II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Van Metter dan Van Horn dalam Agustino (2008: 195) menjelaskan

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. Sulawesi dan Papua serta ribuan pulau-pulau kecil lainnya (archipelagic

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Thomas Dye dalam Subarsono (2013: 2), kebijakan publik adalah

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. secara umum memberikan penafsiran yang berbeda-beda akan tetapi ada juga yang

Tahap penyusunan agenda Tahap formulasi kebijakan Tahap adopsi kebijakan Tahap implementasi kebijakan Tahap evaluasi kebijakan

BAB II KAJIAN TEORI. A. Deskripsi Teori. 1. Implementasi Kebijakan Publik. a. Konsep Implementasi:

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA. keputusan atau usulan-usulan dari para pembuat kebijakan. Para ahli administrasi

TINJAUAN PUSTAKA. Berikut adalah beberapa pengertian kebijakan menurut para ahli yakni:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Setiap pemerintahan yang tengah memimpin saat ini sudah seharusnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kebijakan publik atau public policy merupakan salah satu bidang kajian yang

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mazmanian dan Sabsister dalam Siswadi (2012:24)

Model Mazmanian dan Sabatier

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. administration atau to administear yang berarti mengelola (to manage) atau. usaha seperti tulis menulis, surat menyurat.

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 54/M-DAG/PER/10/2009 TENTANG KETENTUAN UMUM DI BIDANG IMPOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tentang aparatur negara, tetapi juga terkait dengan governance yang menyentuh

BAB I PENDAHULUAN. Pelayanan publik (Public Service) merupakan segala macam kegiatan dalam

BAB. II TINJAUAN PUSTAKA

BAB V SIMPULAN, SARAN, DAN KETERBATASAN. Berdasarkan hasil analisis data yang sudah dilakukan, maka penulis

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Laporan Kuliah Kerja Lapangan. Rukun Tetangga atau Rukun Warga atau lebih dikenal dengan

Model van Horn & van Metter dan Marlee S. Grindle

II. TINJAUAN PUSTAKA. implementasi ini dengan mengatakan bahwa :

BAB I PENDAHULUAN. maka Pemerintah Kota Metro sejak tahun 2010 telah mencanangkan Program

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Mengukur Kinerja Implementasi Kebijakan

BAB I PENDAHULUAN. Pokok-Pokok Agraria (UUPA) menetapkan bahwa untuk menjamin kepastian

BAB II KAJIAN TEORI. hipotesis untuk membimbing peneliti mencari jawaban-jawaban, membuat

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PENANAMAN MODAL

Implementasi Kebijakan Pengembangan Kawasan Agropolitan Sendang Kabupaten Tulungagung

Pentingnya implementasi What is implementation? Proses Implementasi

DAFTAR ISI. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang...1 B. Rumusan Masalah C. Tujuan Penelitian D. Manfaat Penelitian... 12

SKRIPSI. Diajukan Guna Melengkapi Tugas Akhir Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Ilmu Politik (S.IP) Oleh : YULI ANDARI NPM :

II. TINJAUAN PUSTAKA. pernah dilakukan sebelumnya. Penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya ini

BAB IV LANDASAN PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UMKM

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

IV. GAMBARAN UMUM. Implementasi merupakan suatu kajian mengenai kebijakan yang mengarah

BAB III PAKAIAN BEKAS MENURUT UU NO. 42 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai

EVALUASI KEBIJAKAN KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN DI SMA NEGERI 1 AMPIBABO KECAMATAN AMPIBABO KABUPATEN PARIGI MOUTONG

BAB II TINJAUAN TEORETIS

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat karena ternyata tidak sesuai dengan apa yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam literatur-literatur politik. Masing-masing definisi memberi penekanan yang

I. PENDAHULUAN. meningkatkan kesadaran perlunya pembangunan berkelanjutan.

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR

DINAS PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN KOTA MALANG

Etika dan integritas. Kepatuhan: Pedoman bagi pihak ketiga

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLUNGKUNG NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN BIDANG PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Berdasarkan ketentuan ini

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/3/PBI/2015 TENTANG KEWAJIBAN PENGGUNAAN RUPIAH DI WILAYAH NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA

Sri Yuliani FISIP UNS

BAB I P E N D A H U L U A N

BAB I PENDAHULUAN. 1977; Nori, 1996) dalam (Putu Novia, dkk: 2015). Mardiasmo (2002) dalam (Putu

2 Mengingat penyelenggaraan kegiatan standardisasi dan penilaian kesesuaian; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, hur

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bersama untuk mencapai tujuan bersama yang telah disepakati. Kebijakan

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PROGRAM RASKIN ( Beras Rakyat. karena kemiskinan menyebabkan terjadinya kerentanan, ketidakberdayaan,

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Teori good governance mengharuskan penggunaan atau upaya untuk merancang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. untuk mengatur dan mengontrol semua aktivitas yang terjadi pada perusahaan

KODE ETIK GLOBAL PERFORMANCE OPTICS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Handayaningrat (2002:2) dalam bukunya Pengantar Studi. Ilmu Administrasi dan Manajemen sebagai berikut :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Lahirnya Undang-undang No. 22 tahun 1999 yang direvisi dengan

MAKALAH KAJIAN KEBIJAKAN

PENDAHULUAN Latar Belakang Beras sangat penting dalam memelihara stabilitas ekonomi, politik dan keamanan nasional, karena beras merupakan bahan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu kunci penanggulangan kemiskinan dalam jangka

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN YANG MENGKONSUMSI PAKAIAN IMPOR BEKAS

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA,

II. TINJAUAN PUSTAKA Kebijakan Penatausahaan Hasil Hutan Kayu yang Berasal dari

I. PENDAHULUAN. manusia menjadi semakin beragam dan kompleks sifatnya. Berbagai hal sebisa

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi daerah yang didasarkan kepada Undang-Undang. Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Derah, menekankan adanya

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas rahmat dan Karunia-Nya, kami telah dapat menyelesaikan penyusunan Laporan

V. KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan uraian hasil penelitian dan pembahasan maka kesimpulan dalam

BAB I PENDAHULUAN. Sumarto, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2009, hal. 1-2

Terobosan Peningkatan Kapasitas Nasional dalam Industri Hulu Migas ditinjau dari Perspektif Persaingan Usaha

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan partisipasi masyarakat sebagai elemen penting dalam proses. penyusunan rencana kerja pembangunan daerah.

I. PENDAHULUAN. percepatan terwujudnya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat (Bappenas,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang, rumusan masalah,

BAB VI PENUTUP. yang dikemukakan oleh Grindle mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap proses

BAB 1 PENDAHULUAN. Sebagai awal dalam rangkaian penelitian ini, pada bab I menjelaskan latar

Akuntansi Sektor Publik

BAB III AKUNTABILITAS KINERJA

Ikhtisar Eksekutif. vii

EKONOMI KELEMBAGAAN UNTUK SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN (ESL 327 ) Ko-Manajemen. Kolaborasi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

II. TINJAUAN PUSTAKA. bahkan kompetisi antara berbagai gagasan, teori, ideologi, dan kepentingankepentingan

INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU)

BAB I PENDAHULUAN. potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan

CATATAN ATAS LAPORAN KEUANGAN

I. PENDAHULUAN. bidang nasional dan ekonomi. Di mana dalam suatu proses perubahan tersebut haruslah

BAB I PENDAHULUAN. Hakekat dari otonomi daerah adalah adanya kewenangan daerah yang lebih

UNDANG UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2006 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

I. PENDAHULUAN. kemakmuran bagi rakyatnya. Namun apabila pengetahuan tidak diimbangi dengan rasa

Strategi perencanaan pembangunan nasional by Firdawsyi nuzula

Sri Yuliani Fisip Uns

I. PENDAHULUAN. Di era otonomi daerah Indonesia saat ini, telah ditekankan pemberian kewenangan

Transkripsi:

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Implementasi Kebijakan Pengertian Implementasi Kebijakan Menurut Van Metter dan Van Horn dalam Agustino (2008: 195) menjelaskan bahwa: Implementasi kebijakan adalah tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu/ pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan. Esensi utama dari implementasi kebijakan adalah memahami apa yang seharusnya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan. Pemahaman tersebut mencakup usaha untuk mengadministrasikannya dan menimbulkan dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian. Menurut Mazmanian dan Sabatier dalam Agustino (2008: 196) menjelaskan bahwa: Implementasi kebijakan adalah pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan. Lazimnya, keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah-masalah yang ingin diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan dan sasaran yang ingin dicapai, dan berbagai cara untuk menstrukturkan atau mengatur proses implementasinya.

12 Berdasarkan rumusan implementasi kebijakan sebagaimana dikemukakan diatas, maka implementasi kebijakan dapat dimaknai sebagai pelaksanaan kegiatan/aktifitas mengacu pada pedoman-pedoman yang telah disiapkan sehingga dari kegiatan/aktifitas yang telah dilaksanakan tersebut dapat memberikan dampak/akibat bagi masyarakat dan dapat memberikan kontribusi dalam menanggulangi masalah yang menjadi sasaran program. Menurut Lester dan Stewart dalam Agustino (2008: 196) mengatakan bahwa: Implementasi kebijakan sebagai tahap penyelenggaraan kebijakan segera setelah ditetapkan menjadi undang-undang. Dalam pandangan luas implementasi kebijakan diartikan sebagai pengadministrasian undangundang kedalam berbagai aktor, organisasi, prosedur, dan teknik-teknik yang bekerja secara bersama-sama untuk mencapai tujuan dan dampak yang ingin diupayakan oleh kebijakan tersebut. Implementasi kebijakan merupakan tahapan yang sangat penting dalam keseluruhan strukur kebijakan karena melalui prosedur ini proses kebijakan secara keseluruhan dapat dipengaruhi tingkat keberhasilan atau tidaknya pencapaian tujuan. Menurut Bressman dan Wildansky dalam Agustino (2008: 198) menyatakan bahwa: Implementas kebijakan adalah suatu proses interaksi antara suatu perangkat tujuan dan tindakan yang mampu mencapai tujuan. Implementasi kebijakan merupakan proses lanjutan dari tahap formulasi kebijakan. Pada tahap formulasi ditetapkan strategi dan tujuan-tujuan kebijakan sedangkan pada tahap implementasi kebijakan, tindakan (action) diselenggarakan dalam mencapai tujuan yang diinginkan.

13 B. Model Implementasi Kebijakan Dalam sejarah perkembangan studi implementasi kebijakan dijelaskan tentang adanya dua pendekatan guna memahami implementasi kebijakan, yaitu: pendekatan top down dan bottom up. Pendekatan top down misalnya dapat disebut sebagai pendekatan yang mendominasi awal perkembangan studi implementasi kebijakan, walaupun dikemudian hari terdapat perbedaanperbedaan sehingga menelurkan pendekatan bottom up, namun pada dasarnya dua pendekatan ini bertitik-tolak pada asumsi-asumsi yang sama dalam mengembangkan kerangka analisis tentang studi implementasi. Inti dari kedua pendekatan ini adalah sejauhmana tindakan para pelaksana (administrator dan birokrat) sesuai dengan prosedur serta tujuan yang telah digariskan oleh para pembuat kebijakan. 1. Model Implementasi Kebijakan Van Metter dan Van Horn Model implementasi kebijakan yang dirumuskan oleh Van Metter dan Van Horn menjelaskan bahwa proses implementasi kebijakan merupakan sebuah abstraksi atau performansi yang pada dasarnya secara sengaja dilakukan untuk meraih kinerja implementasi dan dipengaruhi oleh enam variabel, yaitu: ukuran dan tujuan kebijakan, sumber daya, karakteristik agen pelaksana, sikap dan kecenderungan para pelaksana, komunikasi antarorganisasi dan lingkungan sosial, ekonomi juga politik. 2. Model Implementasi Kebijakan Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier Model implementasi kebijakan yang dikemukakan oleh Mazmanian dan Sabatier disebut dengan A Framework for Policy Implementation

14 Analysis. Model ini berpendapat bahwa peran penting dari implementasi kebijakan publik adalah kemampuannya dalam mengidentifikasikan variabel-variabel yang mempengaruhi tercapainya tujuan-tujuan formal pada keseluruhan proses implementasi. Variabel-variabel yang dimaksud dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori besar, yaitu: a. Mudah tidaknya masalah yang akan digarap, meliputi: kesukarankesukaran teknis, keberagaman perilaku yang diatur, tingkat dan ruang lingkup perubahan perilaku yang dikehendaki b. Kemampuan kebijakan menstruktur proses implementasi secara tepat c. Faktor-faktor di luar undang-undang yang mempengaruhi implementasi 3. Model Implementasi Kebijakan George C. Edward III Model implementasi kebijakan dengan menggunakan pendekatan top down, dalam menganalisa implementasi kebijakan model ini berfokus pada empat variabel yang dianggap menentukan proses implementasi kebijakan, yaitu: komunikasi, sumberdaya, disposisi,dan struktur birokrasi. 4. Model Implementasi Kebijakan Eguene Bardach Model implementasi kebijakan yang dikemukakan Eguene Bardach dalam melakukan analisa lebih menekankan pada tawar menawar, persuasi, dan manuver oleh kelompok-kelompok kepentingan guna memaksimalkan pengaruh mereka dalam hal pelaksanaan atau implementasi.

15 5. Model Implementasi Kebijakan Christopher Hood Model impelementasi kebijakan yang dirumuskan oleh Christopher Hood dalam bukunya Limit To Administration menjelaskan bahwa sekurangkurangnya terdapat lima syarat agar implementasi kebijakan dapat berlangsung sempurna, yaitu: implementasi adalah produk dari organisasi yang padu seperti militer dengan garis komando yang jelas, norma-norma ditegakkan dan tujuan ditentukan dengan jelas, orang-orangnya dipastikan dapat melaksanakan apa yang diminta, harus ada komunikasi yang sempurna di dalam dan antar organisasi, tidak ada tekanan waktu. 6. Model Implementasi Kebijakan Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gunn Model implementasi ini sangat menekankan pentingnya pendekatan Top- Down dalam proses implementasi, bagi mereka pendekatan Bottom-Up cenderung mendekati permasalahan kasus per kasus dianggap tidak menarik apalagi para pembuat kebijakan adalah orang-orang yang telah dipilih secara demokratis. Model implementasi kebijakan ini memberikan proposisi-proposisi untuk mencapai implementasi yang sempurna, sebagai berikut: situasi diluar badan/organisasi tidak menimbulkan kendala besar bagi proses implementasi, tersedia cukup waktu dan cukup sumberdaya untuk melaksanakan program, tidak ada kendala dalam menyediakan sumberdaya yang dibutuhkan termasuk sumberdaya yang dibutuhkan dalam setiap tahapan implementasi, kebijakan yang diimplementasikan didasarkan pada teori sebab akibat yang valid, hubungan sebab akibat tersebut setidaknya ada hubungan antara

16 (intervening links), diimplementasikan oleh lembaga tunggal yang tidak tergantung pada lembaga lainnya. C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan Menurut Van Metter dan Van Horn dalam Agustino (2008: 142) menyatakan bahwa ada enam faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan: 1. Ukuran dan Tujuan Kebijakan Kinerja implementasi kebijakan dapat diukur tingkat keberhasilannya jika dan hanya jika ukuran dan tujuan dari kebijakan memang realistis dengan budaya sosial yang ada di level pelaksana kebijakan. Ketika ukuran kebijakan atau tujuan kebijakan terlalu ideal untuk dilaksanakan pada level warga, maka agak sulit merealisasikan kebijakan publik pada level yang dikatakan berhasil. 2. Sumber Daya Keberhasilan proses implementasi kebijakan sangat tergantung dari kemampuan memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Manusia merupakan sumber daya yang terpenting dalam menentukan suatu keberhasilan proses implementasi. 3. Karakteristik Agen Pelaksana Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan organisasi informal yang akan terlibat dalam implementasi kebijakan publik. Hal ini sangat penting karena kinerja implementasi kebijakan akan sangat banyak dipengaruhi oleh ciri-ciri yang tepat serta cocok dengan para agen pelaksananya. Selain itu cakupan atau luas wilayah

17 implementasi kebijakan juga perlu diperhitungkan manakala hendak menentukan agen pelaksana. Semakin luas cakupan implementasi kebijakan, maka seharusnya semakin besar pula agen yang dilibatkan. 4. Sikap/ Kecendrungan (disposition) para pelaksana Sikap penerimaan atau penolakan dari pelaksana akan sangat banyak mempengaruhi keberhasilan atau tidaknya kinerja implementasi kebijakan. Hal ini sangat mungkin terjadi oleh karena kebijakan yang dilaksanakan bukanlah hasil formulasi warga setempat yang mengenal betul persoalan dan permasalahan yang mereka rasakan. 5. Komunikasi Antar Organisasi dan Aktivitas Pelaksana Koordinasi merupakan mekanisme yang ampuh dalam implementasi kebijakan publik. Semakin baik koordinasi komunikasi diantara pihakpihak yang terlibat dalam suatu proses implementasi, maka asumsinya kesalahan-kesalahan akan sangat kecil untuk terjadi dan begitu pula sebaliknya. 6. Lingkungan Ekonomi, Sosial, dan Politik Hal terakhir yang juga perlu diperhatikan guna menilai kinerja implementasi kebijakan adalah sejauh mana lingkungan eksternal turut mendorong keberhasilan kebijakan publik yang telah ditetapkan. Karena itu lingkungan ekonomi, sosial, dan politik yang kondusif juga perlu diperhatikan dalam proses implementasi kebijakan.

18 Standar dan Tujuan Aktivitas implementasi dan komunikasi angat organisasi Kebijakan Publik Karakteristik dari agen palaksana implentor Kecenderungan (disposition) dari pelaksana implementor Kinerja Kebijakan Publik Sumber Daya Kondisi ekonimi, sosial dan politik Gambar 1. Model Pendekatan Van Metter Dan Van Horn Menurut Grindle dalam Agustino (2008:192) menyatakan bahwa implementasi kebijakan dipengaruhi oleh dua variabel besar yaitu: 1. Isi Kebijakan (content of policy) Variabel isi kebijakan mencakup sejauh mana kepentingan kelompok sasaran atau target groups termuat dalam isi kebijakan, Jenis manfaat yang diterima oleh target group, Sejauh mana perubahan yang diinginkan dari suatu kebijakan, Apakah letak dari sebuah program sudah tepat, Apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan impelmentatornya dengan rinci dan Apakah sebuah program di dukung oleh sumber daya manusia. 2. Lingkungan Implementasi (conteks of policy) Variabel lingkungan kebijakan mencakup seberapa besar kekuasaan, kepentingan, strategi yang dimiliki para aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan, Karakteristik institusi dan rejim yang sedang berkuasa dan Tingkat kepatuhan dan responsivitas sasaran.

19 Sedangkan menurut Mazmanian dan Sebastier dalam Agustino, (2008: 196) terdapat tiga kelompok variabel yang berpengaruh terhadap implementasi suatu kebijakan yaitu: 1. Karakteristik dari masalah (tractability of the problem) Kelompok variabel karakteristik masalah mencakup: a) Tingkat kesulitan teknis dari masalah yang bersangkutan; b) Tingkat kemajemukan dari kelompok sasaran; c) Proporsi kelompok sasaran terhadap total populasi; dan d).cakupan perubahan perilaku yang diinginkan. 2. Karakteristik kebijakan/undang-undang (ability of statute to structure implementation) Kelompok variabel karakteristik kebijakan/ undang-undang mencakup: a) Kejelasan isi kebijakan; b) Seberapa jauh kebijakan tersebut memiliki dukungan teoritis; c) Besarnya alokasi sumber daya finansial terhadap kebijakan tersebut; d) Seberapa besar adanya keterpautan dan dukungan antar berbagai institusi pelasana; e) Kejelasan dan konsistensi aturan yang ada pada badan pelaksana; f) Tingkat komitmen aparat terhadap tujuan kebijakan; dan g) Seberapa luas akses kelompok-kelompok luar untuk berpartisipasi dalam implementasi kebijakan. 3. Variabel lingkungan (nonstatutory variables affecting implementation). Sedangkan variabel lingkungan kebijakan mencakup a) Kondisi sosial ekonomi masyarakat dan tingkat kemajuan teknologi; b) Dukungan publik terhadap sebuah kebijakan; c) Sikap dari kelompok pemilih; dan d) Tingkat komitmen dan keterampilan dari aparat dan implementator.

20 D. Penilaian Kinerja Implementasi Kebijakan Publik 1. Kerangka Pengukuran Kinerja Oxford english dictionary mendefinisikan kinerja sebagai: The accomplishment, execution, carrying out, working out of anything ardered or undertaken, dari definisi tersebut kinerja dapat diartikan sebagai keberhasilan suatu tindakan, tugas atau operasi yang dilakukan oleh orang, kelompok orang atau organisasi (Purwanto,2012: 99). Kinerja dengan demikian dapat merujuk keluaran (output), hasil (outcome) atau pencapaian (accomplishment). Jika dikaitkan dengan kebijakan, kinerja suatu kebijakan dapat didefinisikan sebagai gambaran mengenai tingkat pencapaian implementasi dalam mewujudkan sasaran dan tujuan suatu kebijakan. Baik itu berupa keluaran kebijakan (policy output), maupun hasil kebijakan (policy outcome). Dalam menentukan tinggi-rendahnya kinerja implementasi suatu kebijakan maka penilaian terhadap kinerja (performance measurement) merupakan suatu yang penting. Penilaian terhadap kinerja adalah penerapan metode yang dipakai oleh peneliti untuk menjawab pertanyaan pokok dalam studi implementasi, yaitu: (1) apa isi dan tujuan dari suatu kebijakan: (2) apa tahapan-tahapan yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan teresbut: dan (3) apakah setelah tahapan-tahapan tersebut dilakukan implementasi yang dijalankan tadi mampu mewujudkan tujuan kebijakan atau tidak.

21 2. Indikator Pengukuran Kinerja Untuk dapat membuat justifikasi apakah suatu kebijakan gagal atau berhasil maka seorang peneliti perlu melakukan penilaian terhadap kinerja kebijakan tersebut. Alat bantu yang dapat dipakai oleh seorang peneliti untuk dapat menilai baik atau buruknya kinerja implementasi suatu kebijakan disebut sebagai indikator. Dalam kebijakan publik, indikator merupakan instrumen penting untuk mengevaluasi kinerja suatu kebijakan. Dengan adanya indikator maka peneliti dapat mengetahui keberhasilan atau kegagalan implementasi suatu kebijakan, program atau proyek. Sebagai alat ukur, indikator dapat bersifat kualitatif (naratif) maupun kuantitatif (angka). Angka atau deskripsi tersebut sangat berguna dalam menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan kebijakan yang telah ditetapkan. Indikator yang baik akan membantu peneliti mengenali kondisi yang akan muncul ketika tujuan suatu kebijakan dapat diwujudkan. Ciri-ciri indikator yang baik dalam teori kebijakan publik sebagaimana dijelaskan Purwanto (2012: 104) antara lain: a. Memiliki relevansi dengan kebijakan atau program yang akan dievaluasi. Hal ini sangat jelas, indikator yang baik mesti mencerminkan realitas kebijakan dan program. b. Memadai, dalam arti jumlah indikator yang digunakan memiliki kemampuan menggambarkan secara lengkap kondisi tercapainya tujuan suatu kebijakan.

22 c. Data yang diperlukan mudah diperoleh dilapangan sehingga tidak akan menyulitkan evaluator. d. Indikator yang disusun idealnya bersifat general dan representatif serta dapat dibandingkan dengan kebijakan yang sama ditempat lain. 3. Indikator keluaran Kebijakan Sebagaimana telah disebutkan dalam kerangka logis pengukuran kinerja implementasi suatu kebijakan didepan, indikator utama untuk mengukur kinerja dibedakan menjadi dua,yaitu: indikator output dan indikator outcome. Indikator output digunakan untuk mengetahui konsekuensi langsung yang dirasakan oleh kelompok sasaran sebagai akibat adanya realisasi kegiatan, aktivitas, pendistribusian hibah, subsisdi dan lain-lain yang dilaksanakan dalam implementasi suatu kebijakan. Untuk mengethaui kualitas hasil kebijakan yang diterima oleh kelompok sasaran, maka evaluator dapat merumuskan berbagai indikator. Menurut Purwanto (2012: 105) menjelaskan bahwa langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut: a. Mengidentifikasi policy output dari suatu kebijakan atau program yang akan dievaluasi. b. Mengidentifikasi kelompok sasaran kebijakan atau program, apakah kelompok sasaran tersebut individu, keluarga, komunitas dan lain-lain. c. Mengidentifikasi frekuensi kegiatan penyampaian output yang dilakukan oleh implementer. d. Mengidentifikasi kualitas produk yang disampaikan oleh implementer kepada kelompok sasaran.

23 Secara umum apabila kebijakan atau program yang ingin dievaluasi tersebut merupakan kebijakan distributif, yaitu kebijakan yang dimaksudkan untuk membantu anggota masyarakat atau kelompok masyarakat yang kurang beruntung melalui instrumen material seperti pelayanan gratis, subsisdi, hibah dan lain-lain. Menurut Purwanto (2012: 106) menjelaskan bahwa berbagai indikator yang dapat digunakan untuk menilai kualitas hasil kebijakan adalah sebagai berikut: a. Akses, indikator akses digunakan untuk mengetahui bahwa program atau pelayanan yang diberikan mudah dijangkau oleh kelompok sasaran. b. Cakupan (coverage), indikator ini digunakan untuk menilai seberapa besar kelompok sasaran yang sudah dapat dijangkau (mendapatkan pelayanan, hibah, transfer dana dan sebagainya) oleh kebijakan publik yang diimplementasikan. Prosedur yang digunakan untuk mengukur cakupan adalah: 1) Menetapkan siapa saja yang menjadi kelompok sasaran (keluarga miskin, petani, PNS dan sebagainya) idealnya evaluator memiliki data seluruh kelompok sasaran yang memiliki hak (eligible) untuk menjadi kelompok sasaran tersebut. 2) Membuat proporsi (perbandingan) jumlah kelompok sasaran yang sudah mendapatkan layanan terhadap kelompok total target. c. Frekuensi, frekuensi merupakan indikator untuk mengukur seberapa sering kelompok sasaran dapat memperoleh layanan yan dijanjikan oleh suatu kebijakan atau program.

24 d. Bias, bias merupakan indikator yang digunakan untuk menilai apakah pelayanan diberikan oleh implementer bias (menyimpang). e. Service delivery (ketepatan layanan), indikator yang digunakan untuk menilai apakah pelayanan yang diberikan implementasi suatu program dilakukan tepat waktu atau tidak.indikator ini sangat penting untuk menilai output yang memiliki sensitifitas terhadap waktu. f. Akuntabilitas, indikator ini digunakan untuk menilai apakah tindakan para implementer dalam menjalankan tugas kepada kelompok sasaran dapat dipertanggungjawabkan atau tidak. g. Kesesuaian program dengan kebutuhan, indikator ini digunakan untuk mengukur apakah berbagai keluaran kebijakan atau program sesuai dengan kebutuhan kelompok sasaran. 4. Indikator Hasil Kebijakan Indikator kedua adalah policy outcome, yaitu untuk menilai hasil implementasi suatu kebijakan. Dalam berbagai literatur, indikator outcomejuga disebut sebagai indikator dampak kebijakan (policy impact). Berbagai perubahan yang muncul sebagai konsekuensi implementasi suatu kebijakan atau program tersebut perlu diukur untuk dapat diketahui sejauh mana kinerja implementasi kebijakan atau program. Menurut Purwanto (2012: 106) menjelaskan bahwa manfaat lain mengetahui dampak kebijakan adalah: 1) Untuk menguji implementasi suatu pilot project apakah dapat dikembangkan menjadi suatu program

25 2) Untuk menguji design suatu program yang paling efektif sehingga ditemukan suatu cara untuk mengintegrasikan berbagai program. 3) Untuk menguji apakah modifikasi suatu program membuahkan hasil atau tidak. 4) Untuk mengambil keputusan terhadap keberlangsungan suatu program E. Tinjauan Umum Barang Yang Diatur Tata Niaga Importnya Kegiatan perdagangan barang import di Indonesia dilaksanakan dalam rangka memenuhi kebutuhan atas barang yang belum dapat diperoleh dari sumber di dalam negeri baik untuk keperluan produk industri nasional maupun konsumsi masyarakat. Namun pelaksanaan perdagangan barang import global, seperti pakaian import yang didistribusikan oleh importir di dalam negeri telah banyak dilakukan secara menyimpang dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga menimbulkan berbagai kerugian danberpotensi mematikan industri tekstil dan garmen dalam negeri karena merusak harga pasar, kurang baik dari segi kesehatan sebab dikhawatirkan mampu menjadi pintu masuk penyebaran penyakit dari negara lain ke wilayah Indonesia, dan dianggap merendahkan harkat dan martabat bangsa Indonesia dikarenakan mengimport pakaian bekas bangsa lain. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Asosiasi Pertekstilan Indonesia, peredaran produk tekstil pada tahun 2014 untuk pasar domestik menyentuh angka 62 persen dari pasokan produsen lokal, 31 persen dari import resmi, dan 7 persen diduga berasal dari import illegal. Jika dikalkulasikan maka nilai pakaian bekas import illegal mencapai US$ 5,62 miliar atau sekitar Rp 71,6 triliun, hal ini

26 mengindikasikan terganggunya industri tekstil dan garmen dalam negeri sebagai akibat dari import pakaian bekas. Kemudian jika ditinjau dari segi kesehatan berdasarkan hasil uji laboratorium yang dilakukan oleh Dirjen Standarisasi dan Perlindungan Konsumen pada 25 sampel pakaian bekas diketahui bahwa pakaian bekas mengandung 216 Ribu koloni bakteri mikroba yang dapat mengakibatkan penyakit kulit, diare dan penyakit saluran kelamin Selanjutnya untuk mengurangi aktivitas tata niaga import pakaian bekas, Kementerian Perdagangan mengeluarkan regulasi yang memuat aturan-aturan terkaitbarang yang diatur tata niaga importnya dalam Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 230/MPP/kep/7/1997. Kemudian pada tahun 2002 dilakukan perubahan lampiran 1 melalui Surat Keputusan Menteri Perdagangan No. 642 Tahun 2002 yang semula memiliki ketentuan bahwa gombal/pakaian bekas yang diimport tergolong limbah, dinyatakan tidak berlaku lagi. Dan setelah dikeluarkan surat keputusan ini, maka gombal/ pakaian bekas yang diimport termasuk pada barang yang dilarang tata niaga importnya. Sejalan dengan itu semua kementerian perdagangan kembali memepertegas aturan tata niaga import seperti yang termuat pada pasal 6 dan pasal 7 Peraturan Menteri Perdagangan No. 54/M-DAG/PER/10/2009 tentang Ketentuan Umum Di Bidang Import, antara lain butir pertama pada pasal 6 secara tegas mengatur bahwa barang yang diimport harus dalam keadaan baru, kemudian pada butir kedua menjelaskan tentang pengecualian import barang dalam keadaan bukan baru hanya dapat dilakukan jika berdasarkan

27 usulan atau pertimbangan teknis dari instansi pemerintah lainnya, kewenangan menteri, dan pada peraturan perundang-undangan. Lebih lanjut, pada pasal 7 butir pertama berisikan tentang adanya pengaturan barang import tertentu ditetapkan aturan tersendiri kecuali barang yang secara tegas dilarang untuk diimport. Pengaturan tersebut dilakukan berdasarkan pertimbangan dan dalam rangka: a. Perlindungan keamanan b. Perlindungan keselamatan konsumen c. Perlindungan kesehatan yang berkaitan dengan kehidupan manusia,hewan dan tumbuh-tumbuhan d. Perlindungan lingkungan hidup e. Perlindungan atas hak kekayaan intelektual f. Perlindungan sosial, budaya, dan moral masyarakat g. Perlindungan kepentingan pembangunan ekonomi nasional, termasuk upaya peningkatan taraf hidup petani-produsen, penciptaan kondisi perdagangan pasar dalam negeri yang sehat dan kondusif Adapun manfaat dan tujuan tentang barang yang diatur tata niaga importnya seperti yang termuat pada Keputusan Menteri Perdagangan No. 230/MPP/kep/7/1997 adalah sebagai berikut: 1. Manfaat Barang Yang Diatur Tata Niaga Importnya a. Mewujudkan terciptanya peningkatan potensi produksi industri tekstil dan garmen dalam negeri yang berkualitas. b. Mendorong terciptanya kondisi perdagangan dan pasar dalam negeri yang sehat serta iklim usaha yang kondusif.

28 c. Mewujudkan terbukanya lapangan kerja dari industri tekstil dan garmen dalam negeri. 2. Tujuan Barang Yang Diatur Tata Niaga Importnya a. Menjamin keterlindungan kepentingan pembangunan ekonomi nasional dari pengaruh negatif pasar global. b. Melindungi harkat dan martabat bangsa Indonesia dari pengaruh negatif pasar global. c. Mencegah dan memutus mata rantai penyebaran penyakit berbahaya bagi kesehatan manusia yang ditimbulkan jika menggunakan pakaian bekas, terutama pakain bekas import sebagai bagian dari perlindungan kesehatan konsumen. F. Kerangka Pikir Kebijakan tata niaga import pakaian bekas pada dasarnya dikeluarkan berdasarkan Pengubahan lampiran I nomor urut 108 Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 230/MPP/kep/7/1997 yang semula memiliki ketentuan bahwa gombal/pakaian bekas yang diimport tergolong limbah, dinyatakan tidak berlaku lagi. Dan setelah ditetapkan keputusan ini, maka gombal/ pakaian bekas yang diimport termasuk pada barang yang dilarang tata niaga importnya. Untuk itu dalam melakukan penelitian tentang impelementasi kebijakan, ada beberapa model yang dapat digunakan dalam melakukan analisis implementasi kebijakan larangan import pakaian bekas yaitu model implementasi kebijakan Van Metter dan Van Horn, model implementasi

29 kebijakan Mazmanian dan Sabatier, dan model implementasi kebijakan George C. Edward III. Salah satu model dalam melakukan pengamatan pada proses implementasi kebijakan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah model implementasi kebijakan Van Metter dan Van Horn. Rasionalisasi dalam mengambil model implementasi kebijakan ini sebab model implementasi kebijakan ini merupakan sebuah abstraksi dalam hal performance suatu implementasi kebijakan yang pada dasarnya secara sengaja dilakukan untuk meraih kinerja publik yang tinggi yang berlangsung dalam hubungan berbagai variabel. Model ini mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara linier dari keputusan politik yang tersedia, pelaksana dan kinerja kebijakan publik. Model implementasi kebijakan Van Metter dan Van Horn memiliki 6 variabel yang dianggap mempengaruhi implementasi kebijakan yaitu: ukuran dan tujuan kebijakan, sumber daya, karakteristik agen pelaksana, sikap kecenderungan pelaksana, komunikasi antar organisasi, dan lingkungan ekonomi, sosial dan politik. Berdasarkan model implementasi kebijakan Van Metter dan Van Horn tersebut pada proses implementasi kebijakan larangan import pakaian bekas di Kota Bandar Lampung, kebijakan yang telah diterapkan akan diamati proses implementasinya untuk dilihat sejauh mana kebijakan yang dilaksanakan telah mencapai tujuan. Dalam menganalisis proses implementasi kebijakan ini peneliti memiliki fokus penelitian pada analisis pelaksanaan kebijakan dengan menggunakan aspek implementasi kebijakan.

30 pada aspek ini analisis berusaha untuk mencari jawaban tentang bagaimana kebijakan tersebut dilaksanakan, apa faktor-faktor yang mempengaruhinya, bagaimana mempengaruhinya dan bagaimana kinerja dari kebijakan tersebut. Aspek ini merupakan proses lanjutan dari tahap formulasi kebijakan. Pada tahap formulasi ditetapkan strategi dan tujuan-tujuan kebijakan sedangkan pada tahap implementasi kebijakan ditetapkan tindakan (action) dalam mencapai tujuan. Pada tahap ini, ditentukan kriteria-kriteria yang menjadi dasar untuk menilai apakah kebijakan telah diselenggarakan sesuai tujuan yang diinginkan. Berdasarkan konsideran Surat Keputusan Menteri Perdagangan No.230 Tahun 1997 yang kemudian dilakukan perubahan lampirannya pada Surat Keputusan Menteri Perdagangan No.642 tahun 2002. Adapun tujuan dari surat keputusan tersebut adalah: a. Untuk melindungi harkat dan martabat bangsa Indonesia perlu dilakukan penyesuaian ketentuan mengenai barang yang diatur tata niaga impornya, sehingga mencakup limbah yang diperkenankan dan dilarang diimpor. b. Dalam rangka memperlancar arus pengadaan barang, jaminan kepastian berusaha dan memberikan perlindungan yang wajar bagi perlindungan industry tekstil dalam negeri perlu menyempurnakan tentang ketentuan barang yang diatur tata niaga importnya. Kriteria-kriteria yang menjadi dasar untuk menilai apakah kebijakan larangan import pakaian bekas di Kota Bandar Lampung telah dilaksanakan sesuai tujuan yang diinginkan sangat dipengaruhi oleh beberapa indikator. Dalam

31 kebijakan publik, indikator merupakan instrumen penting untuk menganalisis kinerja suatu implementasi kebijakan. Dengan adanya indikator maka peneliti dapat mengetahui keberhasilan atau kegagalan implementasi suatu kebijakan, program atau proyek. Menurut Purwanto (2012: 104) menjelaskan bahwa ciri-ciri indikator yang baik antara lain: a. Memiliki relevansi dengan kebijakan atau program yang akan dianalisis b. Memadai, dalam arti jumlah indikator yang digunakan memiliki kemampuan menggambarkan secara lengkap kondisi tercapainya tujuan suatu kebijakan. c. Data yang diperlukan mudah diperoleh dilapangan sehingga tidak akan menyulitkan peneliti. Pemberlakuan kebijakan larangan import pakaian bekas pada dasarnya bertujuan memberikan keterlindungan atau pengamanan kepentingan ekonomi nasional dari pengaruh negatif pasar global, menstabilkan harga pasar terutama yang berkaitan dengan industri tekstil dan garmen, melindungi harkat dan martabat bangsa indonesia yang gemar mengkonsumsi pakaian bekas yang diimport dari luar negeri dan juga perlindungan kesehatan konsumen. Penerapan atau implementasi kebijakan larangan import pakaian bekas yang diarahkan pada pencapaian tujuan kebijakan diamanatkan pada surat keputusan menteri perdagangan No. 642 Tahun 2002 tentang barang yang diatur tata niaga importnya.

32 Adapun indikator tercapainya tujuan kebijakan barang yang diatur tata niaga importnya sebagaimana yang telah disesuaikan dengan tujuan surat keputusan menteri perdagangan No. 642 Tahun 2002 adalah: 1) Ukuran dan tujuan kebijakan 2) Sumber daya 3) Karakteristik agen pelaksana 4) Sikap/kecenderungan pelaksana 5) Komunikasi antar organisasi 6) Lingkungan ekonomi, sosial dan politik Berdasarkan pemaparan seperti tersebut diatas, maka pelaksanaan suatu kebijakan dalam ruang lingkup pemerintahan menjadi faktor penentu dalam menilai sukses atau gagalnya tujuan kebijakan tersebut. Oleh karena itu indikator yang baik sangat mempengaruhi penilaian impelementasi kebijakan larangan import pakaian bekas pada Direktorat Jendral Bea dan Cukai Wilayah Lampung dan Dinas Perdagangan Kota Bandar Lampung sebagai implementator kebijakan.

33 Kerangka Pikir dalam penelitian ini digambarkan dalam bentuk bagan sebagai berikut : Kebijakan Larangan Import Pakaian Bekas Surat Menteri Perdagangan Nomor 642 Tahun 2002 Tentang Barang Yang Diatur Tata NiagaImportnya Berjalan Tidak Berjalan Indikator Implementasi Kebijakan Ukuran dan tujuan kebijakan Sumber Daya Karakteristik pelaksana Sikap/ kecenderungan pelaksana Komunikasi antar organisasi Lingkungan ekonomi, sosial, politik Implementasi Kebijakan Barang Yang Diatur Tata Niaga Importnya Pendekatan Model Van Metter dan Van Horn Kinerja Kebijakan Gambar 2. Kerangka Pikir