KERAGAAN BEBERAPA GENOTIPE JAGUNG HIBRIDA DI LAHAN SAWAH NUSA TENGGARA BARAT Baiq Tri Ratna Erawati 1), Awaludin Hipi 1) dan Andi Takdir M. 2) 1)Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 2)Balai Penelitian Tanaman Serealia ABSTRAK Jagung merupakan pangan pokok kedua setelah padi. Kebutuhan jagung terus meningkat setiap tahunnya, seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk seperti di Nusa Tenggara Barat. Untuk itu dibutuhkan upaya peningkatan produksi jagung. Salah satunya melalui inovasi teknologi, khususnya penggunaan varietas unggul. Untuk menghasilkan varietas unggul perlu dilakukan pengujian yang bertujuan untuk mendapatkan varietas yang memiliki potensi hasil tinggi. Penelitian dilakukan di lahan sawah Kabupaten Lombok Barat, dari Juni sampai September 2010. Pengujian menggunakan rancangan acak kelompok, dengan perlakuan genotipe (12 genotipe) yang diulang 4 kali. Ukuran petak 3 m x 5 m, jarak tanam 75 cm x 20 cm, 1 tanaman/rumpun. Peubah terdiri atas tinggi tanaman, tinggi letak, umur berbunga jantan dan betina, komponen hasil dan hasil biji. Hasil kajian menunjukkan bahwa 11 dari 12 genotipe yang diuji memiliki hasil biji > 8 ton/ha. Satu genotipe/galur (ST201004) memiliki hasil biji tertinggi 10,76 ton/ha, setara dengan Bima-3 (9,83 ton/ha). Galur ini sangat potensial untuk selanjutnya dapat dilepas menjadi varietas unggul baru. Kata Kunci: Genotipe, jagung, hibrida PENDAHULUAN Jagung merupakan komoditas pangan strategis kedua setelah padi. Kebutuhan akan jagung terus meningkat setiap tahunnya, untuk tahun 2011 ditargetkan produksi jagung nasional dapat mencapai 22 juta ton dengan luas tanam sekitar 4,25 juta hektar dengan produktivitas sebesar 40,00-42,30 kuintal per hektar. Jika target produksi tidak tercapai maka diprediksi kuantitas impor jagung akan lebih tinggi, hal ini tentu kurang diharapkan baik oleh pemerintah maupun petani. Nusa Tengara Barat (NTB) merupakan salah satu provinsi yang mempogramkan pengembangan 3 komoditi unggulan daerah, dimana salah satu adalah komoditi jagung. Target produksi jagung NTB pada tahun 2011 sebesar 407 ribu ton pipilan kering yang dipanen dari lahan seluas 92.226 hektare dengan luas tanam 97.120 hektare. Sementara produksi jagung tahun 2010 telah mencapai 305.551 ton pipilan kering dengan luas panen 88.579 hektare dengan tingkat produktivitas 36,52 kwintal per hektare (Diperta NTB. 2011). Sedangkan potensi areal penanaman jagung di NTB mencapai 404.000 ha, namun yang baru dapat dikelola sekitar 97.000 hektar. Hal ini, mengindikasikan bahwa produksi jagung Nasional maupun Daerah NTB belum maksimal, sehingga perlu dilakukan upaya peningkatan produksi secara optimal. Ada berbagai peluang yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produksi jagung, salah satunya melalui penggunaan varietas unggul, seperti varietas hibrida. Varietas unggul memiliki peranan yang lebih besar dalam peningkatan produktivitas diantara komponen teknologi lain dalam produksi jagung. "Selain memberikan hasil tinggi, varietas unggul juga berperan dalam pengendalian hama dan penyakit. Dalam memilih varietas unggul yang akan ditanam, harus mempertimbangkan kondisi lingkungan (tanah dan iklim), keinginan petani seperti; varietas yang tahan kekeringan, toleran tanah masam, dan juga sesuai 57 Seminar Nasional Serealia 2011
dengan kesukaan petani pada sifat lainnya seperti umur dan warna biji. Hal ini sesuai menurut Budiarti et al.( 2001) bahwa Pengembangan varietas unggul diarahkan untuk mendapatkan sifat-sifat potensi hasil tinggi, tahan/toleran terhadap cekaman biotik dan abiotik, mutu hasil tinggi, sesuai dengan selera konsumen dan permintaan pasar. Untuk itu maka perlu dilakukan pengujian beberapa genotipe jagung hibrida dengan tujuan untuk mendapatkan genotipe jagung hibrida unggul sebagai calon varietas unggul hibrida dengan potensi hasil tinggi. METODOLOGI Penelitian dilakukan dilahan sawah, Desa Lembar Kecamatan Lembar Kabupaten Lombok Barat NTB, yang dimulai dari bulan Juni sampai September 2010. Penelitian Menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK), dimana perlakuan adalah Genotipe jagung sebanyak 12 genotipe yang diulang sebanyak 4 kali, sehingga terdapat 48 petak perlakuan. Ukuran petak setiap perlakuan adalah lebar 3 meter dan panjang 5 meter. Penanaman jagung dilakukan dengan jarak tanam 75 cm x 20 cm, 1 tanaman per rumpun. Takaran pupuk yang digunakan adalah : 250 kg urea + 250 kg NPK Phonska, dengan aplikasi sebanyak 2 kali yaitu pada umur 7 hst (hari setelah tanam) dan 35 hst. Pemupukan pertama pada umur 7 hst menggunakan takaran pupuk sebanyak 250 kg NPK phonska dengan cara ditugal 5 cm dari tanaman, kemudian ditutup kembali dengan tanah. Pemupukan kedua dilakukan pada umur 35 hst dengan takaran pupuk 250 kg urea yang diaplikasikan secara tugal dengan jarak 10 cm dari tanaman kemudian ditutup kembali dengan tanah. Penyiangan dilakukan 1 kali yaitu pada umur 21 hst. Penyiraman dilakukan sesuai dengan kebutuhan tanaman. Panen dilakukan bila kelobot sudah mengering dan terbentuk lapisan hitam (black layer) pada biji. Peubah yang diamati meliputi; tinggi tanaman, tinggi tertancapnya, umur berbunga jantan dan betina, komponen hasil yang terdiri atas ; jumlah baris/, jumlah biji/, diameter, panjang, rendemen biji dan hasil biji. Data agronomis dianalisis dengan menggunakan analisis keragaman (Anova) pada taraf 5%, dengan menggunakan software Genstat. HASIL DAN PEMBAHASAN Dari hasil analisis pada Tabel 1, diketahui bahwa tinggi tanaman cukup bervariasi antar genotipe, hal ini diduga banyak dipengaruhi oleh sifat genetik yang dimiliki oleh masing-masing genotipe. Tinggi tanaman berkisar antara 220-251 cm, terdapat 1 genotipe yang memiliki tinggi tanaman tertinggi yaitu ST201004 setinggi 251,33 cm, 7 genotipe memiliki tinggi berkisar antara 226-238 cm dan 4 genotipe memiliki tinggi tanaman antara 220-223 cm. 58 Baiq Tri Ratna Erawati, Awaludin Hipi dan A.Takdir M : Keragaan Beberapa Genotipe Jagung Hibrida di Lahan Sawah Nusa Tenggara Barat
Tabel 1. Keragaan agronomi beberapa genotipe jagung hibrida di lahan sawah NTB, 2010 Genotipe Tinggi tanaman Tinggi letak Umur berbunga jantan (hari) Umur berbunga betina (hari) ST201001 238,16 b 127,08 b 53,00 de 54,25 de ST201004 251,33 a 146,58 a 54,00 cd 55,25 cd ST201007 231,99 bcd 121,83 bcde 55,00 bc 56,00 bc ST201008 226,33 bcd 115,58 cdef 51,50 f 53,25 e ST201011 238,91 b 116,58 bcdef 53,25 de 54,75 cd ST201014 221,08 cd 109,16 f 52,00 ef 53,25 e ST201015 230,00 bcd 124,00 bcd 53,50 d 54,75 cd Bima-2 234,33 bc 124,41 bc 55,50 b 56,75 b Bima-3 221,58 cd 113,41 def 53,00 de 54,50 de Bima-5 220,16 cd 108,91 f 59,50 a 58,25 a Bisi-2 237,66 b 139,75 a 54,00 cd 55,50 bcd JJM-1 223,75 cd 112,58 ef 53,75 cd 54,75 cd CV 3,65 5,49 1,49 1,50 Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak menunjukkan pengaruh nyata pada taraf 5% Untuk tinggi letak dari hasil penelitian memperlihatkan bahwa antar genotipe sangat bervariasi dibandingkan dengan tinggi tanaman. Tinggi tertancapnya pada semua genotipe berkisar antara 108 146 cm. Letak tertinggi berkisar antara 139-146 cm pada 2 genotipe ST201004 dan Bisi-2, sedangkan letak tertancapnya terpendek berkisar antara 108-109 cm pada genotipe ST201014dan Bima-5.(tabel 1) Singkronisasi pembungaan antara bunga jantan dan betina sangat mempengaruhi produktivitas tanaman. Keterlambatan salah satunya juga akan mempengaruhi hasil biji. Dari 12 genotipe yang diuji menunjukkan bahwa umur berbunga jantan dan betina berbeda antar genotipe. Bunga jantan umumnya lebih dulu keluar dibandingkan dengan bunga betina kecuali pada Bima-5 menunjukkan bahwa bunga betina lebih dulu muncul dibandingkan dengan bunga jantan. Umur berbunga jantan pada 12 geotipe berkisar antara 51-59 hari, terdapat 2 genotipe yang umur berbunga jantannya lebih cepat dari yang lain yaitu ST201008 dan ST201014 pada umur 51-52 hari, dan hanya terdapat 1 genotipe yang umur berbunga jantannya lebih lama yaitu Bima-5 pada umur 59 hari. Hal ini berlaku juga pada umur berbunga betina. Dari hasil analisis terhadap komponen hasil pada Tabel 2, diketahui bahwa terdapat perbedaan antar genotipe terhadap jumlah baris per. Terdapat 1 genotipe/galur yang memiliki jumlah baris per terbanyak yaitu ST201001 yang setara dengan JJM-1, dan Bima-2 sebagai pembanding, sedangkan genotipe/varietas yang paling sedikit yaitu Bisi-2. Ini menunjukkan bahwa genotipe ST201001 cukup potensial pada jumlah baris karena setara dengan JJM-1 dan Bima-2. 59 Seminar Nasional Serealia 2011
HASIL BIJI (Kg/ha) Tabel 2. Keragaan komponen hasil dan hasil biji beberapa genotipe jagung hibrida di lahan sawah, NTB 2010 Genotipe Jumlah baris/ (baris) Jumlah biji/ (butir) Diameter (mm) Panjang Rendemen biji (%) Hasil biji (t/ha) ST201001 14,40 ab 400,48 f 5,15 ab 14,46 e 0,77 ab 8,64 b ST201004 13,10 de 461,26 cde 4,87 cd 16,37 cd 0,81 ab 10,76 a ST201007 13,00 de 441,52 cdef 4,73 de 17,90 bc 0,77 ab 8,66 b ST201008 13,20 de 414,76 ef 5,06 bc 16,30 cd 0,76 ab 9,01 b ST201011 13,90 bcd 446,24 cdef 4,96 e 17,20 bcd 0,79 ab 8,49 b ST201014 13,50 bcd 432,06 def 5,06 ab 17,52 bc 0,76 ab 8,68 b ST201015 13,30 cde 407,62 f 4,96 bc 16,32 cd 0,77 ab 9,07 b Bima-2 14,40 ab 524,18 a 5,23 a 19,92 a 0,75 b 8,82 b Bima-3 14,20 bc 483,60 abc 5,09 ab 17,52 bc 0,81 ab 9,83 ab Bima-5 14,30 b 514,58 ab 5,15 ab 18,55 ab 0,76 ab 6,31 c Bisi-2 12,40 e 460,06 cde 4,59 e 17,10 bcd 0,81 ab 8,80 b JJM-1 15,30 a 469,50 bcd 5,13 ab 15,57 de 0,82 a 9,00 b CV 4,35 6,80 2,42 6,59 4,87 12,15 Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak menunjukkan pengaruh nyata pada taraf 5% 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0 GENOTIPE JAGUNG HIBRIDA UNGGUL Gambar 1. Keragaan Hasil Biji Beberapa Genotipe Jagung Hibrida Unggul di NTB, 2010 Untuk jumlah biji per, belum terdapat genotipe/galur yang mampu menyamai 3 genotipe/pembanding yaitu Bima-2, Bima-5 dan Bima-3. Genotipe/galur baru mampu menyamai JJM-1 dan Bisi-2, galur tersebut adalah ST201004, ST201011 dan ST201007. Dari hasil analisis diameter, diketahui bahwa terdapat perbedaan antar genotipe. Terdapat 2 genotipe/galur yaitu ST201001 dan ST201014 yang mampu menyamai genotipe pembanding Bima-2, Bima-3, Bima-5 dan JJM-1 terhadap diameter terlebar. Pada panjang juga terdapat perbedaan antar genotipe, tetapi belum ada genotipe/galur yang memiliki panjang setara dengan Bima-2 60 Baiq Tri Ratna Erawati, Awaludin Hipi dan A.Takdir M : Keragaan Beberapa Genotipe Jagung Hibrida di Lahan Sawah Nusa Tenggara Barat
dan Bima-5. Genotipe/galur yang diuji baru mampu menyamai panjang Bima-3 dan Bisi-2, galur tersebut yaitu ST201007, ST201014, dan ST201011. Dari hasil analisis terhadap rendemen biji menunjukkan bahwa semua galur mampu menyamai rendemen biji pada varietas pembanding, sehingga diduga semua galur yang diuji memiliki potensi hasil yang cukup tinggi. Hal ini didukung oleh hasil analisis hasil biji, dimana terdapat 1 genotipe/galur (ST201004) memiliki potensi hasil tertinggi yaitu 10,76 t/ha, yang potensi hasil bijinya setara dengan Bima-3 (9,83 t/ha), sementara galur yang lain memiliki hasil biji yang relatif sama dengan varietas pembandingnya. Bahkan dalam penelitian ini varietas Bima-5 memiliki potensi hasil yang jauh dibawah 7 galur yang diuji. Untuk lebih jelasnya mengenai hasil biji pada setiap genotipe yang diuji ditampilkan pada Gambar 1. KESIMPULAN 1. Dari 12 genotipe yang diuji 11 genotipe memberikan hasil > 8.00 kg/ha, hanya 1 genotipe yang memiliki hasil < 7.000 kg/ha. 2. Genotipe ST201004 memiliki hasil tertinggi (10.76 kg/ha) yang setara dengan Bima-3 (9829 kg/ha), sedangkan genotipe lainnya memiliki hasil berkisar 8.000 9.000 kg/ha dan varietas Bima-5 memberikan hasil terendah (6.31 kg/ha) 3. ST201004 merupakan genotipe yang dapat diusulkan untuk dilepas menjadi varietas unggul hibrida setelah diuji ulang. DAFTAR PUSTAKA Budiarti, S.G., T.S. Silitonga, S.A. Rais, L. Hakim, dan Hadiatmi. 2001. Evaluasi Pengaruh Cekaman Abiotik pada plasma Nutfah Tanaman Pangan. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Rintisan dan Bioteknologi Tanaman. Bogor. hlm. 148-162 hal. Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi NTB, 2011. Target Produksi Jagung 2011-2012. Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi NTB. Mataram. Edmeades, G. O., J. Bolanos, and H.R.Lafitte. 1992. Program in breeding for drought tolerance in maize, Proceeding of the 47th annual corn and sorghum industry, Research conference ASTA, Washington, D.C. Lee, C. 2007. Corn growth and development. www.uky.edu/ag/grain crops. 61 Seminar Nasional Serealia 2011