KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PENGOLAHAN KELAPA SAWIT SKALA KECIL (MINI PLANT)

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Agribisnis kelapa sawit mempunyai peranan yang sangat besar dalam

I. PENDAHULUAN. salah satu bagian penting dalam pembangunan pertanian serta merupakan bagian

POTENSI PENGEMBANGAN INDUSTRI KELAPA SAWIT 1 Oleh: Almasdi Syahza Peneliti dan Pengamat Ekonomi Pedesaan Lembaga Penelitian Universitas Riau

KAJIAN TENTANG HUBUNGAN STRATEGIS PRODUSEN KELAPA SAWIT DI KABUPATEN PELALAWAN PROVINSI RIAU. Henny Indrawati

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris dimana sektor pertanian merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya setiap perusahaan memiliki rencana pengembangan. bisnis perusahaan untuk jangka waktu yang akan datang.

BAB I PENDAHULUAN. Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH NOMOR 12 TAHUN 2014 TANGGAL 15 APRIL 2014 DESAIN POLA KEMITRAAN USAHA PERKEBUNAN DI PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT

I. PENDAHULUAN. areal perkebunan kelapa sawit pada tahun 1999 mengalami kenaikan yang cukup

KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 357/Kpts/HK.350/5/2002 TENTANG PEDOMAN PERIZINAN USAHA PERKEBUNAN MENTERI PERTANIAN,

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor penting yang patut. diperhitungkan dalam meningkatkan perekonomian Indonesia.

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tandan buah segar (TBS) sampai dihasilkan crude palm oil (CPO). dari beberapa family Arecacea (dahulu disebut Palmae).

I. PENDAHULUAN. masyarakat Indonesia salah satunya di Provinsi Sumatera Selatan. Pertanian

Lingkup hunbungan kemitraan meliputi :

BAB I PENDAHULUAN. untuk ekspor maupun komoditi yang diharapkan dapat meningkatkan pendapatan dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Manajemen rantai pasok, sebagai subyek penelitian, masih dalam masa

VI. REKOMENDASI KEBIJAKAN

Pengembangan Wilayah Sentra Produksi tanaman, menyebabkan pemadatan lahan, serta menimbulkan serangan hama dan penyakit. Di beberapa lokasi perkebunan

I. PENDAHULUAN. Salah satu sasaran pembangunan nasional adalah pertumbuhan ekonomi dengan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian memberikan kontribusi yang besar sebagai. sumber devisa negara melalui produk-produk primer perkebunan maupun

KAJIAN KEMAMPUAN EKONOMI PETANI DALAM PELAKSANAAN PEREMAJAAN KEBUN KELAPA SAWIT DI KECAMATAN SUNGAI BAHAR KABUPATEN MUARO JAMBI

pengusaha mikro, kecil dan menegah, serta (c) mengkaji manfaat ekonomis dari pengolahan limbah kelapa sawit.

PERMASALAHAN PENGELOLAAN PERKEBUNAN

1.000 ha Kelapa Sawit. Karet. tahun

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. pemerintah yang konsisten yang mendukung pembangunan pertanian. Sasaran pembangunan di sektor pertanian diarahkan untuk meningkatkan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. telah dibuka maka investasi harus terus dilanjutkan sampai kebun selesai

Visi dan Misi Provinsi Sulawesi Selatan Visi Sulawesi Selatan sebagaimana telah dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)

5 GAMBARAN UMUM AGRIBISNIS KELAPA SAWIT

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

VIII. ARAHAN PENGELOLAAN KEGIATAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT

Mungkur dan Gading Jaya. kebun Limau. PT Selapan Jaya, OKI ha ha, Musi Banyuasin. PT Hindoli, 2, kebun Belida dan Mesuji

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. terlihat dari rata-rata laju pertumbuhan luas areal kelapa sawit selama

BAB I PENDAHULUAN. sebagai sentra bisnis yang menggiurkan. Terlebih produk-produk tanaman

BAB I PROFIL PERUSAHAAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. sektor yang mempunyai peranan yang cukup strategis dalam perekonomian

PELUANG PENGEMBANGAN PABRIK KELAPA SAWIT SKALA KECIL DI DAERAH RIAU 1 (The opportunity in Developing a Small Scale Oil Palm Industry in Riau Region)

Pada saat ini Indonesia telah memasuki tahap pembangunan

PENGEMBANGAN USAHA DAN INVESTASI SUBSEKTOR PETERNAKAN 1)

I. PENDAHULUAN. Permintaan pangan hewani terutama daging sapi meningkat cukup besar

DUKUNGAN PASCAPANEN DAN PEMBINAAN USAHA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Tabel 14 Kebutuhan aktor dalam agroindustri biodiesel

XI. PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI UBI KAYU

PERMASALAHAN PENGELOLAAN PERKEBUNAN

BAB I PENDAHULUAN. pengembangan, yaitu : konsep pengembangan wilayah berdasarkan Daerah

BAB II PROFIL PT PERKEBUNAN NUSANTARA IV (PERSERO) KEBUN SAWIT LANGKAT

I. PENDAHULUAN. Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan. selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

Bank adalah lembaga keuangan yang kegiatannya menghimpun. dan menyalurkan dana dari dan kepada masyarakat yang memiliki fungsi

REKOMENDASI SEMINAR STRATEGI DAN TANTANGAN PEMBANGUNAN EKONOMI JANGKA MENENGAH PROVINSI JAMBI 22 DESEMBER 2005

Pembangunan sektor pertanian seyogyanya memperhatikan. komponen-komponen serta seluruh perangkat yang saling berkaitan

I. PENDAHULUAN. (agribisnis) terdiri dari kelompok kegiatan usahatani pertanian yang disebut

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan terigu dicukupi dari impor gandum. Hal tersebut akan berdampak

PENINGKATAN PRODUKSI DAN PRODUKTIVITAS TANAMAN TAHUNAN PEDOMAN TEKNIS KOORDINASI KEGIATAN PENGEMBANGAN TANAMAN TAHUNAN TAHUN 2015 (REVISI)

Sektor pertanian memberikan kontribusi yang besar sebagai. produk hasil olahannya. Berdasarkan data triwulan yang dikeluarkan

RENCANA PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAPI SAWIT PADA LAHAN PERKEBUNAN DI KALIMANTAN TIMUR

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

DAMPAK FAKTOR EKSTERNAL DAN INTERNAL TERHADAP KINERJA EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI PLASMA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Bagi perekonomian Indonesia, sektor pertanian merupakan sektor yang

Adapun lingkup hunbungan kemitraan meliputi :

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAWIT-SAPI DI KABUPATEN ROKAN HULU PROVINSI RIAU

V. KEBIJAKAN, STRATEGI, DAN PROGRAM

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan industri manufaktur dan sebagai sumber devisa negara. Pengembangan

I. PENDAHULUAN. perkebunan kelapa sawit adalah rata rata sebesar 750 kg/ha/tahun. Berarti

IV. METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan suatu hal yang cukup penting dalam mewujudkan

I. PENDAHULUAN konstribusi yang besar bagi devisa negara, khususnya karena pergeseran pangsa

BAB I PENDAHULUAN. memiliki potensi sangat besar dalam menyerap tenaga kerja di Indonesia.

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pembangunan Bambu di Kabupaten Bangli

I. PENDAHULUAN. Perekonomian merupakan salah satu indikator kestabilan suatu negara. Indonesia

I. PENDAHULUAN. sawit terbesar di Indonesia. Menurut Direktorat Jenderal Perkebunan dalam Yusuf

LAPORAN AKHIR REVITALISASI SISTEM DAN USAHA AGRIBISNIS GULA

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 395/Kpts/OT.140/11/2005 TENTANG

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. untuk bisa menghasilkan kontribusi yang optimal. Indonesia, khususnya pengembangan agroindustri.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. kebutuhan akan minyak nabati dalam negeri. Kontribusi ekspor di sektor ini pada

BAB I PENDAHULUAN. berkembang pesat di Indonesia. Sejak tahun 2006 Indonesia telah menjadi

DUKUNGAN PASCAPANEN DAN PEMBINAAN USAHA

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Komoditas kelapa sawit merupakan salah satu komoditas yang penting di

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I.PENDAHULUAN Selain sektor pajak, salah satu tulang punggung penerimaan negara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Pembangunan yang dilakukan di negara-negara dunia ketiga masih menitikberatkan

Transkripsi:

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PENGOLAHAN KELAPA SAWIT SKALA KECIL (MINI PLANT) Direktorat Jenderal Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian PENDAHULUAN Kebijakan pengembangan agribisnis kelapa sawit yang diterapkan pemerintah selama ini adalah mengembangkan usaha budidaya ( on-farm) sekaligus dengan pengembangan usaha pengolahannya ( off-farm). Kebijakan tersebut hingga kini terus berlanjut, sehingga pengembangan bisnis kelapa sawit yang teraplikasi di lapangan hampir sepenuhnya diprakarsai perusahaanperusahaan swasta maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Terdapat beberapa alasan penting, diterapkannya kebijakan tersebut diantaranya adalah : 1. Produk primer/raw material berupa Tandan Buah Segara (TBS) yang dihasilkan dari usaha budidaya kelapa sawit akan mempunyai nilai ekonomi setelah TBS diproses melalui unit pengolahan untuk menghasilkan CPO (intermediate product). 2. Usaha budidaya kelapa sawit maupun unit pengolahannya memerlukan teknologi maupun manajemen yang memadai. 3. Produk TBS sebagai raw material bagi unit pengolahan (pabrik kelapa sawit = PKS), bersifat mudah busuk sehingga harus segera diolah. Rentang waktu yang diperbolehkan sejak TBS dipanen hingga proses pengolahan di PKS tidak boleh lebih dari 12 jam. Apabila rentang waktu tersebut lebih dari 12 jam, maka mutu CPO yang dihasilkan menurun, yang pada akhirnya berdampak pada penurunan nilai/harga jual TBS. 4. Khusus untuk PKS, desain teknologi maupun kapasitas yang terbangun berskala besar (> 10 ton TBS/jam). Perancangan PKS seperti ini berimplikasi pada kebutuhan investasi yang relatif besar, pembangunan kebun kelapa sawit sebagai penyedia bahan baku TBS yang relatif luas (> 3.000 ha), serta kesiapan sumber daya manusia (SDM) untuk mengelola aspek budidaya maupun aspek pengolahannya (PKS) Mengingat kompleksnya penanganan bisnis kelapa sawit termasuk unit pengolahannya maka penyertaan/keterlibatan anggota masyarakat/petani kedalam bisnis tersebut.ditempuh melalui sistem perkebunan inti rakyat (pola PIR). Dalam pola PIR desain perencanaan kebun berikut unit pengolahannya serta unit penunjang (seperti jalan kebun, transportasi dan lainnya) hingga pada aspek pemasarannya ditangani oleh pihak inti (swasta maupun BUMN), sedangkan para petani terbatas pada aspek pemeliharaan kebun. 57

Dalam kurun waktu 6 (enam) tahun terakhir, pengembangan agribisnis kelapa sawit baik usaha budidaya (on farm) maupun unit pengolahannya (off farm) secara bertahap telah mengalami pergeseran/perubahan yaitu dari semula usaha tersebut hanya diprakarsai oleh perusahaan besar swasta dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), namun belakangan ini usaha tersebut terutama usaha on farm telah dilaksanakan oleh petani perkebunan (swadaya) di luar petani perkebunan yang bernitra dengan perusahaan besar swasta dan BUMN yang dikenal dengan petani plasma (pola PIR). Berkembangnya usaha perkebunan kelapa sawit rakyat swadaya ini tidak terlepas dari keberadaan perkebunan kelapa sawit yang dimiliki oleh perusahaan besar swasta/bumn yang sudah berkembang di wilayah bersangkutan. Selain itu, faktor lainnya yang mendorong tingginya minat petani mengusahakan perkebunan kelapa sawit adalah : 1. Nilai ekonomi (tingkat harga) produk kelapa sawit (TBS) relatif lebih stabil dan cenderung meningkat. Berbeda dengan komoditi perkebunan lainnya tingkat harganya cenderung fluktuatif. 2. Bagi petani kondisi diatas berarti berusaha di bidang kelapa sawit lebih memberi jawaban/kepastian berusaha dan keuntungan ekonomis yang lebih baik dibanding usaha komoditi perkebunan lainnya. 3. Ketersediaan teknologi budidaya yang dapat segera diadopsi petani dari perkebunan besar swasta/bumn. 4. Ketersediaan sarana pengolahan (yang dimiliki perusahaan besar swasta/ BUMN di wilayah bersangkutan) yang diperkirakan dapat dimanfaatkan untuk mengolah hasil kebun yang dimiliki petani. 5. Ketersediaan sarana lainnya seperti sarana jalan, transportasi/angkutan baik yang dimiliki oleh perusahaan besar swasta maupun BUMN. Pada awal berkembangnya usaha perkebunan kelapa sawit rakyat swadaya, pemanfaatan sarana-sarana sebagaimana disebut diatas belum menimbulkan permasalahan. Namun dalam kurun waktu 2-3 tahun belakangan ini, permasalahan pemanfaatan sarana pengolahan maupun sarana lainnya yang dimiliki perusahaan besar maupun BUMN mulai menunjukkan adanya tandatanda ketidak mampuan daya tampung untuk mengolah hasil perkebunan kelapa sawit rakyat swadaya yang pada akhir-akhir ini semakin melimpah sejalan dengan meningkatnya areal panen, bahkan di daerah-daerah tertentu terdapat hasil panen kelapa sawit rakyat yang tidak terolah sama sekali. Upaya-upaya perusahaan besar swasta maupun BUMN yang sudah eksis untuk mengantisipasi masalah pengolahan hasil perkebunan kelapa sawit rakyat hingga kini belum nampak baik dalam pembangunan sarana pengolahan baru maupun dalam penambahan kapasitas yang sudah ada. Kurangnya minat dunia usaha sebagaimana disebut diatas kemungkinan disebabkan beberapa hal yaitu : AKP. Volume 1 No. 1, Maret 2003 : 57-65 58

1. Lokasi kebun kelapa sawit rakyat swadaya relatif jauh (antara 50 km s/d 200 km) dari unit sarana pengolahan yang dimiliki perusahaan besar swasta maupun BUMN. Kalaupun dilakukan pengangkutan hasil panen akan berdampak pada tingginya biaya angkut yang harus dibebankan kepada petani yang bersangkutan. 2. Tipe/pola pembangunan perkebunan kelapa sawit rakyat swadaya saat ini pada umumnya berpencar-pencar dan dalam skala usaha yang relatif kecil. Kondisi demikian akan menyulitkan dunia usaha/perkebunan besar swasta/ BUMN untuk mengorganisir pengumpulan maupun pengangkutan TBS ke lokasi unit pengolahan yang dimiliki perusahaan besar swasta/bumn. Diketahui untuk mendapatkan kualitas CPO yang baik (optimal) memerlukan syarat -syarat tertentu diantaranya jarak waktu petik TBS hingga diproses pada unit pengolahan hanya mempunyai waktu tenggang maksimal 12 jam. 3. Tidak ada jaminan pasokan TBS dari petani kelapa sawit mengingat pembangunan kelapa sawit dimaksud merupakan inisiatif dari petani yang bersangkutan. Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa permasalahan utama agribisnis kelapa sawit swadaya saat ini maupun ke depan adalah tidak tersedianya unit pengolahan yang diharapkan dapat mengolah TBS hasil panen kelapa sawit rakyat. Permasalahan tersebut perlu dicarikan jalan pemecahannya. Salah satu solusinya ialah membangun unit pengolahan kelapa sawit skala kecil di lokasi perkebunan kelapa sawit rakyat swadaya. Mengingat tipe perkebunan swadaya terpencar-pencar dan dalam luasan yang relatif kecil, maka tipe unit pengolahan yang sesuai untuk kondisi tersebut adalah tipe unit pengolahan kelapa sawit skala kecil (mini plant) dengan kapasitas antara 1 s/d < 10 ton TBS/jam. POTENSI PENGEMBANGAN SARANA PENGOLAHAN KELAPA SAWIT SKALA KECIL (MINI PLANT) PADA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT RAKYAT SWADAYA Kondisi Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat Swadaya Pembangunan kebun kelapa sawit yang dilakukan oleh petani perkebunan swadaya setiap tahun mengalami peningkatan yang cukup signifikan, sejalan dengan semakin prospektifnya bisnis produk olahan kelapa sawit (CPO) baik di pasar domestik maupun di pasar internasional. Berdasarkan data dari Dinas Perkebunan Provinsi tahun 2001 diperoleh bahwa luas areal kelapa sawit yang dikelola petani pekebun swadaya pada 10 provinsi berjumlah 555.706 ha, yang tersebar di 56 kabupaten. Dari areal tersebut, 486.925 ha atau 87,62 persen berada di Pulau Sumatera (5 provinsi), diantaranya yang terbesar berada di Provinsi Ria u yaitu 59

seluas 280.979 ha atau 51,02 persen dari total areal tanam. Sisanya terdapat di Pulau Kalimantan (4 provinci) seluas 67.560 ha dan di Provinsi Sulawesi Selatan 1.221 ha. Bila ditinjau dari segi struktur pengusahaan kelapa sawit secara nasional dapat dikatakan bahwa perkebunan kelapa sawit rakyat swadaya saat ini telah melampaui usaha perkebunan kelapa sawit yang dimiliki usaha BUMN, seperti telihat pada data berikut : Pemrakarsa Luas areal (ha) Persentase (%) 489.143 15,28 1.409.134 44,03 BUMN Swasta Petani : a. Plasma (PIR) b. Swadaya 746.017 23,31 555.706 17,38 Total 3.200.000 100,00 Saat ini kondisi perkebunan kelapa sawit rakyat swadaya dapat digambarkan sebagai berikut : 1. Umur tanaman berkisar antara 1 s/d 6 tahun, sehingga sebagian tanaman sudah memasuki usia produktif. 2. Lokasi kebun tersebar di beberapa kecamatan dalam satu wilayah kabupaten, dengan skala luasan relatif kecil-kecil. Sebagai gambaran misalnya di Kabupaten Lampung Utara Provinsi Lampung terdapat areal kelapa sawit rakyat swadaya seluas 10.653 ha yang tersebar di 14 wilayah kecamatan. 3. Jarak kebun ke unit pengolahan kelapa sawit (PKS) baik milik BUMN maupun swasta relatif jauh yaitu berkisar antara 50 km s/d 200 km, sehingga berdampak pada tingginya biaya angkut tandan buah segar (TBS) yaitu antara Rp 60 s/d Rp 100/kg TBS. Kondisi ini jelas tidak bermanfaat bagi petani kelapa sawit, mengingat hasil penelitian menyatakan bahwa biaya angkut TBS yang ekonomis maksimum sebesar Rp 70/kg. 4. Tingkat pencapaian produktivitas TBS/ha termasuk kategori sedang dan rendah sesuai klasifikasi Pusat Penelitian Perkebunan Marihat tahun 1984, yaitu : 5. Umur panen tahun ke- 1 2 3 Produktivitas (ton TBS/ha) Lampung Jambi Puslitbun Marihat 1984 5,3 6,5 8,4 2,8 3,6-6 10 12 AKP. Volume 1 No. 1, Maret 2003 : 57-65 60

Potensi Pengembangan Sarana Pengolahan Kelapa Sawit Skala Kecil (Mini Plant) Berdasarkan asumsi produksi TBS sebesar 16 ton/ha (Ditjen Perkebunan, 2001) maka produksi TBS yang diperoleh dari perkebunan kelapa sawit rakyat swadaya seluas 555.706 ha adalah sebesar 8.891.306 ton TBS setiap tahun. Pada umumnya penentuan jumlah unit pengolahan kelapa sawit (PKS) yang dibutuhkan, didasarkan pada besarnya kapasitas oleh persatuan waktu. Selanjutnya penghitungan kapasitas olah didasarkan pada prediksi produksi TBS setiap tahun. Untuk menentukan besarnya kapasitas olah, ditempuh melalui 2 (dua) pendekatan yaitu pendekatan kapasitas oleh minimum (alternatif I) dan kapasitas olah maksimum (alternatif II) yaitu : 1. Alternatif I : Kapasitas oleh (ton TBS/jam) = Total Areal Tanam Produktif 300 Catatan : Untuk areal tanam produktif seluas 300 ha, dibutuhkan kapasitas oleh 1 ton TBS/jam (versi PPKS-Medan) 2. Alternatif II : Kapasitas oleh (ton TBS/jam) = 12,5% x Produksi setahuan 500 = 0,00025 x Produksi setahun Catatan : 500 adalah 25 hari/bulan x 20 jam/hari. Berdasarkan ketentuan diatas, maka total kapasitas olah PKS yang diperlukan untuk mengolah TBS sebesar 8.891.306 ton adalah masing-masing sebesar 1.852 ton TBS/jam (alternatif I) dan 2.221 ton TBS/jam (alternatif II). Apabila total kapasitas tersebut disederhanakan menjadi jumlah unit PKS- Mini, masing-masing dengan kapasitas 1 ton atau 3 ton atau 5 ton TBS/ jam, maka jumlah PKS mini yang potensial untuk dikembangkan pada perkebunan kelapa sawit rakyat swadaya adalah sebagai berikut : Kapasitas Alternatif I (unit) Alternatif II (unit) 1 ton TBS/jam 3 ton TBS/jam 5 ton TBS/jam 1.852 617 370 2.221 740 444 61

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PENGOLAHAN KELAPA SAWIT SKALA KECIL Kebijakan Umum Secara umum arah pengembangan pengolahan (hasil pertanian) difokuskan pada pengembangan industri pengolahan yang berdaya saing, berkelanjutan berkerakyatan dan terdesentralisasi. Selengkapnya pokok-pokok kebijakan pengembangan pengolahan sebagai berikut : 1. Pengembangan usaha pengolahan diarahkan pada peningkatan daya saing, penciptaan nilai atmbah yang lebih tinggi melalui pemanfaatan teknologi tepat guna, serta mendorong tumbuhnya industri-industri hilir. 2. Pengembangan usaha pengolahan didasarkan pada sumberdaya lokal dan penciptaan lapangan kerja. 3. Pengembangan usaha pengolahan dilakukan dengan meliabtkan secara luas anggota masyarakat, usaha-usaha skala kecil-menengah (UKM) dan koperasi. 4. Pengembangan usaha pengolahan dilaksanakan secara terintegrasi dengan usaha budidaya (on farm). 5. Peran dunia usaha skala besar dalam kerangka kemitraan yang win-win dengan UKM dan koperasi. Kebijakan Operasional Secara operasional, kebijakan pengembangan usaha pengolahan hasil perkebunan telah diatur dalam Keputusan Menteri Pertanian No. 357/Kpts/ HK.350/5/2002, seperti ditetapkan pada pasal 8 yaitu : 1. Pola Koperasi Usaha Perkebunan, yaitu pola pengembangan yang modal usahanya 100 persen dimiliki oleh Koperasi Usaha Perkebunan. 2. Pola Patungan Koperasi dengan investor, yaitu pola pengembangan yang sahamnya 65 persen dimiliki oleh koperasi dan 35 persen dimiliki oleh investor/perusahaan. 3. Pola Patungan Investor Koperasi yaitu pola pengembangan yang sahamnya 80 persen dimiliki investor/perusahaan dan minimal 20 persen dimiliki koperasi yang ditingkatkan secara bertahap. 4. Pola BOT (Build, Operate and Transfer), yaitu pola pengembangan dimana pembangunan dan pengoperasian dilakukan oleh investor/perusahaan yang kemudian pada waktu tertentu seluruhnya dialihkan kepada koperasi. 5. Pola BTN (Bank Tabungan Negara), yaitu pola pengembangan dimana investor/perusahaan membangun kebun dan atau pabrik pengolahan hasil perkebunan yang kemudian akan dialihkan kepada peminat/pemilih yang tergabung dalam koperasi. AKP. Volume 1 No. 1, Maret 2003 : 57-65 62

6. Pola-pola pengembangan lainnya yang saling menguntungkan, memperkuat membutuhkan antara petani perkebunan dengan perusahaan perkebunan. Mengingat mini plant mempunyai karakteristik usaha yang relatif berbeda dengan usaha PKS skala besar maka kebijakan penting lainnya yang harus dipedomani dalam pengembangan mini plant adalah sebagai berikut : 1. Memenuhi peraturan perundangan yang berlaku, seperti perijinan dan lainnya. 2. Mini plant yang akan dibangun harus berada dalam kawasan perkebunan kelapa sawit rakyat swadaya. Dalam hal ini tidak berdekatan atau berada dalam kawasan perkebunan kelapa sawit rakyat yang sudah melakukan kemitraan dengan BUMN dan Swasta (pola PIR). 3. Mini plant harus betul-betul prima, sehingga kualitas hasil olahan (CPO) sesuai standar perdagangan Indonesia. 4. Sumber bahan baku TBS sepenuhnya berasal dari perkebunan kelapa sawit rakyat swadaya. 5. Penentuan kapasitas olah, harus memperhatikan jangkauan pelayanan yang efisien (biaya angkut TBS < Rp 70/kg), serta memperhatikan pula luasan areal perkebunan kelapa sawit yang akan dilayani. 6. Memperhatikan aspek teknis lainnya seperti ketersediaan sumber air, pengelolaan lingkungan dan lainnya. 7. Kapasitas mini plant yang akan dibangun berkisar antara 1 s/d < 10 ton TBS/jam. 8. Penyediaan mini plant dapat dilakukan oleh Koperasi Usaha Perkebunan, Pemda setempat maupun dunia swasta (investor). 9. Bagi investor penyedia mini plant, diwajibkan melakukan kemitraan dengan petani/kelompok tani kelapa sawit yang tergabung dalam wadah Koperasi Usaha Perkebunan di wilayah bersangkutan. Melalui proses kemitraan diharapkan dalam jangka waktu tertentu, para petani yang tergabung dalam Koperasi Uasha Perkebunan secara bertahap dapat memiliki mini plant. Untuk selanjutnya pihak investor dapat bergerak ke industri hilir. Implikasi Kebijakan Kebijakan pengembangan mini plant di tengah-tengah usaha perkebunan rakyat merupakan salah satu bentuk pemberdayaan petani kelapa sawit di pedesaan. Dengan terimplementasinya mini plant maka akan tercipta keterpaduan usaha yang harmonis antara subsistem on-farm dengan subsisetm off-farm sekaligus tercipta pula akses petani terhadap sarana pengolahan yang selama ini menjadi permasalahan pokok yang dihadapkan para petani kelapa sawit. Beberapa manfaat yang dapat segera diperoleh para petani kelapa sawit dengan diimplementasikannya mini plant ditengah usaha perkebunan kelapa sawit yaitu : 63

1. Terbukanya akses petani perkebunan kelapa sawit terhadap sarana pengolahan kelapa sawit. 2. Mutu hasil olah TBS (CPO) semakin baik, karena kemungkinan mundurnya jadwal olah TBS semakin kecil. 3. Terciptanya efisiensi serta nilai tambah ekonomi usaha perkebunan kelapa sawit rakyat, karena selain meningkatnya mutu CPO, juga akan tercipta penghematan biaya angkut TBS sekitar Rp 20 Rp 50/kg. 4. Terserapnya tenaga kerja pedesaan, karena untuk satu unit mini plant membutuhkan tenaga kerja langsung sekitar 6-8 orang. 5. Tumbuhnya industri-industri hasil perkebunan skala kecil di pedesaan. 6. Secara bertahap, usaha agribisnis kelapa sawit di pedesaan, akan semakin mendekati kenyataan. Implikasi lebih lanjut dari kebijakan di atas ialah semakin kuatnya keterlibatan/peran para petani yang tergabung dalam koperasi usaha perkebunan dalam pembangunan perkebunan. Kebijakan ini ditempuh dalam rangka lebih memberdayakan petani perkebunan yang selama ini terbatas hanya pada usaha onfarm, tetapi lebih ditingkatkan lagi hingga pada usaha off-farm. Dengan demikian unit usaha perkebunan sejak dari usaha on-farm hingga usaha off-farm menjadi satu kesatuan managemen antara petani dengan investor (sebagai penyedia unit pengolahan). Berkenaan dengan itu, maka Pemerintah Daerah dalam hal ini Dinas Perkebunan Provinsi maupun Kabupaten akan berperan secara aktif memfasilitasi pemberdayaan petani perkebunan terutama dalam hal : 1. Mengorganisir petani kedalam berbagai kelompok tani. 2. Mengorganisir kelompok tani menjadi koperasi usaha perkebunan yang memiliki legalitas. 3. Menyelenggarakan pelatihan teknis dan kewirausahaan, dalam rangka meningkatkan kemampuan para kelompok tani untuk menjalankan fungsifungi kewirausahaan, peningkatan produktivitas dan managemen usaha. 4. Menyiapkan tenaga pendamping/penyuluh baik berupa tenaga konsultan maupun tenaga penyuluh lapangan yang mempunyai keahlian/pengalaman yang memadai baik di bidang teknologi produksi, pengolahan maupun managemen usaha/kewirausahaan. Mengingat tingginya ragam sosial budaya di masing-masing wilayah, maka kelembagaan Koperasi Usaha Perkebunan yang akan dibentuk serta rekruitmen tenaga pendamping, harus mampu mengakomodir karakteristik sosial budaya setempat. Dengan demikian, dalam jangka waktu tertentu diharapkan akan terbentuk usaha agribisnis kelapa sawit dalam satu kawasan yang mandiri dibawah satu kesatuan managemen yang kreatif dan profesional. AKP. Volume 1 No. 1, Maret 2003 : 57-65 64

Penutup Usaha perkebunan kelapa sawit rakyat swadaya telah berkembang di 10 provinsi. Berdasarkan data tahun 2001, total areal perkebunan kelapa sawit tersebut telah mencapai areal 555.706 ha atau sekitar 17,36 persen dari areal kelapa sawit nasional yaitu sekitar 3,2 juta ha. Pada umumnya kawasan perkebunan kelapa sawit rakyat swadaya, terpencar dengan luasa relatif kecil, serta relatif jauh dari unit pengolahan TBS yang ada yaitu antara 50 km s/d 200 km. Kondisi demikian menjadikan usaha perkebunan rakyat menjadi tidak efisien, karena tingginya biaya angkut TBS ke unit pengolahan TBS yang ada yaitu sektiar Rp 60 s/d Rp 100/kg TBS, bahkan di daerah tertentu terdapat hasil TBS yang tidak terolah sama sekali. Usaha perkebunan kelapa sawit rakyat ini perlu diberdayakan menjadi usaha yang efisien, berkelanjutan serta usaha yang berprospektif bagi peningkatan nilai ekonomi dan kesejahteraan petani kelapa sawit. Salah satu upaya untuk hal tersebut ialah membangun unit-unit pengolahan TBS skala kecil (mini plant) dengan kapasitas 1 s/d < 10 ton TBS/jam. Potensi pengembangan mini plant dimaksud cukup besar yaitu antara 370 s/d 1.852 unit yang tersebar di 10 provinsi. 65