BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tujuan nasional dari negara Indonesia yang tercantum dalam

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Pendidikan didefinisikan sebagai alat untuk memanusiakan manusia dan juga

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan sendiri tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945

BAB I PENDAHULUAN. seberapa besar perkembangan pendidikannya (Sanjaya, 2005). Menurut UU RI No

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kata adversity berasal dari bahasa Inggris yang berarti kegagalan atau kemalangan

BAB I PENDAHULUAN. mempertajam keterampilan yang dimiliki serta menjalin pertemanan dengan

BAB I PENDAHULUAN. satu negara multikultural terbesar di dunia. Menurut (Mudzhar 2010:34)

I. PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia merupakan suatu bangsa yang majemuk, yang terdiri dari

I. PENDAHULUAN. Penyelenggaraan pendidikan di Negara Indonesia merupakan suatu sistem

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan pada saat ini memiliki peran yang sangat penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Nasional yang tercantum dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya, pendidikan adalah suatu upaya sadar dan terencana yang

BAB I PENDAHULUAN. positif dan dampak negatif dalam kehidupan kita. Berbagai macam orang dari

BAB I PENDAHULUAN. Nasional sebagai mana yang tercantum dalam UU No. 20 tahun 2003,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. untuk suatu profesi, tetapi mampu menyelesaikan masalah-masalah yang

I. PENDAHULUAN. kelompok-kelompok perorangan dengan jumlah kecil yang tidak dominan dalam

BAB I PENDAHULUAN. memberi dorongan untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi.

GAMBARAN SCHOOL CONNECTEDNESS PADA SISWA DI SEKOLAH PEMBAURAN (STUDI KASUS SMA WR SUPRATMAN 2 MEDAN) SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tersebut sebenarnya dapat menjadi modal yang kuat apabila diolah dengan

BAB I PENDAHULUAN. terpenting dalam suatu perkembangan bangsa. Oleh karena itu, perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang kaya akan berbagai macam etnis,

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan terdiri dari tiga definisi yaitu secara luas, sempit dan umum.

BAB I PENDAHULUAN. negara karena maju tidaknya suatu negara itu tergantung dari kualitas sistem

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Sisdiknas Nomor : 20 Tahun 2003 Bab 1 pasal

1. 1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menampilkan sikap saling menghargai terhadap kemajemukan masyarakat

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan sesuatu yang sangat penting bagi pembentukan karakter

I. PENDAHULUAN. suatu wadah yang disebut sebagai lenbaga pendidikan. Mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) di SMP dan MTs

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi serta cepatnya dalam mendapatkan suatu informasi di

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Dalam UU No.20/2003

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Evinaria Esahastuti, 2014 Studi Pembelajaran Seni Dihomeschoolingtaman Sekar Bandung

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan usaha mewujudkan suasana belajar bagi peserta

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. proses pembelajaran. Keberadaan pendidikan yang sangat penting tersebut telah

dengan pembukaan Undang Undang Dasar 1945 alinea ke-4 serta ingin mencapai

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia yang ditekankan pada upaya pengembangan aspek-aspek

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sejalan dengan meningkatnya ketergantungan ekonomi,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Sesuai dengan Fungsi Pendidikan Nasional yang tertuang dalam UU No 20 Tahun 2003

BAB I PENDAHULUAN. tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Warga negara diartikan sebagai bagian dari suatu penduduk yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan faktor yang sangat penting dan menentukan bagi

1 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan sebagai faktor pendukung yang memegang peranan

A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan hal yang terpenting dalam kehidupan, karena

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan harus mampu menumbuhkan karakter yang mencintai dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. bangsa Indonesia, sesuatu yang sangat unik, yang tidak dimiliki oleh semua

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia. Pendidikan berfungsi untuk mengembangkan dan membentuk

BAB I PENDAHULUAN. yang lebih dikenal dengan multikultural yang terdiri dari keragaman ataupun

BAB II LANDASAN TEORI. dalam ruang lingkup sekolah konsep engagement meliputi beberapa bagian, yang

I. PENDAHULUAN. Pendidikan menjadi hak dasar warga negara. Pendidikan merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Di era globalisasi seperti sekarang ini mutlak menuntut seseorang untuk membekali

BAB 1 PENDAHULUAN. pasal 31 ayat 1 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa tiap-tiap warga negara

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. bangsa. Kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh tingkat keberhasilan pendidikan.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dapat membantu suatu negara dalam mencetak SDM (Sumber

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Undang-Undang Pasal 20 Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan

I. PENDAHULUAN. belajar dan proses belajar agar peserta didik secara aktif dapat. mengembangkan potensi pada dirinya untuk dapat memiliki kekuatan

BAB I PENDAHULUAN. Delors, 1996: 22), bahwa terdapat empat pilar pendidikan yaitu learning to know,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pendidikan menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang

BAB I PENDAHULUAN. adalah tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Hal ini berarti bahwa

.KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan menurut Kunandar (2009) merupakan investasi Sumber Daya

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan elemen penting bagi kehidupan. Menurut. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 pasal (1) ayat 1,

BAB I PENDAHULUAN. sesamanya dalam kehidupan sehari-hari. Untuk menjalankan kehidupannya

BAB I PENDAHULUAN. menyiapkan manusia menghadapi masa depan agar bisa hidup lebih

Standard Guru Penjas Nasional (Rumusan BSNP)

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan bangsa dan mengembangkan sumber daya manusia. Oleh karena

STUDI DESKRIPTIF MENGENAI SIKAP TERHADAP KEWIRAUSAHAAN PADA SISWA KELAS XII SEKOLAH SETINGKAT SMA DI KECAMATAN JATINANGOR SRI AYU NUR HASANAH ABSTRACT

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I. A. Latar Belakang Penelitian. sistem yang lain guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia merupakan kondisi yang kaya akan suku bangsa atau sering

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan hak bagi setiap warganegara Republik Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Muhammad Iqbal Radhibillah, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Nisa Fadilah, 2014 Peran Pelatih Pada Pelatihan Pra Purnabakti dalam Kemampuan Berwirausaha

BAB I PENDAHULUAN. yakni Bhineka Tunggal Ika yang berarti walaupun berbeda-beda tetapi tetap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Sekolah merupakan lembaga pendidikan yang memiliki peran penting dalam

BAB I. Pendahuluan Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. yang tertulis dalam Pembukaan UUD Negara Indonesia Tahun 1945 dalam Alinea

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang majemuk secara etnik, agama, ras dan golongan.

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya manusia yang berkualitas sangat penting artinya untuk

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. berbagai aktivitas yang melibatkan kemampuan kognitif, afektif, maupun. UUD 1945 yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Penelitian Hasanah Ratna Dewi, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Raden Aufa Mulqi, 2016

G. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN SMPLB TUNARUNGU

BAB I PENDAHULUAN. dengan jalan merubah cara pandang dalam memahami dan menyadari. memperoleh perlakuan yang layak dalam kehidupan.

BAB I PENDAHULUAN. kelak menjadi motor penggerak bagi kehidupan bermasyarakat, dan bernegara demi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 pasal 3 menyatakan bahwa pendidikan Nasional

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagai sebuah negara yang masyarakatnya majemuk, Indonesia terdiri

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dan utama dalam konteks pembangunan bangsa dan negara. Begitu

BAB I PENDAHULUAN. yang ada dalam masyarakat dan kebudayaan. Pendidikan secara bahasa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. usia 18 hingga 25 tahun (Santrock, 2010). Pada tahap perkembangan ini, individu

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu tujuan nasional dari negara Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) tahun 1945 adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan ini menekankan bahwa negara bertanggung jawab atas pendidikan yang ditempuh oleh setiap warga negaranya. Pendidikan menurut Undang-Undang No.20 tahun 2003 Pasal 1 Ayat 1 tentang Sistem Pendidikan Nasional didefinisikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Mendapat pendidikan merupakan hak yang dimiliki setiap warga negara Indonesia (UUD tahun 1945 pasal 31 ayat 1). Sebagai negara dengan multikultur, hal ini berarti bahwa setiap warga negara yang dimaksud adalah setiap orang yang berasal dari latar belakang suku, agama bahkan status sosial manapun dengan catatan merupakan warga negara Indonesia berkesempatan untuk mengenyam pendidikan. 1

Beragamnya kultur di Indonesia membentuk sistem pendidikan nasional yang berupaya untuk mengembangkan persatuan dan kebangsaan yang menghormati kemajemukan serta kesetaraan yang disesuaikan dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika (Tobing, 2013). Penekanan terhadap sistem pendidikan nasional ini bermula dari kondisi pendidikan Indonesia di masa Orde Baru. Pada masa Orde Baru, sekolah-sekolah di Indonesia merupakan sekolah yang siswanya berasal dari keturunan Tionghoa dan dianggap berada di bawah pengaruh RRC. Melihat kondisi tersebut, maka pada tahun 1967 pemerintah membuat kebijakan mendirikan sekolah yakni Sekolah Nasional Proyek Khusus (SNPK). Pada tahun 1975, istilah SNPK diubah menjadi sekolah-sekolah asimilasi atau sekolah pembauran. Tujuan adanya kebijakan ini adalah menjadikan sekolah sebagai wadah pembauran atau melting pot. Melalui pembauran ini, diharapkan agar Warga Negara Indonesia (WNI) keturunan Tionghoa dapat meleburkan dirinya dan budayanya kepada kelompok yang dominan dimana pada konteks ini adalah WNI asli (Pelly, 2003). Pada masa tersebut, sekolah pembauran yang terdapat di Sumatera Utara sudah mencapai 32 sekolah mulai dari tingkat SD, SLTP, dan SLTA (Pelly, 2003). Salah satu sekolah yang turut mengikuti kebijakan pemerintah ini adalah Yayasan Perguruan Wage Rudolf Supratman Medan (Tentang Kami, dalam wrsupratman.sch.id, 2014). Yayasan ini semula bernama Yayasan Perguruan Tri Bukit dan diperuntukkan untuk siswa WNI keturunan 2

Tionghoa. Namun sejak diberlakukannya kebijakan pemerintah mengenai sekolah pembauran, sekolah ini mengubah namanya menjadi Perguruan Wage Rudolf Supratman dan membuka kesempatan bagi siswa WNI asli untuk bersekolah di sekolah tersebut. Salah satu ketentuan yang diberlakukan untuk sekolah pembauran menurut Surat Keputusan Menteri P dan K No.044/P/75 adalah komposisi murid-murid harus 50% WNI asli dan 50% WNI asing (Pelly, 2003). Namun berdasarkan hasil wawancara dengan Wakil Kepala Sekolah bagian Kesiswaan di SMA WR Supratman 2 Medan didapatkan bahwa kelompok mayoritas dalam sekolah tersebut adalah siswa dengan keturunan Tionghoa dan kelompok minoritas adalah siswa WNI asli, dengan perbandingan 60 % dan 40%. Pelly (2003) menjelaskan bahwa di awal dibukanya sekolah pembauran, pihak yayasan berupaya agar dapat memenuhi ketentuan tersebut. Akan tetapi dari tahun ke tahun jumlah siswa WNI asli semakin sedikit dikarenakan adanya berbagai faktor seperti keengganan belajar di satu kelas yang sama dengan murid-murid WNI keturunan Tionghoa, letak sekolah pembauran yang sebagian besar berada di komunitas WNI keturunan Tionghoa, disiplin sekolah yang ketat, dana untuk buku, pakaian, dan uang sekolah yang tinggi. Selain ketentuan tersebut, ketentuan lain yang diberlakukan adalah menggunakan kurikulum nasional serta menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa penghantar (Pelly, 2003). Namun penelitian yang dilakukan oleh Manurung (2015) di salah satu sekolah pembauran di kota Medan 3

menunjukkan bahwa masih adanya kecenderungan kelompok mayoritas yakni keturunan Tionghoa menggunakan bahasa Tionghoa dalam berinteraksi dengan teman serta guru yang juga merupakan keturunan Tionghoa. Fenomena seperti ini juga sering terjadi di SMA WR Supratman 2 Medan. Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak sekolah, didapatkan bahwa pernah terdapat laporan dari siswa non Tionghoa bahwa mereka merasa tidak nyaman dengan kondisi tersebut. Hal ini dapat dilihat dari kutipan wawancara berikut. Iya pernah memang ada laporan siswa etnis non Tionghoa bahwa masih ada beberapa guru Tionghoa, kalo yang nanya siswa Tionghoa juga cenderung menjawab dengan berbahasa Tionghoa. Ini cukup mengganggu siswa-siswa non Tionghoa ya.. karena mereka merasa ingin tahu juga dengan apa yang disampaikan oleh gurunya (Wawancara Personal, 2015) Sekolah dengan konsep pembauran tidak hanya cenderung membuat siswa kelompok minoritas saja yang merasa tidak nyaman, tetapi juga kelompok mayoritas yakni siswa keturunan Tionghoa. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Sumiati (2000) kepada siswa keturunan Tionghoa di salah satu SMA di kota Cirebon. Hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa keturunan Tionghoa cenderung melakukan interaksi dengan siswa non Tionghoa hanya untuk motif belajar. Berdasarkan kondisi tersebut dapat diasumsikan bahwa baik siswa kelompok mayoritas maupun kelompok minoritas cenderung masih merasa tidak nyaman dengan kendala yang sering kali dihadapi oleh sekolah dengan konsep 4

pembauran. Nyaman atau tidaknya siswa di sekolah akan mengarahkan kepada perasaan siswa apakah ia diterima di sekolahnya atau tidak. Istilah ini dikenal dengan school connectedness. School connectedness menurut Bonny (2000) merupakan perasaan memiliki dan menerima siswa terhadap lingkungan sekolahnya. Sementara itu, Blum (2004) mendefinisikan school connectedness sebagai keyakinan siswa bahwa orang-orang dewasa dan teman sebayanya di sekolah peduli dengan pendidikan mereka serta mempedulikan mereka sebagai individu. Stracuzzi & Mills (2010) menggambarkan school connectedness sebagai perasaan positif siswa mengenai pendidikan, perasaan memiliki akan lingkungan sekolah, adanya hubungan positif dengan staff sekolah dan teman-temannya. School connectedness merupakan hal penting dalam kehidupan di sekolah. Centers for Disease Control and Preventive (2009) dalam jurnal publikasi yang berjudul School Connectedness menyatakan bahwa school connectedness merupakan faktor protektif bagi siswa untuk tidak menggunakan obat-obatan terlarang, absen dari sekolah, perilaku seksual, kekerasan dan resiko kecelakaan. Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh Stracuzzi & Mills (2010) menjelaskan bahwa school connectedness akan berdampak pada performa akademik siswa. Siswa yang memiliki school connectedness yang lebih tinggi akan lebih mudah untuk mendapatkan peringkat yang lebih tinggi, hasil ujian yang lebih tinggi, dan tidak drop out. Hal ini dikarenakan siswa lebih terlibat dalam pendidikan mereka, merasa termotivasi, dan menikmati pembelajaran mereka. 5

School connectedness terdiri dari tiga aspek utama yakni dukungan sosial, rasa memiliki dan keterlibatan (Connell & Wellborn, dalam Stracuzzi & Mills, 2010). Dukungan sosial merupakan dukungan yang diberikan guru dan staf lainnya yang berada di sekolah terhadap seluruh siswa tanpa membedakan jenis kelamin, ras, maupun etnis. Sementara itu rasa memiliki merupakan perasaan yang dimiliki oleh siswa mengenai dirinya bahwa ia adalah bagian dari sekolah. Aspek keterlibatan merupakan respon yang ditunjukkan siswa ketika sudah mendapatkan dukungan sosial dan juga merasa menjadi bagian dari sekolah. Dukungan sosial yang diberikan guru maupun staf sekolah siswa juga akan mengarah kepada disiplin sekolah (school discipline) yang dilakukan secara adil atau tidak. Penelitian yang dilakukan oleh Kandace & Forrester (2015) mengenai kaitan antara school discipline dengan school connectedness menunjukkan bahwa siswa yang merasa bahwa disiplin sekolah dilakukan secara diskriminatif, akan cenderung juga merasakan bahwa guru tidak adil, merasa bahwa dia adalah siswa yang bodoh menurut gurunya, dan kurang merasakan hal baik tentang sekolahnya. Berdasarkan hasil survei peneliti dengan menggunakan kuesioner (terlampir) terhadap 83 siswa SMA WR Supratman 2 Medan mengenai pendapat siswa tentang kepedulian guru baik dalam hal pembelajaran, penampilan siswa, maupun masalah pribadi yang dialami siswa didapatkan bahwa 50,6 % siswa menyatakan bahwa guru peduli, 33,73% menyatakan cukup peduli, 6,02 % menyatakan bahwa guru kurang peduli serta 9,63 % siswa menyatakan bahwa guru tidak peduli. Dari hasil survei tersebut dapat diasumsikan bahwa siswa 6

memiliki perasaan yang berbeda-beda mengenai peduli atau tidaknya guru terhadap mereka. School connectedness dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor dimana salah satunya adalah lingkungan sekolah (Blum, 2004). Faktor lingkungan sekolah menekankan akan pentingnya peran sekolah untuk menyediakan lingkungan yang nyaman sehingga siswa dapat mengembangkan dirinya baik itu secara akademis, emosional maupun perilaku. Berdasarkan hasil survei peneliti terhadap 83 siswa SMA WR Supratman 2 Medan (terlampir) mengenai pendapat siswa tentang lingkungan sekolahnya didapatkan hasil bahwa 45,78 % siswa menyatakan nyaman, 24,09 % siswa menyatakan cukup nyaman, 15,66 % menyatakan kurang nyaman, dan 14, 45 % menyatakan tidak nyaman. Lingkungan sekolah yang nyaman atau tidak menurut siswa berkaitan dengan fasilitas sekolah, hubungan dengan teman-teman, suhu udara di ruangan kelas serta dinamika saat proses belajar mengajar. Melalui survei tersebut dapat diasumsikan bahwa belum semua siswa merasa nyaman dengan lingkungan sekolahnya dan ini dapat mempengaruhi school connectedness siswa. Siswa yang merasakan adanya dukungan sosial dari orang-orang di sekitarnya serta merasa bahwa ia adalah bagian dari sekolahnya, akan menunjukkan keterlibatan baik dalam hal akademik maupun non akademik. Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti merasa perlu untuk meneliti gambaran school connectedness siswa di sekolah dengan konsep pembauran dimana yang menjadi tempat penelitian adalah SMA WR Supratman 2 Medan. Dengan demikian, yang menjadi judul dalam penelitian ini adalah gambaran school 7

connectedness pada siswa di sekolah pembauran (studi kasus SMA WR Supratman 2 Medan). B. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana gambaran school connectedness pada siswa sekolah pembauran khusunya pada SMA WR Supratman 2 Medan? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran school connectedness siswa pada sekolah pembauran khususnya pada SMA WR Supratman 2 Medan. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis. 1. Manfaat teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memiliki manfaat untuk menambah literatur di dunia psikologi khususnya di bidang psikologi pendidikan yang berkaitan dengan school connectedness. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan menghasilkan data penelitian mengenai gambaran school connectedness pada siswa di sekolah pembauran khususnya pada SMA WR Supratman 2 Medan. 8

a. Bagi pihak sekolah Pihak sekolah dapat mengetahui gambaran school connectedness siswa di sekolah tersebut dan dapat menjadi bahan evaluasi sekolah apakah nantinya meningkatkan school connectedness siswa atau mempertahankan school connectedness siswa yang sudah baik. b. Bagi peneliti selanjutnya Peneliti selanjutnya dapat menjadikan hasil penelitian untuk dijadikan sebagai referensi penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan school connectedness. E. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut 1. Bab I Pendahuluan Pada bab ini berisi mengenai latar belakang permasalahan, rumusan masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian. 2. Bab II Landasan Teori Bab ini berisi mengenai teori-teori penyusunan variabel yang diteliti serta dinamika dari variabel. 3. Bab III Metode Penelitian Bab ini menjelaskan mengenai identifikasi variabel, definisi operasional dari masing-masing variabel, sampel penelitian, teknik pengambilan sampel, metode pengumpulan data, prosedur penelitian serta metode analisa. 9

4. Bab IV Analisa data dan Pembahasan Bab ini menguraikan gambaran umum tentang subjek penelitian yaitu siswa SMA WR Supratman 2 Medan serta hasil penelitian. 5. Bab V Kesimpulan dan Saran Bab ini berisi tentang kesimpulan yang didapat dari penelitian ini serta saran yang dapat diberikan kepada pihak sekolah serta peneliti selanjutnya. 10