KAJIAN PENYAKIT BOVINE VIRAL DIARRHEA (BVD) PADA SAPI POTONG IMPOR DI PELABUHAN TANJUNG PRIOK ADITYA PRIMAWIDYAWAN

dokumen-dokumen yang mirip
TINJAUAN PUSTAKA Instalasi Karantina Hewan

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Protein berperan penting untuk perkembangan kecerdasan otak,

PENDAHULUAN. Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun Jumlah (ekor) Frekuensi

BAB III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Instalasi Karantina Hewan Sapi Impor

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Peternakan babi berperan penting dalam meningkatkan perekonomian

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN

Deteksi Antibodi Terhadap Virus Avian Influenza pada Ayam Buras di Peternakan Rakyat Kota Palangka Raya

METODOLOGI PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat Penelitian

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

I. PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. rata-rata konsumsi daging sapi selama periode adalah 1,88

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI

PREVALENSI DAN RISIKO INFEKSI CACING JANTUNG PADA ANJING YANG DIIMPOR MELALUI BANDARA SOEKARNO-HATTA ESMIRALDA EKA FITRI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Metodologi

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Selama tiga dekade ke belakang, infeksi Canine Parvovirus muncul sebagai salah

ASPEK MIKROBIOLOGIS DAGING AYAM BEKU YANG DILALULINTASKAN MELALUI PELABUHAN PENYEBERANGAN MERAK MELANI WAHYU ADININGSIH

Epidemiologi veteriner PKH-UB 2013

LAPORAN ANALISIS RISIKO PEMASUKAN SAPI BIBIT BALI YANG DIKIRIM DARI LOMBOK- NTB KE MAKASSAR TERHADAP PENYAKIT ANTHRAKS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2000 TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

TINGKAT KEAMANAN SUSU BUBUK SKIM IMPOR DITINJAU DARI KUALITAS MIKROBIOLOGI UTI RATNASARI HERDIANA

Proses Penyakit Menular

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pertama kali saat terjadinya perang di Crimea, Malta pada tahun Gejala

FAKTOR RISIKO MANAJEMEN PEMELIHARAAN ANJING TERHADAP KEJADIAN INFEKSI Dirofilaria immitis DI WILAYAH PULAU JAWA DAN BALI RITA MARLINAWATY MANALU

AKABANE A. PENDAHULUAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Letak geografis Kecamatan Kuta Selatan berada di ketinggian sekitar 0-28 meter di

THEILERIOSIS PADA SAPI POTONG IMPOR DARI AUSTRALIA MELALUI PELABUHAN TANJUNG PRIOK RISMA JUNIARTI PAULINA SILITONGA

umum digunakan untuk brucellosis yang di Indonesia umumnya menggunakan teknik Rose Bengal Plate Test (RBPT), Serum Agglutination Test (SAT), dan Compl

*37679 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 82 TAHUN 2000 (82/2000) TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SCREENING IBR DAN DIFERENSIAL LEUKOSIT UNTUK PENGENDALIAN GANGGUAN REPRODUKSI SAPI PO DI DAERAH INTEGRASI JAGUNG-SAPI. Bogor, 8-9 Agustus 2017

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penghasil telur. Ayam bibit bertujuan untuk menghasilkan telur berkualitas tinggi

KAJIAN SEROLOGIS BOVINE VIRAL DIARRHEA (BVD) PADA SAPI POTONG IMPOR DI DAERAH JAWA BARAT MAYANG SUCI SEPTIAWATY

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam broiler pembibit merupakan ayam yang menghasilkan bibit ayam

2015, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 2

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61/Permentan/PK.320/12/2015 TENTANG PEMBERANTASAN PENYAKIT HEWAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam pembibit adalah ayam penghasil telur tetas fertil yang digunakan

HASIL DAN PEMBAHASAN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN KEPALA BADAN KARANTINA PERTANIAN Nomor : 499/Kpts/PD /L/12/2008 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Hewan coba Metode Penelitian 1 Isolasi dan Produksi Antigen E/S Fasciola gigantica

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Maternal antibodi atau yang bisa disebut maternally derived antibodies atau

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

BERITA DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 9 TAHUN 2007 SERI E.5 PERATURAN BUPATI CIREBON NOMOR 7 TAHUN 2007

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2000 TENTANG KARANTINA HEWAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 113/Permentan/PD.410/10/2013 TENTANG

I. PENDAHULUAN. disebabkan oleh mikroorganisme Salmonella enterica serotipe typhi yang

KAJIAN SEROLOGIS BOVINE VIRAL DIARRHEA (BVD) PADA SAPI POTONG IMPOR DI DAERAH BANTEN DEVI AGUSTIANI

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Pedagang Daging

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pengujian Salmonella spp. dengan Metode SNI

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 07/Permentan/OT.140/1/2008 TENTANG

DAFTAR ISI. PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan Penelitian... 2 Manfaat Penelitian... 2 Hipotesis... 2

PENGEMBANGAN CHECKLIST UNTUK AUDIT BIOSEKURITI, HIGIENE, DAN SANITASI DISTRIBUTOR TELUR AYAM BAWANTA WIDYA SUTA

MATERI DAN METODA. Kandang dan Perlengkapannya Pada penelitian ini digunakan dua kandang litter sebesar 2x3 meter yang

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang jumlah penduduknya terus

Mengukur Kemunculan dan Risiko Penyakit

PENYAKIT STRATEGIS RUMINASIA BESAR DAN SITUASINYA DI KALIMANTAN TIMUR

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kebutuhan konsumsi pangan asal hewan di Indonesia semakin meningkat

STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN DAERAH INDUSTRI KECIL MENENGAH KABUPATEN BANYUMAS MUHAMMAD UNGGUL ABDUL FATTAH

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. makanan dan minuman yang cukup, kehidupan manusia akan terganggu sehingga

2015, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 20,

STANDAR PELAYANAN PUBLIK JANGKA WAKTU LAYANAN KARANTINA ( SERVICE LEVEL AGREEMENT )

3. METODE PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

ARTIKEL PENELITIAN HUBUNGAN KONDISI SANITASI DASAR RUMAH DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS REMBANG 2

BAB I PENDAHULUAN. Escherichia coli yang merupakan salah satu bakteri patogen. Strain E. coli yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penetasan telur ada dua cara, yaitu melalui penetasan alami (induk ayam)

INFEKSI CACING JANTUNG PADA ANJING DI BEBERAPA WILAYAH PULAU JAWA DAN BALI : FAKTOR RISIKO TERKAIT DENGAN MANAJEMEN KESEHATAN ANJING FITRIAWATI

A.3. Apakah terdapat peternakan yang sejenis disekitar IKH? Ada Tidak ada

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran

Deskripsi. IMUNOGLOBULIN YOLK (IgY) ANTI Canine parvovirus MURNI UNTUK TERAPI INFEKSI VIRUS PARVO PADA ANJING

BAB I PENDAHULUAN. daging bagi masyarakat (BSN, 2008). Daging sapi sebagai protein hewani adalah

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. (WHO, 2002). Infeksi nosokomial (IN) atau hospital acquired adalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Usaha pembibitan ayam merupakan usaha untuk menghasilkan ayam broiler

I. PENDAHULUAN. Sensus Penduduk 2010 (SP 2010) yang dilaksanakan pada Mei 2010 penduduk

BAB III PEMBAHASAN. Ebola. Setelah model terbentuk, akan dilanjutkan dengan analisa bifurkasi pada

BAB I PENDAHULUAN. Sapi bali merupakan salah satu bangsa sapi asli Indonesia dan keturunan asli

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 50/Permentan/OT.140/10/2006 TENTANG PEDOMAN PEMELIHARAAN UNGGAS DI PEMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. unggas yang dibudidayakan baik secara tradisional sebagai usaha sampingan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... HALAMAN PENGASAHAN... RIWAYAT HIDUP... ABSTRAK... v. KATA PENGANTAR. vii. DAFTAR ISI. ix. DAFTAR TABEL.

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37/Permentan/OT.140/3/2014 TENTANG

DETEKSI KEBERADAAN ANTIBODI ANTI H5N1 MENGGUNAKAN METODE ENZYME-LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA) PADA SERUM SAPI YANG DIVAKSINASI H5N1 NOVIYANTI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Lingkungan Eksternal Penggemukan Sapi. diprediksi oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

PEDOMAN FORMASI JABATAN FUNGSIONAL MEDIK VETERINER DAN PARAMEDIK VETERINER BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. sapi secara maksimal masih terkendala oleh lambatnya pertumbuhan populasi sapi

Transkripsi:

KAJIAN PENYAKIT BOVINE VIRAL DIARRHEA (BVD) PADA SAPI POTONG IMPOR DI PELABUHAN TANJUNG PRIOK ADITYA PRIMAWIDYAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Penyakit Bovine Viral Diarrhea (BVD) pada Sapi Potong Impor di Pelabuhan Tanjung Priok, adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Februari 2015 Aditya Primawidyawan B251130194

RINGKASAN ADITYA PRIMAWIDYAWAN. Kajian Penyakit Bovine Viral Diarrhea (BVD) pada Sapi Potong Impor di Pelabuhan Tanjung Priok. Dibimbing oleh AGUSTIN INDRAWATI dan DENNY WIDAYA LUKMAN. Virus Bovine viral diarrhea (BVD) merupakan penyakit ternak yang sangat infeksius. Virus ini menyebabkan kerugian ekonomi akibat bermacam macam gejala klinis yang ditimbulkan dan merupakan subjek penyakit yang masuk dalam program penanggulangan dan pemberantasan di seluruh dunia. Infeksi BVD memiliki patogenesis yang sangat komplek, dengan infeksi sebelum dan sesudah kebuntingan yang menyebabkan gejala klinis yang bervariasi. Infeksi virus selama kebuntingan menghasilkan infeksi pada fetus, yang dapat menyebabkan kematian embrio dini, efek teratogenik atau hewan yang memiliki infeksi persisten. Hewan dengan status infeksi persisten akan mengeluarkan virus BVD melalui eksresi dan sekresi selama hidupnya dan merupakan rute transmisi utama dalam penularan virus ini. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan suatu kajian serologis tentang penyakit BVD dan mengidentifikasi faktor risiko yang berkaitan dengan pemeliharaan kandang sebagai sumber penularan penyakit BVD pada sapi potong impor. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pencegahan yang efektif dalam perkembangan penyakit BVD pada sapi potong impor asal Australia di feedlot Instalasi Karantina Hewan BBKP Tanjung Priok. Sebanyak 100 sampel darah diambil dari bulan Juli dan Agustus 2014 dengan metode acak sederhana di lima daerah Instalasi Karantina Hewan (IKH) yaitu feedlot di Cianjur, Bogor, Tangerang, Bandung, dan Subang. Kelima wilayah ini merupakan daerah kerja karantina hewan Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok. Pengujian darah terhadap virus BVD dilakukan dengan menggunakan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) antibodi sebagai uji screening awal dan apabila didapatkan hasil positif dilanjutkan ke uji ELISA antigen. Hasil pengujian menunjukkan bahwa 63% (63 dari 100 sampel) positif pada uji ELISA antibodi. Faktor risiko yang terkait dengan penyebaran penyakit BVD selama dalam masa pemeliharaan dan penggemukkan dalam penelitian adalah penerapan biosekuriti pada peternakan (OR=3.316; CI=1.380-7.967) dan pengelolaan limbah kandang dalam peternakan (OR=2.667; CI=1.105-6.434). Kata kunci: BVD, ELISA, faktor risiko \

SUMMARY ADITYA PRIMAWIDYAWAN. Study of Bovine Viral Diarrhea (BVD) in Cattle Imports at Tanjung Priok Port. Supervised by AGUSTIN INDRAWATI and DENNY WIDAYA LUKMAN. Bovine viral diarrhea (BVD) is the most prevalent infectious disease of cattle. It causes financial losses from a variety of clinical manifestations and is the subject of a number of mitigation and eradication schemes around the world. The pathogenesis of BVD infection is complex, with infection pre and post gestation leading to different outcomes. Infection of the dam during gestation results in fetal infection, which may lead to embryonic death, teratogenic effects or the birth of persistenly infected (PI) calves. PI animal shed BVD in their excretions and secretions troughout life and are the primary route of transmissions of the virus. The aim of this study was to perform serological study on BVD and to identify risk factors of keeping imported beef cattle in barns as a source of disease spread. This study was expected to provide information on effective prevention in the spread of BVD in imported beef cattle from Australia in the Animal Quarantine Installation (AQI) at the Agency for Agriculture Quarantine (BPKP), Tanjung Priok. Total of 100 blood samples was collected between July and August 2014 using simple random method in five regions under supervision of BPKP Tanjung Priok, i.e., Cianjur, Bogor, Tangerang, Bandung, dan Subang. The samples were tested using antibody enzime-linked immunosorbent assay (antibody ELISA) as initial screening and the positive results would be tested using antigen ELISA. The study showed that 63.0% (63 of 100 samples) were positive in antibody ELISA but those were negative in antigen ELISA. The risk factors which were related to the BVD occurance involved implementation of farm biosecurity (OR=3.316; CI=1.380-7.967) and waste management (OR=2.667; CI=1.105-6.434). Key words: BVD, ELISA, risk factors

Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KAJIAN PENYAKIT BOVINE VIRAL DIARRHEA (BVD) PADA SAPI POTONG IMPOR DI PELABUHAN TANJUNG PRIOK ADITYA PRIMAWIDYAWAN Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015

Penguji dari luar komisi: Dr Drh Trioso Purnawarman, MSi.

Judul Tesis : Kajian Penyakit Bovine Viral Diarrhea (BVD) pada Sapi Potong Impor Di Pelabuhan Tanjung Priok. Nama : Aditya Primawidyawan NIM : B251130194 Disetujui oleh Komisi Pembimbing Dr Drh Agustin Indrawati, MBiomed. Ketua Dr med vet Drh Denny Widaya Lukman, MSi. Anggota Diketahui oleh Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner Dekan Sekolah Pascasarjana Dr med vet Drh Denny Widaya Lukman, MSi. Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr. Tanggal Ujian: (16 Februari 2015) Tanggal Lulus:

PRAKATA Puji Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah mengaruniakan berkat anugerah dan kesempatan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tesis ini. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus sampai Desember 2014 ialah Kajian Penyakit Bovine Viral Diarrhea (BVD) pada Sapi Potong Impor di Pelabuhan Tanjung Priok. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada Dr Drh Agustin Indrawati, MBiomed. selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr med vet Drh Denny Widaya Lukman, MSi. selaku Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Anggota komisi pembimbing, serta seluruh staf pengajar pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner yang telah membimbing, mengarahkan, membantu dan memberikan saran kepada penulis. Penulis juga menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya kepada Badan Karantina Pertanian yang telah memberikan beasiswa serta tugas belajar sehingga penulis dapat menempuh pendidikan magister pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner Institut Pertanian Bogor. Kepada Kepala Badan Karantina Pertanian, Kepala Balai Besar Karantina Pertanian (BBKP) Tanjung Priok beserta pejabat struktural, fungsional dan staf yang telah memberikan ijin penelitian dan membantu baik materi maupun tenaga serta dorongan semangat hingga terselesaikannya tesis ini. Selain itu penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Ayah, Ibunda, Adik-adik atas perhatian, pengertian dan kasihnya selama ini. Ucapan terimakasih juga diberikan kepada Kepala Departemen IPHK FKH IPB beserta staf yang telah memberikan waktu, tenaga dan kesabarannya pada penulis dalam menyelesaikan tesis ini. Kepada staf laboratorium BBKP Tanjung Priok Balai Besar Uji Standar Karantina Pertanian BBUSKP Rawamangun, Jakarta atas bantuan dan arahannya selama ini. Ungkapan terima kasih disampaikan juga kepada teman-teman Program Khusus S2 Karantina, atas dukungan dan kerjasamanya selama ini. Bogor, Februari 2015 Aditya Primawidyawan

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL vi DAFTAR GAMBAR vi DAFTAR LAMPIRAN vi 1 PENDAHULUAN 1 Latar Belakang Error! Bookmark not defined. Perumusan Masalah Error! Bookmark not defined. Tujuan Penelitian Error! Bookmark not defined. Manfaat Penelitian Error! Bookmark not defined. Ruang Lingkup Penelitian Error! Bookmark not defined. 2 TINJAUAN PUSTAKA (OPSIONAL) 3 3 METODE 1 Bahan Error! Bookmark not defined. Alat Error! Bookmark not defined. Prosedur Analisis Data Error! Bookmark not defined. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Error! Bookmark not defined. Hasil Error! Bookmark not defined. Pembahasan Error! Bookmark not defined. Panduan Teknis Penulisan Error! Bookmark not defined. 5 SIMPULAN DAN SARAN Error! Bookmark not defined. Simpulan Error! Bookmark not defined. Saran Error! Bookmark not defined. DAFTAR PUSTAKA Error! Bookmark not defined. LAMPIRAN 13 RIWAYAT HIDUP 15

DAFTAR TABEL 1. Jumlah dan frekuensi pemasukan sapi potong import Australia 1 2. Data distribusi rancangan sampling BBKP Tanjung Priok 7 3. Hasil pengujian serologis BVD dengan ELISA antibodi 10 4. Hasil pengujian serologis BVD dengan ELISA antigen 11 5. Kelompok faktor program biosecurity dengan hasil ELISA antibod 13 6. Nilai OR dari faktor program biosecurity dengan hasil ELISA antibodi 14 7. Kelompok faktor pengolahan limbah dengan hasil ELISA antibodi 15 8. Nilai OR dari faktor pengolahan limbah dengan hasil ELISA antibodi 15 9. Kelompok faktor pelaporan kasus dengan hasil ELISA antibodi 16 10. Nilai OR dari faktor pelaporan kasus dengan hasil ELISA antibodi 16 11. Kelompok faktor pengobatan hewan dengan hasil ELISA antibodi 17 12. Nilai OR dari faktor pengobatan dengan hasil ELISA antibodi 17 13. Kelompok faktor air minum dengan hasil ELISA antibodi 18 14. Nilai OR dari faktor air minum dengan hasil ELISA antibodi 18 15. Kelompok faktor penanggung jawab dengan hasil ELISA antibodi 19 16. Nilai OR dari faktor penanggung jawab dengan hasil ELISA antibodi 20 17. Kelompok faktor kerapatan kandang dengan hasil ELISA antibodi 20 18.Nilai OR dari faktor kerapatan kandang dengan ELISA antibodi 20 DAFTAR GAMBAR 1. Penyebaran bovine viral diarrhea (OIE) 2013 4 2. Alur pengambilan sampel serum darah (Sudarisman 2011) 7 DAFTAR LAMPIRAN

1. PENDAHULUAN Indonesia memiliki sumber daya alam yang cukup melimpah dan berpotensi dalam sektor peternakan. Sektor peternakan memiliki peranan penting dalam meningkatkan gizi masyarakat melalui penyediaan protein hewani. Kebutuhan protein hewani salah satunya dapat terpenuhi dengan mengonsumsi daging. Menurut laporan Badan Pusat Statistika (BPS) (2013), rata-rata konsumsi protein daging per kapita per hari masyarakat Indonesia pada tahun 2011 sebesar 2.76 gram dan nilai ini meningkat pada tahun 2012 menjadi sebesar 2.92 gram. Peningkatan permintaan protein hewani dalam beberapa tahun terakhir ini disebabkan oleh meningkatnya jumlah penduduk, pendapatan dan kesadaran masyarakat untuk mengonsumsi pangan bergizi tinggi. Hal ini disebabkan oleh naiknya tingkat pendidikan rata-rata penduduk, serta perubahan gaya hidup sebagai arus globalisasi dan urbanisasi (Ajid 2004). Kebutuhan daging sapi dan kerbau Indonesia pada tahun 2012 untuk konsumsi sebanyak 484 ribu ton. Kebutuhan tersebut baru bisa dicukupi dari pemotongan sapi lokal sebanyak 399 ribu ton (82.5%), sehingga masih kurang terdapat kekurangan penyediaan sebesar 85 ribu ton (17.5%). Salah satu cara untuk memenuhi kekurangan tersebut adalah dengan melakukan impor sapi potong dari Australia (Ditjen PKH 2012). Jumlah dan frekuensi sapi potong impor dari Australia yang melalui pelabuhan Tanjung Priok dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Jumlah dan frekuensi pemasukan sapi potong impor dari Australia yang melalui Pelabuhan Tanjung Priok (2013) Tahun 2011 Tahun 2012 Tahun 2013 Jumlah Frekuensi Jumlah Frekuensi Jumlah Frekuensi 180 472 81 129 916 88 176 327 140 Dalam melaksanakan impor sapi potong, adanya penyakit pada ternak dapat menjadi ancaman. Salah satu ancaman penyakit hewan yang dapat menghambat pertumbuhan populasi dan produktivitas ternak sapi yaitu bovine viral diarrhea (BVD). Menurut Office International des Epizooties (OIE) BVD merupakan penyakit yang berpotensi membahayakan perdagangan internasional. Badan Karantina Pertanian berperan aktif dalam program swasembada daging, dengan cara mencegah masuk dan tersebarnya Hama Penyakit Hewan Karantina (HPHK) dan mempertahankan wilayah Republik Indonesia dari status bebas HPHK tersebut. Pelaksanaan tindakan karantina untuk pemasukan sapi dari luar wilayah Negara Republik Indonesia harus dilakukan melalui penanganan dan pemeriksaan yang ketat terhadap ruminansia besar. Beberapa HPHK pada sapi yang dapat mengganggu reproduksi dan/atau penurunan produksi dan berpotensi menghambat pencapaian swasembada perlu diwaspadai penyebarannya antara lain infectious bovine rhinotracheitis (IBR), brucellosis, dan bovine viral diarrhea (BVD). Tindakan karantina terhadap media pembawa HPHK tersebut khususnya sapi yang dilalulintaskan ke dalam wilayah

2 Negara Republik Indonesia dan antar area telah dilakukan tindakan karantina di tempat pemasukan dan tempat pengeluaran maupun di instalasi karantina hewan. (Pusat KHH 2012). Bovine viral diarrhea (BVD) berdasarkan Lampiran I Keputusan Menteri Pertanian Nomor 3238/ Kpts/ PD. 630/ 9/ 2009 tentang Penggolongan Jenis-Jenis Hama Penyakit Hewan Karantina, BVD termasuk dalam HPHK Golongan II, yang berarti bahwa HPHK tersebut telah dilaporkan ada di Indonesia (Pusat KHH 2012). Perumusan Masalah Penyakit BVD telah bersifat endemik di Indonesia dengan tingkat prevalensi reaktor yang bervariasi dan di beberapa daerah cukup tinggi. Penyakit BVD di Indonesia pertama kali terjadi pada tahun 1988 dan menyerang sapi Bali, Brahman, Brahman Cross, Peranakan Ongole (PO) jantan maupun betina dari semua umur. Virus BVD memiliki morbiditas yang tinggi tetapi mortalitasnya sangat rendah. Pada tahun 2006 dilaporkan terjadi kasus BVD sebesar 1190 di Indonesia. Sudarisman (2011) menjelaskan bahwa dalam uji serologis ELISA terhadap serum serum sapi di berbagai daerah di Indonesia diketahui sebesar 37% sapi memiliki antibodi terhadap BVD. Kerugian ekonomi akibat penyakit BVD antara lain berupa gangguan reproduksi, hambatan pertumbuhan, menurunnya berat badan serta kematian. Pemerintah Indonesia harus perhatian khusus untuk mengatasi penyakit BVD ini demi ketahanan pangan dan terciptanya swasembada daging di negara Indonesia. Deteksi terhadap adanya hewan penular BVD (persistenly infection) sangat diperlukan sehingga diharapkan pencegahan yang efektif dalam penyebaran penyakit BVD pada sapi potong impor asal Australia di feedlot Instalasi Karantina Hewan BBKP Tanjung Priok. Penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi dalam hal pencegahan penyakit BVD ini menyebar di feedlot. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk melakukan suatu kajian serologis tentang penyakit BVD. serta mendeteksi adanya kaitan pemeliharaan kandang sebagai faktor risiko sumber penularan penyakit BVD pada sapi potong impor. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pencegahan yang efektif dalam perkembangan penyakit BVD pada sapi potong impor asal Australia di feedlot Instalasi Karantina Hewan BBKP Tanjung Priok. Selain itu memberikan informasi perkembangan penyakit BVD pada sapi potong impor asal Australia di daerah Jawa Barat dan Banten.

3 2. TINJAUAN PUSTAKA Etiologi Terdapat dua spesies dari virus BVD yang telah ditemukan yaitu BVD 1 dan BVD 2. BVD 1 terdistribusi di seluruh dunia dan memiliki subspesies yang beragam sedangkan BVD 2 telah dilaporkan ditemukan di Eropa. Penyakit yang disebabkan oleh BVD 1 cenderung tidak parah, sedangkan infeksi BVD 2 biasanya menyebabkan wabah penyakit yang lebih parah yaitu diare haemoragi akut serta kematian. Virus BVD dapat diklasifikasikan dalam biotipe sebagai sitopatik (cp) dan non-sitopatik (ncp) dalam hal dapat diamati atau tidak dapat diamati perubahan sitopatik pada biakan sel yang terinfeksi (Cornish 2005). Hanya biotipe ncp dari virus BVD dapat membentuk infeksi persisten pada janin diawal kehamilan. Janin tersebut dapat dilahirkan tetapi tetap terinfeksi. Sapi yang terinfeksi ncp dari virus BVD dapat mengembangkan penyakit mukosa yang fatal, ditandai dengan adanya lesi yang luas dalam saluran pencernaan. Strain ncp mampu menghasilkan infeksi secara terus menerus pada ternak dan biotipe ini paling umum berada di alam. Lain halnya dengan ncp dari virus BVD, virus BVD sitopatik gagal untuk membangun rantai infeksi dan tidak dapat menyebabkan infeksi persisten (Fulton et al. 2006). Patogenesis Penyakit BVD dapat menyebar diantara individu sebagai suatu infeksi akut. Inang yang menderita infeksi persisten bertindak sebagai reservoir utama. Inang yang menderita infeksi persisten ini menyebarkan konsentrasi virus yang lebih tinggi dibandingkan dengan hewan yang terinfeksi secara akut dan akan tetap menyebarkan virus seumur hidupnya. Inang yang terinfeksi mengekskresikan virus dalam berbagai sekresi cairan. Virus masuk ke dalam tubuh melalui leleran kemudian masuk ke dalam saluran limfatik dan aliran darah sehingga terjadi viremia yang berlangsung 15 60 hari setelah infeksi. Virus bersifat imunosupresif menyebabkan penurunan limfosit T. Virus mengakibatkan timbulnya kerusakankerusakan sel epitel pada mukosa saluran pencernaan. Pada hewan yang bunting virus ini menyebabkan plasentitis yang diikuti oleh infeksi pada fetus, kemudian diikuti abortus atau kelahiran anak yang abnormal (Middleton 2006). Epidemiologi Penyakit BVD ini merupakan penyakit menular pada ternak dengan distribusi yang menyebar di seluruh dunia. Populasi ternak yang berisiko sebagai hewan carrier hanya sekitar 1%. Penanganan manajemen populasi ternak dalam hal hewan dengan infeksi persisten adalah hal kritis yang mempengaruhi penyebaran infeksi, perkembangan imunitas dan keberadaan penyakit dalam kawanan ternak (Lanyon et al. 2014).

4 Menurut Hardjopranoto (1995), kejadian BVD pada sapi sudah tersebar diseluruh dunia dan sangat menular dengan prevalensi 50-70% sapi mempunyai antibodi BVD pada daerah tertular enzootik. Sapi pada semua umur dapat terserang terutama sapi berumur 8 bulan sampai 2 tahun. Sapi muda sampai umur ± 8 bulan sampai 2 tahun masih terlindungi antibodi maternal sehingga memiliki sistem kekebalan terhadap penyakit yang baik. Sapi yang mempunyai antibodi yang rendah baik sapi tua atau muda serta sapi yang mengalami immunosupresi seperti sapi bunting sangat rentan terhadap infeksi BVD. Peta kejadian BVD per Januari - Juli 2013 dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1 Penyebaran bovine viral diarrhea (BVD) menurut OIE 2013 (Sumber http://web.oie.int/wahis/public.php) Salah satu karakter spesifik dalam pathogenesis BVD adalah adanya persisten infections (PI). Hewan yang terinfeksi secara persisten merupakan reservoir dan sumber penularan penyakit. Hewan dengan PI dapat mengeluarkan berjuta-juta virus per harinya. Kontak dengan hewan PI akan sangat beresiko dalam perpindahan/ transmisi dan menyebabkan penyakit dibandingkan dengan kejadian penyakit secara akut (Lanyon et al. 2014). Jika dibandingkan dengan infeksi transien (penyakit mukosa dan infeksi akut), infeksi persisten (infeksi kronis) adalah life long infection yang terjadi di uterus pada saat bunting (fetal infection). Infeksi pada saat sapi bunting inilah yang menyebabkan anak sapi yang dilahirkan akan terkena infeksi secara persisten. Secara statistik, hanya < 5% infeksi BVD yang mengalami infeksi persisten, namun hewan dengan infeksi persisten inilah yang merupakan sumber dari penyebaran virus. Dari data > 90% pedet yang mengalami infeksi persisten adalah lahir dari induk yang normal (Littlejohns 1990). Kemungkinan hewan infeksi persisten yang terlihat sehat dan berada dalam populasi ternak sapi adalah 50% (subklinis). Sapi dengan infeksi persisten terlihat sehat tetapi dapat menyebarkan (shedding) virus dalam titer tinggi melalui sekresi atau ekskresi (sekresi mata, urin, dan feses), sehingga pengujian laboratorium sangat disarankan (Lanyon et al. 2014).

Menurut Buhman et al. (2007), penyakit infeksi pada hewan dapat menyebar dalam suatu peternakan melalui berbagai cara, antara lain melalui: 1. Hewan yang terinfeksi atau hewan sehat dalam masa inkubasi suatu penyakit sehingga tidak memperlihatkan gejala klinis. 2. Hewan yang sudah sehat setelah sembuh dari penyakit akan tetapi menjadi carriers. 3. Alat angkut, peralatan, pakaian, dan sepatu pengunjung atau pekerja yang menangani hewan di dalam peternakan. 4. Kontak dengan benda-benda yang terkontaminasi oleh agen penyakit. 5. Hewan mati yang tidak ditangani secara benar. 6. Tempat pakan, khususnya tempat pakan yang berisiko tinggi dapat terkontaminasi oleh feses. 7. Sumber air yang tidak baik. 8. Penanganan limbah kotoran ternak dan debu dari kotoran. 9. Adanya hewan lain (kuda, anjing, kucing, hewan liar, rodensia, burung dan serangga). Cara penularan penyakit BVD ke hewan atau ternak lain dapat melalui penularan secara vertikal dan horizontal. Penularan vertikal yang dimaksud adalah jika perpindahan penyakit melalui induk kepada fetus. Beberapa jalur transmisi vertikal menurut Middleton (2006) adalah : a) Kebuntingan alami pada hewan dengan PI, jika seekor sapi telah mengalami PI, maka dia akan dapat menginfeksi fetus yang dikandungnya. b) Semen yang terkontaminasi, bahwa infeksi pada pejantan akan menyebabkan infeksi pada fetus yang dihasilkannya. c) Embrio transfer (ET), yaitu jika ET dilakukan pada sapi yang terinfeksi, maka embrio yang ditanam akan terinfeksi pula. d) Modified live vaccine. Vaksinasi pada sapi bunting dengan vaksin hidup dapat menyebabkan infeksi pada fetus. Cara penularan secara horizontal meliputi kontak antara hewan dengan sekresi, eksresi maupun dengan perantara vektor yang terdapat dalam kandang. Faktor-faktor penyebab transmisi horisontal menurut Middleton (2006) yaitu : 1) Vomites yaitu penyebaran penyakit melalui pakan, peralatan pakan dan minum atau bahkan karena penularan dari peralatan pekerja kandang. 2) Lingkungan, yaitu dari sekresi atau ekskresi (sekresi mata, urin, feses dan mukus) dimana virus dapat bertahan di lingkungan berminggu-minggu. Kebanyakan kasus transmisi ini adalah secara oronasal. Kandang hewan bunting dan padatnya populasi kandang dapat menjadi predisposisi tingginya penularan melalui transmisi ini. 3) Vektor penyebaran melalui lalat jenis stable flies, head flies, face flies dan horse flies merupakan vektor pada penularan penyakit ini, contoh lalat pada kuda dan lalat kandang. Situasi Penyakit BVD di Australia Situasi bovine pestivirus sebagai agen patogen dari bovine viral diarrhea (BVD) telah ada di seluruh dunia termasuk di Australia. Rata-rata kejadian lebih banyak terjadi di wilayah Utara Australia dan wilayah-wilayah dengan populasi kawanan ternak lebih luas (Littlejohns 1990). Prevalensi titer antibodi terhadap 5

6 bovine pestivirus (71%-88%) dilaporkan lebih dari 20 tahun di Northern Australia dengan tingkat kejadian 40%-92%. Prevalensi tinggi (80%-100%) akan konsisten dengan adanya sapi PI dan infeksi endemik pada populasi ternak dan akan menurun (0%-45%) jika ada penanganan tepat pada transmisi horizontal dan pencegahan pada hewan bunting (Littlejohns 1990). Keberadaan antibodi dalam serum merupakan refleksi dari kejadian infeksi post natal yang tergambar jelas pada tempat/ wilayah dengan industri sapi yang berkembang dengan baik. Suatu tes pada sapi dari wilayah Western Australia pada tahun 1985 dalam rangka ekspor, terdapat sekitar 60% sapi dengan titer antibodi (Littlejohns 1990). Di Australia dan New Zealand, semua strain BVD yang ditemukan diyakini sebagai BVD Tipe I. BVD 1 muncul dan berkembang pada seluruh wilayah pertumbuhan sapi dan merupakan jenis infeksi virus yang paling penting di Australia (Cornish 2005). 3. METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan April 2014 sampai dengan November 2014. Pengambilan sampel serum darah sapi impor dilakukan di beberapa feedlot yang merupakan Instalasi Karantina Hewan Balai Besar Karantina Tanjung Priok dan pengujian sampel dilakukan di Laboratorium Balai Besar UJi Standar Karantina Pertanian Rawamangun, Jakarta. Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan berupa kit ELISA BVD antibodi dan antigen (IDEXX), metanol (Merck no. 1.00983.2500), 20 mm tris-hcl (Merck no. 1.08382.0100), distilled water, tween 20 (Merck No. 8.22184.0500) serta 67 mm fosfat buffer ph 7.2. Alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu microtiter plate, freezer (-60 C), waterbath (40 C dan 60 C), ultra turrax, mikropipet berukuran 20 μl -200 μl dan 200-1000 μl, vortex, shaker, ELISA reader (Thermoscientific skanit software 2.5.1), evaporator dengan nitrogen. Peralatan untuk mengukur hasil absorbansi spektrofotometer dengan mengatur beberapa protokol (pada pengujian ini menggunakan protokol K junior Bio-Tek). Pengukuran nilai absorbansi sampel pada 450 nm. Metode Pengambilan Sampel Sampel yang diambil adalah serum darah sapi impor dari Australia yang masuk melalui Pelabuhan Tanjung Priok. Pengambilan sampel dilakukan secara acak sederhana hingga jumlah sampel terpenuhi. Setiap anggota populasi di dalam kerangka penarikan contoh diberi nomor 1, 2, 3,, N, kemudian contoh dipilih secara acak dari N anggota populasi tersebut. Pengacakan bisa menggunakan daftar bilangan teracak (DBT), kalkulator, ataupun komputer.

Berdasarkan pertimbangan maka disepakati bahwa rancangan sampling yang digunakan adalah kajian lintas seksional. Prevalensi 57% (hasil laporan serologis positif BVD tahun 2012 oleh BPPV Subang) dan galat 10%, sehingga besaran contoh penelitian sebesar 100 sampel. Berikut ini adalah diagram alur pengambilan sampel untuk penelitian ini. Pengambilan sampel dilakukan pada pemasukan sapi potong di akhir bulan Juli- Agustus 2014. Daerah yang diambil sampel meliputi lima perusahaan feedlot yang berada dalam daerah kerja dari BBKP Tanjung Priok. Instalasi karantina Hewan yang diambil meliputi Bogor, Subang, Bandung, Cianjur dan Tangerang. Jumlah sampel yang diambil dari tiap peternakan bergantung pada populasi sapi potong impor yang dikirim oleh importir ke masing masing peternakan pada bulan agustus 2014. 7 Koleksi Sampel sampel I ELISA Ab Ag-ELISA Negatif Negatif Positif Positif Sehat SEHAT Carrier Carrier? Sehat Terinfeksi? Hasil ELISA Ab (+) di uji lanjut Koleksi Sampel II ELISA Ag Ag-ELISA Paired Sampel selang 21 hari Negatif Sehat SEHAT Positif Carrier CARRIER Gambar 2 Alur pengambilan sampel serum darah uji BVD (Sudarisman 2011) Jumlah yang dikirim ke masing masing peternakan dalam kisaran 3500-4000 ekor dengan jumlah total dalam bulan agustus untuk kelima daerah peternakan mencapai 19289 ekor. Jumlah sampel setelah melalui pembagian secara distribusi populasi didapat masing-masing wilayah diambil 20 sampel dengan total 100 serum darah. Data distribusi sampling penelitian dapat dilihat dari tabel 2.

8 Tabel 2 Data distribusi rancangan sampling pemantauan BBKP Tanjung Priok Kabupaten (Feedlot) Tgl pemasukan Populasi Jumlah sampel Bogor 26 Agustus 3878 20 Subang 14 Agustus 3815 20 Bandung 29 Agustus 3836 20 Cianjur 21 Agustus 3887 20 Tangerang 13 Agustus 3873 20 Jumlah 19289 100 Metode Pengujian Metode pengujian dalam penelitian menggunakan uji enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) antibodi sebagai uji screening awal. Dalam pengujian ini apabila didapatkan hasil positif, akan dilakukan pengujian lanjutan dengan uji ELISA antigen. Prosedur uji ELISA untuk BVD yang dilakukan pada sampel serum adalah sebagai berikut. Preparasi dan distribusi sampel meliputi beberapa persiapan yaitu penyiapan alat dan bahan untuk pengujian. Kit BVD antibodi diinkubasi pada suhu 18 26 C selama 1 jam. Setelah itu plate uji disiapkan, kemudian dilakukan pengisian 100 μl sample diluents ke dalam tiap sumur. Empat sumur pada kolom pertama microplate dikosongkan dari serum untuk dijadikan sumur kontrol positif dan negatif. Sebanyak 25 μl kontrol negatif kemudian ditambahkan ke dalam sumur A1 dan B1. Selanjutnya sebanyak 25 μl kontrol positif ditambahkan ke dalam sumur C1 dan D1, sedangkan serum sampel dimasukkan ke dalam sumur E1 sampai seterusnya sebanyak 25 μl sesuai pola yang telah dibuat. Setelah itu dilakukan pengocokkan dan diinkubasi selama 90 menit pada suhu 18 26 C. Pencucian dengan menggunakan larutan pencuci (washing solution) sebanyak 300 μl dan dilakukan aspirasi sebanyak lima kali sampai menyentuh dinding sumur. Sebanyak 100 μl reagent konjugat ditambahkan ke dalam tiap sumur dan diinkubasi selama 30 menit pada suhu 18 26 C, dilakukan kembali langkah dan prosedur pencucian. Sebanyak 100 μl Tetra Methyl Benzidine (TMB) substrat ditambahkan ke dalam tiap sumur, kemudian microplate ditutup dengan alumunium foil dan selama 10 menit diinkubasi pada suhu ruangan 18 26 C di ruang gelap. Setelah itu, dilakukan penambahan 100 μl stop solution untuk menghentikan reaksi dan dilakukan pembacaan dengan menggunakan ELISA reader pada panjang gelombang 450 nm.

9 Interpretasi Hasil ELISA Antibodi Sampel dengan nilai sample value related to positive value (S/P) sebesar 0.3 atau lebih menunjukkan adanya antibodi terhadap BVD dan hasil uji berarti positif. Perhitungan (S/P) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: (S/P) = Nilai sampel yang diuji optical density (OD) nilai rataan kontrol negatif Nilai rataan kontrol positif nilai rataan kontrol negatif Untuk sampel serum, plasma dan individual milk nilai (S/P) memiliki beberapa interpretasi sebagai berikut : < 0.20 = negatif 0.20 0.30 > 0.30 = positif = suspect / terindikasi Interpretasi Hasil ELISA Antigen Sampel dengan nilai koreksi dari nilai rata rata optical density (OD) kontrol positif dengan nilai rata rata optical density (OD) kontrol negatif atau (S N) sebesar 0.3 atau lebih menunjukan adanya antigen terhadap BVD dengan hasil uji positif. Perhitungan (S - N) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: Rumus S-N = Sampel (PCx) (NCx) PCx = nilai rata rata optical density (OD) kontrol positif NCx = nilai rata rata optical density (OD) kontrol negatif Untuk sampel serum, plasma dan individual milk nilai (S-N) memiliki interpretasi sebagai berikut : < 0.30 = negatif > 0.30 = positif Kuesioner Kuesioner terkait faktor risiko penyebaran di kandang instalasi karantina hewan dengan hasil deteksi serologis penyakit BVD meliputi, beberapa pertanyaan kepada tiap-tiap perusahaan swasta yang memiliki instalasi karantina hewan meliputi hal sebagai berikut, program biosekuriti, pengelolaan limbah ternak, sistem pelaporan adanya kasus, penanganan pada hewan diare, sumber air yang diminum, penanggung jawab peternakan, dan kerapatan hewan per kandang di kandang isolasi Instalasi Karantina Hewan (IKH).

10 Analisis Data Data - data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisa secara deskriptif. Kuesioner dianalisis dengan analisis pengukuran asosiasi menggunakan odds ratio (OR), terkait faktor risiko penyebaran di kandang instalasi karantina hewan dengan hasil deteksi serologis penyakit BVD. Odds ratio merupakan suatu ukuran dalam statistik yang sering digunakan untuk mengetahui seberapa besar kontribusi faktor faktor terhadap frekuensi kejadian penyakit (Mc Gowan et al., 2008).

11 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Serum Darah Sapi dengan Menggunakan Metode ELISA Antibodi dan Antigen Penelitian ini memeriksa serum sapi potong impor asal Australia yang diperiksa berjumlah 100 sampel dan berasal dari instalasi karantina hewan didalam peternakan feedlot di Cianjur, Bogor, Tangerang, Bandung, dan Subang. Jumlah sampel yang diambil dari tiap peternakan bergantung pada populasi sapi potong impor yang dikirim oleh importir ke masing masing peternakan pada bulan agustus 2014. Hal ini berkaitan dengan penyediaan stok persediaan sapi potong dalam menghadapi acara Idul Adha atau hari raya kurban. Jumlah yang dikirim ke masing masing peternakan dalam kisaran 3500 4000 ekor dengan jumlah total dalam bulan agustus untuk kelima daerah peternakan mencapai 19500 ekor. Jumlah sampel setelah melalui pembagian secara distribusi populasi didapat masing-masing wilayah diambil 20 sampel serum darah. Berdasarkan uji serologis dengan ELISA, semua instalasi karantina hewan didalam peternakan feedlot menunjukkan hasil positif. Hasil pengujian serologis terhadap antibodi BVD didapat total rata-rata persentase positif mencapai 63% sedangkan total rata-rata negatif 37%. Daerah instalasi peternakan sapi yang mempunyai persentase positif tertinggi adalah daerah Tangerang dengan nilai 75%. Subang merupakan daerah instalasi peternakan yang mempunyai persentase positif paling rendah dengan nilai 50%. Daerah Tangerang dalam pengamatan langsung dilapangan banyak ditemukan kandang yang kotor, tidak adanya pengaturan pembuangan limbah yang baik dan kurangnya persiapan dalam hal penerimaan sapi impor yang datang ke IKH. Kontruksi kandangnya yang ada di feedlot daerah Tangerang kurang memadai dalam hal letak kandang sapi isolasi yang terlalu dekat dengan kandang pemeliharaan. Keadaan kandang IKH di Subang lebih terlihat bersih dan baik dalam hal pemisahan hewan yang baru datang dengan hewan yang sudah lama dan adanya pengaturan pembuangan limbah yang rutin diawasi oleh petugas kandang. Kontruksi kandangnya yang ada di feedlot daerah Subang lebih memadai dalam hal letak kandang sapi isolasi yang terpisah dengan kandang pemeliharaan. Hal ini dapat menjadi salah satu penyebab menyebarnya virus BVD lebih tinggi di Tangerang daripada di Subang. Hasil persentase nilai positif antibodi BVD pada sapi potong impor yang diuji menggunakan metode ELISA disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Hasil pengujian serologis BVD dengan ELISA antibodi Daerah peternakan Jumlah sampel Positif Negatif Persentase positif (%) Persentase negatif (%) Cianjur 20 13 7 65 35 Bogor 20 14 6 70 30 Tangerang 20 15 5 75 25 Bandung 20 11 9 55 45 Subang 20 10 10 50 50 Total 100 63 37 63 37

12 Pada penelitian ini tidak terdapat dokumen yang menyatakan bahwa sapi potong impor ini bebas vaksinasi BVD. Oleh karena itu diperlukan uji screening dan uji konfirmasi untuk mendeteksi penyakit BVD untuk lebih meyakinkan proses pemeriksaannya. Antibodi yang terdeteksi terhadap virus BVD pada sapi ternak sapi potong di daerah peternakan dapat terjadi karena adanya infeksi alami pada waktu masa pemeliharan/penggemukkan di kandang. Penyebaran penyakit terjadi secara langsung melalui kontak dengan hewan yang terinfeksi terutama yang mengalami infeksi persisten, sedangkan secara tidak langsung melalui makanan yang tercemar urin, feses, sekresi oronasal atau dari cairan fetus yang mengalami abortus (Muhammad et al. 2004). Penularan dapat dibawa antar peternakan oleh petugas yang secara langsung kontak dengan sapi yang terinfeksi. Infeksi terjadi sangat cepat anta sapi yang peka melalui kontak langsung, tetapi tanda klinis yang terlihat tidak jelas yang disertai dengan masa inkubasi penyakit yang tidak teratur (Kahrs 2005). Tingginya titer antibodi pada sampel sapi potong impor asal Australia yang diperiksa ini berbanding lurus dengan tingginya tingkat prevalensi di negara Australia. Tingkat prevalensi antibodi pada ternak di Australia adalah sekitar 60% sementara lebih dari 80% ternak telah terinfeksi penyakit BVD (Littlejohns 1990). Pada tahun 2006 dilaporkan terjadi kasus BVD sebesar 1190 di Indonesia (OIE 2006). Sudarisman (2011) menjelaskan bahwa dalam uji serologis ELISA terhadap serum serum sapi di berbagai daerah di Indonesia diketahui sebesar 37% sapi memiliki antibodi terhadap BVD. Prevalensi titer antibodi terhadap bovine pestivirus (71%-88%) dilaporkan lebih dari 20 tahun di Northern Australia dengan tingkat kejadian 40%-92% (Bedekovic et al. 2012). Tabel 4 menunjukkan hasil dari 63 sampel serum darah sapi yang positif itu setelah dilakukan metode lanjutan adalah negatif. Dengan perincian kasus positif antibodi paling tinggi di daerah Tangerang dengan 15 sampel serum dan yang terrendah pada daerah Subang dengan 10 sampel serum. Uji ELISA antigen dapat digunakan untuk mengetahui (screening) awal dalam mencari hewan yang mengalami infeksi persisten sebagai hewan penular utama dalam penyebaran penyakit BVD dalam kandang peternakan (Burgess 1995). Uji ini merupakan terobosan terbaru dalam mendeteksi awal keberadaan dari hewan infeksi persisten yang terbukti akurat sebelum dilakukan uji polymerase chain reaction (PCR), selain itu akan lebih efisien dalam waktu screening awal karena uji ini cepat dan akurat (Lanyon 2014). Tabel 4 Hasil pengujian serologis BVD dengan ELISA antigen Daerah peternakan Jumlah sampel Hasil ELISA ab + Persentase (%) Hasil ELISA ag Persentase (%) Cianjur 20 13 65 0 0 Bogor 20 14 70 0 0 Tangerang 20 15 75 0 0 Bandung 20 11 55 0 0 Subang 20 10 50 0 0 Total 100 63 63 0 0

Menurut OIE (2008) uji ELISA antigen merupakan salah satu rujukan uji diagnostik sebelum dilakukan pengujian PCR. Dengan mekanisme sebagai berikut uji screening awal ELISA antibodi akan dilanjutkan ke metode uji ELISA antigen apabila ditemukan hasil ELISA antibodi positif. Sampel yang positif ELISA antibodi positif dilanjutkan ke metode uji ELISA antigen. Apabila ditemukan hasil ELISA antigen yang positif maka perlu dilakukan pengujian pengambilan menggunakan serum hewan sapi yang sama. Oleh karena itu diperlukan isolasi dan penandaan (marker) yang mudah diaplikasikan dalam pengambilan sampel serum darah selanjutnya (Sudarisman 2011). Kerugian yang ditimbulkan selain akibat infeksi virus BVD, juga akibat penyakit infeksius yang lain. Infeksi BVD dapat bersifat imunosupresif, sehingga ternak yang terinfeksi oleh virus BVD akan mudah terkena penyakit lain terutama pada ternak yang masih muda (Baker 1995). Sejak diketahui bahwa tidak adanya terapi yang tepat pada hewan dengan kondisi tersebut, maka eliminasi berupa pengeluaran hewan (culling) adalah hal yang harus dilakukan segera setelah terdeteksi. Selain itu, transmisi BVD dari hewan satu ke hewan yang lain sebagian besar disebabkan oleh sumber penularan dari hewan persistent infection (PI) yang selalu mengeluarkan virus (shedding) selama hidupnya (Lanyon 2014). Menurut Negrón et al. (2011), risiko utama penularan virus BVD pada peternakan sapi yaitu memasukkan ternak sapi baru dengan status BVD yang tidak diketahui. Penularan penyakit ini terjadi akibat sifat penyakit (persistently infected/pi) dan juga hewan yang baru masuk peternakan dalam keadaan infeksi akut sehingga dapat mengeluarkan virus. Oleh sebab itu, pemeriksaaan laboratorium untuk mendiagnosa penyakit eksotik sangat penting dilakukan. Pemeriksaan laboratorium untuk deteksi dini penyakit merupakan tindakan untuk memaksimalkan biosekuriti. Penerapan biosekuriti pada IKH perlu dilakukan secara maksimal. Karantina pertanian merupakan institusi yang mempunyai tugas melakukan tindakan karantina terhadap sapi impor dalam rangka pencegahan penyakit di pintu pemasukan sebelum dilakukan pembebasan memerlukan petugas yaitu dokter hewan dan paramedik yang profesional. Pengaruh Faktor Program Biosekuriti dengan Hasil ELISA Antibodi Positif Penyakit BVD Pada kelompok faktor program biosekuriti dengan pengujian serum darah, kelompok peternakan dibagi menjadi dalam kelompok biosekuriti buruk dan kelompok biosekuriti baik. Tabel 5 menunjukkan kelompok biosekuriti yang buruk memiliki nilai hasil positif ELISA antibodi sebesar 49 ekor (72.05%) sedangkan dari kelompok biosekuriti yang baik mempunyai nilai yang lebih kecil yaitu 14 ekor (43.75%). Jumlah Instalasi karantina hewan yang memiliki program biosekuriti buruk mencapai 68 feedlot sedangkan yang sudah melalukan praktek biosekuriti yang baik hanya 32 feedlot. Hal ini berakibat masih tingginya prevalensi antibodi BVD dalam penelitian yang mencapai angka 63%. Program biosekuriti yang banyak dilanggar meliputi kurangnya pengawasan lalu-lintas hewan yang keluar masuk ke dalam peternakan dan masih rendahnya kesadaran petugas kandang terhadap pentingnya sanitasi. 13

14 Tabel 5 Kelompok faktor program biosekuriti dengan hasil ELISA antibodi positif pada sapi potong yang diimpor melalui Pelabuhan Tanjung Priok Biosekuriti Hasil ELISA antibodi Jumlah Positif Negatif Buruk 49 (72.05%) 19 (27.95%) 68 Baik 14 (43.75%) 18 (56.25%) 32 Jumlah 63 (63.00%) 37 (37.00%) 100 Tingginya jumlah feedlot yang kurang memperhatikan biosekuriti yang meliputi kurangnya pengawasan isolasi hewan yang baru datang, kurangnya pengawasan terhadap lalu lintas manusia maupun peralatan dan kurangnya kebersihan kandang. Beberapa pencegahan yang dapat dilakukan meliputi, isolasi hewan yang memiliki gejala BVD dan setiap hewan yang memiliki kontak langsung dengan hewan sakit. Disarankan bahwa perawatan untuk sapi bunting dipisahkan dari hewan yang yang lain dan peralatan yang digunakan juga dipisahkan. Sanitasi kandang dan lingkungan sekitar kandang adalah penting untuk membantu mencegah penyebaran virus. Melakukan pembersihan rutin dengan desinfektan terutama peralatan kandang akan dapat secara efektif membunuh virus BVD dan untuk membantu mencegah penyebaran virus. Langkah-langkah ini akan dapat membantu untuk memastikan kawanan ternak dapat terhindar dari infeksi. Program biosekuriti dalam peternakan memegang peranan penting dalam penyebaran penyakit BVD hal ini dikarenakan, saat ini tidak ada perawatan efektif yang tersedia untuk menyembuhkan BVD, perawatan alternatif antibiotik untuk mengobati infeksi sekunder yang ditimbulkan misalnya pneumonia (Ellis 1998). Biosekuriti adalah tindakan perlindungan dari efek yang merugikan dari organisme seperti agen penyakit dan hama yang membahayakan bagi manusia, hewan, tanaman dan lingkungan. Penerapan biosekuriti pada IKH sangat penting dan perlu dilakukan secara ketat karena hal ini untuk melindungi manusia, hewan, tumbuhan dan lingkungan termasuk industri peternakan dari ancaman masuknya organisme yang tidak diinginkan dan dapat merugikan. Biosekuriti mempunyai peranan antara lain mencegah penyebaran penyakit antar hewan, hewan ke petugas, dan petugas ke hewan, serta mencegah masuknya agen penyakit yangberasal dari lingkungan sekitar. Biosekuriti yang baik dapat mengurangi jumlah kasus penyakit yang terjadi pada peternakan sapi antara lain paratuberculosis, mycoplasmosis, salmonellosis dan bovine viral diarrhea (Bowman 2001). Indikator biosekuriti yang digunakan pada penilaian tingkat biosekuriti yaitu isolasi, kontrol lalu lintas, dan sanitasi (Jeffreys 1997). Isolasi merujuk kepada penempatan hewan di dalam lingkungan yang terkontrol. Kontrol lalu lintas mencakup lalu lintas masuk ke dalam peternakan maupun di dalam peternakan. Sanitasi merujuk kepada disinfeksi material, manusia, dan peralatan yang masuk ke lingkungan peternakan dan kebersihan personel peternakan (Yee et al. 2009). Biosekuriti merupakan cara yang murah, paling efektif untuk pengendalian penyakit dan tidak akan ada program pencegahan penyakit yang berjalan dengan baik tanpa adanya penerapan biosekuriti (Bowman 2001). OIE (2009) menyatakan bahwa program biosekuriti yang baik adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk mencegah dan meminimalkan rute transmisi penyakit oleh agen patogen

diantaranya adalah melalui hewan, hewan lain, manusia, peralatan, alat angkut, udara, sumber air, dan pakan. Menurut NASDA (2001), biosekuriti adalah tindakan yang sangat penting berupa strategi, usaha, rencana untuk melindungi kesehatan manusia, hewan dan lingkungan dari bahaya biologi. Selanjutnya menurut SEERAD (2006), biosekuriti adalah praktik manajemen yang potensial untuk mengurangi masuk dan menyebarnya penyakit hewan yang disebabkan oleh mikroorganisme patogen masuk ke peternakan dan mencegah masuk dan tersebarnya penyakit hewan diantara peternakan. Larson (2008) menyatakan bahwa biosekuriti adalah suatu tindakan untuk menjaga agar agen infeksius tidak masuk ke dalam suatu peternakan, negara atau wilayah. Tindakan ini juga bertujuan untuk mengendalikan penyebaran agen infeksius didalam suatu peternakan. Menurut Wagner et al. (2011) tujuan biosekuriti adalah untuk mengurangi risiko exposure (pendedahan) penyakit dan meningkatkan kekebalan terhadap penyakit ketika hewan terdedah (exposed) oleh agen penyakit. Hasil yang terlihat dalam Tabel 6, terlihat bahwa program biosekuriti yang buruk akan berpeluang 3.316 kali lebih besar menimbulkan hasil ELISA antibodi positif bila dibandingkan dengan peternakan yang memiliki program biosekuriti yang baik (OR=3.316; CI=1.380-7.967). Tabel 6 Nilai OR dari faktor program biosekuriti dengan hasil ELISA antibodi positif pada sapi potong yang diimpor melalui Pelabuhan Tanjung Priok No. Biosekuriti Positif Negatif Nilai p OR CI 95% 1 Buruk 49 19 0.006 3.316 1.380-7.967 2 Baik 14 18 OR = Odds ratio ; CI 95% = Confidential interval 95% Uji statistik proporsi terlihat berbeda nyata dan signifikan (nilai p hitung = 0.006) lebih kecil dari nilai p α uji = 0.05. Hasil ini menunjukkan ada asosiasi antara faktor program biosekuriti yang ada pada peternakan dengan kejadian penyakit BVD. Pengaruh Faktor Pengolahan Limbah dengan Hasil ELISA Antibodi Positif Penyakit BVD Kotoran ternak merupakan media yang potensial untuk menularkan penyakit. Banyak penyakit yang bisa ditularkan akibat kontaminasi feses antara lain salmonellosis, paratuberculosis, bovine viral diarrhea (BVD) dan lain-lain. Risiko penularan penyakit ke manusia akan semakin tinggi jika kotoran ternak ini tidak dikelola dengan baik dan benar. Penyebaran kotoran (feses) sebagai salah satu media penularan penyakit dapat terjadi akibat adanya petugas/pengunjung dalam satu hari melakukan pengawasan lebih dari setengah area peternakan dan tidak melakukan disinfeksi terhadap peralatan dan kendaraan yang digunakan. Risiko juga dapat terjadi pada pengunjung dengan frekuensi kunjungan ke peternakan lebih dari satu dalam sehari, selain itu penyebaran agen patogen pada area peternakan dapat terjadi melalui fomite (Brennan et al. 2008). Tabel 7 menunjukkan kelompok pengelolaan limbah yang buruk memiliki nilai hasil positif ELISA antibodi sebesar 49 ekor (70.00%) sedangkan dari kelompok pengelolaan limbah yang baik mempunyai nilai yang lebih kecil yaitu 15

16 14 ekor (46.67%). Jumlah Instalasi karantina hewan yang memiliki program pengolahan limbah buruk mencapai 70 feedlot sedangkan yang sudah melalukan program pengolahan limbah yang baik hanya 32 feedlot. Hal ini perlu diperhatikan karena limbah dari sapi yang tidak tertangani dengan baik dapat berpotensi menularkan penyakit BVD. Tabel 7 Kelompok faktor pengolahan limbah dengan hasil ELISA antibodi positif pada sapi potong yang diimpor melalui Pelabuhan Tanjung Priok Pengolahan Hasil ELISA antibodi Jumlah Limbah Positif Negatif Buruk 49 (70.00%) 21 (30.00%) 70 Baik 14 (46.67%) 16 (53.37%) 30 Jumlah 63 (63.00%) 37 (37.00%) 100 Analisis kuesioner yang dilakukan dalam pembahasan pengolahan limbah adalah meliputi penilaian saluran penampungan limbah, frekuensi pembersihan limbah yang ada dalam kandang dan penanganan pemanfatan limbah. Kelompok faktor pengelolaan limbah sapi di peternakan yang akan diuji asosiasi dengan pengujian serum darah terbagi menjadi dua kategori yaitu kelompok pengelolaan limbah buruk dan kelompok pengolahan limbah yang baik. Tabel 8 menunjukkan bahwa pengelolaan limbah yang buruk akan berpeluang 2.667 kali lebih besar menimbulkan hasil ELISA antibodi positif bila dibandingkan dengan peternakan yang memiliki pengelolaan limbah yang baik (OR=2.667; CI=1.105-6.434). Pengolahan limbah kering yang baik dapat memberikan solusi yang dapat digunakan untuk mengurangi risiko penyebaran penyakit BVD. Pengolahan limbah dapat dilakukan dengan menerapkan fermentasi anaerobik, pembuatan kompos, dan pembakaran langsung. Kompos dibuat dengan memanfaatkan degradasi limbah organik, proses biodegradasi memakan waktu 4-6 minggu dan menghasilkan kompos yang tidak berbau, tekstur halus, kandungan air rendah (Kelleher et al. 2002). Limbah cair di IKH yang diamati dibuang dengan cara dialirkan ke kolam penampungan dan belum diolah lebih lanjut. Limbah cair dapat diolah dengan cara menerapkan digesti anaerobik yang kemudian akan menghasilkan biogas. Biogas ini dapat bermanfaat sebagai sumber energi alternatif selain dari sumber energi karbon (Kelleher et al. 2002) Tabel 8 Nilai OR dari faktor pengolahan limbah dengan hasil ELISA antibodi positif pada sapi potong yang diimpor melalui Pelabuhan Tanjung Priok No. Pengolahan Positif Negatif Nilai p OR CI 95% limbah 1 Buruk 49 21 0.027 2.667 1.105-6.434 2 Baik 14 16 OR = Odds ratio ; CI 95% = Confidential interval 95% Uji statistik proporsi terlihat berbeda nyata dan signifikan (nilai p hitung = 0.027) lebih kecil dari nilai p α uji = 0.05. Hasil ini menunjukkan ada asosiasi antara faktor program pengolahan limbah yang ada pada peternakan dengan kejadian penyakit BVD.

Pengaruh Faktor Pelaporan kasus dengan Hasil ELISA Antibodi Positif Penyakit BVD Tabel 9 Kelompok faktor pelaporan kasus dengan hasil ELISA antibodi positif pada sapi potong yang diimpor melalui Pelabuhan Tanjung Priok Pelaporan kasus Hasil ELISA antibodi Jumlah Positif Negatif Tidak ada 21 9 30 Ada 42 28 70 Jumlah 63(63.00%) 37 (37.00%) 100 17 Analisis kuesioner yang dilakukan dalam pembahasan pelaporan kasus adalah meliputi penilaian pada pencatatan recording kejadian penyakit terhadap hewan sapi yang baru masuk. Kelompok faktor pelaporan kasus hewan sakit di peternakan yang akan diuji asosiasi dengan pengujian serum darah terbagi menjadi dua kategori yaitu kelompok tidak adanya sistem pelaporan dan kelompok adanya sistem pelaporan baik. Tabel 9 menunjukkan pada hasil kuesioner faktor tidak adanya pelaporan kasus memiliki jumlah kasus hasil positif BVD lebih sedikit yaitu 21 ekor dibandingkan dengan faktor adanya pelaporan kasus sebesar 42 ekor. Jumlah Instalasi karantina hewan yang memiliki pelaporan kasus hanya mencapai 30 feedlot sedangkan 70 feedlot belum mempunyai sistem pelaporan kasus. Kuesioner memperlihatkan kesadaran petugas kandang dalam mencatat dan melaporkan kasus yang ada sudah cukup baik. Tabel 10 Nilai OR dari faktor pelaporan kasus dengan hasil ELISA antibodi positif pada sapi potong yang diimpor melalui Pelabuhan Tanjung Priok No. Pelaporan Positif Negatif Nilai p OR CI 95% kasus 1 Tidak ada 21 9 0.343 - - 2 Ada 42 28 OR = Odds ratio ; CI 95% = Confidential interval 95% Hasil statistik didapat nilai p hitung = 0.343 yang lebih besar dari nilai p α uji = 0.05. Interpretasi hasil nilai p hitung ini menunjukkan tidak berbeda nyata dan tidak signifikan sehingga hubungan asosiasi antara faktor pelaporan kasus yang ada pada peternakan dengan kejadian penyakit BVD tidak saling berkaitan. Hal ini dapat dilihat pada tabel 10, nilai OR dalam tabel tidak dapat dihitung karena nilai p hitung = 0.323 menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata dan signifikan. Sistem pelaporan ini sangat penting dalam hal pencegahan secara dini pada instalasi karantina hewan terhadap menyebarnya penyakit pada populasi ternak. Pelaporan kasus yang tercatat dengan baik dan teratur dapat membantu dokter hewan maupun paramedik yang bertugas dalam feedlot tersebut dalam