VIII. PRIORITAS KEBIJAKAN PEMBERANTASAN ILLEGAL LOGGING DI INDONESIA

dokumen-dokumen yang mirip
bebas murni oleh pengadilan. Sementara itu vonis hukuman bagi pelaku IL di Indonesia selama ini bervariasi, yaitu antara 1 bulan sampai dengan 9

VII. KELEMBAGAAN PEMBERANTASAN ILLEGAL LOGGING DI INDONESIA

KEBIJAKAN PEMBERANTASAN ILLEGAL LOGGING UNTUK PERLINDUNGAN SUMBERDAYA HUTAN DI INDONESIA BETTY SETIANINGSIH P

I.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2001 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bangsa Indonesia dikaruniai kekayaan alam, bumi, air, udara serta

VIII. ANALISIS HIRARKI PROSES (AHP)

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TINJAUAN PUSTAKA. tahun, sebagian besar akibat kegiatan perambahan ilegal, sisanya karena

PENDAHULUAN Latar Belakang

REVITALISASI KEHUTANAN

REPETA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

GEOSTRATEGI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. maupun ilegal dan melebihi batas imbang ekologis serta masalah pembakaran

I. PENDAHULUAN. ekonomi dan sosial budaya. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

III. METODE PENELITIAN. informasi dari kalangan aparat pemerintah dan orang yang berhubungan erat

Penghormatan dan Penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusia

Jalan Perubahan Ketiga: Pemberantasan Kejahatan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup PEMBANGUNAN SEBAGAI HAK RAKYAT

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 115 TAHUN 2015 TENTANG SATUAN TUGAS PEMBERANTASAN PENANGKAPAN IKAN SECARA ILEGAL (ILLEGAL FISHING)

BAB I PENDAHULUAN. dikarenakan sistem kontrol sosial yang belum memadai dan penegakan hukum yang

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan sebagai fenomena sosial yang terjadi di muka bumi ini mungkin

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG PENINGKATAN PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG PENINGKATAN PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

OLEH : TOMI DWICAHYO NRP :

Pendidikan Formal Responden Tamat SMP 7 Tamat SMA Tamat Perguruan Tinggi Total

No bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. De

11 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS KEBERLANJUTAN KOTA TERNATE

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

dilibatkan, diminta pendapatnya sehingga materi konstitusi benar-benar mewakili masyarakat secara keseluruhan.

BAB I PENELITIAN KORUPSI

Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar

PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : 24-34

BAB I PENDAHULUAN. dekade 1990-an. Degradasi dan deforestasi sumberdaya hutan terjadi karena

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR TABEL... xvi DAFTAR GAMBAR... xvii DAFTAR LAMPIRAN.. xix

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. secara biasa, tetapi dituntut dengan cara yang luar biasa. juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya.

BAB IV RENCANA AKSI DAERAH PENGURANGAN RESIKO BENCANA KABUPATEN PIDIE JAYA TAHUN

BAB III PEMBANGUNAN HUKUM

BAB I PENDAHULUAN. secara optimal. Pengelolaan hutan di Negara Indonesia sepenuhnya diatur dan

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Strategi rehabilitasi hutan terdegradasi

KETERKAITAN RENCANA PEMBANGUNAN NASIONAL DENGAN PENATAAN RUANG Oleh : Deddy Koespramoedyo, MSc. Direktur Tata Ruang dan Pertanahan, Bappenas

BAB III METODE KAJIAN

I. PENDAHULUAN. ekonomi. Manfaat hutan tersebut diperoleh apabila hutan terjamin eksistensinya

Model Optimalisasi Kinerja DAS Solo Berbasis Pemberdayaan Masyarakat menggunakan AHP (Analisis Hirarki Proses) Lokasi SUB DAS :. Nama :...

VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

BAB 11 PENGHORMATAN, PENGAKUAN, DAN PENEGAKAN

Kajian Perencanaan Infrastruktur Ruang Terbuka Hijau pada Perumahan Kota Terpadu Mandiri di Bungku Kabupaten Morowali Provinsi Sulawesi Tengah

Pengenalan Metode AHP Pertemuan kuliah Manajemen Pengambilan Keputusan

METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian 3.2. Alat dan Bahan 3.3. Data yang Dikumpulkan

TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat dalam pembangunan dapat diartikan sebagai keikutsertaan masyarakat

BAB X PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2018 TENTANG PERCEPATAN PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN KERUSAKAN DAERAH ALIRAN SUNGAI CITARUM

BAB VI STRATEGI DAN PERANCANGAN PROGRAM

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KASUS-KASUS HUKUM DAN PENYIMPANGAN PAJAK - PENYELESAIAN INPRES NO. 1 TAHUN

5 STRATEGI PENYEDIAAN AIR BERSIH KOTA TARAKAN

III. METODE PENELITIAN

BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN. terdapat beberapa kesimpulan sebagai berikut :

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di lembaga-lembaga pendidikan dan pemerintah di

BAB I PENDAHULUAN. besar peranannya di dalam mewujudkan cita-cita pembangunan. Dengan. mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur.

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. ini teridentifikasi beberapa hal yang berimplikasi pada perkembangan wilayah

INDEKS PERSEPSI KORUPSI INDONESIA 2017Survei Di Antara Pelaku Usaha. Survei di antara Pelaku Usaha 12 Kota di Indonesia

I. PENDAHULUAN. orang pada tahun (Daryanto 2010). Daryanto (2009) mengatakan

PEMERINTAH KOTA SAMARINDA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA RENCANA KERJA (RENJA)

KEYNOTE SPEECH MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA PADA

Pola Pemberantasan Korupsi Sistemik

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PENINGKATAN PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2018 TENTANG PERCEPATAN PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN KERUSAKAN DAERAH ALIRAN SUNGAI CITARUM

ANGGARAN RUMAH TANGGA FORUM ORANGUTAN INDONESIA

hanya di Indonesia melainkan di bebagai Negara lainya. ini bukan hanya di lakukan oleh kalangan menengah melainkan oleh pejabat

BUPATI SIGI PROVINSI SULAWESI TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 16 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN IMBAL JASA LINGKUNGAN HIDUP

RENCANA KERJA SATUAN KERJA PERANGKAT ACEH (RENJA-SKPA) BAPEDAL ACEH TAHUN 2015

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Ikhtisar Eksekutif TUJUAN PEMBANGUNAN LINGKUNGAN HIDUP

Akses Terhadap Keadilan dalam Rencana Pembangunan Indonesia

BAB III METODE PENELITIAN

PROGRAM MAGISTER ILMU MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

III. METODE PENELITIAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

Pencegahan dan Upaya Pemberantasan Korupsi

BAB 1 PENDAHULUAN. dan telah mencapai 2 juta ha per tahun pada tahun 1996 (FWI & GWF,

-1- DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

KEBIJAKAN PEMBERANTASAN ILLEGAL LOGGING UNTUK PERLINDUNGAN SUMBERDAYA HUTAN DI INDONESIA BETTY SETIANINGSIH P

Grafik 1. Area Bencana

VIII. ARAHAN KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGENDALIAN RUANG KAWASAN TAHURA DJUANDA

I. 0PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Universitas Sumatera Utara

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2)

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi.

METODE PENELITIAN. Dalam beberapa tahun terakhir ini terdapat kecenderungan berupa

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH

BAB II KEBIJAKAN PEMERINTAHAN DAERAH

V. ANALISIS KEBIJAKAN DAN PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN DALAM PEMBERANTASAN ILLEGAL LOGGING DI INDONESIA

Yang Terhormat: Sulawesi Tengah

PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kebutuhan akan transportasi dan merangsang perkembangan suatu wilayah atau

Transkripsi:

114 VIII. PRIORITAS KEBIJAKAN PEMBERANTASAN ILLEGAL LOGGING DI INDONESIA 8.1. Pendahuluan Upaya pemberantasan IL yang dilakukan selama ini belum memberikan efek jera terhadap pelaku IL dan jaringannya walaupun sejumlah kebijakan dan aturan hukum cukup memadai untuk menjerat pelaku IL. Permasalahan IL dalam prakteknya cukup kompleks. Di samping faktor penegakan hukum, sejumlah faktor lainnya dianggap mempengaruhi upaya pemberantasan IL di Indonesia, seperti keadaan ekonomi masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan, sistem pengelolaan hutan yang belum sepenuhnya diimplementasikan secara berkelanjutan, serta masih kuatnya paradigma ekonomi yang memandang hutan sebagai modal ekonomi untuk pendapatan ekonomi nasional dan daerah. ternyata harus melibatkan berbagai aktor, mulai dari pemerintah, pemerintah daerah, aparat penegak hukum, masyarakat, serta lembaga swadaya masyarakat (LSM). Sinkronisasi mengenai rule playing antar stakeholders dalam pemberantasan IL di Indonesia sejauh ini masih dianggap lemah, sehingga upaya pemberantasan IL tidak efektif. Kepentingan tujuan terhadap sumberdaya hutan yang dipersepsi berbeda oleh stakeholders menyebabkan pemberantasan IL sering menemui kendala di lapangan. Di sebagian wilayah ada masyarakat yang menjadikan kegiatan penebangan kayu sebagai sumber mata pencahariannya, sehingga setiap ada operasi pemberantasan IL tidak didukung oleh masyarakat. Oleh karena itu penentuan prioritas tujuan pemberantasan IL perlu dianalisis nilai kepentingannya. Ada tiga tujuan utama yang perlu diperhatikan dalam pemberantasan IL di Indonesia, yaitu pemulihan ekosistem hutan, peningkatan nilai ekonomi hutan, serta peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi. Sementara itu praktek IL yang bersifat koruptif dan kolutif melibatkan jaringan yang luas dan tersistematis menyebabkan pemberantasannya sulit dilakukan. Penegakan hukum yang lemah dan ketaatan masyarakat

115 terhadap hukum yang kurang turut menyuburkan praktek IL di Indonesia. Namun dengan luasnya dampak negatif akibat praktek IL, maka perlu dikaji prioritas kebijakan yang bagaimana dan dianggap efektif untuk memberantas praktek IL di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan kebijakan pemberantasan IL di Indonesia. 8.2. Metode Analisis Prioritas Kebijakan Pemberantasan IL di Indonesia a. Metode Pengumpulan Data Rumusan kebijakan pemberantasan IL di Indonesia harus sesuai dengan karakteristik wilayahnya, termasuk di dalamnya karakteristik sosial, ekonomi, dan politik masyarakat. Untuk mendapatkan informasi tersebut dilakukan kegiatan pengumpulan data melalui kegiatan wawancara dengan para pihak (stakeholders) yang terkait dengan pemberantasan IL di Indonesia. Wawancara juga dilengkapi dengan pengisian kuisioner yang telah dibuat sebelumnya. Kuisioner yang dibuat berisi pertanyaan tentang : identitas responden, nilai perbandingan responden terhadap faktor, aktor, tujuan, dan alternatif dalam pemberantasan IL di Indonesia. Sampel responden dipilih secara purposif dengan pertimbangan bahwa responden yang benar-benar memahami permasalahan lingkungan, responden dipilih dari kalangan pemerintah, pemerintah daerah (dinas/instansi daerah yang mengurus kehutanan), Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, LSM, akademisi, serta tokoh masyarakat. Jumlah responden adalah 46 orang. b. Analisis Data Analisis dilakukan dengan menggunakan metode AHP (Anaytical Hierarchy Process). Hirarki desain kebijakan pemberantasan IL di Indonesia ditunjukkan pada Gambar 32. Hirarki disusun mulai dari tingkatan (level) paling tinggi sampai paling rendah dalam hirarki.

116 Tingkatan tertinggi merupakan fokus, disusul oleh faktor, pelaku (aktor), dan alternatif kebijakan. Gambar 32.Hirarki Desain Kebijakan Prinsip penilaian dalam AHP adalah membandingkan secara berpasangan (pairwise comparisons) tingkat kepentingan atau tingkat pengaruh satu elemen dengan elemen lainnya yang berada dalam satu tingkatan (level) berdasarkan pertimbangan tertentu. Nilai yang diberikan berada dalam skala pendapat yang dikeluarkan oleh Saaty (1993) sebagaimana telah ditunjukkan pada Tabel 4. Nilai rata-rata geometrik dari semua responden dari setiap nilai pendapat yang dibandingkan diolah menggunakan perangkat lunak Hipre 3+. Analisis ini digunakan untuk menginterpretasi prioritas dari faktor, aktor, dan sifat kebijakan yang mempengaruhi kebijakan pemberantasan IL di Indonesia.

117 8.3. Hasil dan Pembahasan Analisis Prioritas Kebijakan Prioritas kebijakan pemberantasan IL di Indonesia berdasarkan hasil analisis data melalui pendekatan AHP disajikan pada Gambar 33. Secara umum hasil yang disajikan pada Gambar 33 menunjukkan bahwa faktor, aktor, tujuan, dan alternatif kebijakan yang memiliki nilai prioritas tertinggi adalah faktor penegakan hukum, aktor pemerintah, tujuan untuk pemulihan ekosistem hutan, dan menerapkan kebijakan yang bersifat command and control. Gambar 33. Hirarki Hasil AHP Kebijakan Pemberantasan IL di Indonesia Hasil analisis menunjukkan bahwa prioritas faktor yang mempengaruhi pemberantasan IL di Indonesia adalah: penegakan hukum (0,483), pemberdayaan ekonomi masyarakat (0,257), pelaksanaan sistem pengelolaan hutan berkelanjutan yang konsisten (0,198), serta peningkatan pendapatan nasional dan regional (0,093) sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 34. Penegakkan hukum (law enforcement) dalam pemberantasan IL di Indonesia masih dianggap lemah dan belum menimbulkan efek jera terhadap pelaku IL. Penegakan hukum yang efektif tentunya tidak dapat berdiri sendiri tanpa didukung oleh upaya

118 pemberdayaan masyarakat sebagai bagian terpadu dalam sistem pengelolaan hutan. Oleh karena itu, konsistensi pelaksanaan sistem pengelolaan hutan disamping berkontribusi terhadap perbaikan lingkungan juga berkontribusi terhadap pendapatan nasional dan daerah. BOBOT 0.5 0.45 0.4 0.35 0.3 0.25 0.2 0.15 0.1 0.05 0 0.451 0.257 0.198 Penegakan Hukum Ekonomi Masyarakat Sistem Pengelolaan Hutan Berkelanjutan FAKTOR 0.093 Pendapatan Nasional dan Daerah Gambar 34. Urutan Prioritas Faktor yang Mempengaruhi Urutan prioritas aktor yang mempengaruhi pemberantasan IL di Indonesia adalah: Pemerintah (0,342), Pemerintah Daerah (0,267), Aparat Penegak Hukum (0,204), Masyarakat (0,102), dan LSM (0,085) (Gambar 35). Praktek IL di Indonesia yang sangat menghawatirkan perlu diberantas melalui sejumlah kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Hal ini disebabkan oleh besarnya intensitas praktek IL dan dampaknya terhadap lingkungan, kehidupan ekonomi masyarakat, dan pembangunan. 0.4 0.35 0.342 0.3 0.267 BOBOT 0.25 0.2 0.15 0.1 0.204 0.102 0.085 0.05 0 Pemerintah Pemerintah Daerah Aparat Penegak Hukum M asyarakat LSM AKTOR Gambar 35. Urutan Prioritas Aktor yang Mempengaruhi

119 Pemerintah bersama dengan lembaga legislatif sebenarnya dapat merumuskan dan menerapkan kebijakan yang paling efektif untuk menimbulkan dampak jera bagi pelaku IL. Pemerintah dengan kewenangannya selain menerapkan kebijakan hukum pemberantasan IL, juga dapat menetapkan kebijakan lainnya untuk mempersempit ruang gerak pelaku IL, misalnya: (a) menetapkan kebijakan penggunaan bahan baku industri berbasis hasil hutan harus berasal dari sumber yang sah dan legal; (b) menetapkan kriteria legalitas kayu; (c) menetapkan kebijakan pengelolaan hutan yang bebas korupsi dan kolusi; (d) memberikan insentif kepada pelaku dunia usaha kehutanan yang mampu mengelola hutannya dengan berkelanjutan; (e) meningkatkan kerjasama dengan dunia internasional dalam pemberantasan IL, khususnya yang berkaitan dengan perdagangan kayu internasional, baik berupa kerjasama bilateral maupun multilateral. Pemerintah daerah berkontribusi besar terhadap keberhasilan pemberantasan IL di daerahnya, dimana hutan berada di wilayahnya. Dukungan penuh pemerintah daerah dalam pemberantasan IL merupakan kunci penting pemberantasan IL. Kebijakan daerah yang pro-ekologis tentunya akan sangat membantu efektifnya pemberantasan IL, namun sebaliknya kebijakan daerah yang lebih memprioritaskan pertumbuhan ekonomi akan menjadi kendala pemberantasan IL. Permasalahan IL yang cenderung mengarah terhadap pelanggaran aturan hukum kehutanan memerlukan peranan aparat penegak hukum, baik instansi kepolisian, kejaksaan, maupun pengadilan. Tiga institusi penegak hukum tersebut diharapkan mampu berjalan secara harmonis, sehingga proses penegakan hukum dapat berjalan dengan baik dan memberikan dampak jera terhadap pelaku IL. Selain itu, partisipasi masyarakat dalam pemberantasan IL sangat penting, dimana tanpa dukungan masyarakat maka program pemberantasan IL tidak akan berjalan efektif. Masyarakat sekitar hutan dengan kondisi ekonomi yang miskin menjadikan kegiatan penebangan kayu, baik legal maupun ilegal sebagai sumber pekerjaannya karena tidak

120 ada pilihan pekerjaan yang lebih baik. Oleh karena itu, keterlibatan masyarakat dalam pemberantasan IL harus disertai dengan upaya peningkatan kesejahteraannya, dimana tanpa terpenuhinya kebutuhan hidup, maka hutan yang ada di sekitarnya menjadi tumpuan untuk bertahan hidup. Pemberantasan IL perlu didukung oleh LSM yang berperan untuk membantu aparat dalam memberikan data informasi kejadian IL, serta memfasilitasi masyarakat untuk meningkatkan kehidupannya. Hasil analisis (Gambar 36) menunjukkan bahwa tujuan pemberantasan IL di Indonesia lebih diprioritaskan pada upaya untuk memulihkan ekosistem hutan (0,526), meningkatkan nilai ekonomi hutan (0,295), dan meningkatkan kesejahteraan dan pertumbuhan ekonommi (0,179). Akibat praktek IL yang tidak terkendali meningkatkan lahan kritis yang terdegradasi kualitasnya. Hutan yang terdegradasi memiliki nilai tangible dan intangible yang rendah, sehingga untuk meningkatkan nilai manfaat hutan memerlukan upaya pemulihan ekosistem hutan. Hutan yang kembali baik akan memberikan manfaat yang optimal pula, sehingga nilai ekonomi hutan akan meningkat. Dengan meningkatnya nilai ekonomi hutan, maka akan terjadi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi wilayah. 0.600 0.500 0.526 BOBOT 0.400 0.300 0.200 0.295 0.179 0.100 0.000 Pemulihan Ekosistem Hutan Peningkatan Nilai Ekonomi Hutan TUJUAN Peningkatan Kesejahteraan dan Pertumbuhan Ekonomi Gambar 36. Urutan Prioritas Tujuan yang Mempengaruhi

121 Dalam melakukan pemberantasan IL di Indonesia, kebijakan yang bersifat command and control menempati prioritas pertama (0,500), yang selanjutnya berupa kebijakan yang bersifat insentif/disinsentif (0,315), serta gabungan antara dua kebijakan sebelumnya (0,186) (Gambar 36). Kebijakan command and control dipandang perlu diterapkan dalam pemberantasan IL di Indonesia karena: (a) Tingkat kekritisan lahan hutan akibat praktek IL berada pada taraf mengkhawatirkan dan sebagian diantaranya menjadi pemicu terjadinya bencana alam dan bencana ekologis yang sangat mengganggu kehidupan masyarakat dan pembangunan. Oleh karena itu, penanganan yang cepat dan terpusat masih diperlukan; dan (b) Tingkat ketaatan terhadap hukum (law compliance) masyarakat terhadap aturan hukum kehutanan relatif masih rendah, sehingga upaya penegakan hukum masih diperlukan untuk mengarahkan perilaku masyarakat agar patuh terhadap aturan hukum yang telah ditetapkan. Apabila ketaatan masyarakat terhadap aturan hukum meningkat, maka kebijakan insentif dan disinsentif secara ekonomi dapat diberlakukan. 0.600 0.500 0.500 BOBOT 0.400 0.300 0.200 0.315 0.186 0.100 0.000 Kebijakan Pemberantasan Illog Bersifat Command and Control Kebijakan Pemberantasan Illog Bersifat Incentives and Disinsentives ALTERNATIF KEBIJAKAN Gabungan Kebijakan Pemberantasan Illog Bersifat Command and Control dengan Incentives and Disinsentives Gambar 37. Urutan Prioritas Alternatif Kebijakan yang Mempengaruhi

122 8.4. Kesimpulan Faktor, aktor, tujuan, dan alternatif kebijakan yang mempengaruhi upaya pemberantasan IL di Indonesia dengan nilai prioritas tertinggi adalah faktor penegakan hukum, aktor pemerintah, tujuan untuk pemulihan ekosistem hutan, dan menerapkan kebijakan yang bersifat command and control. Penegakan hukum yang lemah menyebabkan pelanggaran terhadap aturan hukum yang telah ada makin tinggi, karena tidak memberikan efek jera bagi pelaku dan jaringannya. Oleh karena itu penegakan hukum yang tegas, konsisten, dan tidak diskriminatif sangat dibutuhkan dalam pemberantasan IL di Indonesia. Untuk mendorong hal tersebut, Pemerintah dengan otoritas yang dimilikinya dapat menerapkan kebijakan lingkungan yang ketat sekalipun karena karakteristik IL di Indonesia yang masif di dalam sistem tata kelola pemerintahan yang masih koruptif-kolusif akan sulit diberantas. Kebijakan yang bersifat command and control perlu dikedepankan ketika tingkat ketaatan dan kepatuhan terhadap hukum rendah. Untuk mengurangi makin luasnya lahan hutan yang terdegradasi akibat IL, tindakan represif dan persuasif adalah pilihan bagi pemerintah dan aparat penegak hukum beserta stakeholders lainnya untuk menyelamatkan hutan tropis Indonesia. Kebijakan pemberantasan IL pada akhirnya ditujukan untuk mencapai tujuan pemulihan ekosistem hutan, sehingga nilai manfaat hutan yang sebelumnya mengalami degradasi dan deplesi akan kembali pulih.