PERSPEKTIF POLITIK HUKUM WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI PENYELENGGARA KEKUASAAN KEHAKIMAN DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. dorongan dalam penyelenggaraan kekuasaan dan ketatanegaraan yang lebih

BAB V PENUTUP. Dari pembahasan bab-bab di atas dapat disimpulkan bahwa: hukum Republik Indonesia. Kata Merdeka disini berarti terbebas dari

SKRIPSI. Diajukan Guna Memenuhi Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh : Nama : Adri Suwirman.

BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

BAB III GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

BAB I PENDAHULUAN. hukum dikenal adanya kewenangan uji materiil (judicial review atau

I. UMUM

PENDAHULUAN. Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (UUD Tahun 1945) telah melahirkan sebuah

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan

MAHKAMAH KONSTITUSI. R. Herlambang Perdana Wiratraman Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 19 Juni 2008

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENYELESAIKAN PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM MENURUT UU NO. 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

DR. R. HERLAMBANG P. WIRATRAMAN MAHKAMAH KONSTITUSI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA, 2015

Info Lengkap di: buku-on-line.com 1 of 14

Analisis Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengeluarkan Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Berdasarkan Undang-Undangnomor 24 Tahun 2003

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan.

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

BAB I PENDAHULUAN. tinggi negara yang lain secara distributif (distribution of power atau

KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI PADA SENGKETA HASIL PEMILIHAN KEPALA DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. selanjutnya disebut UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa. berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONEIA

BAB I PENDAHULUAN. kehakiman diatur sangat terbatas dalam UUD Buku dalam pasal-pasal yang

INTERVENSI POLITIK DALAM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Oleh: Meirina Fajarwati * Naskah diterima: 01 Juni 2016; disetujui: 23 Juni 2016

Pemetaan Kedudukan dan Materi Muatan Peraturan Mahkamah Konstitusi. Rudy, dan Reisa Malida

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MAHKAMAH KONSTITUSI, MAHKAMAH AGUNG, PEMILIHAN KEPALA DAERAH

BAB I PENDAHULUAN (UUD NRI Tahun 1945) terutama pada Pasal 18 ayat (4) yang menyatakan,

Lex Administratum, Vol. III/No. 7/Sep/2015

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

BAB II MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI BAGIAN DARI KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA. A. Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Sebelum Perubahan UUD 1945

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

keberadaan MK pd awalnya adalah untuk menjalankan judicial review itu sendiri dapat dipahami sebagai and balances antar cabang kekuasaan negara

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

BAB II DESKRIPSI (OBYEK PENELITIAN) hukum kenamaan asal Austria, Hans Kelsen ( ). Kelsen menyatakan

SILABUS PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PENINGKATAN PEMAHAMAN HAK KONSTITUSIONAL WARGA NEGARA PUSAT PENDIDIKAN PANCASILA DAN KONSTITUSI

POLITIK HUKUM MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI PERADILAN PEMILU DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

BAB II KEDUDUKAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. susunan organisasi negara yang terdiri dari organ-organ atau jabatan-jabatan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 129/PUU-XII/2014 Syarat Pengajuan Calon Kepala Daerah oleh Partai Politik dan Kedudukan Wakil Kepala Daerah

BAB II TINJAUAN TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil

BAB III PERALIHAN KEWENANGAN MAHKAMAH AGUNG KEPADA MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA PEMILUKADA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

KUASA HUKUM Muhammad Sholeh, S.H., dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 20 Oktober 2014.

TAFSIR KONSTITUSI TERHADAP SISTEM PERADILAN DIINDONESIA* Oleh: Winarno Yudho

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Hubungan Antar Lembaga Negara IRFAN SETIAWAN, S.IP, M.SI

PERBAIKAN RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 26/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilihan Presiden & Wakil Presiden Calon Presiden Perseorangan

BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI. Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU

I. PARA PEMOHON 1. Dr. Andreas Hugo Pareira; 2. H.R. Sunaryo, S.H; 3. Dr. H. Hakim Sorimuda Pohan, selanjutnya disebut Para Pemohon.

-2- memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dipe

PERUBAHAN KETIGA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 52/PUU-XIV/2016 Penambahan Kewenangan Mahkamah Kontitusi untuk Mengadili Perkara Constitutional Complaint

PERTANYAAN Bagaimanakan kasus Marbury vs Madison Apa alasan John Marshall membatalkan Judiciary Act. Bagaimana pemikiran Yamin tentang Yudisial Review

PENGARUH AMANDEMEN UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 TERHADAP PERUBAHAN KONFIGURASI KEKUASAAN KEHAKIMAN

KEKUA U SAAN N KEHAKIMAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENGUJI PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA. Oleh : DJOKO PURWANTO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBAGA LEMBAGA NEGARA. Republik Indonesia

III. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI

MAHKAMAH KONSTITUSI. Oleh: Letjen TNI (Purn) H. AchmadRoestandi, S.H. BANDUNG -JUNI

KARAKTERISTIK PENGAWASAN YANG DIMILIKI OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI LEMBAGA PENGAWAS UNDANG-UNDANG DI NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. berbagai istilah baik rechtsstaat, rule of law, atau etat de droit. 2 Dalam konteks

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK

Mengenal Mahkamah Agung Lebih Dalam

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA Pointers Hakim Konstitusi Prof. Dr. Arief Hidayat, S.H.,M.S. Dalam Acara

BAB I PENDAHULUAN. berwenang untuk membuat Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. konstitusional terhadap prinsip kedaulatan rakyat. Hal ini dinyatakan dalam Pasal

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 130/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilu Anggota DPR, DPD & DPRD Tata cara penetapan kursi DPRD Provinsi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 104/PUU-XIV/2016 Keterwakilan Anggota DPD Pada Provinsi Baru Yang Dibentuk Setelah Pemilu 2014

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Dalam Teori dan Praktik

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) telah melahirkan sebuah

BAB III KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM SENGKETA PEMILIHAN KEPALA DAERAH. A. Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Sengketa Pilkada

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kekuasaan raja yang semakin absolut di Negara Perancis

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 84/PUU-XII/2014 Pembentukan Pengadilan Hubungan Industrial di Kabupaten/Kota

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB 1 PENDAHULUAN. ps. 86. Dalam Praktek, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 17 Maret Legal standing..., Nur Syamsiati D., FHUI.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 51/PUU-XI/2013 Tentang Kewenangan KPU Dalam Menetapkan Partai Politik Peserta Pemilu

UU & Lembaga Pengurus Tipikor L/O/G/O

LEMBAGA NEGARA DALAM PERSPEKTIF AMANDEMEN UUD 1945 H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 21/PUU-XVI/2018

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 15/PUU-XIII/2015

Kuasa Hukum Dwi Istiawan, S.H., dan Muhammad Umar, S.H., berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 29 Juli 2015

Transkripsi:

ARTIKEL TESIS PERSPEKTIF POLITIK HUKUM WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI PENYELENGGARA KEKUASAAN KEHAKIMAN DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA Disusun oleh: MERDE KUSUMA NEGARA NOMOR MAHASISWA: 135 20 2001/PS/MIH PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA 2015 1

2 Abstract The presence of the Constitution Court within the government system of the Republic of Indonesia may be considered ideal. However, when compared with the Constitution Court of other countries its competence is less broad, but the amandment to the 1945 Constitution has brought forth a new institution in the field of judicature authority called Constitution Court which has specific powers within the goverment system of justice, and is final in nature. The Constitution Court s exclusive power is found in its constitutional power (to perform the principle of check and balances) that other judicature institutions do not have. The presence of the Constitution Court as one of the holders of judiciary power of final nature in Indonesia is a sort of positional consequence. The Constitution Court may be deemed in equal level to the Supreme Court. Both the Constitution Court and the Supreme Court are the executors of judiciary power who have freedom, and autonomous, separated from other powers, that are the government (executive) and the legislature institution. The Supreme Court may be described as the summit of judicature in relation to individual or other law subjects strive for justice, while the Constitution Court has nothing to do with individuals but with broader public interest. The Constitution Court, as the first and last levels of judicature institution has a slimmer organization structure compared with that of the Supreme Court, which is the summit of judicature system whose structure is stratified vertically and horizontally covering four judicature scopes, which are the general judicature, religion judicature, court martial, and state administration judicature. The judicature scopes are still in need of improvements due to some existing weaknesses. However, the existence of the Constitution Court in Indonesia is a materialization of the Indonesian legal Policy to shape the nation s constitutional ideals in the field of constitutional law. Key Words: Constitution Court, legal Policy, Supreme Court, Ideal. 1. Latar Belakang Masalah Gagasan pembentukan Mahkamah Konstitusi tidak lain merupakan dorongan dalam penyelenggaraan kekuasaan dan ketatanegaraan yang lebih baik. Paling tidak ada empat hal yang melatarbelakangi dan menjadi pijakan dalam pembentukan Mahkamah Konstitusi, yaitu (1) sebagai implikasi dari paham konstitusionalisme; (2) mekanisme checks and balances; (3) penyelenggaraan negara yang bersih; dan (4) perlindungan terhadap hak asasi manusia (A. Fickar Hadjar, dkk 2003:3).

3 Perubahan UUD Negara RI melahirkan lembaga baru di bidang kekuasaan kehakiman yaitu Mahkamah Konstitusi, sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (2), yang menentukan sebagai berikut: Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan rumusan tersebut di atas, kekuasaan kehakiman menganut sistem bifurkasi (bifurcation system), di mana kekuasaan kehakiman terbagi dalam dua cabang, yaitu peradilan biasa (ordinary court) yang berpuncak pada Mahkamah Agung dan cabang peradilan konstitusi yang mempunyai wewenang untuk melakukan constitutional review atas produk perundang-undangan yang dijalankan oleh Mahkamah Konstitusi (Abdul Hakim G. Nusantara, 2002). Secara konseptual, memang dimungkinkan satu fungsi dilakukan oleh dua lembaga yang berbeda. Sistem bifurkasi akan potensial menimbulkan konflik jika tidak dirumuskan secara tegas mengenai kedudukan dan wewenang dari masingmasing lembaga tersebut. Oleh karena Mahkamah Konstitusi juga melakukan judicialization of politics, maka kedudukan Mahkamah Konstitusi terhadap lembaga negara lainnya juga harus ditegaskan (Fatkhurohman, et.al., 2004:4). Berkenaan dengan tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi, Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara RI menentukan: Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: 1. Menguji undang-undang terhadap UUD

4 2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 3. Memutus pembubaran partai politik 4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Dalam perkembangannya, kewenangan tersebut bertambah dengan memutus perselisihan hasil pemilukada sebagaimana tertuang dalam Pasal 10 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 15 Tahun 2008. Pengertian pilkada diubah menjadi pemilukada berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu. Dalam kenyataannya, dengan melihat volume jumlah perkara yang ada, Mahkamah Konstitusi cenderung akhirnya menjadi Mahkamah Sengketa Pemilu (Election Court) karena jumlah perkara sengketa pemilu yang ditangani lebih banyak volumenya dibandingkan pengujian undang-undang (Judicial Review) yang merupakan kewenangan utama sebuah Mahkamah Konstitusi. Banyaknya perkara sengketa pemilukada yang harus diselesaikan sembilan hakim Mahkamah Konstitusi dalam waktu 14 hari (Pasal 26 Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi), maka dikhawatirkan bisa mempengaruhi kualitas putusan Mahkamah Konstitusi terhadap sengketa yang diperiksa dan mengurangi kualitas putusan Mahkamah Konstitusi dalam menangani perkara sengketa hasil pemilukada serta mengganggu peran Mahkamah Konstitusi dalam memutus permohonan judicial review yang sejatinya merupakan domain utama kewenangannya (http://www. Mahkamah konstitusi.go.id /public /content /infouum /penelitian /pdf1- Penelitian% 20 Efektifitas- upload.pdf/ diakses tanggal 27 Agustus 2014 pukul. 22.35 WIB).

5 Berdasarkan Pasal 7B ayat (5) UUD Negara RI, Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/ atau Wakil Presiden. Perlu dicatat bahwa putusan ini sifatnya tidak final karena tunduk pada putusan MPR, sebagai lembaga politik yang berwenang memberhentikan Presiden (Pasal 7A UUD Negara RI). Hal tersebut berbeda dengan yang diatur di Amerika Serikat yang mendahulukan proses politik daripada proses hukum (Ni matul Huda, 2004:195-200). 2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah tersebut di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut: Bagaimana ideal politik hukum tentang wewenang Mahkamah Konstitusi sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman dilihat dari sistem ketatanegaraan Republik Indonesia? 3. Metode Penelitian A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang mengutamakan data sekunder sebagai data utamanya. Adapun obyek dari penelitian ini adalah norma tentang wewenang Mahkamah Konstitusi sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.

6 B. Sumber Data Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berupa bahan-bahan hukum yang terdiri dari (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2003:13): 1. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat yang terdiri dari: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 b. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi beserta perubahannya yakni Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 c. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman d. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung beserta perubahannya yakni Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 e. Undang-Undang Nomor 22 tahun 2007 tentang penyelenggara Pemilihan umum f. Putusan Mahkamah Konstitusi. 2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang bersifat menjelaskan atau melengkapi terhadap bahan hukum primer, yang terdiri dari teori, prinsip, pendapat ahli yang diperoleh dari buku-buku literatur, hasil hasil penelitian dan karya ilmiah lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini. C. Pendekatan Politik Hukum

7 Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan politik hukum, yaitu menganalisis permasalahan dalam penelitian ini dari sudut pandang politik hukum untuk menciptakan ius constituendem. D. Cara Pengumpulan Data Cara pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: 1. Studi Dokumen Menemukan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan cara mencari, memperoleh dan menganalisis referensi kepustakaan berupa peraturan perundang-undangan, pendapat para ahli dalam buku-buku, media surat kabar (baik dalam bentuk opini, berita dan jurnal), yang berkaitan dengan perspektif politik hukum wewenang Mahkamah Konstitusi sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. 2. Wawancara Pengumpulan bahan hukum sekunder yang berupa pendapat ahli dengan cara wawancara dilakukan dengan melakukan tanya-jawab secara langsung kepada narasumber yang dianggap mempunyai kualitas dan pengalaman dengan panduan daftar pertanyaan yang sudah penulis persiapkan terlebih dahulu. Dalam penelitian ini penulis mengambil pendapat ahli/ pakar Hukum Tata Negara yang memahami permasalahan sehubungan dengan judul tesis penulis yaitu: Dr. W. Riawan Tjandra, SH.,M. Hum selaku dosen di Universitas Atmajaya Yogyakarta dan Dr. Enny Nurbaningsih,

8 SH., M. Hum selaku dosen di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. E. Proses Berpikir Proses berpikir yang digunakan untuk menarik kesimpulan dalam penelitian ini yakni proses berpikir deduktif. Proses berpikir deduktif yakni metode berpikir yang bertolak atau dimulai dari preposisi yang bersifat umum yang telah diakui kebenarannya dan berakhir pada suatu kesimpulan yang bersifat khusus serta merupakan pengetahuan yang baru. 4. Pembahasan A. Analisis Wewenang Mahkamah Konstitusi Sebagai Penyelenggara Kekuasaan Kehakiman dilihat dari Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Kekhasan putusan Mahkamah Konstitusi adalah putusannya yang bersifat final dalam menyelesaikan masalah-masalah konstitusi, serta kewenangan dalam megadili yang pertama dan terakhir, yang berarti putusan Mahkamah Konstitusi tidak dapat dimintakan banding ataupun kasasi sebagaimana putusan yang dihasilkan oleh Mahkamah Agung, selain itu kekhasan kewenangan Mahkamah Konstitusi terdapat di dalam kewenangan konstitusionalnya (melaksanakan prinsip check and balances), yang tidak dimiliki oleh lembaga peradilan lain. Fungsi kewenangan itu adalah untuk berperan dalam penyelesaian perkaraperkara sengketa konstitusional antar lembaga negara, pembubaran partai politik, pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, perselisihan tentang hasil pemilu, dan pendapat DPR bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden diduga

9 telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan atau tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela dan/ atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/ atau Wakil Presiden selama massa jabatannya. Kewenangan Mahkamah Konstitusi didasarkan pada ketentuan umum Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman yang menyebutkan Mahkamah Konstitusi adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Di dalam setiap pengambilan putusan yang dihasilkan, Mahkamah Konstitusi mendasarkan pada Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman jo. Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia. Kata Merdeka disini berarti terbebas dari campur tangan lembaga lain ataupun pemerintah, artinya di dalam setiap pengambilan putusan, hakim konstitusi bersifat independen dan tidak memihak, serta tidak ada intervensi lembaga negara lain. Sengketa hukum Tata Usaha Negara (TUN) yaitu memeriksa memutus dan menyelesaikan sengketa TUN (Pasal 47 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 Tentang perubahan atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986). Pengertian sengketa TUN adalah sengketa yang timbul dalam bidang TUN antara orang atau badan hukum perdata dan badan atau pejabat TUN,

10 baik di pusat maupun di daerah sebagai akibat dari dikeluarkannya keputusan TUN, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan perundang-undangan yang berlaku. Adapun objek sengketa TUN adalah keputusan tata usaha negara yang ditetapkan secara tertulis yang dikeluarkan oeh pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Implikasi Peran Mahkamah Konstitusi secara nyata dapat dilihat pada penyelesaian perkara-perkara konstitusi antara lain: Pertama, Peran Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara pengujian Undang-Undang Dasar. Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam perkara ini adalah, yang kemudian diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi No.6/PMK/2005 tentang pedoman beracara dalam perkara pengujian undangundang. Dalam peraturan ini terdapat dua pengertian pengujian undang-undang yaitu pengujian materiil, dan pengujian formil. Pengujian materiil adalah pengujian undang-undang yang berkenaan dengan materi muatan dalam ayat, Pasal, dan/ atau bagian undang-undang yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara RI; sedangkan pengujian formil adalah pengujian undang-undang yang berkenaan dengan proses pembentukan undang-undang dan hal-hal lain yang tidak termasuk dalam pengujian materiil. Kedua, Peran Mahkamah Konstitusi dalam memutus sengketa kewenangan antar lembaga Negara. Dasar kewenangan Mahkamah Konstitusi ini adalah Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang perubahan

11 atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Kewenangan Mahkamah Konstitusi ini juga diatur dalam peraturan Mahkamah Konstitusi No. 8/PMK/2006. Dalam hal ini pemohon adalah lembaga negara yang kewenanganya telah diatur sebagaimana tersebut diatas. Pemohon wajib meguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang kepentingan langsung pemohon dan menguraikan kewenangan yang dipersengketakan serta menyebutkan dengan jelas lembaga negara yang menjadi termohon. Mahkamah Agung tidak dapat menjadi pihak baik pemohon atau termohon dalam sengketa kewenangan teknis peradilan (yustisial). Ketiga, Peran Mahkamah Konstitusi dalam memutus pembubaran Partai Politik, selain berwenang dalam menyelesaikan dan memutus sengketa antar lembaga negara Mahkamah Konstitusi juga mempunyai kewenangan dalam memutus pembubaran partai politik. Dasar kewenangan ini ada Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi jo. PMK No. 12 Tahun 2008 tentang prosedur beracara dalam pembubaran partai politik. Dalam perkara ini yang menjadi pemohon adalah pemerintah. Pemohon wajib menguraikan dengan jelas di dalam uraian permohonanya tentang ideologi asas, tujuan, program dan kegiatan partai politik yang bersangkutan, yang dianggap bertentangan dengan UUD Negara RI. Ideologi dalam panggung politik dunia bermacam-macam namun yang sangat besar peranannya dewasa ini adalah

12 ideologi Liberalisme, Komunisme serta ideologi keagamaan. Dalam masalah inilah bangsa Indonesia menghadapi berbagai benturan kepentingan ideologis yang saling tarik menarik sehingga agar bangsa Indonesia memiliki visi yang jelas bagi masa depan bangsa maka harus membangun ketahanan ideologi yang berbasis pada falsafah bangsa sendiri. Untuk itu peran Mahkamah Konstitusi dalam proses pengawasan dan pembubaran partai politik yang tidak sesuai dengan ideologi, asas, dan tujuan dari Konstitusi bangsa yaitu UUD Negara RI sangat vital agar terciptanya keutuhan Negara kesatuan Republik Indonesia. Keempat, Peran Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara sengketa hasil pemilihan umum/ PHPU. Sengketa ini disebabkan terjadinya pelanggaran dalam tahap-tahap penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu). Dalam mengajukan permohonan perkara sengaketa ini, pemohon adalah perseorangan warga negara Indonesia calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) peserta pemilihan umum, pasangan calon Presiden dan/ atau Wakil Presiden peserta pemilu Presiden dan/ atau Wakil Presiden peserta pemilu serta partai politik peserta Pemilihan umum. Dalam perkara ini yang menjadi termohon adalah komisi pemilihan umum (KPU), apabila dalam hal perselisihan hasil penghitungan suara calon anggota DPRD provinsi dan/ atau DPRA (Dewan Perwakilan Rakyat Aceh) maka Komisi Pemilihan umum Daerah dan atau KIP (Komisi Independen Pemilihan) turut menjadi termohon. Permohonan hanya dapat diajukan dalam jangka waktu 3 x 24 jam (tiga kali dua puluh empat jam) sejak KPU mengumumkan hasil pemilihan umum secara nasional.

13 Kelima, Peran Mahkamah Konstitusi dalam memberikan putusan atas Pendapat DPR mengenai Dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan atau Wakil Presiden Perkara ini sering pula disebut Impeachment. Dalam Pasal 24C ayat (2) menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/ atau Wakil Presiden menurut UUD Negara RI. Mekanisme Impeachment ini adalah satu diantara mekanisme pengawasan serta perimbangan kekuasaan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang baru. Pengaturan bahwa Presiden/ dan atau Wakil Presiden dapat dikenakan tuntutan impeachment terdapat dalam Pasal 7A UUD Negara RI yang menyatakan Presiden dan/ atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh DPR. B. Ideal Politik Hukum tentang Wewenang Mahkamah Konstitusi Sebagai Penyelenggara Kekuasaan Kehakiman dilihat dari Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Keberadaan Mahkamah Konstitusi sudah ideal di Indonesia, jika dibandingkan dan disamakan dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 pada bagian konsideran di dalam pertimbangan tersebut dituliskan tujuan Mahkamah Konstitusi adalah sebagai pengawal konstitusi, dalam hal ini fungsi Mahkamah Konstitusi sebagai perangkat peradilan untuk menyelesaikan permasalahan hukum yang muncul dalam ranah ketatanegaraan Indonesia, sebagaimana tugas dan fungsi Mahkamah Konstitusi yang telah dijabarkan dan dibahas dalam bab-bab sebelumnya. Jika dilihat di dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang perubahan atas

14 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, tugas dan kewenangannya telah jelas disebutkan, namun apabila dilihat dari fakta-fakta yang ada di lapangan terkait banyaknya kasus-kasus sengketa yang harus diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi dalam hal penyelesaian hasil pemilihan umum dalam hal ini sengketa pemilukada yang diajukan dari berbagai daerah di Indonesia, maka tugas Mahkamah Konstitusi sangat berat. Sedangkan sebagaimana tertuang di dalam undang-undang Mahkamah Konstitusi jelas disebutkan bahwa hakim Mahkamah Konstitusi hanya terdiri dari sembilan hakim, hal itu sangat memberatkan kinerja hakim dan secara tidak langsung juga mempengaruhi terhadap putusan yang dihasilkan oleh hakim Mahkamah Konstitusi. Untuk itu, keberadaan undang-undang Mahkamah Konstitusi sebagai dasar pembentukkan Mahkamah Konstitusi di Indonesia, perlu dikaji ulang dalam hal jumlah hakim yang memeriksa perkara terutama perkara yang berkenaan dengan sengekta Pemilukada dari berbagai daerah di Indonesia. Kewenangan Mahkamah Konstitusi telah sesuai dengan Politik hukum Indonesia namun masih ada yang perlu disesuaikan kembali, yaitu pengawasan internal yang belum berjalan dengan baik. Ada juga kendala seperti adanya hakim yang tidak mau tunduk oleh Mahkamah Konstitusi masih ada pro dan kontra. Yang jelas Mahkamah Konstitusi harus menginternalisasikan integritas (wawancara dengan Dr. W. Riawan Tjandra, SH.,M. Hum Dosen Pascasarjana Atmajaya). Namun, menurut analisa penulis jika putusan yang dihasilkan oleh Mahkamah Konstitusi yang bersifat final tidak dapat diajukan banding atau kasasi yang menjadi kekhasan putusan Mahkamah Konstitusi, maka dalam pengambilan

15 putusan tersebut mempertaruhkan integritas para hakim itu sendiri. Putusan yang dihasilkan oleh Mahkamah Konstitusi haruslah sebuah putusan yang benar-benar adil bagi para pihak yang berperkara, tanpa adanya intervensi pihak lain sebagaimana kasus-kasus suap terhadap Akil Mochtar yang notabene adalah hakim Mahkamah Konstitusi dalam setiap pengambilan putusannya. Jika dibandingkan dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi dari Negara lain, misalnya Mahkamah Konstitusi Amerika dan Perancis, kewenangan Mahkamah Konstitusi Indonesia masih jauh lebih sempit dan tidak mengenal adanya pendelegasian perkara dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi atau sebaliknya sebagaimana yang berlaku di Amerika Serikat. Sedangkan Dr. Enny Nurbaningsih, SH.,M. Hum Dosen Pascasarjana Universitas Gadjah Mada menjelaskan bahwa wewenang keberadaan Mahkamah Konstitusi sangat bagus sekali, dengan sistem membangun konstitusional demokrasi. Karena jika tidak ada Mahkamah Konstitusi akan sulit sekali membangun pemerintah yang memenuhi standart check and balances terkait kewenangan yang di Mahkamah Konstitusi. Kewenangan Mahkamah Konstitusi telah sesuai dengan Politik hukum Indonesia karena sebenarnya kehendak adanya Mahkamah Konstitusi ini sudah sangat lama adanya, yang disebut mahkamah yang bisa membanding, artinya segala kewenangan yang dilakukan oleh lembaga legislatif supaya bisa sesuai dengan kebutuhan dan tidak ada pertentangan disitu harus ada lembaga yang bisa membanding. Hal itu sudah lama disampaikan oleh pembentuk undang-undang sejak pembahasan UUD Negara RI.

16 Mahkamah Konstitusi bukan lembaga satu-satunya yang menegakkan konstitusi. Masing-masing tergantung pada tugas, fungsi dan wewenangnya. Jika satu lembaga dengan yang lain menjalankan wewenang tugas dan fungsinya sesuai dengan peraturan per-uu jadi tidak ada masalah. Jadi yang terpokok itu harus dilihat dari sisi sejauh mana kewenangan masing-masing lembaga itu dilaksanakan, jika ada masalah pada suatu kelembagaan begitu selesai harusnya menjadi masalah lembaga tersebut, bukan semata-mata diserahkan kepada Mahkamah Konstitusi. Dengan satu kewajiban empat kewenangan itu, untuk saat ini sudah memadai. Tetapi kewenangan, tapi tersebut juga bisa ditambah namun harus ada perbaikan di semua lini/ kelembagaan jadi semua berfungsi dengan baik, baik lembaga negara maupun state gency nya/ lembaga negara bantunya. Jika semuanya bisa berjalan dengan baik dan akan ditambah lagi kewenangan seperti yang terjadi di beberapa negara, dengan misalnya: constitusional complaint bisa saja, dalam rangka memperkuat lagi yang namanya pemerintah yang demokratis, jadi tidak boleh ada perbuatan yang dilakukan oleh pemerintah ataupun aparatur pemertintah yang kemudian melanggar hak konstitusionalitas. jika ada masalah seperti itu boleh diajukan ke Mahkamah Konstitusi tapi itu dalam bentuk undang-undang. Terkait dengan kelemahan yang ada dalam kewenangan Mahkamah Konstitusi tersebut, politik hukum bertugas untuk membenahi dan menyempurnakan lagi kelemahan-kelemahan yang ada dalam kewenangan Mahkamah Konstitusi. Politik hukum bertugas untuk membenahi sistem hukum yang ada selama ini untuk memenuhi perubahan kehidupan dalam masyarakat.

17 Dari uraian di atas, Mahkamah Konstitusi dapat dikatakan mempunyai kedudukan yang sederajat dan sama tinggi dengan Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung sama-sama merupakan pelaksana cabang kekuasaan kehakiman (judiciary) yang merdeka dan terpisah dari cabang-cabang kekuasaan lain, yaitu pemerintah (executive) dan lembaga permusyawaratan perwakilan (legislature). Kedua mahkamah ini sama-sama berkedudukan hukum di Jakarta sebagai ibukota Negara Republik Indonesia. Hanya struktur kedua organ kekuasaan kehakiman ini terpisah dan berbeda sama sekali satu sama lain. Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan tingkat pertama dan terakhir tidak mempunyai struktur organisasi sebesar Mahkamah Agung yang merupakan puncak sistem peradilan yang strukturnya bertingkat secara vertikal dan secara horizontal mencakup empat lingkungan peradilan, yaitu lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan tata usaha negara, lingkungan peradilan agama, dan lingkungan peradilan militer. Keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pemegang kekuasaan kehakiman yang bersifat final di Indonesia merupakan sebuah konsekuensi kedudukan. Secara harfiah, frase final dan mengikat memiliki keterkaitan makna satu sama lain. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, frase final berarti tahapan (babak) terakhir dari rangkaian pemeriksaan (pekerjaan, pertandingan). Sedangkan frase mengikat berarti menguatkan (mencengkam). Bertolak dari arti harfiah ini, maka frase final dan mengikat memiliki arti yang saling terkait, yang berarti akhir dari suatu proses pemeriksaan, telah memiliki kekuatan mengeratkan atau menyatukan semua kehendak dan tidak

18 dapat dibantah lagi. Makna harfiah tersebut, bila dikaitkan dengan sifat final dan mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi, artinya telah tertutup bagi segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum setelahnya (misal: Kasasi atau Peninjauan Kembali Mahkamah Agung). 5. PENUTUP A. Kesimpulan Dari pembahasan bab-bab di atas dapat disimpulkan bahwa: 1. Di dalam setiap pengambilan putusan yang dihasilkan, Mahkamah Konstitusi mendasarkan pada Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman jo. Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia. Kata Merdeka disini berarti terbebas dari campur tangan lembaga lain ataupun pemerintah, artinya di dalam setiap pengambilan putusan, hakim konstitusi bersifat independen dan tidak memihak, serta tidak ada intervensi lembaga negara lain. Kewenangan Mahkamah Konstitusi telah sesuai dengan Politik hukum Indonesia namun masih ada yang perlu disesuaikan kembali, yaitu pengawasan internal yang belum berjalan dengan baik. Ada juga kendala seperti adanya hakim yang tidak mau tunduk oleh Mahkamah Konstitusi/ masih ada pro dan kontra. Yang jelas Mahkamah Konstitusi harus menginternalisasikan integritas..

19 2. Keberadaan Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan RI untuk saat ini sudah cukup ideal, kewenangan Mahkamah Konstitusi di Indonesia tidaklah seluas kewenangan yang ada pada Negara lain. Mahkamah Konstitusi di Indonesia mengadopsi sistem keberadaan Mahkamah Konstitusi Negara lain, namun masih memerlukan pembenahan akibat adanya kelemahan-kelemahan yang ada. Kelemahan tersebut berkaitan dengan integritas hakim dalam pengambilan putusan serta banyaknya kasus yang harus diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi dengan cepat, sehingga putusan yang dihasilkan masih jauh dari yang diharapkan, Jika dilihat di dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, tugas dan kewenangannya telah jelas disebutkan, namun apabila dilihat dari fakta-fakta yang ada di lapangan terkait banyaknya kasus-kasus sengketa yang harus diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi dalam hal penyelesaian hasil pemilihan umum yang diajukan dari berbagai daerah di Indonesia, maka tugas Mahkamah Konstitusi sangat berat. Sedangkan di dalam undang-undang Mahkamah Konstitusi jelas disebutkan bahwa hakim Mahkamah Konstitusi hanya terdiri dari sembilan hakim, hal itu sangat memberatkan kinerja hakim dan secara tidak langsung juga mempengaruhi terhadap putusan yang dihasilkan oleh hakim Mahkamah Konstitusi. Untuk itu, keberadaan undang-undang Mahkamah Konstitusi sebagai dasar pembentukkan Mahkamah Konstitusi di Indonesia, perlu dikaji ulang dalam hal jumlah hakim yang memeriksa perkara terutama

20 perkara yang berkenaan dengan sengketa Pemilukada dari berbagai daerah di Indonesia. B. Saran Dilihat dari fakta-fakta yang ada di lapangan terkait banyaknya kasuskasus sengketa yang harus diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi dalam hal penyelesaian hasil pemilihan umum yang diajukan dari berbagai daerah di Indonesia, maka tugas Mahkamah Konstitusi sangat berat. Sedangkan di dalam undang-undang Mahkamah Konstitusi jelas disebutkan bahwa hakim Mahkamah Konstitusi hanya terdiri dari sembilan hakim, hal itu sangat memberatkan kinerja hakim dan secara tidak langsung juga mempengaruhi terhadap putusan yang dihasilkan oleh hakim Mahkamah Konstitusi. Keberadaan undang-undang Mahkamah Konstitusi sebagai dasar pembentukkan Mahkamah Konstitusi di Indonesia, perlu dikaji ulang dalam hal jumlah hakim yang memeriksa perkara terutama perkara yang berkenaan dengan sengketa Pemilukada dari berbagai daerah di Indonesia. Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan dalam menangani peradilan tata negara hendaknya dapat berlaku objektif terutama dalam penyelesaian perkara pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara RI. Selain sebagai lembaga negara pembuat undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat adalah suatu lembaga politik, dalam pembentukan undang-undang terkadang terjadi political bargaining (tawar menawar) yang bernuansa pada kompromi politis (dapat juga konsensus/ kesepakatan) yang dituangkan dalam Pasal yang terkadang kurang/

21 tidak dapat mencerminkan kepentingan umum, melainkan hanya untuk kepentingan golongan bahkan kepentingan pribadi, untuk itu Mahkamah Konstitusi harus lebih pro aktif serta melaksanakan kewenangannya terutama dalam pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara RI, sehingga produk hukum tersebut dapat menjadi aspirasi bagi seluruh rakyat Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Hadjar, A. Fickar, dkk (Tim Perumus/Penyusun), 2003, Pokok-Pokok Pikiran dan Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, KRHN dan Kemitraan, Jakarta Nusantara, Abdul Hakim G, Hakim 2002, Mahkamah Konstitusi: Perspektif Politik dan Hukum, Kompas, 24 September 2002 Huda, Ni matul, 2004, Politik Ketatanegaraan Indonesia, Kajian terhadap Dinamika Perubahan UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta Soekanto Soerjono, dan Sri Mamudji, 2003, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta Perundang-undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung Sumber Internet http://www. Mahkamah konstitusi.go.id /public /content /infouum /penelitian /pdf1- Penelitian% 20 Efektifitas- upload.pdf/ diakses tanggal 27 Agustus 2014 pukul. 22.35 WIB