P P O K. Diagnosis dan Penatalaksanaan. (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) EDISI BUKU LENGKAP, JULI 2011 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI)

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK

Suradi, Dian Utami W, Jatu Aviani

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronis ditandai dengan hambatan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. progressif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari

BAB 1 PENDAHULUAN. napas, batuk kronik, dahak, wheezing, atau kombinasi dari tanda tersebut.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Data prevalensi, morbiditas, dan mortalitas berbeda tiap negara namun secara umum terkait

Bab I. Pendahuluan. yang ditandai oleh progresivitas obstruksi jalan nafas yang tidak sepenuhnya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang besar di dunia luas dengan prevalensi, dan biaya yang tinggi. Penyakit ini

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan perekonomian ke

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu penyakit tidak

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Karakteristik Pasien PPOK Eksaserbasi Akut

BAB I PENDAHULUAN. Paru-paru merupakan organ utama yang sangat penting bagi kelangsungan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) atau Chronic Obstructive

BAB I PENDAHULUAN. Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) akan mengalami peningkatan

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan 63% penyebab kematian di seluruh dunia dengan membunuh 36 juta jiwa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Indonesia sekarang sedang menanggung beban ganda dalam kesehatan yang

BAB 1 PENDAHULUAN. udara ekspirasi yang bervariasi (GINA, 2016). Proses inflamasi kronis yang

BAB I PENDAHULUAN. pungkiri. Banyak penyakit telah terbukti menjadi akibat buruk dari merokok,

BAB I PENDAHULUAN. berfokus dalam menangani masalah penyakit menular. Hal ini, berkembangnya kehidupan, terjadi perubahan pola struktur

BAB I PENDAHULUAN. keterbatasan aliran udara yang menetap pada saluran napas dan bersifat progresif.

BAB I PENDAHULUAN BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pada era modern saat ini, gaya hidup manusia masa kini tentu sudah

PENATALAKSANAAN ASMA EKSASERBASI AKUT

BAB I PENDAHULUAN. Bronkitis menurut American Academic of Pediatric (2005) merupakan

B A B I PENDAHULUAN. penyakit akibat pajanan debu tersebut antara lain asma, rhinitis alergi dan penyakit paru

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. dengan terjadinya inflamasi disebabkan respon paru- paru terhadap partikel atau

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan meningkatnya tingkat kesejahteraan masyarakat di

BAB I PENDAHULUAN. 8,7% di tahun 2001, dan menjadi 9,6% di tahun

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. American Thoracic Society (ATS) dan European Respiratory Society (ERS)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit yang mempunyai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruksi Kronik ( PPOK ) adalah penyakit paru kronik

BAB I PENDAHULUAN. SK/XI/2008 tentang pedoman pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik,

BAB I PENDAHULUAN. hidup dan semakin tingginya penjanan faktor resiko, seperti faktor pejamu

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011).

DEFINISI BRONKITIS. suatu proses inflamasi pada pipa. bronkus

BAB I PENDAHULUAN. umumnya. Seseorang bisa kehilangan nyawanya hanya karena serangan

BAB I PENDAHULUAN. dunia, diantaranya adalah COPD (Chonic Obstructive Pulmonary Disease)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

EFEK PENUAAN TERHADAP FISIOLOGI SISTEM RESPIRASI

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK PREVALENSI INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT SEBAGAI PENYEBAB ASMA EKSASERBASI AKUT DI POLI PARU RSUP SANGLAH, DENPASAR, BALI TAHUN 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dibutuhkan manusia dan tempat pengeluaran karbon dioksida sebagai hasil sekresi

kekambuhan asma di Ruang Poli Paru RSUD Jombang.

BAB 1 PENDAHULUAN. didominasi oleh penyakit menular bergeser ke penyakit tidak menular (noncommunicable

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit paru-paru merupakan suatu masalah kesehatan di Indonesia, salah

Faktor Risiko Terdapat beberapa faktor-faktor yang dapat memicu terjadi PPOK ini, yaitu: a. Kebiasaan merokok

BAB I PENDAHULUAN. merupakan akibat buruk merokok, baik secara langsung maupun tidak langsung.

BAB 1 PENDAHULUAN. diobati, ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang terus-menerus yang

Prevalens Nasional : 5,0% 5 Kabupaten/Kota dengan prevalens tertinggi: 1.Aceh Barat 13,6% 2.Buol 13,5% 3.Pahwanto 13,0% 4.Sumba Barat 11,5% 5.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Perokok pasif atau second hand smoke (SHS) istilah pada orang lain bukan

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 1 PENDAHULUAN. Asma adalah suatu inflamasi kronik dari saluran nafas yang menyebabkan. aktivitas respirasi terbatas dan serangan tiba- tiba

BAB 1 PENDAHULUAN. Kesehatan yang baik atau kesejahteraan sangat diinginkan oleh setiap orang.

BAB 1 PENDAHULUAN. menyerang lebih dari 25% populasi dewasa. (Smeltzer & Bare, 2001)

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

INSUFISIENSI PERNAFASAN. Ikbal Gentar Alam ( )

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bronchitis adalah suatu peradangan yang terjadi pada bronkus. Bronchitis

BAB I PENDAHULUAN. Asma bronkial merupakan penyakit kronik yang sering dijumpai pada anak

BAB I PENDAHULUAN. sering timbul dikalangan masyarakat. Data Report Word Healt Organitation

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) adalah suatu penyakit yang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. PPOK adalah penyakit paru obstruksi kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) atau COPD (Chronic

BAB I PENDAHULUAN. reversible di mana trakea dan bronkus berespon secara hiperaktif terhadap stimuli

BAB I PENDAHULUAN. membutuhkan perhatian di Indonesia. World Health Organisation (2012)

BAB I PENDAHULUAN. Amerika dan mengakibatkan kematian jiwa pertahun, peringkat ke-empat

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan. penelitian, manfaat penelitian sebagai berikut.

I. PENDAHULUAN. adalah perokok pasif. Bila tidak ditindaklanjuti, angka mortalitas dan morbiditas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. diatasi, dikarakterisir dengan keterbatasan aliran udara yang menetap, yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. memburuk menyebabkan terjadinya perubahan iklim yang sering berubahubah. yang merugikan kesehatan, kususnya pada penderita asma.

BAB I PENDAHULUAN. penyakit saluran napas dan paru seperti infeksi saluran napas akut,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) termasuk ke dalam penyakit

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) menurut Global Initiative of

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan

Saat. penyakit paling. atau. COPD/ Indonesia 1

BAB I PENDAHULUAN. bahaya tersebut diantaranya bahaya faktor kimia (debu, uap logam, uap),

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saat ini kita telah hidup di zaman yang semakin berkembang, banyaknya inovasi yang telah bermunculan, hal ini

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) atau Cronic Obstruktive

SPIROMETRI. Deddy Herman. Bagian Pulmonologi & Kedokteran Respirasi FK UNAND

I. PENDAHULUAN. Rokok adalah gulungan tembakau yang dibalut dengan kertas atau daun. nipah. Menurut Purnama (1998) dalam Alamsyah (2009), rokok

BAB I PENDAHULUAN. PPOK atau Penyakit Paru Obstruksi Kronis merupakan penyakit yang

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Penyakit Paru Obstruktif Kronik selanjutnya disebut PPOK atau

BAB I PENDAHULUAN. teknologi menyebabkan kebutuhan hidup manusia semakin meningkat.

BAB I PENDAHULUAN. Prevalensi asma semakin meningkat dalam 30 tahun terakhir ini terutama di

BAB 1 PENDAHULUAN. Merokok telah menjadi kebiasaan masyarakat dunia sejak ratusan tahun

Transkripsi:

P P O K (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) Diagnosis dan Penatalaksanaan EDISI BUKU LENGKAP, JULI 2011 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) 1

P P O K (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) Diagnosis dan Penatalaksanaan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) EDITOR TIM KELOMPOK POKJA PPOK Budhi Antariksa Susanthy Djajalaksana Pradjnaparamita Joko Riyadi Faisal Yunus Suradi Dianiati Kusumo Sutoyo Wiwien Heru Wiyono Ida Bagus Ngurah Rai Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) 2

P P O K (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) Diagnosis dan Penatalaksanaan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) TIM KELOMPOK KERJA PPOK Ketua: Budhi Antariksa, Anggota: Adlan N. L. Sitompul, Alexander K Ginting, Azril Hasan, Benjamin Y. Tanuwihardja, Bobby Drastyawan, Daniel Maranatha, Dewi Wahyu Fitrina, Dianiati Kusumo Sutoyo, Dwi Hartanto, Faisal Yunus, Ida Bagus Ngurah Rai, Hadiarto Mangunnegoro, I Nyoman Nama Putra, Iswanto, Joko Riyadi, Joni Anwar, Muhammad Amin, Nur Aida, Pradjnaparamita, Reviono, Rita Rogayah, Santi Rahayu, Suradi, Susanthy Djajalaksana, Taufik, Tamsil Syafiuddin, Wiwien Heru Wiyono, Yusrizal Chan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) 3

Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang memperbanyak, mencetak dan menerbitkan sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara dan dalam bentuk apapun tanpa seijin penulis dan penerbit. Diterbitkan pertama kali oleh: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Jakarta, 2002 Revisi pertama (Edisi Buku Lengkap), Juli 2011 ISBN 978-979-96614-9-4 Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) 4

BAB I DEFINISI Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun / berbahaya, disertai efek ekstraparu yang berkontribusi terhadap derajat berat penyakit. Karakteristik hambatan aliran udara pada PPOK disebabkan oleh gabungan antara obstruksi saluran napas kecil (obstruksi bronkiolitis) dan kerusakan parenkim (emfisema) yang bervariasi pada setiap individu. PPOK seringkali timbul pada usia pertengahan akibat merokok dalam waktu yang lama. PPOK sendiri juga mempunyai efek sistemik yang bermakna sebagai petanda sudah terdapat kondisi komorbid lainnya. Dampak ppok pada setiap individu tergantung derajat keluhan (khususnya sesak dan penurunan kapasitas latihan), efek sistemik dan gejala komorbid lainnya. Hal tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh derajat keterbatasan aliran udara. Bronkitis kronik dan emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK karena: Emfisema merupakan diagnosis patologik Bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis Selain itu keduanya tidak selalu mencerminkan hambatan aliran udara dalam saluran napas. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) 5

BAB II PERMASALAHAN DI INDONESIA Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan salah s atu penyakit tidak menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Penyebabnya antara lain meningkatnya usia harapan hidup dan semakin tingginya pajanan faktor risiko, seperti faktor pejamu yang diduga berhubungan dengan kejadian PPOK; semakin banyaknya jumlah perokok khususnya pada kelompok usia muda; serta pencemaran udara di dalam ruangan maupun di luar ruangan dan di tempat kerja. Data Badan Kesehatan Dunia (WHO), menunjukkan tahun 1990 PPOK menempati urutan ke-6 sebagai penyebab utama kematian di dunia, dan tahun 2002 menempati urutan ke-3 setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker (WHO, 2002). Di negara Amerika Serikat dibutuhkan dana sekitar 18 miliar US$ setahun untuk penatalaksanaan PPOK dan biaya tak langsung sebesar 14 miliar US$, dengan jumlah pasien sebanyak 16 juta orang dan lebih dari 100 ribu orang meninggal. The Asia Pacific COPD Round Table Group memperkirakan, jumlah penderita PPOK sedang hingga berat dinegara-negara Asia pasifik tahun 2006 mencapai 56,6 Juta penderita dengan prevalensi 6,3 %. Angka prevalensi berkisar 3,5 6,7%, seperti : China dengan angka kasus mencapai 38,160 juta jiwa, Jepang (5,014 juta jiwa) dan Vietnam (2,068 juta jiwa) sementara di Indonesia diperkirakan terdapat 4,8 juta penderita dengan prevalensi 5,6%. Angka ini bisa meningkat dengan makin banyaknya jumlah perokok karena 90 % penderita PPOK adalah perokok atau mantan perokok. Di Indonesia tidak ada data yang akurat tentang kekerapan PPOK. Pada Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986 asma, bronkitis kronik dan emfisema menduduki peringkat ke-5 sebagai penyebab kesakitan terbanyak dari 10 penyebab kesakitan utama. SKRT Depkes RI 1992 menunjukkan angka kematian karena asma, bronchitis kronik dan emfisema menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) 6

Hasil survei penyakit tidak menular oleh Direktorat Jenderal PPM & PL di 5 rumah sakit propinsi di Indonesia (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, dan Sumatera Selatan) pada tahun 2004, menunjukkan PPOK menempati urutan pertama penyumbang angka kesakaitan (35%), diikuti asma bronkial bronkial (33%), kanker paru (30%) dan lainnya (2%) (Depkes RI, 2004). Berdasarkan hasil SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional) tahun 2001, sebanyak 54,5 % penduduk laki-laki dan 1,2% perempuan merupakan perokok, 92,0% dari perokok menyatakan kebiasaannya merokok di dalam rumah ketika bersama anggota rumah tangga lainnya, dengan demikian sebagian besar anggota rumah tangga merupakan perokok pasif (BPS, 2001). Jumlah perokok yang berisiko menderita PPOK atau kanker paru berkisar antara 20-25%. Hubungan antara rokok dengan PPOK merupakan hubungan dose response, lebih banyak batang rokok yang dihisap setiap hari dan lebih lama kebiasaan merokok tersebut maka risiko penyakit yang ditimbulkan akan lebih besar....masukan dari Pneumobile...Prof Faisal... Seiring dengan majunya tingkat perekomian dan industri otomotif, jumlah kendaraan bermotor meningkat dari tahun ke tahun di Indonesia. Selain mobil-mobil baru, mobil tua yang mengeluarkan gas buang yang banyak dan pekat, banyak beroperasi di jalanan. Gas buang dari kendaraan tersebut menimbulkan polusi udara. Tujuh puluh sampai delapan puluh persen pencemaran udara berasal dari gas buang kendaraan bermotor, sedangkan pencemaran udara akibat industri 20-30%. Dengan meningkatnya jumlah perokok dan polusi udara sebagai faktor risiko terhadap penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) maka diduga jumlah penyakit tersebut juga akan meningkat. Usia Harapan Hidup (UUH) di Indonesia pada tahun 1990 meningkat dari 60 tahun menjadi 68 tahun pada tahun 2006, dan apabila PPOK tidak dapat ditanggulangi dengan baik, maka UHH di Indonesia akan menjadi menurun karena perjalanan PPOK bersifat kronik dan progresif Faktor yang berperan dalam peningkatan penyakit tersebut, yaitu : Kebiasaan merokok yang masih tinggi (laki-laki di atas 15 tahun 60-70 %) Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) 7

Pertambahan penduduk Meningkatnya usia rata-rata penduduk dari 54 tahun pada tahun 1960-an menjadi 63 tahun pada tahun 1990-an Industrialisasi Polusi udara terutama di kota besar, di lokasi industri, dan di pertambangan Di negara dengan prevalensi TB paru yang tinggi, terdapat sejumlah besar penderita yang sembuh setelah pengobatan TB. Pada sebagian penderita, secara klinik timbul gejala sesak terutama pada aktiviti, radiologik menunjukkan gambaran bekas TB (fibrotik, kalsifikasi) yang minimal, dan uji faal paru menunjukkan gambaran obstruksi jalan napas yang tidak reversibel. Kelompok penderita tersebut dimasukkan dalam kategori penyakit Sindrom Obstruksi Pascatuberkulosis (SOPT). Fasiliti Pelayanan kesehatan di Indonesia yang bertumpu di Puskesmas sampai di rumah sakit pusat rujukan masih jauh dari fasiliti pelayanan untuk penyakit PPOK. Disamping itu kompetensi sumber daya manusianya, peralatan standar untuk mendiagnosis PPOK seperti sprirometri hanya terdapat di rumah sakit besar saja, sering kali jauh dari jangkauan Puskesmas. Pencatatan Departemen Kesehatan tidak mencantumkan PPOK sebagai penyakit yang dicatat. Karena itu perlu sebuah Pedoman Penatalaksanaan PPOK untuk segera disosialisasikan baik untuk kalangan medis maupun masyarakat luas dalam upaya pencegahan, diagnosis dini, penatalaksanaan yang rasional dan rehabilitasi. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) 8

BAB III FAKTOR RISIKO Identifikasi faktor risiko merupakan langkah penting dalam pencegahan dan penatalaksanaan PPOK. Meskipun saat ini pemahaman faktor risiko PPOK dalam banyak hal masih belum lengkap, diperlukan pemahaman interaksi dan hubungan antara faktor-faktor risiko sehingga memerlukan investigasi lebih lanjut. Beberapa studi longitudinal telah mengikuti populasi hingga 20 tahun, termasuk periode pra-dan perinatal yang penting dalam membentuk masa depan individu yang berisiko PPOK. Pada dasarnya semua risiko PPOK merupakan hasil dari interaksi lingkungan dan gen. Misalnya, dua orang dengan riwayat merokok yang sama, hanya satu yang berkembang menjadi PPOK, karena perbedaan dalam predisposisi genetik untuk penyakit ini, atau dalam berapa lama mereka hidup. Status sosial ekonomi dapat dihubungkan dengan berat badan lahir anak yang dapat berdampak pada pertumbuhan dan pengembangan paru. Dengan demikian beberapa hal yang berkaitan dengan risiko timbulnya PPOK sampai saat ini dapat disimpulkan pada tabel dibawah ini: Tabel 1. Risiko PPOK 1. Asap rokok 2. Polusi udara Dalam ruangan Diluar ruangan 3. Stres oksidatif 4. Gen 5. Tumbuh kembang paru 6. Sosial ekonomi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) 9

1. Asap rokok Kebiasaan merokok adalah satu-satunya penyebab kausal yang terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Asap rokok mempunyai prevalensi yang tinggi sebagai penyebab gejala respirasi dan gangguan fungsi paru. Dari beberapa penelitian dilaporkan bahwa terdapat rerata penurunan VEP1. Angka kematian pada perokok mempunyai nilai yang bermakna dibandingkan dengan bukan perokok. Perokok dengan pipa dan cerutu mempunyai morbiditi dan mortaliti lebih tinggi dibandingkan bukan perokok, tetapi masih lebih rendah jika dibandingkan dengan perokok sigaret. Tipe lain dari jenis rokok yang populer di berbagai negara tidak dilaporkan. Risiko PPOK pada perokok tergantung dari dosis rokok yang dihisap, usia mulai merokok, jumlah batang rokok pertahun dan lamanya merokok ( Indeks Brinkman ) Tidak semua perokok berkembang menjadi PPOK secara klinis, karena dipengaruhi oleh faktor risiko genetik setiap individu. Perokok pasif (atau dikenal sebagai environmental tobacco smoke- ETS) dapat juga memberi kontribusi terjadinya gejala respirasi dan PPOK, dikarenakan terjadinya peningkatan jumlah inhalasi pertikel dan gas. Merokok selama kehamilan dapat berisiko terhadap janin, mempengaruhi tumbuh kembang paru di uterus dan dapat menurunkan sistem imun awal. Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan : a. Riwayat merokok Perokok aktif Perokok pasif Bekas perokok b. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata batang rokok yang dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun : Ringan : 0-200 Sedang : 200-600 Berat : > 600 Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) 10

Asap rokok merupakan penyebab terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya Identifikasi merokok sebagai faktor risiko yang paling biasa ditemui untuk PPOK telah menyebabkan penggabungan program berhenti merokok sebagai elemen kunci dari pencegahan PPOK, serta intervensi penting bagi pasien yang sudah memiliki penyakit. 2. Polusi udara Berbagai macam partike dan gas yang terdapat di udara sekitar dapat menjadi penyebab terjadinya polusi udara. Ukuran dan macam partikel akan memberikan efek yang berbeda terhadap timbulnya dan beratnya PPOK. Agar lebih mudah mengidentifikasi partikel penyebab, polusi udara terbagi menjadi : Polusi di dalam ruangan - Asap rokok - Asap kompor Polusi di luar ruangan - Gas buang kendaraan bermotor - Debu jalanan Polusi tempat kerja (bahan kimia, zat iritasi, gas beracun) Polusi di dalam ruangan. Kayu, serbuk gergaji, batu bara dan minyak tanah yang merupakan bahan bakar kompor menjadi penyebab tertinggi polusi di dalam ruangan. Kejadian polusi di dalam ruangan dari asap kompor dan pemanas ruangan dengan ventilasi kurang baik merupakan faktor risiko terpenting timbulnya PPOK, terutama pada perempuan di negara berkembang (Case control studies). Hampir 3 milyar penduduk dunia memakai biomass dan batubara sebagai sumber utama energi untuk memasak, pemanas ruangan, dan keperluan rumah tangga lainnya, sehingga populasi yang berisiko menjadi sangat banyak. Polusi di dalam ruangan memberikan risiko lebih besar terjadinya PPOK dibandingkan dengan polusi sulfat atau gas buang kendaraan. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) 11

Bahan bakar biomass yang digunakan oleh perempuan untuk memasak sehingga meningkatkan prevalensi PPOK pada perempuan bukan perokok di Asia dan Afrika. Polusi di dalam ruangan diperkirakan akan membunuh 2 juta perempuan dan anak-anak setiap tahunnya (GOLD, 2010) Polusi di luar ruangan Tingginya polusi udara dapat menyebabkan gangguan jantung dan paru. Mekanisme polusi di luar ruangan seperti polutan di atmosfer dalam waktu lama sebagai penyebab PPOK belum jelas, tetapi lebih kecil prevalensinya jika dibandingkan dengan pajanan asap rokok. Efek relatif jangka pendek, puncak pajanan tertinggi dalam waktu lama dan pajanan tingkat rendah adalah pertanyaan yang harus dicari solusinya. 3. Stres oksidatif Paru selalu terpajan oleh oksidan endogen dan eksogen. Oksidan endogen timbul dari sel fagosit dan tipe sel lainnya sedangkan oksidan eksogen dari polutan dan asap rokok. Oksidan intraseluler (endogen) seperti derivat elektron mitokondria transpor termasuk dalam mekanisme seluler signaling pathway. Sel paru dilindungi oleh oxydative chalenge yang berkembag secara sistem enzimatik atau non enzimatik. Ketika keseimbangan antara oksidan dan antioksidan berubah bentuk, misalnya ekses oksidan dan atau deplesi antioksidan akan menimbulkan stres oksidatif. Stres oksidatif tidak hanya menimbulkan efek kerusakan pada paru tetapi juga menimbulkan aktifitas molekuler sebagai awal inflamasi paru. Jadi, ketidakseimbangan antara oksidan dan anti oksidan memegang peranan penting pada patogenesi PPOK. 3. Infeksi saluran napas bawah berulang Infeksi virus dan bakteri berperan dalam patogenesis dan progresifitas PPOK. Kolonisasi bakteri menyebabkan inflamasi jalan napas, berperan secara bermakna menimbulkan eksaserbasi. Infeksi saluran napas berat pada anak akan menyebabkan penurunan fungsi paru dan meningkatkan gejala respirasi pada saat dewasa. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) 12

Terdapat beberapa kemungkinan yang dapat menjelaskan penyebab keadaaan ini, karena seringnya kejadian infeksi berat pada anak sebagai penyebab dasar timbulnya hiperesponsif jalan napas yang merupakan faktor risiko pada PPOK. Pengaruh berat badan lahir rendah akan meningkatkan infeksi viral yang juga merupakan faktor risiko PPOK. Kebiasaan merokok berhubungan dengan kejadian emfisema. Riwayat infeksi tuberkulosis berhubungan dengan obstruksi jalan napas pada usia lebih dari 40 tahun. 4. Sosial ekonomi Sosial ekonomi sebagai faktor risiko terjadinya PPOK belum dapat dijelaskan secara pasti. Pajanan polusi di dalam dan luar ruangan, pemukinan yang padat, nutrisi yang jelek, dan faktor lain yang berhibungan dengan status sosial ekonomi kemungkinan dapat menjelaskan hal ini. Peranan nutrisi sebagai faktor risiko tersendiri penyebab berkembangnya PPOK belum jelas. Malnutrisi dan penurunan berat badan dapat menurunkan kekuatan dan ketahanan otot respirasi, karena penurunan masa otot dan kekuatan serabut otot. Kelaparan dan status anabolik/katabolik berkembang menjadi empisema pada percobaan binatang. CT scan paru perempuan dengan kekurangan nutrisi akibat anoreksia nervosa menunjukkan seperti empisema. 5. Tumbuh kembang paru Pertumbuhan paru ini berhubungan dengan proses selama kehamilan, kelahiran, dan pajanan waktu kecil. Kecepatan maksimal penurunan fungsi paru seseorang adalah risiko untuk terjadinya PPOK. Studi metaanalias menyatakan bahwa berat lahir mempengaruhi nilai VEP 1 pada masa anak. 6. Asma Asma kemungkinan sebagai faktor risiko terjadinya PPOK, walaupun belum dapat disimpulkan. Pada laporan The Tucson Epidemiological Study didapatkan bahwa orang dengan asma 12 kali lebih tinggi risiko terkena PPOK daripada bukan asma meskipun telah berhenti merokok. Penelitian lain 20% dari asma akan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) 13

berkembang menjadi PPOK dengan ditemukannya obstruksi jalan napas ireversibel. 7. Gen PPOK adalah penyakit poligenik dan contoh klasik dari interaksi gen-lingkungan. Faktor risiko genetik yang paling sering terjadi adalah kekurangan alpha-1 antitrypsin sebagai inhibitor dari protease serin. Sifat resesif ini jarang, paling sering dijumpai pada individu origin Eropa Utara. Ditemukan pada usia muda dengan kelainan emphysema panlobular dengan penurunan fungsi paru yang terjadi baik pada perokok atau bukan perokok dengan kekurangan alpha-1 antitripsin yang berat. Banyak variasi individu dalam hal beratnya emfisema dan penurunan fungsi paru. Meskipun kekurangan -1 antitrypsin yang hanya sebagian kecil dari populasi di dunia, hal ini menggambarkan adanya interaksi antara gen dan pajanan lingkungan yang menyebabkan PPOK. Gambaran di atas menjelaskan bagaimana faktor risiko genetik berkontribusi terhadap timbulnya PPOK. Risiko obstruksi aliran udara yang di turunkan secara genetik telah diteliti pada perokok yang mempunyai keluarga dengan PPOK berat. Hasil penelitian menunjukkan keterkaitan bahwa faktor genetik mempengaruhi kerentanan timbulnya PPOK. Telah diidentifikasi kromosom 2q7 terlibat dalam patogenesis PPOK, termasuk TGF-1, mephx1dan TNF. Gen-gen di atas banyak yang belum pasti kecuali kekurangan alpha- 1 antitrypsin. Faktor risiko PPOK mungkin juga dihubungkan dengan cara yang lebih kompleks, karena harapan hidup manusia yang menjadi lebih lama, memungkinkan terjadinya paparan seumur hidup yang lebih besar terhadap berbagai faktor risiko. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) 14

BAB IV PATOGENESIS DAN PATOLOGI Inhalasi asap rokok dan partikel berbahaya lainnya menyebabkan inflamasi di saluran napas dan paru seperti yang terlihat pada pasien PPOK. Respon inflamasi abnormal ini menyebabkan kerusakan jaringan parenkim yang mengakibatkan emfisema), dan mengganggu mekanisme pertahanan yang mengakibatkan fibrosis saluran napas kecil. Perubahan patologis menyebabkan udara perangkap dan keterbatasan aliran udara progresif. Sebuah gambaran singkat berikut memperlihatkan perubahan patologis dalam PPOK, mekanisme mereka seluler dan molekuler, dan bagaimana mendasari kelainan fisiologis dan gejala karakteristik penyakit. PATOGENESIS Inflamasi saluran napas pasien PPOK merupakan amplifikasi dari respon inflamasi normal akibat iritasi kronis seperti asap rokok. Mekanisme untuk amplifikasi ini belum dimengerti, kemungkinan disebabkan faktor genetik. Beberapa pasien menderita PPOK tanpa merokok, respon inflamasi pada pasien ini belum diketahui. Inflamasi paru diperberat oleh stres oksidatif dan kelebihan proteinase. Semua mekanisme ini mengarah pada karakteristik perubahan patologis PPOK. Gambar 1. Patogenesis PPOK (Dikutip dari Gold 2010) Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) 15

Sel inflamasi PPOK ditandai dengan pola tertentu peradangan yang melibatkan neutrofil, makrofag, dan limfosit. Sel-sel ini melepaskan mediator inflamasi dan berinteraksi dengan sel-sel struktural dalam saluran udara dan parenkim paru-paru. Tabel 2. Sel inflamasi pada PPOK Neutrofil: meningkat dalam dahak perokok. Peningkatan neutrofil pada PPOK sesuai dengan beratnya penyakit. Neutrofil ditemukan sedikit pada jaringan. Keduanya mungkin berhubungan dengan hipersekresi lendir dan pelepasan protease. Makrofag: banyak ditemukan di lumen saluran napas, parenkim paru dan cairan bronchoalveolar lavage (BAL). Berasal dari monosit yang mengalami diferensiasi di jaringan paru. Makrofag meningkatkan mediator inflamasi dan protease pada pasien PPOK sebagai respon terhadap asap rokok dan menunjukkan fagositosis yang tidak sempurna. Limfosit T: sel CD4 + dan CD8 + meningkat pada dinding saluran napas dan parenkim paru, dengan peningkatan rasio CD8 + : CD4 +. Peningkatan sel T CD8 + (Tc1) dan sel Th1 yang mensekresikan interferon- dan mengekspresikan reseptor kemokin CXCR3, mungkin merupakan sel sitotoksik untuk sel-sel alveolar yang berkontribusi terhadap kerusakan alveolar. Limfosit B meningkat dalam saluran napas perifer dan folikel limfoid sebagai respon terhadap kolonisasi kuman dan infeksi saluran napas Eosinofil meningkat di dalam sputum dan dinding saluran napas selama eksaserbasi. Sel epitel: mungkin diaktifkan oleh asap rokok sehingga menghasilkan mediator inflamasi. (Dikutip dari Gold 2010) Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) 16

Mediator inflamasi Berbagai macam mediator inflamasi yang telah terbukti meningkat pada pasien PPOK menarik sel inflamasi dari sirkulasi (faktor kemotaktik), menguatkan proses inflamasi (sitokin pro inflamasi), dan mendorong perubahan struktural (faktor pertumbuhan). Tabel 3. Mediator inflamasi dalam PPOK Faktor kemotaktik: Lipid mediator: misalnya, leukotriene B4 (LTB4) menarik neutrofil dan limfosit T Kemokin: misalnya, interleukin-8 (IL-8) menarik neutrofil dan monosit. Sitokin proinflamasi: misalnya tumor necrosis factor- (TNF-), IL-1, dan IL-6 memperkuat proses inflamasi dan berkontribusi terhadap efek sistemik PPOK. Faktor pertumbuhan: misalnya, TGF-ß dapat menyebabkan fibrosis pada saluran napas perifer. (Dikutip dari Gold 2010) Stres oksidatif Stres oksidatif dapat menjadi mekanisme penguatan penting dalam PPOK. Biomarker stres oksidatif (misalnya, peroksida hidrogen, 8 -isoprostan) meningkat dalam dahak, kondensat hembusan napas dan sirkulasi sistemik pada pasien PPOK. Stres oksidatif lebih lanjut meningkat pada eksaserbasi. Oksidan yang dihasilkan oleh asap rokok dan partikulat yang dihirup lainnya yang dilepaskan dari sel-sel inflamasi ( seperti makrofag dan neutrophil ) diaktifkan. Mungkin juga ada penurunan antioksidan endogen pada pasien PPOK. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) 17

Stres oksidatif memiliki beberapa konsekuensi yang merugikan di paru, termasuk aktivasi gen inflamasi, inaktivasi antiproteases, stimulasi sekresi lendir, dan stimulasi eksudasi plasma meningkat. Banyak dari efek samping dimediasi oleh peroxynitrite, yang dibentuk melalui interaksi antara anion superoksida dan oksida nitrat. Oksida nitrat yang dihasilkan oleh sintase oksida nitrat induktif, terdapat pada saluran udara perifer dan parenkim paru pasien PPOK. Stres oksidatif juga dapat mencakup pengurangan dalam kegiatan histone deacetylase pada jaringan paru dari pasien PPOK, yang dapat menyebabkan peningkatan ekspresi gen inflamasi dan juga pengurangan tindakan anti-inflamasi glukokortikosteroid. Tabel 4. Protease dan Antiproteases pada PPOK Peningkatan Protease Serin protease Neutrofil elastase Cathepsin G Proteinase 3 Sistein proteinase B Cathepsins, K, L, S Matrix metaloproteinase (MMPs) MMP-8, MMP-9, MMP-12 Penurunan Antiprotease Alpha-1 antitrypsin Alpha-1 antichymotrypsin Sekretori leukoprotease inhibitor Elafin Cystatins Tissue inhibitor of MMP 1-4 (TIMP1-4) (Dikutip dari Gold 2010) Ketidakseimbangan protease-antiprotease Ada bukti kuat mengenai ketidakseimbangan protease dan antiprotease pasien PPOK, yaitu protease yang memecah komponen jaringan ikat dan antiproteases yang melindunginya. Beberapa protease, berasal dari sel inflamasi dan sel epitel, yang meningkat pada pasien PPOK. Proteasemediated perusakan elastin, komponen jaringan utama penghubung dalam parenkim paru-paru, adalah faktor penting dari emphysema dan kemungkinan tidak dapat diubah Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) 18

PATOLOGI Perubahan patologis karakteristik PPOK ditemukan di saluran napas proksimal, saluran napas perifer, parenkim dan vascular paru. Perubahan patologis akibat inflamasi kronis terjadi karena peningkatan sel inflamasi kronis di berbagai bagian paru yang menimbulkan kerusakan dan perubahan struktural akibat cedera dan perbaikan berulang. Secara umum, perubahan inflamasi dan struktural saluran napas akan tetap berlangsung sesuai dengan beratnya penyakit walaupun sudah berhenti merokok. Tabel 5. Perubahan patologis pada PPOK Saluran napas proksimal (trakea, bronkus diameter > 2 mm) Sel inflamasi: makrofag, limfosit T CD8 + (sitotoksik), sedikit neutrofil atau eosinofil Perubahan struktural: sel goblet, pembesaran kelenjar submukosa (keduanya menyebabkan hipersekresi lendir) metaplasia sel epitel skuamosa Saluran napas perifer (bronkiolus diameter < 2 mm) Sel inflamasi: makrofag, limfosit T (CD8 + > CD4 + ), limfosit B, folikel limfoid, fibroblas, sedikit neutrophils atau eosinofil. Parenkim paru (bronchioles pernapasan dan alveoli) Sel inflamasi: makrofag, limfosit T CD8 +. Perubahan struktural: kerusakan dinding alveolus, apoptosis sel epitel dan endotel Emfisema sentrilobular: dilatasi dan kerusakan bronkiolus; paling sering terlihat pada perokok Emfisema panacinar: perusakan alveolus dan bronkiolus; paling sering terlihat pada kekurangan -1 antitrypsin Pembuluh darah paru Sel inflamasi: makrofag, limfosit T Perubahan struktural: penebalan intima, disfungsi sel endotel, penebalan otot polos (hipertensi pulmonal). (Dikutip dari Gold 2010) Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) 19

PATOFISIOLOGI Saat ini telah diketahui dengan jelas tentang mekanisme patofisiologis yang mendasari PPOK sampai terjadinya gejala yang karakteristik. Misalnya penurunan FEV 1 yang terjadi disebabkan peradangan dan penyempitan saluran napas perifer, sementara transfer gas yang menurun disebabkan kerusakan parenkim yang terjadi pada emphysema. Gambar 2. Patofisiologi PPOK (Dikutip dari: Rahman, Oxidative Stress, 2005) Keterbatasan Aliran Udara dan Air Trapping Tingkat peradangan, fibrosis, dan eksudat luminal dalam saluran udara kecil berkorelasi dengan penurunan FEV 1 dan rasio FEV 1 /FVC. Penurunan FEV 1 merupakan gejala yang khas pada PPOK, obstruksi jalan napas perifer ini menyebabkan udara terperangkap dan mengakibatkan hiperinflasi. Meskipun emfisema lebih dikaitkan dengan kelainan pertukaran gas dibandingkan dengan FEV 1 berkurang, hal ini berkontribusi juga pada udara yang terperangkap yang terutama terjadi pada alveolar. Ataupun saluran napas kecil akan menjadi hancur ketika penyakit menjadi lebih parah. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) 20

Hiperinflasi mengurangi kapasitas inspirasi seperti peningkatan kapasitas residual fungsional, khususnya selama latihan (bila kelainan ini dikenal sebagai hiperinflasi dinamis), yang terlihat sebagai dyspnea dan keterbatasan kapasitas latihan. Hiperinflasi yang berkembang pada awal penyakit merupakan mekanisme utama timbulnya dyspnea pada aktivitas. Bronkodilator yang bekerja pada saluran napas perifer mengurangi perangkap udara, sehingga mengurangi volume paru residu dan gejala serta meeningkatkan dan kapasitas berolahraga. Mekanisme Pertukaran Gas Ketidak seimbangan pertukaran gas menyebabkan kelainan hipoksemia dan hypercapnia yang terjadi karena beberapa mekanisme. Secara umum, pertukaran gasakan memburuk selama penyakit berlangsung. Tingkat keparahan emfisema berkorelasi dengan PO 2 arteri dan tanda lain dari ketidakseimbangan ventilasi-perfusi (VA / Q). Obstruksi jalan napas perifer juga menghasilkan ketidakseimbangan VA / Q, dan penggabungan dengan gangguan fungsi otot ventilasi pada penyakityang sudah parah akan mengurangi ventilasi, yang menyebabkan retensi karbon dioksida. Kelainan pada ventilasi alveolar dan berkurangnya pembuluh darah paru akan lebih memperburuk kelainan VA / Q. Hipersekresi lendir Hipersekresi lendir, yang mengakibatkan batuk produktif kronis, adalah gambaran dari bronkitis kronis tidak selalu dikaitkan dengan keterbatasan aliran udara. Sebaliknya, tidak semua pasien dengan PPOK memiliki gejala hipersekresi lendir. Hal ini disebabkan karena metaplasia mukosa yang meningkatkan jumlah sel goblet dan membesarnya kelenjar submukosa sebagai respons terhadap iritasi kronis saluran napas oleh asap rokok atau agen berbahaya lainnya. Beberapa mediator dan protease merangsang hipersekresi lendir melalui aktivasi reseptor faktor EGFR. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) 21

Hipertensi Paru Hipertensi paru ringan sampai sedang mungkin terjadi pada PPOK akibat proses vasokonstriksi yang disebabkan hipoksia arteri kecil pada paru yang kemudian mengakibatkan perubahan struktural yang meliputi hiperplasia intimal dan kemudian hipertrofi otot polos / hiperplasia. Respon inflamasi dalam pembuluh darah sama dengan yang terlihat di saluran udara dengan bukti terlihatnya disfungsi sel endotel. Hilangnya kapiler paru pada emfisema juga dapat menyebabkan peningkatan tekanan dalam sirkulasi paru sehingga terjadi. pulmonary hypertension yang bersifat progresif dapat mengakibatkan hipertrofi ventrikel kanan dan akhirnya gagal jantung kanan (cor pulmonale). Gambaran Dampak Sistemik Dari beberapa laporan penelitian, ternyata pasien PPOK memberikan pula beberapa gambaran dampak sistemik, khususnya pada pasien dengan penyakit berat, hal ini berdampak besar terhadap kualitas hidup dan penyakit penyerta. Kakeksia umumnya terlihat pada pasien dengan PPOK berat. Disebabkan karena hilangnya massa otot rangka dan kelemahan sebagai akibat dari apoptosisyang meningkat dan / atau tidak digunakannya otot-otot tersebut.pasien dengan PPOK juga mengalami peningkatan proses osteoporosis, depresi dan anemia kronis. Peningkatan konsentrasi mediator inflamasi, termasuk TNF- IL-6, dan radikal bebas oksigen dengan keturunannya, dapat beberapa efek sistemik. Peningkatan risiko penyakit kardiovaskuler, berkorelasi dengan peningkatan protein C-reaktif (CRP). Berikut ini adalah gambar tentang POOK dengan berbagai penyakit yg bisa berkolerasi. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) 22

Gambar 3. PPOK dengan berbagai penyakit penyerta Dikutip dari: Lusuardi et.al, Monaldi Arch Chest Dis, 2008,69[1]: 11-7) Eksaserbasi Eksaserbasi merupakan amplifikasi lebih lanjut dari respon inflamasi dalam saluran napas pasien PPOK, dapat dipicu oleh infeksi bakteri atau virus atau oleh polusi lingkungan. Mekanisme inflamasi yang mengakibatkan eksaserbasi PPOK, masih banyak yang belum diketahui. Dalam eksaserbasi ringan dan sedang terdapat peningkatan neutrophil, beberapa studi lainnya juga menemukan eosinofil dalam dahak dan dinding saluran napas. Hal ini berkaitan dengan peningkatan konsentrasi mediator tertentu, termasuk TNF-, LTB4 dan IL-8, serta peningkatan biomarker stres oksidatif. Pada eksaserbasi berat masih banyak hal yang belum jelas, meskipun salah satu penelitian menunjukkan peningkatan neutrofil pada dinding saluran nafas dan peningkatan ekspresi kemokin. Selama eksaserbasi terlihat peningkatan hiperinflasi dan terperangkapnya udara, dengan aliran ekspirasi berkurang, sehingga terjadi sesak napas yang meningkat. Terdapat juga memburuknya abnormalitas VA / Q yang mengakibatkan hipoksemia berat. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) 23

BAB V DIAGNOSIS Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanda dan gejala ringan hingga berat. Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan sampai ditemukan kelainan yang jelas dan tanda inflasi paru. Diagnosis PPOK dipertimbangkan bila timbul tanda dan gejala yang secara rinci diterangkan pada tabel 5 berikut: Tabel 6. Indikator kunci untuk mendiagnosis PPOK Gejala Sesak yaitu: Batuk Kronik Batuk kronik berdahak: Riwayat terpajan factor resiko, terutama Keterangan Progresif (sesak bertambah berat seiring berjalannya waktu) Bertambah berat dengan aktivitas Persistent (menetap sepanjang hari) Dijelaskan oleh bahasa pasien sebagai "Perlu usaha untuk bernapas," Berat, sukar bernapas, terengah-engah Hilang timbul dan mungkin tidak berdahak. Setiap batuk kronik berdahak dapat mengindikasikan PPOK. Asap rokok. Debu dan bahan kimia di tempat kerja Asap dapur Pertimbangkan PPOK dan lakukan uji spirometri, jika salah satu indikator ini ada pada individu di atas usia 40 tahun. Indikator ini bukan merupakan diagnostik pasti, tetapi keberadaan beberapa indikator kunci meningkatkan kemungkinan diagnosis PPOK. Spirometri diperlukan untuk memastikan diagnosis PPOK. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) 24

Untuk menegakkan diagnosis PPOK secara rinci diuraikan sebagai berikut: Gambaran Klinis 1. Anamnesis Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja Riwayat penyakit emfisema pada keluarga Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara Batuk berulang dengan atau tanpa dahak Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi 2. Pemeriksaan Fisis PPOK dini umumnya tidak ada kelainan Inspeksi - Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup / mencucu) - Barrel chest (diameter antero-posterior dan transversal sebanding) - Penggunaan otot bantu napas - Hipertropi otot bantu napas - Pelebaran sela iga - Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher dan edema tungkai - Penampilan pink puffer atau blue bloater Palpasi Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar Perkusi Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah Auskultasi - Suara napas vesikuler normal, atau melemah - Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) 25

- Ekspirasi memanjang - Bunyi jantung terdengar jauh Pink puffer Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan pernapasan pursed-lips breathing Blue bloater Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat edema tungkai dan rongki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer Pursed-lips breathing Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulutmencucu dan ekspirasi yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO 2 yangterjadi pada gagal napas kronik. Pemeriksaan rutin 1. Faal Paru Spirometri (VEP 1, VEP 1 prediksi, KVP, VEP 1 /KVP - Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP 1 prediksi (%) dan atau VEP 1 /KVP (%). - Obstruksi : % VEP 1 (VEP 1 /VEP 1 pred) < 80% VEP 1 % (VEP 1 /KVP) < 75% - VEP 1 % merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit - Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20% Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) 26

Tabel 7. Pemeriksaan spirometri Persiapan Spirometer perlu di kalibrasi secara teratur. Spirometer harus menghasilkan hard copy /rekaman secara otomatis untuk mendeteksi kesalahan teknis atau untuk mengidentifikasi apakah uji sudah memenuhi syarat. Petugas yang melakukan uji spirometri perlu pelatihan untuk mendapatkan hasil yang efektif. Usaha maksimal dari pasien diperlukan dalam melaksanakan uji ini guna menghindari kesalahan diagnosis maupun manajemen. Kinerja Spirometri harus dilakukan menggunakan teknik yang memenuhi standar Volume ekspirasi dilakukan dengan benar Rekaman harus dilakukan cukup waktu untuk mencatat suatu kurva volume/waktu yang dicapai, mungkin memerlukan waktu lebih dari 15 detik pada penyakit berat. Baik KVP maupun VEP 1 harus merupakan nilai terbesar yang diperoleh dari salah satu 3 kurva dengan teknis yang benar, nilai KVP dan nilai VEP 1 dalam tiga kurva harus bervariasi dengan perbedaan tidak lebih dari 5% atau 100 ml. Rasio VEP 1 /KVP harus diambil dari kurva yang secara teknis dapat diterima dengan nilai terbesar dari KVP maupun VEP 1. Evaluasi Pengukuran spirometri dievaluasi dengan membandingkan hasil pengukuran terhadap nilai acuan yang tepat berdasarkan usia, tinggi badan, jenis kelamin dan ras Nilai VEP 1 pasca bronkodilator < 80% prediksi serta nilai VEP 1 /KVP <0,70 memastikan ada hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) 27

Uji bronkodilator - Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE meter. - Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15-20 menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP 1 atau APE, perubahan VEP 1 atau APE <20% nilai awal dan <200 ml - Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil Tabel 8. Uji bronkodilator pada PPOK Persiapan Uji harus dilakukan ketika pasien secara klinis stabil dan bebas dari infeksi pernapasan. Pasien sebaiknya tidak menggunakan bronkodilator inhalasi kerja cepat enam jam sebelum uji, bronkodilator kerja lama 12 jam sebelum uji, atau teofilin lepas lambat 24 jam sebelum uji. Spirometri VEP 1 harus diukur sebelum diberikan bronkodilator Bronkodilator harus diberikan dengan inhaler dosis terukur melalui perangkat spacer atau nebulizer untuk meyakinkan telah dihirup Dosis bronkodilator harus ditentukan untuk mendapatkan kurva tertinggi pada dosis tertentu Protokol dosis yang memungkinkan adalah 400 g 2-agonis, hingga 160 g antikolinergik, atau gabungan keduanya. VEP 1 harus diukur lagi 10-15 menit setelah diberikan bronkodilator kerja singkat atau 30-45 menit setelah diberikan bronkodilator kombinasi. Kesimpulan: Peningkatan VEP 1 yang baik dan dianggap bermakna bila lebih besar dari 200 ml atau 12% di atas VEP 1 sebelum pemberian bronkodilator. Hal ini sangat membantu untuk melihat perubahan serta perbaikan klinis. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) 28

2. Laboratorium darah Hb, Ht, Tr, Lekosit Analisis Gas Darah 3. Radiologi Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain Pada emfisema terlihat gambaran : Hiperinflasi Hiperlusen Ruang retrosternal melebar Diafragma mendatar Jantung menggantung (jantung pendulum/tear drop / eye drop appearance) Pada bronkitis kronik : Normal Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21% kasus Pemeriksaan penunjang lanjutan 1. Faal paru lengkap Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fu ngsional (KRF), Kapasiti Paru Total (KRT), VR/KRF, VR/KPT meningkat DLCO menurun pada emfisema Raw meningkat pada bronkitis kronik Sgaw meningkat Variabiliti Harian APE kurang dari 20% 2. Uji latih kardiopulmoner Sepeda statis (ergocycle) Jentera (treadmill) Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal 3. Uji provokasi bronkus Untuk menilai derajat hipereaktivitas bronkus, pada sebagian kecil PPOK terdapat hipereaktivitas bronkus derajat ringan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) 29

4. Analisis gas darah Terutama untuk menilai : Gagal napas kronik stabil Gagal napas akut pada gagal napas kronik 5. Radiologi CT-Scan resolusi tinggi Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema atau bula yang tidak terdeteksi oleh foto toraks polos Scan ventilasi perfusi Mengetahui fungsi respirasi paru 6. Elektrokardiografi (EKG) Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh P pulmonal dan hipertrofi ventrikel kanan 7. Ekokardiografi Menilai fungsi jantung kanan 8. Bakteriologi Pemeriksaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulang merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia 9. Kadar -1 antitripsin Kadar antitripsin -1 rendah pada emfisema herediter (emf isema pada usia muda), defisiensi antitripsin -1 jarang ditemukan di Indonesia Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) 30

BAB VI DIAGNOSIS BANDING Tabel 9. Diagnosis banding PPOK Diagnosis PPOK Asma Gagal Jantung kongestif Bronkiektasis Tuberkulosis Gejala Onset pada usia pertengahan. Gejala progresif lambat. Lamanya riwayat merokok. Sesak saat aktivitas Sebagian besar hambatan aliran udara ireversibel. Onset awal sering pada anak. Gejala bervariasi dari hari ke hari. Gejala pada malam / menjelang pagi. Disertai alergi, rinitis atau eksim. Riwayat keluarga dengan asma. Sebagian besar keterbatasan aliran udara reversibel Auskultasi,terdengar ronchi halus di bagian basal. Foto toraks tampak jantung membesar, edema paru. Uji fungsi paru menunjukkan restriksi bukan obstruksi. Sputum produktif dan purulen. Umumnya terkait dengan infeksi bakteri. Auskultasi terdengar ronki kasar Foto toraks /CT-scan toraks menunjukkan pelebaran dan penebalan bronkus. Onset segala usia Foto toraks menunjukkan infiltrat di paru. Konfirmasi mikrobiologi (sputum BTA) Prevalensi tuberkulosis tinggi di daerah endemis Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) 31

Diagnosis Bronkiolitis obliterans Panbronkiolitis diffusa Gejala Onset pada usia muda, bukan perokok. Mungkin memiliki riwayat rheumatoid arthritis atau pajanan asap. CT-scan toraks pada ekspirasi menunjukkan daerah hypodense Lebih banyak pada laki-laki bukan perokok. Hampir semua menderita sinusitis kronis. Foto toraks dan HRCT toraks menunjukkan nodul opak menyebar kecil di centrilobular dan gambaran hiperinflasi Gejala gejala diatas ini sesuai karakteristik penyakit masing-masing, tetapi tidak terjadi pada setiap kasus. Misalnya, seseorang yang tidak pernah merokok dapat menderita PPOK (terutama di negara berkembang di mana faktor risiko lain mungkin lebih penting daripada merokok); asma dapat berkembang di usia dewasa dan bahkan pasien lanjut usia. (Dikutip dari: Gold, 2010) Asma SOPT (Sindroma Obstruksi Pascatuberkulosis) Adalah penyakit obstruksi saluran napas yang ditemukan pada penderia pascatuberkulosis dengan lesi paru yang minimal Pneumotoraks Gagal Jantung kronik Penyakit paru dengan obstruksi saluran napas lain misal : bronkiektasis, destroyed lung Asma dan PPOK adalah penyakit obstruksi saluran napas yang sering ditemukan di Indonesia, karena itu diagnosid yang tepat harus ditegakkan karena terapi dan prognosisnya berbeda. Perbedaan antara Inflamasi PPOK dan Asma. Meskipun PPOK dan asma berhubungan dengan inflamasi kronis saluran napas namun terdapat perbedaan dalam hal sel inflamasi dan mediator yang terlibat di dalamnya, yang akan menyebabkan perbedaan dalam efek fisiologis, gejala, dan respon terhadap terapi. Terdapat kemiripan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) 32

inflamasi antara asma berat dan PPOK. Beberapa pasien PPOK memiliki gambaran seperti asma dan mungkin memiliki pola inflamasi yang ditandai dengan peningkatan eosinofil. Sebaliknya, pasien asma yang merokok memiliki gambaran patologis mirip dengan PPOK. Tabel 10. Perbedaan sel inflamasi asma dan PPOK Sel Neutrophils ++ Macrophages +++ CD8+ T cells (Tc1) Mediator kunci PPOK Asma Asma berat Eosinophils ++ Macrophages + CD4+ T cells (Th2) IL-8 TNF-_, IL-1_, IL-6 NO + Eotaxin IL-4, IL-5, IL-13 NO +++ Stres oksidatif +++ + +++ Lokasi Saluran napas perifer Parenkim paru Pembuluh darah paru Saluran napas proksimal Dampak anatomis Metaplasia skuamosa Metaplasia mukosa Fibrosis saluran napas kecil Destruksi parenkim Remodelling pembuluh darah paru Epitel yang rapuh Metaplasia mukosa Penebalan membrana basalis Bronkokonstriksi Neutrophils + Macrophages CD4+ T cells (Th2), CD8+ T cells (Tc1) IL-8 IL-5, IL-13 NO ++ Saluran napas proksimal Saluran napas perifer Respons terapi Kurang respon terhadap bronkodilator Kurang respons terhadap steroid Respon baik terhadap bronkodilator Respon baik terhadap steroid Kurang respon terhadap bronkodilator Kurang respon terhadap steroid (Dikutip dari: Gold, 2010) Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) 33

Gambar 4. Inflamasi di asma dan PPOK (Dikutip dari: Gold, 2010) Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) 34

BAB VII KLASIFIKASI Terdapat ketidak sesuaian antara nilai VEP 1 dan gejala penderia, oleh sebab itu perlu diperhatikan kondisi lain. Gejala sesak napas mungkin tidak bisa diprediksi dengan VEP 1. Tabel 11. Klasifikasi PPOK Gold 2010 Derajat Klinis Faal Paru Derajat I : PPOK Ringan Derajat II : PPOK Sedang Derajat III PPOK Berat Gejala klinis (batuk, produksi sputum) Gejala batuk kronik dan produksi sputum ada tetapi tidak sering. Pada derajat ini pasien sering tidak menyadari bahwa fungsi paru mulai menurun Gejala sesak mulai dirasakan saat aktivitas dan kadang ditemukan gejala batuk dan produksi sputum. Pada derajat ini biasanya pasien mulai memeriksakan kesehatannya Gejala sesak lebih berat, penurunan aktivitas, rasa lelah dan serangan eksaserbasi semakin sering dan berdampak pada kualitas hidup pasien Normal VEP 1 / KVP < 70 %. VEP 1 80% prediksi VEP 1 /KVP < 70 % 50% < VEP 1 < 80% prediksi VEP 1 /KVP < 70 % 30% < VEP 1 < 50% prediksi Derajat IV: PPOK Sangat Berat Gejala di atas ditambah tandatanda gagal napas atau gagal jantung kanan dan ketergantungan oksigen. Pada derajat ini kulitas hidup pasien memburuk dan jika eksaserbasi dapat mengancam jiwa VEP 1 / KVP < 70 % VEP 1 < 30% prediksi atau VEP 1 < 50% prediksi disertai gagal napas kronik (Dikutip dari: Gold, 2010) Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) 35

BAB VIII PENATALAKSANAAN Tujuan penatalaksanaan PPOK mencakup beberapa komponen yaitu: 1. Mengurangi gejala 2. Mencegah progresifitas penyakit 3. Meningkatkan toleransi latihan 4. Meningkatkan status kesehatan 5. Mencegah dan menangani komplikasi 6. Mencegah dan menangani eksaserbasi 7. Menurunkan kematian PENATALAKSANAAN SECARA UMUM Tabel 12. Penatalaksanaan menurut derajat PPOK DERAJAT I VEP 1 /KVP < 70% VEP 1 80 % prediksi DERAJAT II** VEP 1/KVP < 70% 50 % < VEP 1< 80 % prediksi DERAJAT III VEP 1 /KVP 70% 30 % VEP 1 50 % prediksi DERAJAT IV VEP 1 /KVP < 70% VEP 1 < 30 % prediksi Hindari faktor risiko : BERHENTI MEROKOK, PAJANAN KERJA Dipertimbangkan pemberian vaksinasi influenza Tambakan bronkodilator kerja pendek (bila diperlukan) Berikan pengobatan rutin dengan satu atau lebih bronkodilator kerja lama Tambahkan rehabilitasi fisis Tambahkan inhalasi glukokortikosteroid jika terjadi eksaserbasi berulang-ulang Tambahkan pemberian oksigen jangka panjang kalau terjadi gagal napas kronik Lakukan tindakan operasi bila diperlukan (Dikutip dari: Gold, 2010) Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) 36

Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi : Edukasi Berhenti merokok Obat-obatan Rehabilitasi Terapi oksigen Ventilasi mekanik Nutrisi 1. Edukasi Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena PPOK adalah penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktiviti dan mencegah kecepatan perburukan fungsi paru. Berbeda dengan asma yang masih bersifat reversibel, menghindari pencetus dan memperbaiki derajat penyakit adalah inti dari edukasi atau tujuan pengobatan dari asma. Tujuan edukasi pada pasien PPOK : Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan Melaksanakan pengobatan yang maksimal Mencapai aktiviti optimal Meningkatkan kualiti hidup Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut secara berulang pada setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun bagi keluarganya. Edukasi dapat diberikan di poloklonik, ruang rawat, bahkan di unit gawat darurat ataupun di ICCU dan di rumah. Secara intensif edukasi diberikan di klinik rehabilitasi atau klinik konseling, karena memerlukan waktu yang khusus dan memerlukan alat peraga. Edukasi yang tepat diharapkan dapat mengurangi kecemasan pasien PPOK, memberikan semangat hidup walaupun dengan keterbatasan aktiviti. Penyesuaian aktiviti dan pola hidup merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kualiti hidup pasien PPOK. Bahan dan cara pemberian edukasi harus disesuaikan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) 37

dengan derajat berat penyakit, tingkat pendidikan, lingkungan soaial, kultural dan kondisi ekonomi penderita. Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah : Pengetahuan dasar tentang PPOK Obat-obatan, manfaat dan efek sampingnya Cara pencegahan perburukan penyakit Menghindari pencetus (berhenti merokok) Penyesuaian aktiviti Agar edukasi dapat diterima dengan mudah dan dapat dilaksanakan ditentukan skala prioriti bahan edukasi sebagai berikut : Berhenti merokok Disampaikan pertama kali kepada penderita pada waktu diagnosis PPOK ditegakkan Penggunaan obat-obatan - Macam obat dan jenisnya - Cara penggunaannya yang benar (oral, MDI atau nebuliser) - Waktu penggunaan yang tepat (rutin dengan selang waktu tertentu atau kalau perlu saja) - Dosis obat yang tepat dan efek sampingnya Penggunaan oksigen - Kapan oksigen harus digunakan - Berapa dosisnya - Mengetahui efek samping kelebihan dosis oksigen Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya Tanda eksaserbasi : - Batuk atau dan sesak bertambah - Sputum bertambah - Sputum berubah warna Mendeteksi dan menghinddari pencetus eksaserbasi Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktiviti Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) 38

Edukasi diberikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah diterima, langsung ke pokok permasalahan yang ditemukan pada waktu itu. Pemberian edukasi sebaiknya diberikan berulang dengan bahan edukasi yang tidak terlalu banyak pada setiap kali pertemuan. Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil, karena PPOK merupakan penyakit kronik progresif yang ireversibel. Pemberian edukasi berdasar derajat penyakit. 2. Berhenti merokok Berhenti merokok merupakan satu-satunya intervensi yang paling efektif dalam mengurangi risiko berkembangnya PPOK dan memperlambat progresivitas penyakit (Bukti A). Strategi untuk membantu pasien berhenti merokok 5A: a. Ask (Tanyakan) Mengidentifikasi semua perokok pada setiap kunjungan. b. Advise (Nasihati) Dorongan kuat pada semua perokok untuk berhenti merokok. c. Assess (Nilai) Keinginan untuk usaha berhenti merokok (misal: dalam 30 hari ke depan). d. Assist (Bimbing) Bantu pasien dengan rencana berhenti merokok, menyediakan konseling praktis, merekomendasikan penggunaan farmakoterapi. e. Arrange (Atur) Buat jadwal kontak lebih lanjut. 2. Obat-Obatan Bronkodilator Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) 39