BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. finansial Pemerintah Daerah kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

BAB 1 PENDAHULUAN. dan kerja finansial Pemerintah Daerah kepada pihak pihak yang berkepentingan.

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

I. PENDAHULUAN. Pelaksanaan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. dan Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

BAB I PENDAHULUAN. baik pusat maupun daerah, untuk menciptakan sistem pengelolaan keuangan yang

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah

BAB I PENDAHULUAN. melalui penyerahan pengelolaan wilayahnya sendiri. Undang-Undang Nomor

BAB I PENDAHULUAN. pembelanjaan. Pengeluaran-pengeluaran untuk membiayai administrasi

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. angka pengangguran dapat dicapai bila seluruh komponen masyarakat yang

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat

BAB I PENDAHULUAN. pendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Karena itu, belanja daerah dikenal sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi yang seluas-luasnya, dalam arti daerah diberikan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan

KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. implikasi pada pelimpahan wewenang antara pusat dan daerah dalam berbagai bidang.

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana yang telah ditetapkan pada Undang-Undang No 32 Tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

I. PENDAHULUAN. Lampung Selatan merupakan pusat kota dan ibukota kabupaten. Pembangunan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB I PENDAHULUAN. yang dalam perkembangannya seringkali terjadi adalah ketimpangan

BAB I PENDAHULUAN. bagi bangsa ini. Tuntutan demokratisasi yang diinginkan oleh bangsa ini yaitu

BAB I PENDAHULUAN. menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengukur keberhasilan pembangunan dan kemajuan perekonomian di

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

I. PENDAHULUAN. dalam mengelola potensi sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola

BAB I PENDAHULUAN. menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan. arti yang sebenarnya didukung dan dipasung sekian lama mulai

I. PENDAHULUAN. sebagian masyarakat Indonesia mendukung dengan adanya berbagai tuntutan

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. (Khusaini 2006; Hadi 2009). Perubahan sistem ini juga dikenal dengan nama

BAB VII KEBIJAKAN UMUM DAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH

ANALISIS RASIO KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN PURWOREJO PERIODE

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan suatu daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan pemberlakuan otonomi daerah di Indonesia adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisis pertumbuhan..., Edi Tamtomo, FE UI, 2010.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB I PENDAHULUAN. dan aspirasi masyarakat yang sejalan dengan semangat demokrasi.

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002)

I. PENDAHULUAN. dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang,

I. PENDAHULUAN. pengelolaan pemerintah daerahnya, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang

BAB 1 PENDAHULUAN. ekonomi juga merupakan indikator pencapaian pembangunan nasional. akan memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi.

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini

PENDAHULUAN. Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran. pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. berwewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah telah melakukan reformasi di bidang pemerintahan daerah dan

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

ANALISIS RASIO UNTUK MENGUKUR KINERJA PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BANTUL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Kemandirian Keuangan Daerah. Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 32 tahun

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Kebijakan pemerintah pusat yang memberikan kewenangan dalam kebebasan

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu proses kemajuan dan

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas

BAB I PENDAHULUAN. dan masyarakatnya mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada dan. swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang

BAB I PENDAHULUAN. reformasi dengan didasarkan pada peraturan-peraturan mengenai otonomi daerah.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Awal diterapkannya otonomi daerah di Indonesia ditandai dengan

BAB I PENDAHULUAN. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah ke dalam program-program yang tidak lain demi terciptanya

BAB I PENDAHULUAN. 22 Tahun 1999 yang diubah dalam Undang-Undang No. 32 Tahun tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 yang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB I PENDAHULUAN. era baru dengan dijalankannya otonomi daerah. Otonomi daerah ini ditandai

BAB I PENDAHULUAN. ketentuan umum UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah,

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi, sehingga harus disembuhkan atau paling tidak dikurangi. Permasalahan kemiskinan memang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi tahun 1998 memberikan dampak yang besar dalam bidang

BAB I PENDAHULUAN. dampak diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sistem otonomi daerah

ANALISIS KEMANDIRIAN FISKAL DALAM UPAYA MENDUKUNG PELAKSANAAN URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI KABUPATEN INDRAGIRI HULU

BAB I PENDAHULUAN. dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen dokumen

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS. Menurut Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003, pendapatan daerah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Transformasi sistem pemerintahan dari sentralisasi ke dalam desentralisasi

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi daerah yang dititikberatkan pada daerah. kabupaten dan kota dimulai dengan adanya penyerahan sejumlah

BAB I PENDAHULUAN. melakukan berbagai jenis pembelanjaan. Seperti halnya pengeluaran-pengeluaran

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keputusan politik pemberlakuan otonomi daerah yang dimulai sejak tanggal 1 Januari 2001, telah membawa implikasi yang luas dan serius. Otonomi daerah merupakan fenomena politis yang menjadikan penyelenggaraan pemerintahan yang sentralistik birokratis ke arah desentralistik partisipatoris. Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah telah melahirkan paradigma baru dalam pelaksanaan otonomi daerah, yang meletakkan otonomi penuh, luas dan bertanggung jawab pada daerah kabupaten dan kota. Perubahan ini dimaksudkan untuk meningkatkan efektivitas pelayanan masyarakat, menumbuhkan semangat demokratisasi dan pelaksanaan pembangunan daerah secara berkelanjutan dan lebih jauh diharapkan akan menjamin tercapainya keseimbangan kewenangan dan tanggung jawab antara pusat dan daerah. Lahirnya Undang-Undang tersebut memberikan implikasi positif bagi dinamika aspirasi masyarakat setempat. Kebijakan daerah tidak lagi bersifat given dan uniform (selalu menerima dan seragam) dari pemerintah pusat, namun justru pemerintah daerah yang mesti mengambil inisiatif dalam merumuskan kebijakan daerah yang sesuai dengan aspirasi, potensi dan sosiokultural masyarakat setempat. Undang-Undang ini juga membuka jalan bagi terselenggaranya pemerintahan yang baik (good governance) di satu pihak dan pemberdayaan ekonomi rakyat di pihak lain. Karena dengan otonomi, pemerintahan kabupaten/kota memiliki kewenangan yang memadai untuk mengembangkan program-program pembangunan berbasis masyarakat (ekonomi rakyat). Jika selama ini program-program pemberdayaan ekonomi rakyat (IDT, misalnya) didesain dari pusat, daerah tidak memiliki kewenangan untuk berkreasi, sekaranglah saatnya pemerintah daerah kabupaten/kota menunjukkan kemampuannya. Tantangan, bahwa daerah mampu mendesain dan melaksanakan program yang sesuai dengan kondisi lokal patut disikapi dengan kepercayaan diri

dan tanggung jawab penuh. 1 Tujuan utama desentralisasi, daerah semakin mandiri dalam pelaksanaan pemerintahan maupun pembangunan daerahnya. Keberhasilan otonomi daerah adalah terjadinya peningkatan dalam hal pelayanan publik dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sesuai asas money follows function, penyerahan kewenangan daerah juga disertai dengan penyerahan sumber-sumber pembiayaan yang sebelumnya dipegang oleh pemerintah pusat. Sumber-sumber pembiayaan tersebut akan dimanifestasikan lewat struktur Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang kuat, akan menjadi sumber pembiayaan dan mencerminkan kondisi riil daerah. Jika struktur PAD sudah kuat, maka daerah tersebut dikatakan memiliki kemampuan pembiayaan yang juga kuat dan transfer dari pusat dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU) hanya bersifat pendukung bagi pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan di daerah. Untuk membantu daerah dalam mendanai kewenangannya, maka pemerintah pusat memberikan dana subsidi kepada daerah dalam bentuk dana perimbangan. Dana perimbangan merupakan pendanaan daerah yang bersumber dari APBN, terdiri atas Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Tujuan dari dana perimbangan adalah untuk mengurangi ketimpangan sumber pendanaan pemerintah antara pusat dan daerah serta untuk mengurangi kesenjangan pendanaan pemerintahan antar daerah. Sebesar 26 persen dari APBN merupakan sumber dana bagi DAU yang sistem pembagiannya sebesar 10 persen untuk provinsi dan 90 persen untuk kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Namun tujuan tersebut belum menunjukkan tanda-tanda yang menggembirakan. Yang terjadi dewasa ini justru sebaliknya yaitu daerah makin bergantung terhadap alokasi transfer dari Pemerintah Pusat terutama DAU. Banyak penelitian terdahulu 1, menunjukkan suatu fakta yang memprihatinkan yaitu hampir di semua daerah di Indonesia rasio DAU terhadap Total Pendapatan Daerah melebihi angka 50 persen, dengan kata lain tingkat ketergantungan daerah terhadap pusat masih tinggi dan belum mandiri. 1. Herry Subagyo, Pengembangan Ekonomi Rakyat di Era Otonomi Daerah, Artikel Th. I No. 11 - Januari 2003

Sumber : Pendapatan Asli Daerah 1994-2006, DJPK Kemenkeu Gambar 1. Pendapatan Asli Daerah Kota Bogor (1994-2006) Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Bogor (Gambar 1) dari tahun 2000 menunjukkan peningkatan yang signifikan namun tidak diiringi dengan peningkatan rasio kemandiriannya. Rasio PAD terhadap APBD Kota Bogor sangat rendah yaitu rata-rata dari tahun 2001-2005 sebesar 13 persen, ini berarti pemerintah masih sangat tergantung terhadap dana bantuan dari pemerintah pusat. Sumber : BPKAD Kota Bogor, 2010 Gambar 2. Perbandingan DAU dan PAD Kota Bogor (2001-2009)

Kemandirian suatu daerah dapat dilihat dari kapasitas fiskal yang dimiliki daerah tersebut, semakin besar kontribusi kapasitas fiskal terhadap penerimaan daerah maka semakin tinggi kemampuan daerah dalam membiayai seluruh urusan. Tetapi jika persentase kapasitasnya relatif kecil, daerah tersebut sangat tergantung kepada dana perimbangan (Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus dan Dana Bagi Hasil), artinya pemerintah daerah mengalami ketergantungan sangat tinggi terhadap dana dari pemerintah pusat. Oleh sebab itu perlu adanya inventarisasi potensi yang ada, dimana potensi tersebut merupakan sumber penerimaan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bogor, dari sisi pertumbuhan ekonomi Pemerintah Daerah Kota Bogor masih memperlihatkan adanya kecenderungan pertumbuhan ekonomi masih lambat, ini bisa dilihat pada Gambar 3, sehingga dapat dikatakan bahwa belum terlihat adanya keberhasilan desentralisasi fiskal dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, bahkan bisa dikatakan bahwa pertumbuhan ekonomi saat sebelum desentralisasi fiskal lebih tinggi daripada setelah desentralisasi fiskal. Sumber : BPS Kota Bogor Gambar 3. Laju Pertumbuhan Ekonomi Kota Bogor (1994-2006) Laju pertumbuhan ekonomi Kota Bogor tahun 2009 berada pada kisaran 6,02 persen, capaian ini lebih baik dari laju pertumbuhan ekonomi pada tahun 2008 yang mencapai 5,98 persen. Pertumbuhan ekonomi Kota Bogor juga

tergambar pada pertumbuhan angka PDRB atas dasar harga yang berlaku di tahun 2009 yang mencapai Rp 12,294 triliyun. Pada Tabel 1 dibawah ini dapat dilihat bahwa tingkat pertumbuhan PAD lebih besar dari tingkat pertumbuhan pendapatan namun demikian proporsi PAD terhadap total pendapatan relatif masih kecil dengan rata-rata sebesar 13,62 persen, hal ini menggambarkan bahwa tingkat ketergantungan Pemerintah Daerah pada dana perimbangan masih tinggi. Tabel 1. Perkembangan Realisasi Pendapatan Asli Daerah dibandingkan dengan Total Pendapatan Tahun 2004-2008 Tahun Realisasi PAD ( Juta ) Pertumbuhan PAD ( % ) Realisasi Pendapatan ( Juta ) Proporsi PAD terhadap Pendapatan Pertumbuhan Pendapatan ( % ) 2004 50,644-384,595 13,17 13,17 2005 66,707 31,72 421,439 15,83 9,58 2006 69,300 3,89 536,012 12,93 27,19 2007 79,819 15,18 635,463 12,56 18,55 2008 97,768 22,49 718,083 13,62 13,00 Rata-rata Realisasi Per Tahun 18,32 13,62 17,08 Sumber : Laporan Keuangan Pemerintah Kota Bogor Tahun 2004 s/d 2008 Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa sumber pendapatan yang dominan bagi APBD Kota Bogor adalah berasal dari pendapatan transfer, baik dana perimbangan dari pusat maupun dari propinsi yaitu mencapai 82,88 persen dari total pendapatan. Sumber terbesar berasal dari Dana Alokasi Umum yang cenderung setiap tahunnya mengalami peningkatan. Demikian pula halnya dengan pendapatan yang berasal dari Dana Bagi Hasil pajak sejak tahun 2004-2008 terus mengalami peningkatan. Namun demikian, penggalian potensi penerimaan dari PAD tetap perlu ditingkatkan melalui penggalian pajak daerah dan retribusi daerah sehingga ketergantungan terhadap dana perimbangan dari Pusat tidak terlalu besar. Berdasarkan perkembangan Dana Alokasi Umum (DAU) Kota Bogor selama kurun waktu lima tahun, yang terlihat pada Tabel 2, besaran Dana Alokasi Umum yang diterima oleh Pemerintah Kota Bogor mengalami

peningkatan, hal ini menunjukkan bahwa kemampuan fiskal Kota Bogor belum dapat dikategorikan mampu atau mandiri. Tabel 2. Perkembangan Realisasi Pendapatan dari Dana Alokasi Umum Tahun 2004-2008 Tahun Realisasi ( Rp. ) Pertumbuhan ( Persen ) 2004 205.937.147.000-2005 214.806.000.000 4,31 2006 302.515.000.000 40,83 2007 359.576.513.600 18,86 2008 397.366.563.000 10,51 Sumber : Laporan Keuangan Pemerintah Kota Bogor Tahun 2004-2008 Merujuk pada Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, bahwa pengelolaan keuangan daerah dituangkan ke dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang terdiri atas struktur pendapatan, struktur belanja dan struktur pembiayaan daerah, yang dilaksanakan secara tertib, efisien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggungjawab serta untuk mencegah tumpang tindih ataupun tidak tersedianya pendanaan pada suatu bidang pemerintahan, maka diatur pendanaan penyelenggaraan pemerintahan. Penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Pendanaan keuangan Pemerintah Daerah Kota Bogor tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Bogor 2010-2014 yang berisi gambaran kemampuan pengelolaan keuangan daerah untuk melaksanakan pembangunan Kota Bogor untuk kurun waktu lima tahun ke depan, RPJMD ini menjadi dasar dalam penetapan kerangka penganggaran untuk pembangunan tahunan. Berdasarkan potensi tersebut sehingga dibuat target setiap tahunnya dan ini merupakan perkiraan yang terukur dan rasional dari sumber-sumber

penerimaan yang harus dicapai pada akhir tahun anggaran. Besarnya potensi sumber-sumber penerimaan pendapatan asli daerah dapat dilihat dari tingkat kemajuan ekonomi daerah (PDRB). Perhitungan PDRB setiap tahunnya memberikan gambaran perekonomian daerah baik secara makro maupun secara sektoral. Angka PDRB dapat digunakan sebagai indikator ekonomi yang bermanfaat untuk melihat pertumbuhan ekonomi daerah, struktur perekonomian daerah, tingkat kesejahteraan rakyat serta tingkat Inflasi dan Deflasi. Sumber : BPKAD Kota Bogor, 2010 Gambar 4. PDRB Kota Bogor (2000-2008) Peningkatan makro pembangunan juga tergambar dari total investasi di Kota Bogor tahun 2009 yang mencapai Rp.869,51 miliar atau naik sebesar Rp.1,09 miliar dari investasi di tahun 2008 yang hanya mencapai Rp.868,42 miliar, sedangkan inflasi berhasil ditekan pada tingkat 6 persen dari inflasi tahun 2008 yang mencapai 14,20 persen. Pembangunan pada dasarnya ditujukan agar tercipta kondisi sosial ekonomi masyarakat yang lebih baik. Pembangunan ekonomi yang selama ini dilakukan, lebih difokuskan dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi, pemerataan pendapatan dan perluasan lapangan kerja. Idealnya ketiga hal tersebut dicapai secara bersamaan, namun menguatnya indikator makro pembangunan belum diikuti oleh pemerataan pendapatan dan

perluasan kesempatan kerja atau penurunan angka pengangguran. Sampai akhir tahun 2009 angka pengangguran di Kota Bogor masih berada di kisaran 15 persen atau naik 1,36 persen dari tahun 2008 yang mencapai 13,64 persen. 2 Berdasarkan beberapa indikator tersebut diatas, terlihat bahwa desentralisasi fiskal yang telah berjalan selama 10 tahun yang dimulai tahun 2000 di Kota Bogor masih belum dapat mendorong pertumbuhan ekonomi secara nyata khususnya pada sektor riil, sehingga perlu dibuat sebuah kajian Bagaimana Strategi meningkatkan kapasitas fiskal Pemerintah Kota Bogor? 1.2 Perumusan Masalah Anggaran pembiayaan pembangunan yang bersumber dari APBD seharusnya memberikan kontribusi yang sangat besar bagi pertumbuhan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB), yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan kemandirian pemerintah daerah melalui peningkatan sumber-sumber kapasitas fiskalnya. Selama lima tahun (2001-2005) PDRB Kota Bogor mencapai rata-rata Rp.3,18 Trilyun atau rata-rata per kapita sebesar Rp. 3.888.071 per tahun. PDRB sektor primer makin menurun dari tahun ke tahun dengan kontribusi terhadap PDRB Kota Bogor rata-rata 0,37 persen, sedangkan sektor sekunder kontribusinya mencapai 38,67 persen dan sektor tersier sebesar 61,09 persen. Data Bagi Hasil Kota Bogor Tahun 2008 menunjukkan bahwa Kota Bogor masih mengandalkan bantuan dari Pemerintah Pusat dalam bentuk dana perimbangan (DAU) sebesar 57 persen untuk penyelenggaraan pemerintahannya, karena kontribusi PAD terhadap APBD Kota Bogor baru mencapai angka 13,39 persen dan rasio PAD terhadap APBD Kota Bogor rata-rata pada tahun 2001-2005 sebesar 13 persen. Jika dilihat dari tolak ukur kemampuan daerah, dimana rasio PAD terhadap APBD berada pada kisaran 10,01-20 persen menunjukkan tingkat kemandirian daerah tersebut dalam penyelenggaraan pemerintahannya kurang. Artinya daerah tersebut masih sangat tergantung pada dana bantuan dari pemerintah pusat. 2. Data dalam website Kota Bogor, www.kotabogor.go.id

Sumber : Dinas PKAD Kota Bogor, 2009 Gambar 5. Bagi Hasil Kota Bogor Tahun 2008 Keberhasilan suatu pemerintahan akan diukur dari kinerjanya. Kinerja ini dapat dilihat dalam arti penampilan atau aksi dan dalam bentuk hasil (output) dan hasil akhir (outcome) yang dicapai. Hasil yang dinilai tidak hanya dikaitkan dengan input waktu namun juga dengan input biaya yang dikeluarkan. Namun apakah kemudian penerimaan daerah secara efektif telah ditransformasikan menjadi pengeluaran yang berdampak nyata terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat, oleh karena itu dalam pengukuran kinerja tidak hanya digunakan indikator efektivitas tetapi juga efisiensi, maka pertanyaan pertama kajian ini adalah Bagaimana perkembangan dan efektivitas kapasitas fiskal (Pajak Daerah) Pemerintah Daerah Kota Bogor setelah desentralisasi fiskal?. Untuk dapat memformulasikan kebijakan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kapasitas fiskal Pemerintah Daerah Kota Bogor maka perlu mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan penerimaan PAD untuk meningkatkan kapasitas fiskal Pemerintah Daerah Kota Bogor, maka tujuan pertanyaan kedua kajian ini adalah untuk Mengidentifikasi faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi pengembangan sumber-sumber kapasitas fiskal Pemerintah Daerah Kota Bogor. Gambaran hubungan desentralisasi, pertumbuhan ekonomi dan proses perubahan struktur ekonomi dibutuhkan oleh Pemerintah Daerah Kota Bogor dalam merencanakan pembangunan daerah untuk menentukan prioritas,

khususnya dalam era desentralisasi saat ini dimana pemerintah daerah diberi kesempatan seluas-luasnya untuk menentukan arah kebijakan pembangunan. Dari hasil analisis tersebut, akan diperoleh suatu model yang berguna dalam penentuan strategi peningkatan pertumbuhan ekonomi, yang mampu memberikan daya ungkit untuk pengembangan potensi sumber-sumber kapasitas fiskal di Kota Bogor, sehingga rumusan permasalahan ketiga kajian ini adalah Strategi apa yang dapat diformulasikan untuk meningkatkan kapasitas fiskal di Kota Bogor?. 1.3 Tujuan Kajian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, tujuan utama dari kajian ini adalah merumuskan strategi untuk meningkatkan kapasitas fiskal di Pemerintah Daerah Kota Bogor khususnya pajak daerah oleh Dinas Pendapatan Daerah penda Kota. Untuk menjawab tujuan utama tersebut maka tujuan khusus dari kajian ini adalah : a. Menganalisis perkembangan dan efektivitas kapasitas fiskal, khususnya pajak daerah di Pemerintah Daerah Kota Bogor setelah desentralisasi fiskal b. Mengidentifikasi faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi pengembangan sumber-sumber kapasitas fiskal Pemerintah Daerah Kota Bogor (pajak daerah) c. Memformulasikan kebijakan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kapasitas fiskal (pajak daerah) Pemerintah Daerah Kota Bogor 1.4 Manfaat Kajian Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari kajian ini adalah : 1. Menjadi bahan masukan dan sumbangan pemikiran bagi Pemerintah Daerah Kota Bogor dalam penanganan masalah, penentuan kebijakan, dan pelaksanaan program pembangunan terkait dengan usaha-usaha peningkatan pendapatan daerah. 2. Mendukung teori ilmiah atau akademik bahwa pendekatan pertumbuhan ekonomi Kota Bogor dapat dijadikan dasar sebagai salah satu pendekatan dalam usaha peningkatan pembangunan ekonomi daerah.