar III-7. Proses penyisipan watermark pada citra 3.2 PROSES DEKODING WATERMARK Proses dekoding watermark dilakukan untuk mengambil kembali (ekstraksi) berkas informasiwatermark yang terdapat pada sebuah citra yang telah mengandung watermark. Untuk melakukan operasi ekstraksi watermark, diperlukan citra uji (berwatermark), citra asal, dan berkas watermark asal. Dengan melakukan

III-7 transformasi DCT pada kedua citra, maka dapat diketahui koefisien DCT per blok untuk setiap citra. Perbandingan koesifien DCT antara kedua citra tersebut dilakukan untuk dilacak keberadaan bit-bit watermark yang telah disisipkan. Perbedaan atau selisih nilai pasti akan terdapat pada sejumlah koefisien jika memang telah terjadi proses penyisipan watermark pada citra tersebut. Pada Gambar III-8 terlihat pada matriks termodifikasi, terdapat koefisienkoefisien DCT(C = c 1, c 2, c 3,...,c 16 ) yang telah mengalami perubahan atau modifikasi karena penyisipan bilangan watermark. Dalam proses ekstraksi ini, setiap koefisien-koefisien dari citra asal dan citra uji dibandingkan satu per satu hingga menemukan koefisien yang berbeda nilai. Jumlah koefisien yang berbeda atau memiliki selisih nilai menunjukkan jumlah bit watermark yang telah disisipkan.proses perbandingan tersebut akan terus dilakukan hingga koefisien terakhir pada masing-masing citra. Gambar III-8. Perbandingan matriks koefisien DCT citra asal dan citra ber-watermark Skema proses ekstraksi berkas watermark dari sebuah citra digital secara umum diilustrasikan pada Gambar III-9. Jika sebuah koefisien DCT pada citra uji atau ber-watermark lebih besar daripada koefisien DCT pada citra asal berarti

III-8 pada koefisien tersebut disisipkan bit 1. Hal ini dikarenakan penyisipan bit positif 1 menyebabkan koefisien termodifikasi bernilai lebih besar daripada koefisien awal. Namun, jika suatu nilai koefisien DCT citra uji lebih kecil dari koefisien DCT citra asal berarti pada koefisien tersebut disisipkan bit 0 karena penyisipan bit 0 akan mengurangi nilai koefisien citra asal. Untuk memastikan watermark hasil ekstraksi terbentuk dengan baik, dibutuhkan watermark yang telah disisipkan. Hal ini diperuntukkan sebagai dasar pembentukan kembali watermark dengan ukuran panjang dan lebar yang pasti. Selain itu, adanya watermark asal juga berguna untuk perhitungan bit error rate (BER) dengan memanfaatkan persamaan (2.7) yang dihasilkan dengan cara membandingkan masing-masing bit dari kedua watermark tersebut. Hasil perbandingan kedua watermark ini dapat memperlihatkan sejauh mana watermark hasil ekstraksi mirip atau serupa dengan berkas watermark asal. Gambar III-9. Proses ekstraksi berkas watermark dari citra ber-watermark Skema proses dekoding yang telah diilustrasikan pada Gambar III-9 dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Baca citra digital asal, citra digital uji yang telah mengandung watermark, dan watermark asal.

III-9 2. Kedua citra digital tersebut ditransformasikan ke dalam domain frekuensi untuk mendapatkan matriks koefisien DCT dari masingmasing citra. 3. Perbandingan kedua matriks koefisien tersebut dilakukan untuk mendapatkan koefisien-koefisien yang memiliki selisih nilai. 4. Jika koefisien matriks uji lebih besar daripada nilai koefisien matriks asal, maka bit watermark yang disisipkan bernilai 1. Namun, jika lebih kecil nilainya, maka bit watermark bernilai 0. 5. Bit-bit watermark hasil ekstraksi kemudian disusun kembali menjadi sebuah watermark ekstraksi dengan memanfaatkan watermark asal sebagai dasar ukuran panjang dan lebar. 6. Perhitungan bit error rate (BER) dilakukan dengan membandingkan bit-bit watermark ekstraksi dan watermark asal