I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Beras merupakan makanan pokok yang dikonsumsi sebagian besar masyarakat Indonesia. Sampai saat ini 95% masyarakat Indonesia masih mengkonsumsi beras sebagai makanan pokok, meskipun program diversifikasi pangan telah rajin digencarkan oleh pemerintah. Konsumsi beras masyarakat Indonesia merupakan yang tertinggi di dunia, yaitu 135-140 kg/kapita/tahun. Jumlah ini sangat besar apabila dibandingkan dengan konsumsi beras orang Asia pada umumnya yang hanya sekitar 65-70 kg/kapita/tahun. Indonesia bahkan merupakan negara yang mengkonsumsi beras lebih besar daripada Amerika Serikat dan China yang memiliki jumlah penduduk yang lebih tinggi. Tingkat konsumsi beras yang tinggi di Indonesia menyebabkan fluktuasi harga beras menjadi sesuatu hal yang sangat sensitif bagi produsen maupun konsumen. Pemerintah terus berupaya untuk menstabilkan harga beras dengan berbagai cara melalui kebijakan fiskal, subsidi pupuk, dan benih, serta lain sebagainya. Salah satu kebijakan fiskal yang dikeluarkan pemerintah adalah mengatur harga terendah dan harga tertinggi gabah dan beras. Pemerintah telah mengatur harga pembelian terendah gabah dan beras, meskipun begitu petani sebagai produsen merupakan pihak yang paling sering dirugikan, hal ini disebabkan karena biasanya harga gabah dan beras yang melemah pada saat panen raya. Menurut catatan BPS tahun 2013 sebanyak 14,1 juta masyarakat Indonesia yang berprofesi sebagai petani padi, dan sebagian besar dari mereka menggantungkan hidupnya dari penjualan gabah yang mereka hasilkan. Kebijakan harga dilaksanakan pemerintah melalui pembelian beras dalam negeri oleh Bulog selama musim panen untuk menjaga harga dasar dan untuk mengisi persediaan nasional. Jika pengadaan dalam negeri tidak mencukupi untuk kebutuhan, dilakukan pengadaan dari luar negeri (impor). Pada musim paceklik, dilaksanakan operasi pasar murni (penjualan beras ke pasar)untuk mengurangi laju kenaikan harga sehingga tidak melampaui batas tertinggi dan fluktuasi antar musim dapat dikendalikan (Amang, 1999). 1
Badan Urusan Logistik (Bulog) didirikan pada tahun 1967 pada awalnya adalah sebuah lembaga yang diberi tugas mengadakan pembelian beras bagi pemerintah. Tugas pokok dan misi Bulog terus berkembang sejalan dengan kebijakan umum pemerintah. Dalam upaya mewujudkan stabilitas harga gabah dan beras, salah satu instrumen kebijakan harga yang diterapkan pemerintah adalah kebijakan harga dasar dan harga maksimum yang mulai dilaksanakan pada tahun 1970 yang dikenal dengan kebijakan Harga Dasar Gabah (HDG), kemudian selanjutnya konsep harga dasar disesuaikan menjadi harga dasar pembelian pemerintah (HDPP) per 1 Januari 2002 dan kemudian menjadi Harga Pembelian Pemerintah (HPP) pada tahun 2005. Pemerintah telah mengimplementasikan kebijakan HPP gabah-beras tunggal dan secara berkala dilakukan peningkatan untuk mengimbangi kenaikan harga input dan inflasi. Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah salah satu provinsi yang terletak di Pulau Jawa bagian tengah yang memiliki luas wilayah 3.185,80 km 2. Provinsi ini terbagi dalam 5 wilayah yaitu Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, Kabupaten Kulon Progo, dan Kota Yogyakarta. Kabupaten Kulon Progo memiliki lahan pertanian yang produktif, sebagian besar penduduknya bekerja di sektor pertanian. Pada tahun 2013 jumlah penduduk angkatan kerja sebesar 75,15%. Berdasarkan total jumlah penduduk yang ada, sebanyak 50,17% bekerja di sektor pertanian. Sektor pertanian memberikan kontribusi terbesar terhadap PDRB Kabupaten Kulon Progo, yaitu sebesar 23%. Kontribusi terbesar di bidang pertanian di dominasi oleh tanaman padi. Pada tahun 2013, produksi padi tercatat 114.702 ton atau mengalami penurunan sebesar 5,18% dibandingkan tahun 2012. Dari total produksi tersebut, sebanyak 112.007 ton merupakan padi sawah dan 2.695 ton merupakan padi ladang, produktivitas padi sawah yaitu sebesar 63,95 kuiintal per hektar dan produktivitas padi ladang mencapai 34,20 kuiintal per hektar (BPS,2014). Pada umumnya petani Indonesia dan yang berada di Kulon Progo adalah petani gurem atau petani yang memiliki lahan sempit. Salah satu masalah klasik yang sering dialami petani adalah anjloknya harga jual gabah dan beras pada saat musim panen raya, dan tingginya harga gabah/ beras pada saat musim paceklik. Itulah sebabnya petani berlahan sempit harus diperhatikan pemerintah karena hampir selalu menghadapi resiko tinggi dalam berproduksi pangan atau padi, juga pendapatan dan 2
ketahanan pangan rumah tangga. Pemerintah melalui Bulog berupaya untuk mengatur harga dasar dan harga tertinggi beras agar dapat melindungi petani supaya mendapatkan harga pembelian yang layak, dan melindungi konsumen agar tidak mendapatkan harga yang terlalu tinggi. Sebagian besar petani di DIY menjual hasil panennya dalam bentuk Gabah Kering Panen (GKP). Hal ini dikarenakan kurangnya lahan dan kemampuan petani untuk menjemur padi dan menyimpan hasil panennya dalam waktu lama. Harga GKP yang diterima petani cukup fluktuatif, dan harganya cenderung merosot pada saat musim panen raya. Harga gabah lebih sering diamati pada tingkat penggilingan, karena terdapat kemungkinan perbedaan harga yang diterima petani akibat sistem pembayaran yang mereka gunakan dengan pedagang perantara seperti ijon, tebasan, dan sakap sehingga hasilnya dapat lebih rendah dari harga normal. Gambar 1.1 Grafik Harga Rata-rata Gabah di Tingkat Penggilingan Provinsi DIY Desember 2012 - Desember 2013 Sumber : BPS DIY 2014 Berdasarkan grafik di atas dapat kita ketahui bahwa harga GKP di tingkat pengilingan sepanjang bulan Desember 2012 Desember 2013 berada jauh di atas HPP GKP yang ditetapkan pemerintah, bahkan cenderung berada di atas HPP GKG. Harga gabah kualitas rendah sendiri cenderung di atas harga HPP GKP yang ditetapkan pemerintah, dan hanya sekali berada di bawah HPP GKP yaitu pada bulan Maret karena merupakan masa panen raya. Harga GKP yang cenderung jauh di atas 3
HPP GKP bahkan di atas HPP GKG mengindikasikan bahwa kebijakan harga dasar yang ditetapkan pemerintah saat ini tidak lagi relevan dengan harga yang terjadi di dalam pasar. Hal itu dipengaruhi dengan meningkatnya harga saprodi yang digunakan dalam usahatani. Nilai uang juga sudah tidak sama pada saat ditetapkannya kebijakan HPP, akibatnya tidak jarang ditemui harga gabah dan beras sudah berada jauh di atas HPP. Sampai tahun 2012, sudah 8 (delapan) kali ditetapkan kebijakan HPP gabah dan beras untuk menyesuaikan situasi perberasan dalam negeri, terutama akibat perkembangan harga yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Selama periode tersebut, kenaikan HPP Gabah Kering Panen (GKP) berkisar 8-30% atau rata-rata 15,43 % per tahun, kenaikan HPP Gabah Kering Giling (GKG) berkisar 4-27% atau rata-rata 13,82% per tahun, dan HPP beras berkisar 0-30% atau rata-rata 15,90% per tahun (BKP, 2013). Dalam penyusunan kebijakan HPP, persepsi petani kurang diperhatikan. Persepsi petani terhadap kebijakan HPP dapat menjadi salah satu indikator sukses atau tidaknya kebijakan HPP yang telah dilaksanakan pemerintah selama bertahuntahun. Persepsi merupakan proses yang terjadi di dalam diri individu yang dimulai dengan diterimanya rangsang, sampai rangsang itu disadari dan dimengerti oleh individu sehingga individu dapat mengenali dirinya sendiri dan keadaan di sekitarnya. Persepsi dapat mempengaruhi cara berpikir dan motivasi petani dalam bekerja, hingga akhirnya dapat mempengaruhi produksi padi. Berdasarkan hal tersebut persepsi petani terhadap kebijakan HPP gabah dan beras di Indonesia perlu diketahui sebagai salah satu komponen penguat dalam penyusunan kebijakan. 2. Rumusan Masalah Inflasi dan kondisi perekonomian yang terus berubah menyebabkan biaya input produksi petani semakin tinggi, sehingga secara otomatis meningkatkan harga gabah dan beras di pasaran. Kebijakan HPP cenderung dianggap tidak memberikan pengaruh apapun terhadap pendapatan petani. Harga penjualan gabah yang lebih tinggi ke pedagang pengumpul dibandingkan apabila dijual ke Bulog menyebabkan petani enggan menjual gabahnya ke Bulog. Hal tersebut dapat mengakibatkan berkurangnya jumlah gabah atau beras yang diserap oleh Bulog dan menurunnya 4
kualitas beras yang diterima Bulog, apabila hal itu terjadi, maka fungsi Bulog sebagai lembaga yang bertugas untuk menjaga stabilisas harga beras akan terganggu. Berbagai pendapat dan kritikan muncul dalam penetapan kebijakan HPP gabah dan beras, namun petani sebagai subjek yang bersinggungan dengan kebijakan tidak dilibatkan dalam penyusunan kebijakan ini. Organisasi petani seperti Aliansi Petani Indonesia (API) bahkan memberikan tuntutan kepada pemerintah untuk turut melibatkan ormas petani dalam menetapkan HPP supaya kebijakan ini benar-benar tepat sasaran dengan melihat kondisi di lapangan. Berdasarkan uraian di atas, penulis mencoba menganalisis bagaimana sebenarnya persepsi petani mengenai kebijakan HPP gabah yang selama ini ditegakkan oleh pemerintah, khususnya petani di Kulon Progo. Hal itu dikarenakan di wilayah ini terdapat beberapa kelompok tani yang menjadi mitra Bulog Divre DIY. Terbentuknya persepsi dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal atau personal yang mempengaruhi antara lain umur, keaktifan petani di dalam kelompok, pengalaman, pengetahuan, luas lahan, pendapatan, dan pengetahuan petani mengenai kebijakan HPP. Faktor eksternal yang mempengaruhi antara lain berupa harga GKP dan GKG yang diterima petani; peran PPL; dan peran kelompok tani. Persepsi juga diduga dapat mempengaruhi cara berpikir dan motivasi kerja petani sehingga berpengaruh terhadap produksi padi bersama dengan beberapa faktor yang ada di dalam fungsi produksi, yaitu luas lahan, tenaga kerja, pupuk, pestisida, dan benih yang digunakan dalam usahatani. Berdasarkan uraian tersebut, maka timbul beberapa permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini, antara lain: 1. Bagaimana persepsi petani Kulon Progo terhadap kebijakan HPP gabah di Indonesia? 2. Faktor apa saja yang mempengaruhi persepsi petani Kulon Progo terhadap kebijakan HPP gabah di Indonesia? 3. Bagaimanakah pengaruh antara persepsi petani terhadap kebijakan HPP gabah dengan produksi padi di Kulon Progo? 3. Tujuan Penelitian 1. Menganalisis persepsi petani Kulon Progo terhadap kebijakan kebijakan HPP gabah di Indonesia. 5
2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi petani Kulon Progo terhadap kebijakan HPP gabah di Indonesia. 3. Mengetahui pengaruh persepsi petani terhadap kebijakan HPP sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi produksi padi di Kabupaten Kulon Progo. 4. Manfaat Penelitian 1. Bagi masyarakat akademik, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan untuk dianalisis lebih lanjut. 2. Bagi pemerintah, hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan evaluasi mengenai kebijakan HPP gabah. 3. Bagi petani padi, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang bermanfaat untuk kesejahteraan petani padi. 6