BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. (simptoms kurang dari 3 minggu), subakut (simptoms 3 minggu sampai

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011).

BAB 1 PENDAHULUAN. Asma adalah suatu inflamasi kronik dari saluran nafas yang menyebabkan. aktivitas respirasi terbatas dan serangan tiba- tiba

Prevalens Nasional : 5,0% 5 Kabupaten/Kota dengan prevalens tertinggi: 1.Aceh Barat 13,6% 2.Buol 13,5% 3.Pahwanto 13,0% 4.Sumba Barat 11,5% 5.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

ASMA DAN PENDIDIKAN JASMANI OLAHRAGA DAN KESEHATAN (PENJASORKES) DI SEKOLAH. I Made Kusuma Wijaya

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal

BAB 1 PENDAHULUAN. pada saluran napas yang melibatkan banyak komponen sel dan elemennya, yang sangat mengganggu, dapat menurunkan kulitas hidup, dan

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung

ABSTRAK PREVALENSI INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT SEBAGAI PENYEBAB ASMA EKSASERBASI AKUT DI POLI PARU RSUP SANGLAH, DENPASAR, BALI TAHUN 2013

BAB 1 PENDAHULUAN. udara ekspirasi yang bervariasi (GINA, 2016). Proses inflamasi kronis yang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian. Semarang pada bulan Maret sampai Mei 2013.

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kelompok gangguan saluran pernapasan kronik ini. Dalam beberapa

Asma sering diartikan sebagai alergi, idiopatik, nonalergi atau gabungan.

PENATALAKSANAAN ASMA EKSASERBASI AKUT

BAB I PENDAHULUAN. memburuk menyebabkan terjadinya perubahan iklim yang sering berubahubah. yang merugikan kesehatan, kususnya pada penderita asma.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Asma merupakan penyakit kronis saluran pernapasan yang sering dijumpai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. endoskopis berupa polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS

M.D. : Faculty of Medicine, University of Indonesia, Pulmonologist: Faculty of Medicine, Univ. of Indonesia, 2007.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA Atopi, atopic march dan imunoglobulin E pada penyakit alergi

2006 Global Initiative for Asthma (GINA) tuntunan baru dalam penatalaksanaan asma yaitu kontrol asma

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Rinitis Alergi adalah peradangan mukosa saluran hidung yang disebabkan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI. ke waktu karena perkembangan dari ilmu pengetahuan beserta. pemahaman mengenai patologi, patofisiologi, imunologi, dan genetik

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Bronkitis pada Anak Pengertian Review Anatomi Fisiologi Sistem Pernapasan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ini. Asma bronkial terjadi pada segala usia tetapi terutama dijumpai pada usia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kata Asthma berasal dari bahasa yunani yang berarti terengah-engah atau

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan. penelitian, manfaat penelitian sebagai berikut.

LAPORAN PENDAHULUAN ASTHMA ATTACK

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit paru-paru merupakan suatu masalah kesehatan di Indonesia, salah

ASMA BRONKIALE: KENALI LEBIH DEKAT DAN KENDALIKAN KEKAMBUHANNYA

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB I PENDAHULUAN. sering timbul dikalangan masyarakat. Data Report Word Healt Organitation

AKTIVITAS FISIK (OLAHRAGA) PADA PENDERITA ASMA

Laporan Kasus SINUSITIS MAKSILARIS

PENATALAKSANAAN ASMA MASA KINI

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tulang kepala yang terbentuk dari hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala. 7 Sinus

PENGARUH PEMBERIAN SENAM ASMA TERHADAP FREKWENSI KEKAMBUHAN ASMA BRONKIAL

BAB 6 PEMBAHASAN. Penelitian ini mengikutsertakan 61 penderita rinitis alergi persisten derajat

BAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS/ RS Dr M DJAMIL PADANG

BAB II. Landasan Teori. keberhasilan individu untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada

Famili : Picornaviridae Genus : Rhinovirus Spesies: Human Rhinovirus A Human Rhinovirus B

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Asma adalah penyakit saluran nafas kronis yang penting

BAB 1 PENDAHULUAN. Secara fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur

BAB I PENDAHULUAN. paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Definisi klinis rinitis alergi adalah penyakit. simptomatik pada hidung yang dicetuskan oleh reaksi

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saat ini kita telah hidup di zaman yang semakin berkembang, banyaknya inovasi yang telah bermunculan, hal ini

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik saluran

Suradi, Dian Utami W, Jatu Aviani

BAB I PENDAHULUAN. umumnya. Seseorang bisa kehilangan nyawanya hanya karena serangan

BAB I PENDAHULUAN. reversible di mana trakea dan bronkus berespon secara hiperaktif terhadap stimuli

BAB I PENDAHULUAN. organisme berbahaya dan bahan-bahan berbahaya lainnya yang terkandung di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang muncul membingungkan (Axelsson et al., 1978). Kebingungan ini tampaknya

BAB II TINJUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. bronkus. 3 Global Initiative for Asthma (GINA) membagi asma menjadi asma

BAB I PENDAHULUAN. Bronkitis menurut American Academic of Pediatric (2005) merupakan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II LANDASAN TEORI

Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan. Sistem Imunitas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris,

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. S DENGAN GANGGUAN SISTEM PERNAFASAN ASMA BRONKHIAL DI RUANG ANGGREK BOUGENVILLE RSUD PANDAN ARANG BOYOLALI

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bronchitis adalah suatu peradangan yang terjadi pada bronkus. Bronchitis

kekambuhan asma di Ruang Poli Paru RSUD Jombang.

DEFINISI BRONKITIS. suatu proses inflamasi pada pipa. bronkus

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat, batuk-batuk terutama pada malam

Pemakaian obat bronkodilator sehari- hari : -Antikolinergik,Beta2 Agonis, Xantin,Kombinasi SABA+Antikolinergik,Kombinasi LABA +Kortikosteroid,,dll

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Maria Ulfa Pjt Maria Lalo Reina Fahwid S Riza Kurnia Sari Sri Reny Hartati Yetti Vinolia R

BAB I PENDAHULUAN. Paru-paru merupakan organ utama yang sangat penting bagi kelangsungan

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit alergi sebagai reaksi hipersensitivitas tipe I klasik dapat terjadi pada

BAB III METODE DAN PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODE DAN PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

LAPORAN KASUS (CASE REPORT)

Pertukaran gas antara sel dengan lingkungannya

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB V PEMBAHASAN. anak kelas 1 di SD Negeri bertaraf Internasional dan SD Supriyadi sedangkan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1. PENDAHULUAN. hidung akibat reaksi hipersensitifitas tipe I yang diperantarai IgE yang ditandai

BAB II TINJAUAN TEORITIS. oleh hiperaktivitas bronkus, yaitu kepekaan saluran napas terhadap

BAB I PENDAHULUAN. negara maju tetapi juga di negara berkembang. Menurut data laporan dari Global

BAB I PENDAHULUAN. pungkiri. Banyak penyakit telah terbukti menjadi akibat buruk dari merokok,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

6 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Asma 1.1.1 Definisi Asma dan rinitis alergi merupakan penyakit alergi yang saat ini masih menjadi problem kesehatan karena pengaruhnya dalam menurunkan tingkat kualitas hidup dan dibutuhkan biaya besar dalam penatalaksanaannya. Dengan angka prevalensi yang berbeda-beda antara satu kota dengan kota lainnya dalam satu negara, di Indonesia prevalensi asma berkisar antara 5-7%. 11 Definisi asma menurut Global Initiative for Asthma (GINA), asma adalah gangguan inflamasi kronik pada saluran napas dengan berbagai sel yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil dan limfosit T. Pada individu yang rentan inflamasi, mengakibatkan gejala episode mengi yang berulang, sesak napas, dada terasa tertekan, dan batuk khususnya pada malam atau dini hari. Gejala ini berhubungan dengan obstruksi saluran napas yang luas dan bervariasi dengan sifat sebagian reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi ini juga berhubungan dengan hipereaktivitas jalan napas terhadap berbagai rangsangan. 12 6

7 1.1.2 Patofisiologi Penyakit asma merupakan proses inflamasi dan hipereaktivitas saluran napas yang akan mempermudah terjadinya obstruksi jalan napas. Kerusakan epitel saluran napas, gangguan saraf otonom, dan adanya perubahan pada otot polos bronkus juga diduga berperan pada proses hipereaktivitas saluran napas. Peningkatan reaktivitas saluran nafas terjadi karena adanya inflamasi kronik yang khas dan melibatkan dinding saluran nafas, sehingga aliran udara menjadi sangat terbatas tetapi dapat kembali secara spontan atau setelah pengobatan. Hipereaktivitas tersebut terjadi sebagai respon terhadap berbagai macam rangsang. Dikenal dua jalur untuk bisa mencapai keadaan tersebut. Jalur imunologis yang terutama didominasi oleh IgE dan jalur saraf otonom. Pada jalur yang didominasi oleh IgE, masuknya alergen ke dalam tubuh akan diolah oleh APC (Antigen Presenting Cells), kemudian hasil olahan alergen akan dikomunikasikan kepada sel Th ( T penolong ) terutama Th2. Sel T penolong inilah yang akan memberikan intruksi melalui interleukin atau sitokin agar sel-sel plasma membentuk IgE, sel-sel radang lain seperti mastosit, makrofag, sel epitel, eosinofil, neutrofil, trombosit serta limfosit untuk mengeluarkan mediator inflamasi seperti histamin, prostaglandin (PG), leukotrien (LT), platelet activating factor (PAF), bradikinin, tromboksin (TX), dan lain-lain. Sel-sel ini bekerja dengan mempengaruhi organ sasaran yang dapat menginduksi kontraksi otot polos saluran pernapasan sehingga menyebabkan peningkatan

8 permeabilitas dinding vaskular, edema saluran napas, infiltrasi sel-sel radang, hipersekresi mukus, keluarnya plasma protein melalui mikrovaskuler bronkus dan fibrosis sub epitel sehingga menimbulkan hipereaktivitas saluran napas. Faktor lainnya yang dapat menginduksi pelepasan mediator adalah obat-obatan, latihan, udara dingin, dan stress. 13 Selain merangsang sel inflamasi, terdapat keterlibatan sistem saraf otonom pada jalur non-alergik dengan hasil akhir berupa inflamasi dan hipereaktivitas saluran napas. Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Reflek bronkus terjadi karena adanya peregangan nervus vagus, sedangkan pelepasan mediator inflamasi oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Keterlibatan sel mast tidak ditemukan pada beberapa keadaan seperti pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO 2. Reflek saraf memegang peranan pada reaksi asma yang tidak melibatkan sel mast. Ujung saraf eferen vagal mukosa yang terangsang menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah yang menyebabkan terjadinya bronkokontriksi, edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi. 14

9 Gambar 1. Patofisiologi Asma 15 1.1.3 Faktor Predisposisi Etiologi asma masih menjadi perdebatan di kalangan para ahli, namun secara umum terjadinya asma dipengaruhi oleh faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik diantaranya riwayat atopi, pada penderita asma biasanya mempunyai keluarga dekat yang juga memiliki alergi. Hipereaktivitas bronkus ditandai dengan saluran napas yang sangat sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen atau iritan. Jenis kelamin, pada pria merupakan faktor risiko asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun, prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak perempuan. Menjelang dewasa perbandingan tersebut kurang lebih berjumlah sama dan bertambah banyak pada perempuan usia menopause. Obesitas, ditandai dengan peningkatan Body Mass Index

10 (BMI) > 30kg/m 2. Mekanismenya belum diketahui pasti, namun diketahui penurunan berat badan penderita obesitas dengan asma dapat memperbaiki gejala fungsi paru, morbiditas dan status kesehatan. 12 Alergen dalam lingkungan tempat tinggal seperti tungau, debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan kulit binatang seperti anjing, kucing, dll adalah faktor lingkungan yang dapat mencetuskan terjadinya asma. Begitu pula dengan serbuk sari dan spora jamur yang terdapat di luar rumah. Faktor lainnya yang berpengaruh diantaranya alergen makanan (susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat, kiwi, jeruk, bahan penyedap, pengawet, dan pewarna makanan), bahan iritan (parfum, household spray, asap rokok, cat, sulfur,dll), obat-obatan tertentu (golongan beta blocker seperti aspirin), stress/gangguan emosi, polusi udara, cuaca, dan aktivitas fisik. 16 1.1.4 Diagnosis Diagnosis asma yang tepat, penting dalam memudahkan penanganan penyakit asma. Diagnosis asma dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Secara klinis ditemukan gejala berupa sesak episodik, mengi (wheezing), batuk kronik berulang dan dada terasa sakit/sesak. Pengukuran fungsi paru digunakan untuk menilai keterbatasan arus udara dan reversibilitas yang dapat membantu diagnosis. Pemeriksaan status alergi dilakukan untuk mengidentifikasi adanya penyakit alergi lain pada pasien maupun

11 keluarganya seperti rhinitis alergi. Pengukuran respons dapat membantu diagnosis pada penderita dengan gejala konsisten tetapi fungsi paru normal. 17 Penemuan tanda pada pemeriksaan fisik pasien asma, tergantung dari episode gejala dan derajat obstruksi saluran napas. Melalui pemeriksaan fisik pasien asma, tampak adanya perubahan bentuk anatomi thoraks dan ditemukan perubahan cara bernapas. Pada pemeriksaan inpeksi dapat ditemukan pasien menggunakan otot napas tambahan di leher, perut, dan dada, napas cepat hingga sianosis, juga kesulitan bernapas. Ekspirasi memanjang dan mengi dapat ditemukan saat dilakukan auskultasi pada pasien asma. Dalam praktek sehari-hari jarang ditemui kesulitan dalam membuat diagnosis asma, tetapi sering pula dijumpai pasien non-asma yang mempunyai mengi, sehingga pemeriksaan penunjang diperlukan dalam menegakkan diagnosis. 16 Pemeriksaan spirometri merupakan cara yang paling cepat dan sederhana untuk menegakkan diagnosis asma dengan melihat respon respon pengobatan menggunakan bronkodilator. Pemeriksaan dilakukan sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator hirup golongan adrenergik beta. Dinyatakan asma bila didapat peningkatan Volume ekspirasi paksa detik pertama / VEP 1 sebanyak 12% atau ( 200ml ). Bila respon yang didapat 12% atau ( 200ml ) belum pasti menunjukkan bahwa pasien tersebut tidak menderita asma, hal tersebut dapat dijumpai pada pasien yang sudah dalam keadaan normal atau mendekati normal. 12

12 Peak expiratory flow / volume ekspirasi paksa dapat diukur menggunakan alat Peak flow meter / PFM yang merupakan alat penunjang diagnosis dan monitoring asma. Alat ini relatif murah, praktis, dan ideal digunakan pasien untuk menilai obstruksi jalan napas di rumah. Pemeriksaan spirometri tetap lebih diutamakan dibanding PFM oleh karena; PFM tidak begitu sensitif dibanding spirometer untuk diagnosis obstruksi saluran napas. PFM mengukur terutama saluran napas besar, PFM dibuat sebagai alat monitoring asma bukan sebagai alat diagnostik utama. 12 Uji provokasi bronkus untuk menunjukkan adanya hipereaktivitas bronkus dapat dilakukan jika pemeriksaan spirometri normal. Beberapa cara melakukan uji provokasi ini diantaranya dengan histamin, metakolin, kegiatan jasmani, larutan garam hipertonik, dan bahkan dengan aqua destilata. Dianggap bermakna bila didapat penurunan VEP 1 sebesar 20% atau lebih. Uji kegiatan jasmani, dilakukan dengan meminta pasien berlari cepat selama 6 menit sehingga mencapai denyut jantung 80-90% dari maksimum. Dianggap bermakna bila menunjukkan penurunan APE (Arus Puncak Respirasi) paling sedikit 10%. APE dapat digunakan untuk diagnosis penderita yang tidak dapat melakukan pemeriksaan VEP 1. 16 Foto dada / X-ray thorax dilakukan untuk menyingkirkan penyebab lain obstruksi saluran napas dan adanya kecurigaan terhadap proses

13 patologis di paru atau komplikasi asma seperti pneumotoraks, pneumomediastinum, atelektasis, dan lain-lain. 16 1.1.5 Klasifikasi Tidak mudah membedakan antara satu jenis asma dengan jenis asma lainnya. Dahulu asma dibedakan menjadi asma alergi (ekstrinsik) yang muncul pada waktu kanak-kanak dengan mekanisme serangan melalui reaksi alergi tipe 1 terhadap alergen dan asma non-alergik (intrinsik) bila tidak ditemukan reaksi hipersensitivitas terhadap alergen. Namun, dalam prakteknya seringkali ditemukan seorang pasien dengan kedua sifat alergi dan non-alergi, sehingga Mc Connel dan Holgate membagi asma kedalam 3 kategori, 1) Asma alergi/ekstrinsik; 2) Asma non-alergi/intrinsik; 3) Asma yang berkaitan dengan penyakit paru obstruksif kronik. 17 Menurut Global Initiative for Asthma (GINA) asma dibagi menjadi 4 yaitu : 12 - Asma intermitten, ditandai dengan : 1) gejala kurang dari 1 kali seminggu; 2) eksaserbasi singkat; 3) gejala malam tidak lebih dari 2 kali sebulan; 4) bronkodilator diperlukan bila ada serangan; 5) jika serangan agak berat mungkin memerlukan kortikosteroid; 6) APE atau VEP 1 80% prediksi; 7) variabiliti APE atau VEP 1 < 20% - Asma persisten ringan, ditandai dengan : 1) gejala asma malam >2x/bulan; 2) eksaserbasi >1x/minggu, tetapi <1x/hari; 3)

14 eksaserbasi mempengaruhi aktivitas dan tidur; 4) membutuhkan bronkodilator dan kortikosteroid; 5) APE atau VEP 1 80% prediksi; 6) variabiliti APE atau VEP 1 20-30% - Asma persisten sedang, ditandai dengan : 1) gejala hampir tiap hari; 2) gejala asma malam >1x/minggu; 3) eksaserbasi mempengaruhi aktivitas dan tidur; 4) membutuhkan steroid inhalasi dan bronkhodilator setiap hari; 5) APE atau VEP 1 60-80%; 6) variabiliti APE atau VEP 1 >30% - Asma persisten berat, ditandai dengan : 1) APE atau VEP 1 <60% prediksi; 2) variabiliti APE atau VEP 1 >30% Klasifikasi berdasarkan derajat berat serangan asma menurut GINA, dibagi menjadi tiga kategori : 1). Asma ringan : asma intermiten dan asma persisten ringan; 2) Asma sedang : asma persisten sedang; 3) Asma berat : asma persisten berat. (Tabel 1) Baru-baru ini, GINA mengajukan klasifikasi asma berdasarkan tingkat kontrol asma dengan penilaian meliputi gejala siang, aktivitas, gejala malam, pemakaian obat pelega dan eksaserbasi. GINA membaginya kedalam asma terkontrol sempurna, asma terkontrol sebagian, dan asma tidak terkontrol. (Tabel 2)

15 Tabel 1. Klasifikasi Derajat Berat Serangan Asma menurut GINA 16 Karakteristik Ringan Sedang Berat Aktivitas Dapat berjalan Jalan terbatas Sukar berjalan Dapat berbaring Lebih suka duduk Duduk membungkuk ke depan Bicara Beberapa kalimat Kalimat terbatas Kata demi kata Kesadaran Mungkin terganggu Biasanya terganggu Biasanya terganggu Frekuensi nafas Meningkat Meningkat Sering > 30 kali/menit Retraksi otot bantu napas Umumnya tidak ada Kadang kala ada Ada Mengi Frekuensi nadi Pulsus paradoksus APE sesudah Lemah sampai sedang <100 Tidak ada (<10mmHg) Keras 100-200 Mungkin ada (10-25 mmhg) Keras >120 Sering ada (>25 mmhg) bronkodilator (%prediksi) PaCO 2 SaO 2 >80% <45 mmhg >95% 60-80% <45 mmhg 91-95% <60% <45 mmhg <90% Keterangan : Dalam menentukan klasifikasi tidak seluruh parameter harus dipenuhi. Tabel 2. Tingkat Kontrol Asma menurut GINA 12 Karakteristik Kontrol Penuh Terkontrol Sebagian Tidak Terkontrol (Semua Kriteria) (Salah satu/minggu) Gejala harian Tidak ada ( 2x/mgg) >2x/mgg 3 Keterbatasan Aktivitas Gejala nokturnal/terbangun karena asma Tidak ada Tidak ada Ada Ada Gambaran asma terkontrol sebagian ada dalam setiap minggu Kebutuhan pelega Fungsi paru (APE/VEP1) Eksaserbasi Tidak ada ( 2x/mgg) Normal Tidak ada >2x/mgg <80%prediksi/nilai terbaik 1/tahun 1x/mgg

16 1.2 Rinosinusitis Kronik 1.2.1 Definisi Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi atau peradangan pada salah satu atau lebih mukosa sinus paranasal, pada umumnya disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga penggunaan istilah rinosinusitis untuk menyebutkan kelainan tersebut lebih tepat. Rinosinusitis kronik adalah inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal yang dapat ditegakkan berdasarkan riwayat gejala yang diderita sudah lebih dari 12 minggu, dan sesuai dengan 2 atau lebih kriteria mayor atau 1 kriteria mayor ditambah 2 kriteria minor. 19 1.2.2 Patofisiologi Fungsi sinus normal terkait dengan tiga faktor yaitu sumbatan kompleks osteomeatal, fungsi silia dari epitel, dan kualitas sekret. Rinosinusitis timbul apabila terjadi gangguan pada salah satu faktor atau kombinasi dari beberapa faktor tersebut. Faktor-faktor yang mengganggu fungsi sinus yaitu infeksi virus dan inflamasi alergi sering menimbulkan obstruksi ostium yang menyebabkan menurunnya ventilasi sinus dan mengganggu drainase. Patofisiologi dasar penyakit rinosinusitis kronis ini karena adanya reaksi radang berkelanjutan pada hidung di sekitar regio meatus nasi medius. Infeksi yang terjadi pada saluran napas atas biasanya mengenai mukosa sinus, karena epitel sinus merupakan epitel kuboid bertingkat bersilia yang mirip dengan epitel kolumner bertingkat

17 pada hidung. Hidung akan mengeluarkan ingus yang menyebabkan terjadinya superinfeksi bakterial, kemudian bakteri tersebut dapat masuk melalui ostium menuju ke dalam rongga sinus dan berkembangbiak di dalamnya sehingga menyebabkan obstruksi pada ostium. Saat terjadi obstruksi pada ostium, terjadi retensi sekret, hipoksia lokal dalam sinus, perubahan ph, kerusakan epitel dan fungsi silia. Cairan dalam sinus merupakan media yang baik bagi pertumbuhan bakteri, menimbulkan inflamasi jaringan dan penebalan mukosa sehingga memperberat terjadinya obstruksi pada ostium. 20 1.2.3 Etiologi dan Faktor Predisposisi Faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya rinosinusitis kronik antara lain ISPA akibat virus (Rhinovirus, influenza virus, parainfluenza virus dan Adenovirus), bakteri yang paling umum menjadi penyebab rinosinusitis akut dan rinosinusitis kronik adalah Streptococcus alpha hemolyitic, Staphylococcus aureus, Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenza, dan Moraxella catarrhalis. 21 Jamur Aspergillus dan Candida, polusi udara ( asap rokok, asap pembakaran), faktor genetik, penyakit alergi terutama rinitis alergi, penyakit imunologik, asma, polip hidung, sumbatan pada kompleks osteomeatal, infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan anatomi hidung ( septum deviasi dan hipertrofi konka), diskinesia silia seperti pada sindroma kartagener dan fibrosis kistik. 22

18 1.2.4 Diagnosis Diagnosis rinosinusitis kronis dapat ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik THT dengan rinoskopi anterior dan posterior, pemeriksaan radiologi seperti rontgen ataupun tomografi komputer sinus paranasal dan pemeriksaan mikrobiologi untuk identifikasi kuman patogen melalui sitologi sekret hidung dengan hasil paling baik bisa didapat melalui aspirasi sinus maksila. Tersedianya sarana untuk melakukan nasoendoskopi akan sangat mempermudah dan memperjelas pemeriksaan karena dapat melihat bagian-bagian rongga hidung serta rumitnya dinding lateral rongga hidung dan kompleks osteomeatal. Selain beberapa faktor diatas, perlu ditanyakan adanya faktor predisposisi terjadinya rinosinusitis. 22 Terdapat beberapa keluhan dari penderita rinosinusitis kronik berdasarkan kriteria Task Force on Rhinosinusitis of The American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery dengan keluhan utama yaitu hidung tersumbat disertai rasa/nyeri tekanan pada wajah dan rinore purulen disertai post nasal drip. Khas pada rinosinusitis berupa keluhan nyeri atau rasa tekanan di daerah sinus yang terkena. Nyeri pipi pada sinus maksila, nyeri di antara atau di belakang dua bola mata menandakan sinus etmoid, nyeri di dahi atau seluruh kepala tanda pada sinus frontal, dan pada sinus spenoid nyeri terasa di verteks, oksipital, belakang bola mata dan daerah mastoid. Nyeri alih dapat dirasakan pula pada gigi dan telinga. Gejala lainnya dapat berupa bersin-bersin, hidung

19 berair/rinore, gatal pada hidung, sakit kepala, hiposmia/anosmia, halitosis, post-nasal drip yang menyebabkan batuk dan sesak pada anak, nyeri tekan /rasa penuh pada telinga, mata merah dan berair, faringitis, fatigue, malaise atau demam yang telah berlangsung selama 12 minggu. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior atau endoskopi ditemukan mukosa hidung berwarna merah (hiperemis), edema atau pembengkakan pada konka, discharge (ingus) mukopurulen di meatus media, dan jaringan granulasi. Pada pemeriksaan rinoskopi posterior didapat peningkatan sekret purulen di saerah nasofaring atau post nasal drip. Penting dalam diagnosis rinosinusitis bila gejala yang ditemukan masih dirasa kurang jelas dan hasil pemeriksaan fisik meragukan yaitu dengan melakukan pemeriksaan CT scan sinus sebagai gold standard. Penilaian anatomi hidung dan sinus, ada atau tidaknya penyakit dalam hidung dan sinus secara keseluruhan dan perluasannya dapat diperoleh melalui pemeriksaan ini. Penebalan mukosa dan kompleks osteomeatal dapat dinilai melalui pemeriksaan ini, akan tetapi biaya pemeriksaan yang dibutuhkan cukup mahal. Foto polos dapat dilakukan dengan posisi waters, PA dan lateral. Terbatas hanya dapat menilai kondisi sinus-sinus besar seperti sinus maksila dan frontal, tidak dapat menggambarkan keadaan kompleks osteomeatal. Positif rinosinusitis bila terlihat perselubungan, batas udaracairan ( air fluid level ), penebalan mukosa sinus > 4mm, opasitas komplit sinus maksilaris, dan perubahan struktur tulang.

20 Transilluminasi/Diaphanoskopi merupakan pemeriksaan yang sederhana dan mudah tetapi memiliki banyak keterbatasan sehingga saat ini sudah jarang digunakan. Akan tampak kesuraman pada sinus yang mengalami infeksi atau hipoplasia. Nasal endoskopi dapat digunakan sebagai diagnosis pasti. Pemeriksaan dilakukan dengan pungsi menembus dinding medial sinus maksila melalui meatus inferior menggunakan alat yang dinamakan endoskop. Akan tampak keadaan sinus maksila yang sebenarnya. Bila curiga terdapat alergi hidung, dapat dilakukan pemeriksaan uji tusuk kulit dengan alergen untuk menilai peran alergi, pemeriksaan tes kulit dengan suntikan intrakutan, pemeriksaan IgE total dan IgE spesifik. Pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI) hanya dianjurkan bila rinosinusitis diduga disebabkan oleh jamur atau tumor. 1.3 Hubungan rinosinusitis dan asma Terdapat konsep yang dinyatakan oleh para ahli bahwa rinitis alergi, rinosinusitis, dan asma merupakan manifestasi dari proses inflamasi dalam saluran napas yang berkelanjutan dan bukan merupakan penyakit yang berdiri sendiri-sendiri. Berdasarkan teori terdapat beberapa mekanisme yang berhubungan dengan saluran napas atas (hidung, sinus, laring, faring, dan trakhea) dan saluran napas bawah (bronkhus dan paru-paru). 17 Beberapa konsep mengenai hubungan antara rinosinusitis dan asma, diantaranya: 1) Konsep sekret belakang hidung (post nasal drip), 2) Stimulasi jalur saraf,

21 inflamasi dan overproduksi mukus pada rongga hidung dan sinus dapat mempengaruhi jalan napas pada paru, sehingga menjadi lebih hiperreaktif, 3) Konsep mouth breathing saat terjadi sumbatan pada sinus menyebabkan masuknya partikel-partikel berukuran besar yang biasanya tersaring oleh sistem pertahanan hidung, 4) Abnormalitas imunologik yang serupa pada rinosinusitis dan asma menyebabkan peradangan pada saluran napas, sinus dan paru. 23 Hubungan asma dan rinosinusitis telah banyak dinyatakan dalam literatur. Terdapat hipotesis bahwa perluasan inflamasi dari mukosa hidung berhubungan dengan fungsi paru dan inflamasi pada mukosa bronkhial. Prevalensi rinosinusitis pada pasien asma baik anak maupun dewasa berkisar antara 40-60%. Asma terjadi pada sekitar 40% pasien dengan rinitis alergi. Sebaliknya, rinitis alergi terjadi pada 80-90% pasien dengan asma. Rinitis alergi terdapat pada 60-80% pasien dengan rinosinusitis kronik dan 25-30% pasien dengan sinusitis maksilaris kronis. Penelitian radiografik selama beberapa dekade terakhir menunjukkan bahwa 40%-60% pasien asma (anak dan dewasa) memiliki gambaran abnormal pada pemeriksaan radiografik sinus paranasal yang berkorelasi dengan tingkat keparahan penyakit asma. Pada pasien dengan asma sedang atau berat, manifestasi dari gejala sinus dan abnormalitas pada pemeriksaan CT scan lebih berat daripada penderita asma ringan. Pemeriksaan CT-scan pada pasien dengan penyakit sinus yang nyata, 78% menderita rinitis alergi dan 71% menderita asma.

22 Abnormalitas sinus paranasal yang lebih nyata (dengan pemeriksaan CT scan) tampak pada pasien dengan asma berat. Penyakit sinus paranasal dapat memperburuk asma dan mempersulit pengontrolannya, penyakit sinus paranasal yang berat merupakan faktor independen yang berhubungan dengan eksaserbasi asma berat yang cukup sering. Hal ini menunjukkan bahwa keterlibatan sinus paranasal dapat merupakan faktor risiko bagi keparahan dan morbiditas asma. Ten Brinke et al. (2005) menyatakan faktor risiko yang berhubungan dengan kekambuhan asma antara lain adalah penyakit sinus berat (OR=3,7); refluks gastro esofageal (OR=4,9); infeksi saluran napas berulang (OR=6,9); gangguan psikologis (OR=10,8); dan obstructive sleep apnea (OR=3,4). Penyakit rinosinusitis kronik dan gangguan psikologis merupakan faktor independen terhadap kekambuhan asma dengan adjusted OR 5,5 dan 11,7. 24 Terdapat beberapa gambaran patofisiologi yang sama antara penyakit saluran napas atas dan bawah, terutama pada histologi dan imunologi. Misalnya kesamaan pada gambaran anatomi dinding saluran napas yang diliputi oleh sel epitel kolumner bersilia, kelenjar mukus, vaskularisasi dan inervasi. Dengan mempertimbangkan patofisiologi, baik asma dan rinitis alergi menunjukkan respon alergi segera yang serupa, yang ditandai dengan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskuler dan produksi mukus. Gangguan saluran napas atas dan bawah juga menunjukkan karakteristik yang serupa, yaitu inflamasi kronik meliputi

23 infiltrasi leukosit, keterlibatan eosinofil, limfosit, makrofag, sel mast, sitokin, leukotrin, dan mediator inflamasi lain. 23 Refleks faringobronkial dapat mencetuskan terjadinya hiperesponsivitas jalan napas pada rinosinusitis melalui jalur neuroanatomik yang terhubung antara sinus paranasal dan paru. Jalur ini terdiri dari reseptor pada hidung, faring, dan sinus yang bertugas membawa komponen serabut saraf dari nervus trigeminal dan berhubungan dengan nukleus dorsalis nervus vagus yang mengirimkan serabut parasimpatik melalui nervus vagus ke bronkus. Pada penderita rinosinusitis kronis, mukosa faring rusak dan epitel menipis serta terjadi peningkatan densitas serabut saraf faring. Refleks faringobronkial dapat dipicu oleh drainase mediator inflamasi dan material sinus yang terinfeksi ke dalam faring. 20 Hubungan anatomis antara saluran napas atas dan bawah pada pasien dengan rinitis alergi dan rinosinusitis menunjukkan keterlibatan post nasal drip dalam mencetuskan hipereaktivitas bronkus. Beberapa sel, mediator, sitokin, dan neurotransmitter yang berperan dalam patofisiologi asma dan rinosinusitis adalah sama. Walaupun hubungan kausal belum dapat dibuktikan, penelitian klinis menunjukkan tindakan medis dan operatif terhadap sinusitis kronis pada pasien asma dapat mengurangi gejala asma dan gejala pada sinus paranasal. 24 Mekanisme lainnya yang berhubungan dengan rinitis alergi, rinosinusitis, dan asma yaitu terdapatnya respon inflamasi sistemik.

24 Percobaan dengan menginduksi inflamasi pada sinus paranasal menunjukkan perburukan pada hiperesponsivitas bronkus dan peningkatan jumlah eosinofil dan sel mast pada mukosa saluran napas bawah. Penelitian Dixon et al. (2006) 18 menunjukkan bahwa penderita asma dengan rinosinusitis memiliki fungsi paru yang sama dengan penderita asma tanpa rinosinusitis. Pada penderita asma dengan rinosinusitis terdapat peningkatan angka kekambuhan asma dibanding dengan asma tanpa rinosinusitis (5,68 per pasien per tahun vs 3,72 per pasien per tahun). Rinitis alergi dan rinosinusitis berhubungan dengan gejala asma yang lebih berat, dan angka kekambuhan yang lebih tinggi tetapi tidak berpengaruh terhadap fungsi paru. Pengobatan rinosinusitis kronik baik secara medikamentosa maupun pembedahan berhubungan dengan perbaikan subyektif dan obyektif pada asma, ini berarti terdapat keterkaitan antara perbaikan gejala saluran napas atas dengan perbaikan gejala asma 18

25 2.4 Skema Patofisiologi Inflamasi mukosa hidung & sinus Overproduksi mukus Post nasal drip Mouth breathing Infeksi saluran napas Refleks nasobronkhial Spasme otot bronkus Edema mukosa Sumbatan mukus Asma kontrol penuh Rinosinusitis Kronik Asma Asma terkontrol sebagian Asma tak terkontrol Infeksi Saluran napas atas Infeksi Saluran napas bawah Epitel kolumner bersilia Kelenjar mukus Vaskularisasi Inervasi