1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tumbuh, hidup dan berkembangnya suatu kota tidak terlepas dari berbagai faktor, di antaranya mobilitas masyarakat, pertumbuhan ekonomi, politik, pariwisata yang semuanya berdampak terhadap perkembangan sosial budaya yang berlangsung di kota tersebut. Dalam hal ini Abdullah ( 2004:10) mengatakan sebagai berikut. Transformasi ruang perkotaan menyebabkan batas-batas kultural menjadi mengabur dengan adanya pembentukan sejarah baru dalam identitas masyarakat kota. Identitas dalam konteks global memiliki corak simbolisasi yang padat dengan nilai estetika yang menggugat nilai-nilai etis dan definisi normatif tentang kehidupan secara umum. Makna kehidupan itu sendiri kemudian ditentukan oleh proses diskursif yang dibangun dengan kekuatan yang bervariasi dengan kepentingan yang beragam. Oleh karena pusat kekuasaan mengalami gugatan akibat kompetisi yang semakin berat, yakni melibatkan aktor dan partisipan yang berbeda. Apabila diamati eksistensi kesenian akan ditumbuhkembangkan oleh karakteristik kota itu sendiri. Pengaruh berbagai faktor, terutama faktor ekonomi, politik, dan pariwisata mengakibatkan kesenian juga tergantung pada hal itu, sehingga kesenian memfungsikan diri menjadi komunitas hiburan. Motivasi berkesenian diperhitungkan dengan untung rugi dan nilai uang. Dengan demikian tempat pementasan/ruang presentasi, publikasi dan popularitas menjadi pertimbangan tersendiri bagi seniman. Kehadiran kesenian pada umumnya dan seni tari pada khususnya di Kota Padang juga ditumbuhkembangkan oleh karakteristik kota itu sendiri. Sebagai seni, pertunjukan tari di Kota Padang mengalami dilema karena adanya perubahan dan
2 perkembangan. Di satu sisi masyarakat tradisional mempertahankan nilai-nilai filosofis dengan idiom-idiom kovensional yang mengikat seperti, nilai agama, etika dan estetika dalam struktur tarian. Namun di sisi lain tari yang dikembangkan oleh koreografer-koreografer yang memasukkan idiom-idiom baru kadang kala terlepas dari nilai-nilai yang seharusnya tetap dipertahankan. Fenomena di atas menunjukkan bahwa terjadi kontradiksi dalam kehidupan tari Minangkabau pada konsep pengembangannya sebagai seni tari tradisi dan sebagai seni tari kreasi untuk memenuhi kebutuhan pertunjukan. Kontradiksi konsep dan pikiran dalam pembinaan dan pengembangan tersebut mencakup berbagai dilema, termasuk ideologi apa yang ada di balik realitas atau kenyataan perkembangan pertunjukan tari di Kota Padang. Dilematika yang dihadapi kesenian tradisional umumnya, dan seni tari Minangkabau khususnya tampaknya harus menerima takdir yang selalu berhadapan dengan kekuatan-kekuatan yang hegemonik, seperti negara (birokrasi) dan agama. Namun, hal yang tidak kalah penting adalah kaum intelektual seni, modernisasi, media massa, dan mungkin kultur dominan yang secara bersama-sama atau sendiri melancarkan intervensi dengan tujuan tertentu. Dengan dalih demi kemajuan estetika dan etika, mereka memprakarsai upaya-upaya pengemasan seni tari dalam bentuk revitalisasi, rekonstruksi, pembinaan, dan pengembangan yang semuanya dilakukan untuk kebutuhan atau kepentingan publik eksternal, tanpa memperhitungkan kebutuhan atau kepentingan komunitas pendukung seni tradisional itu sendiri (Anoegrajekti, 2005: 200).
3 Lembaga kebudayaan sebagai perpanjangan kekuasaan negara yang diserahkan kepada Disbudpar, Depdiknas, dan pemerintah daerah ditugaskan untuk melakukan pembinaan, pengembangan, atau pelestarian seni tradisi. Para pengayom ini cenderung mengemas seni tari Minangkabau untuk kepentingan-kepentingan nontradisi seperti untuk pertunjukan kepariwisataan dan festival-festival. Pikiran dan upaya tersebut juga dapat dipandang positif dalam pengembangan seni tari Minangkabau untuk kawasan yang lebih luas sehingga seni tari tersebut tidak hanya lagi berpotensi untuk kepentingan-kepentingan tradisi. Di lain pihak, cara pembinaan kesenian yang dilakukan kaum hegemonis tersebut menimbulkan kesenjangan. Oleh karena tampaknya para pengayom kesenian atau orang-orang yang potensial dalam pengembangan kesenian tersebut kurang arif dan bijak dalam mengembangkan seni tari Minangkabau untuk kepentingan kehidupan tradisi itu sendiri. Hal tersebut menyebabkan tari tradisi Minangkabau tercabut atau terasingkan dari habitatnya. Dilematika tersebut semakin intens karena munculnya konteks globalisasi kehidupan masa kini yang mengharuskan tari Minangkabau harus berkonfrontasi dan/atau berkonsensus dengan kenyataan-kenyataan global. Appadurai (1997: 296) menandai globalisasi dengan terjadinya pergerakan-pergerakan (1) manusia (ethnoscape), (2) uang (finanscape), (3) teknologi (technoscape), (4) media (mediascape), dan (5) ideologi (ideoscape). Dalam era globalisasi, kontak-kontak budaya yang menyertai kehidupan masyarakat tidak dapat dihindari lagi. Intensitas kontak budaya global itu sedikit banyak mempengaruhi kehidupan dan perkembangan suatu tradisi dalam masyarakat
4 termasuk persepsi dan apresiasi masyarakat dalam memandang dan mengapresiasi suatu kesenian. Hal tersebut sungguh menjadi dilema yang menganjal dalam kehidupan berkesenian karena di satu pihak ingin melestarikan budaya lama yang dianggap mempunyai nilai filosofis yang luhur, tetapi di pihak lain ingin mengembangkan seni tradisi agar lebih hidup dan diterima oleh berbagai lapisan masyarakat. Kekhawatiran terhadap kelangsungan hidup seni budaya tradisi akan muncul, bahkan ada yang menganggap bahwa persentuhan kebudayaan akan menghancurkan identitas budaya masyarakat tradisional. Pengembangan tari tradisional harus berpijak pada akar tradisi itu sendiri. Pengertian akar tradisi dalam hal ini adalah nilai esensial ketradisian tarian tersebut. Bentuk gerak dan komposisi tarian bisa berubah dan berkembang, tetapi karakteristik dan kespesifikan teknis dan filosofis tari itu tidak boleh dirubah. Dengan demikian ikatan estetis dalam konstruksi teknis dan filosofis elemen-elemen tari tradisional pada tari garapan baru merupakan inovasi yang berkesinabungan. Akan tetapi, apakah seniman tari Minangkabau pada umumnya dan seniman tari kota Padang pada khususnya sudah berbuat demikian. Jika sudah tentu tari Minangkabau akan hidup dan berkembang dengan baik serta mendapat perhatian dari semua golongan masyarakat. Pengembangan semacam itu hanya dilakukan oleh penata-penata tari Minangkabau profesional, seperti: sanggar tari Syofyani, grup tari Indojati, grup tari Gusmiati Suid oleh sekolah-sekolah kesenian seperti SMKI Padang, ISI Padangpanjang dan lain sebagainya. Sayangnya upaya semacam itu tidak pernah atau
5 relatif kurang dilakukan oleh seniman-seniman tari tradisional yang hidup di lingkungan masyarakat nagari-nagari di Minangkabau, termasuk seniman tradisional Kota Padang. Kasus lain yang juga menarik dalam masa perubahan kebudayaan adalah semakin terbukanya dunia kepariwisataan yang cukup berpengaruh terhadap eksistensi seni pertunjukan tradisional. Eksistensi seni wisata akan merujuk pada dua kubu penikmat atau konsumen, sehingga penikmatnya akan menjadi dari dua arah, yaitu penikmat pribumi atau komunitas seniman itu sendiri dan penikmat dari luar. Sehubungan dengan hal ini Maquet (1971) mengutarakan bahwa seni diciptakan oleh masyarakat untuk kepentingan mereka sendiri yang disebut sebagai art by destination, selanjutnya, pengemasan atau penggarapan karya seni untuk disajikan kepada penikmat yang berasal dari luar komunitas pencipta seni itu disebut sebagai akulturasi atau art by metamorphosis atau dikenal dengan sebutan seni akulturasi (art of acculturation), karena pengemasannya memadukan antara kemampuan dan selera estetis penciptanya dengan selera penikmatnya. Graburn (1976:3) menyebut istilah yang umum digunakan untuk seni akulturasi ini dalam dunia pariwisata adalah seni wisata (tourist art). Sebagai dampaknya, seni pertunjukan tradisional dalam bentuk garapan baru mulai diperjualbelikan untuk memenuhi tuntutan ekonomi masyarakat. Seniman yang orientasinya komersial akan mengutamakan potensi jual. Dengan arti kata seniman tersebut termotivasi mempersiapkan karya-karya mereka untuk diperjualbelikan. Konsep jual beli jelas akan mengutamakan kebutuhan selera
6 konsumen. Dalam arti suatu produk akan laris dipasarkan apabila produk itu memenuhi selera pasar. Dalam hal ini apa yang terjadi jika pengemasan tari tradisi dilakukan dengan tujuan untuk mengisi kebutuhan selera masyarakat pasar, bukan untuk kebutuhan selera masyarakat tradisi itu sendiri. Upaya pengembangan tari tradisi menjadi tari untuk pertunjukan (performing art) adalah untuk mengisi selera pasar yang saat ini marak dilakukan oleh para koreografer di Kota Padang. Oleh karena sebagai kota yang ditempati masyarakat heterogen yang tidak lagi terikat dengan lembaga tradisi, memunculkan kreativitas berkesenian yang sifatnya individual. Karya-karya tari yang muncul dihimpun dalam sanggar tari yang siap dipertunjukan apabila ada permintaan atau acara yang membutuhkan. Namun masyarakat asli Kota Padang masih ada yang terikat kepada lembaga adatnya, yaitu dengan segala ikatan-ikatan norma tradisi. Pada lingkungan ini aktivitas berkesenian muncul dalam bentuk aktivitas bersama/kolektif. Demikian juga pengembangan seni tarinya, jika diperlukan tampaknya sangat terikat dengan perkembangan atau pembaharuan nilai-nilai adat. Malahan ada kecenderungan untuk tidak mau mengembangannya karena dianggap menyalahi norma tradisi itu sendiri. Permasalahan sikap pengembangan tari di Kota Padang dewasa ini menarik untuk diteliti dan dikaji. Permasalahan yang mendasar apakah pengembangan tari Minangkabau yang seharusnya berpijak pada akar tradisi, dalam hal ini nilai esensial ketradisian tersebut, masih tetap dipertahankan oleh seniman-seniman tari Kota Padang dalam melakukan perubahan dan perkembangan agar berpotensi dalam dunia globalisasi.
7 Kehadiran seni tari di Minangkabau pada umumnya dan di Kota Padang khususnya tentu tidak terlepas dari faktor lingkungan, geografis, sosial-budaya, dan historis. Oleh karena perbedaan latar belakang sosial budaya, geografis, dan historis pegiat kesenian di Minangkabau mengakibatkan munculnya tiga gaya tari, yaitu tari Minangkabau gaya sasaran, tari gaya surau, dan tari gaya bandar atau kota. Munculnya karakteristik tiga gaya tari tersebut dilatarbelakangi oleh ruang lingkup masyarakat atau tipe-tipe sosial masyarakat pendukungnya. Ruang lingkup yang memberi ciri atau kespesifikan terhadap tiga gaya tari Minangkabau itu adalah norma adat istiadat, norma agama Islam, dan norma atau sikap kehidupan masyarakat bandar/kota yang dipengaruh oleh pendidikan formal. Norma adat istiadat mempengaruhi tari (Minangkabau) gaya sasaran, norma agama Islam mempengaruhi tari gaya surau, dan norma atau sikap kehidupan masyarakat bandar/kota mempengaruhi kehadiran tari gaya bandar/kota (Erlinda, 1997: 41-78). Perbedaan lingkungan penggiat tiga gaya tarian Minangkabau di atas mengakibatkan masing-masing gaya tarian tersebut mempunyai kespesifikan dalam teknik dan fungsinya. Tari Minangkabau gaya sasaran segaya dengan silat Minangkabau, karena ia lahir dari lingkungan dan penggiat yang sama yaitu sasaran dan pesilat (Sedyawati, 1980: 73), yakni memakai musik taria berupa talempong, saluang, gandang, sarunai, dan dendang. Tari gaya sasaran mempunyai fungsi penting dalam upacara-upacara adat. Tari Minangkabau gaya surau dominan dengan gerakan-gerakan posisi duduk bagaikan bentuk sikap duduk anak-anak belajar mengaji di surau. Tariannya sebagian besar hanya menampilkan gerakan-gerakan
8 tubuh bagian atas, seperti gerak kepala, gerak tangan, dan gerak badan. Tari gaya surau pada awalnya dipertunjukkan di lingkungan surau dalam acara atau perayaan hari besar Islam, seperti Maulid Nabi, Israk Mijraj, dan sebagainya.selanjutnya tari Minangkabau gaya bandar atau kota mempunyai gerakan-gerakan yang tidak bersumber atau segaya dengan pencak silat. Tarian ini mempunyai dasar gerakan lenggang, lenggok, langkah biasa, langkah beranak, di samping mempunyai gaya dan karakter tari Melayu. Pada tari Minangkabau gaya sasaran dan tari gaya surau tidak ditemui penari perempuan sebagai penarinya. Namun jika diperlukan peran penari perempuan, maka peranan tersebut dilakukan oleh laki-laki yang berpakaian dan bergaya seperti perempuan. Sebaliknya pertunjukan tari Minangkabau gaya bandar/kota cenderung menampilkan penari perempuan. Agaknya hal ini disebabkan oleh gerakan-gerakan tari gaya bandar atau kota dominan menampilkan gerakan lenggang atau lenggok yang cocok dilakukan oleh wanita. Ketiga gaya tersebut merupakan tawaran yang menarik untuk dikaji dan diteliti, di samping ketiganya memiliki kepentingan dan ideologi yang tidak sama dan cenderung saling mengalami kontestasi dalam perkembangannya masing-masing. Dalam kaitan ini Kayam (1981:15-21) mengatakan bahwa membicarakan suatu kesenian dalam kerangka pemikiran yang lebih luas tidak dapat tidak harus melibatkan unsur-unsur yang berada di luarnya. Kehadiran dan perkembangannya ditentukan oleh faktor-faktor yang disebut penyangga kebudayaan, yakni salah satunya adalah masyarakat pada tempat kesenian itu tumbuh, hidup, dan berkembang,
9 baik dalam pengertian kolektif/komunitas maupun atas nama pribadi. Kehidupan dan perkembangan kesenian tradisional akan terkait dengan berbagai masalah, seperti ideologi seni, seniman, dan masyarakat pemiliknya. Hal itu tentu tertuju pada pandangan masyarakat dalam kehidupan yang selalu berhubungan dengan kultur tempat adat, kepercayaan atau agama, sistem ekonomi, di samping mungkin juga siklus pertanian menjadi salah satu faktor yang memengaruhi kehadiran kesenian di kalangan masyarakat tersebut. Konsep ini menunjukkan bahwa fungsi kesenian menjadi penting dalam kehidupan masyarakat. Namun di sisi lain kehidupan kesenian tradisional juga dihadapkan pada permasalahan transmisi, yaitu bagaimana seni pertunjukan tradisional dipelajari dan dipertunjukan dari suatu waktu ke waktu lain atau dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Dalam perjalanan kehidupan, masing-masing gaya tarian Minangkabau cenderung mengalami pasang surut sesuai dengan perkembangan masyarakatnya. Sampai tahun 1950-an kehidupan masing-masing gaya tari Minangkabau tetap eksis di tengah kehidupan masyarakat pendukungnya. Akan tetapi sejak tahun 1950-an sampai sekarang tari gaya surau dan gaya kota atau bandar terlihat kurang berkembang, tetapi tari gaya sasaran semakin eksis. Masyarakat kota lebih cenderung lebih menumbuhkembangkan tari Minangkabau gaya sasaran dari pada tari Minangkabau gaya bandar atau kota itu sendiri (Erlinda, 1997:104). Ketika tari Minangkabau gaya sasaran dikembangkan oleh masyarakat bandar atau kota, terjadi arah pengembangan yang tidak relevan dengan pengembangan yang dilakukan oleh masyarakat adat atau lingkungan sasaran. Perbedaan tersebut
10 dominan dipengaruhi oleh perbedaan fungsi seni pada masing-masing lingkungan pegiatnya. Pada lingkungan masyarakat adat atau sasaran, pengembangan tari terfokus pada pengembangan fungsinya dalam kehidupan tradisi, yaitu berfungsi dalam acara dan upacara tradisi rakyat Minangkabau di nagari-nagari. Namun pengembangan tari di lingkungan masyarakat perkotaan terfokus pada kepentingan hiburan atau pertunjukan seni. Dua lembaga pengayom dan pengembang tari Minangkabau (gaya sasaran) yang mempunyai ideologi dan kepentingan yang berbeda seperti tersebut di atas, memunculkan arah pengembangan yang berbeda. Keduanya tentu akan berkontestasi berdasarkan pandangan dan kepentingannya masing-masing. Selain itu, dua sisi yang berlawanan dalam kehidupan tari Minangkabau dewasa ini adalah tari yang hidup dalam masyarakat tradisional dan tari yang hidup di kalangan seniman-seniman profesional. Sebutan tradisional ataupun kesenian rakyat merupakan suatu gambaran relasi kuasa yang dilakukan terhadap kehidupan kesenian tersebut. Oleh karena di dalamnya terjadi arena kontestasi, yakni terjadi permainan makna dan tafsir dalam merepresentasikan tari tradisional, yaitu antara kekuatan budaya (negara) yang ingin mengukung tari tradisional (seperti simbol tradisi yang bersifat monoton, sederhana, dan terikat norma-norma), dengan tari kreasi yang menghendaki tampil di publik sebagai subjek bebas, kreatif, inovatif, dan penuh prestasi. Sifat tari tradisi merepresentasikan wacana tradisional sebagai instrumen identitas dan kebanggaan
11 komunal, sedangkan tuntutan tari kreasi adalah menginovasikan tari-tari tradisi menjadi kreativitas pribadi senimannya. Di Kota Padang ketiga gaya tarian tersebut tampak eksis dalam sanggarsanggar, karena telah ditata atau digarap untuk kebutuhan pertunjukan (performing art). Dengan demikian permasalahan sikap pengembangan tari Minangkabau dewasa ini menarik untuk diteliti dan dikaji. Dalam hal ini permasalahan yang mendasar adalah apakah pengembangan tari Minangkabau yang seharusnya berpijak pada akar, yakni nilai esensial ketradisian tersebut masih tetap dipertahankan oleh senimanseniman tari di Kota Padang dalam melakukan perubahan dan perkembangan agar berpotensi dalam dunia globalisasi. Semua permasalahan pada jenis atau gaya tari Minangkabau di Kota Padang tersebut di atas merupakan diskursus estetika tari Minangkabau secara menyeluruh. Sehubungan dengan ini Piliang (2003:115) menyatakan bahwa, diskursus mempunyai relevansi dengan hampir semua cabang pengetahuan dan setiap wajah kehidupan sehari-hari. Demikian pula diskursus dalam kesenian merupakan cabang pengetahuan, fakta dan praktik seni yang dapat dikaji dalam hal relasi diskursusnya. Dalam hal mengkaji seni dalam bentuk diskursusnya mau tidak mau harus melihatnya sebagai satu totalitas. Dikatakan demikian karena diskursus harus melibatkan subjek (seniman, produser, dan konsumer), objek atau karya seni itu sendiri, pengetahuan yang diterapkan dan dihasilkan, relasi ruang yang memungkinkan produksi dan konsumen objek (misalnya: ruang hiperealitas, simulasi,
12 dan globalisasi), kekuasaan yang beroperasi di balik karya seni, serta kesalingkaitan semuahal ini. Sebagai diskursus, semua gaya tari Minangkabau di Kota Padang bersaing antara satu dengan yang lain. Kadang-kadang pada suatu masa tertentu, satu diskursus menang. Diskursus pemenang selalu didukung oleh kekuasaan di balik diskursus itu sendiri. Hal ini menurut Foucault (2002:212-213) adalah karena pengetahuan (dalam hal ini diskursus) merupakan kekuasaan, kemudian kekuasaan dijalankan dengan diskursus. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, diskursus estetika tari Minangkabau di Kota Padang, khususnya pada era globalisasi layak dan signifikan diteliti sebagai sebuah kajian budaya (cultural studies). Dalam hal ini penekanan pada era globalisasi untuk memberikan keleluasaan bagi semua diskursus tari Minangkabau yang ada di Kota Padang untuk dibahas secara kritis dengan pandangan postmodern. 1. 2 Rumusan Masalah Berpijak dari fenomena-fenomena yang telah dipaparkan di atas, maka permasalahan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut. 1) Bagaimanakah bentuk diskursus estetika tari Minangkabau pada era globalisasi di Kota Padang? 2) Apa sajakah penyebab terjadinya diskursus estetika tari Minangkabau pada era globalisasi di Kota Padang?
13 3) Apa sajakah dampak dan makna diskursus estetika tari Minangkabau pada era globalisasi di Kota Padang? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Penelitian ini secara umum bertujuan mengungkapkan fenomena-fenomena diskursus estetika tari Minangkabau pada era globalisasi di Kota Padang. Penelitian ini akan memberikan eksplanasi mengenai kehidupan tari Minangkabau dalam masyarakat pendukungnya, yaitu masyarakat Kota Padang, termasuk relevansinya dengan dinamika dan perubahan sosial budaya masyarakat pada era globalisasi. 1.3.2 Tujuan Khusus Secara khusus penelitian ini bertujuan seperti di bawah ini 1) Untuk mengkaji bentuk diskursus estetika tari Minangkabau dalam era globalisasi di Kota Padang. 2) Untuk memahami terjadinya diskursus estetika tari Minangkabau pada era globalisasi di Kota Padang. 3) Untuk menginterprestasikan makna diskursus estetika tari Minangkabau padaera globalisasi di Kota Padang. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan bermanfaat, baik secara teoretis maupun secara praktis.
14 1.4.1 Manfaat Teoretis Adapun manfaat teoretis penelitian ini adalah sebagai berikut. 1) Dapat menjadi karya ilmiah yang berguna bagi keilmuan, terutama pada keilmuan seni dan kajian budaya. 2) Dapat dijadikan rujukan atau acuan bagi peneliti lain dalam melakukan penelitian yang sejenis dengan topik yang berbeda. 1.4.2 Manfaat Praktis Selanjutnya secara praktis penelitian ini memiliki manfaat seperti berikut ini. 1) Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dan dapat memberikan informasi kapada pemerhati seni, pemerintah, seniman, budayawan, dan tokoh masyarakat dalam rangka pembinaan pengembangan, serta pelestarian tari Minangkabau. 2) Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipakai sebagai acuan dan pedoman bagi penentu kebijakan dalam rangka pelestarian dan pengembangan seni tari Minangkabau, di samping sebagai alat kontrol terhadap tindakan praktis berkesenian pada tatanan global, tanpa harus kehilangan jati diri dari sosial budaya Minangkabau.