BAB II TINJAUAN PUSTAKA. APBN/APBD. Menurut Erlina dan Rasdianto (2013) Belanja Modal adalah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. Kebijakan desentralisasi fiskal yang diberikan pemerintah pusat kepada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam landasan teori, akan dibahas lebih jauh mengenai Pertumbuhan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berakar pada teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Teori

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi telah membuat beberapa perubahan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Arsyad (1999) dalam Setiyawati (2007) menyatakan bahwa pertumbuhan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mengelola keuangannya sendiri. Adanya otonomi daerah menjadi jalan bagi

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. atau lebih individu, kelompok, atau organisasi. Agency problem muncul ketika

BAB I PENDAHULUAN. Negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi. penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), pengertian belanja modal

1. PENDAHULUAN. merupakan salah satu unsur belanja langsung. Belanja modal merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan insfratruktur menjadi tolak ukur kemajuan suatu daerah.

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Belanja modal termasuk jenis belanja langsung dan digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. landasan hukum dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang. menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru,

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan pada tahun Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH DALAM PRAKTEK

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan

LANDASAN TEORI Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 21 tahun 2011 tentang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Halim (2004 : 67) : Pendapatan Asli Daerah merupakan semua

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam mewujudkan pemerataan pembangunan di setiap daerah, maka

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang undangan. Tujuan

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang berkaitan dengan variabel yang digunakan. Selain itu akan dikemukakan hasil

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik

BAB 1 PENDAHULUAN. diartikan sebagai hak, wewenwang, dan kewajiban daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seluruh pengeluaran daerah itu. Pendapatan daerah itu bisa berupa

BAB I PENDAHULUAN. Investasi dalam sektor publik, dalam hal ini adalah belanja modal,

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia, desentralisasi fiskal mulai hangat dibicarakan sejak

BAB I PENDAHULUAN. dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan untuk lebih

BAB I PENDAHULUAN. berdampak pada berbagai aktivitas kehidupan berbangsa dan bernegara di

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Tujuan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan atas pertimbangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Belanja Pemeliharaan

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Melalui Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) yang telah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang otonomi daerah sudah

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi ciri yang paling menonjol dari hubungan keuangan antara pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang

BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. 1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Kemandirian Keuangan Daerah. Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 32 tahun

BAB I PENDAHULUAN. Proses globalisasi pemerintahan pada daerah Indonesia di tahun 2001

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun

PENDAHULUAN. Peningkatan kualitas pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan

BAB I PENDAHULUAN. Sejak big bang decentralization yang menandai era baru pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan aspek transparansi dan akuntabilitas. Kedua aspek tersebut menjadi

PENDAHULUAN. daerah yang saat ini telah berlangsung di Indonesia. Dulunya, sistem

BAB I PENDAHULUAN. dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen dokumen

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang sangat mendasar sejak diterapkannya otonomi daerah. dalam hal pengelolaan keuangan daerah.

I. PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah. memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KABUPATEN (REVISI) GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. yang mana dinyatakan oleh Jansen dan Meckling (1976), bahwa hubungan

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Belanja Modal Belanja Modal merupakan salah satu jenis Belanja Langsung dalam APBN/APBD. Menurut Erlina dan Rasdianto (2013) Belanja Modal adalah pengeluaran anggaran untuk aset tetap berwujud yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Besaran nilai pembelian/pengadaan atau pembangunan aset tetap berwujud dianggarkan dalam belanja modal hanya sebesar harga beli/bangun aset (Permendagri 13 Tahun 2006). Dalam Lampiran III PMK No. 101/PMK.02/2011 Belanja Modal dipergunakan untuk antara lain: Belanja Modal Tanah, Belanja Modal Peralatan dan Mesin, Belanja Modal Gedung dan bangunan, Belanja Modal Jalan Irigasi dan Jaringan, Belanja Modal lainnya, dan Belanja Modal Badan Layanan Umum (BLU). Secara spesifik sumber pendanaan untuk Belanja Modal belum ditentukan aturannya. Namun seluruh jenis sumber-sumber penerimaan daerah dapat dialokasikan untuk mendanai Belanja Daerah diantaranya Belanja Modal. Sumber-sumber penerimaan daerah (UU Nomor 33 Tahun 2004) yang dapat digunakan sebagai sumber pendaaan Belanja Daerah berasal dari Pendapatan Daerah dan Pembiayaan. Pendapatan Daerah bersumber dari: a. Pendapatan Asli Daerah (PAD) yaitu: Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan Lain-lain PAD yang sah.

b. Dana Perimbangan yaitu: Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus. c. Lain-Lain pendapatan yang sah yaitu: Hasil Penjualan kekayaan Daerah yang tidak dipisahkan, Jasa Giro, Pendapatan bunga, Keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, dan Komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh Daerah. Sedangkan Pembiayaan daerah bersumber dari: Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran Daerah, Penerimaan Pinjaman Daerah, Dana cadangan daerah, dan Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan. Pengalokasi dana yang bersumber dari pendapatan dan pembiayaan daerah kepada belanja daerah ditentukan oleh kebutuhan daerah sendiri atas kebutuhan belanja daerahnya. Pada umumnya sumber dana yang bersumber dari Pendapatan Asli Daerah lebih banyak dialokasikan kepada belanja operasional daerah dan sisanya dialokasikan untuk belanja daerah lainnya diantaranya belanja modal. DAU lebih banyak dialokasikan kepada belanja pegawai, dan sisanya dialokasikan kepada belanja-belanja daerah diantaranya Belanja Modal. Abdullah (2008) juga menjelaskan bahwa belanja modal pada umumnya berasal dari dana bantuan (fund). Dana bantuan pemerintah yang selalu dialokasikan untuk membiayai Belanja Modal adalah Dana Alokasi Khusus. Secara keseluruhan jumlah belanja modal yang dialokasikan dalam APBD sekurang-kurangnya 29 persen dari belanja daerah sesuai amanat Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang RPJMN Tahun 2010-2014. Namun Bank Indonesia dalam Bisnis.com (02/03/2013) mencatat bahwa alokasi Belanja Modal di hampir seluruh daerah

terhadap total anggaran secara umum masih rendah. Pangsa Belanja Modal terhadap APBD di Luar Jawa memang lebih tinggi dibandingkan dengan Jawa, sejalan dengan luasnya ruang kebutuhan pengembangan infrastruktur. Dari teori diatas peneliti mencoba menguraikan beberapa faktor yang mempengaruhi besarnya alokasi Belanja Modal Pemda dalam APBD yaitu: 1. Kelemahan perencanaan belanja pemerintah daerah. Proporsi alokasi belanja daerah masih didominasi kepentingan operasional rutin pemerintahan seperti belanja barang dan belanja pegawai dibandingkan dengan alokasi belanja untuk kegiatan yang langsung bersentuhan dengan kebutuhan publik. Hal ini tentunya mempengaruhi besarnya anggaran Belanja Modal Pemda. 2. Ketersediaan sumber-sumber dana belanja daerah. Pendapatan Daerah dan Pembiayaan merupakan sumber-sumber dana belanja daerah. Apabila PAD terbatas untuk membiayai belanja daerah maka diperlukan adanya bantuan dana transfer (DAU, DBH, DAK) dari pemerintah pusat untuk membantu pendanaan belanja daerah dan menggunakan dana Pembiayaan (SiLPA, Pinjaman) bila terjadi defisit anggaran. Apabila tidak tersedia sumber-sumber dana belanja daerah yang cukup maka sangat riskan untuk bisa menyediakan anggaran yang besar khususnya untuk Belanja Modal. 3. Luasnya daerah yang perlu dikembangkan dan dibangun. Daerah yang padat pembangunan tentunya tidak membutuhkan alokasi Belanja Modal yang banyak. Pengalokasian dana pemeliharaanlah yang perlu ditingkatkan. Namun bagi daerah yang baru dimekarkan tentunya membutuhkan alokasi dana yang

sangat besar pada Belanja Modalnya. Daerah pemekaran membutuhkan banyak pembenahan, pembangunan dan penyediaan sarana dan prasarana publik yang memadai dalam usaha peningkatan kesejahteraan masyarakat sehingga daerah tersebut memiliki daya saing yang kuat dengan daerah lainnya. Straub (2008) menjelaskan bahwa teori pertumbuhan modern menekankan kemungkinan peran belanja modal dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Dalam penelitiannya efek langsung peningkatan Belanja modal adalah dapat secara langsung mempengaruhi produktivitas faktor-faktor lain yang dapat merangsang peningkatan output ekonomi. Dan secara tidak langsung terkait dengan eksternalitas. Dengan adanya infrastruktur yang berkualitas maka dapat mengurangi biaya ketergantungan terhadap sektor swasta seperti penyediaan air bersih, listrik maupun jalan sesuai dengan hasil penelitian Agenor dan Moreno (2006). Pengeluaran biaya daerah ke sektor swasta juga dapat dikurangi melalui peningkatan modal manusia dan produktivitas tenaga kerja sebagai hasil atas investasi publik (Galiani et al., 2005). 2.1.2 Pendapatan Asli Daerah (PAD) Menurut Mardiasmo (2002), Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan daerah dari sektor pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, lain-lain Pendapatan Asli Daerah. PAD yang tinggi merupakan impian yang harus diperjuangkan oleh setiap daerah untuk mencapainya. Tingginya PAD suatu daerah menggambarkan

kemandirian suatu daerah otonom, sehingga tingkat ketergantungan Pemerintah Daerah akan bantuan dana dari Pemerintah Pusat semakin rendah Penerimaan PAD digunakan sebagai salah satu sumber pembiayaan daerah untuk mendukung penyediaan prasarana dan sarana daerah. Penyediaan prasarana dan sarana tentunya akan berdampak terhadap kesejahteraan masyarakat, masyarakat yang sejahtera tentunya di indikasikan dengan pertumbuhan ekonomi yang meningkat. Peningkatan ekonomi masyarakat mempengaruhi Pendapatan Asli Daerah diantaranya peningkatan penerimaan pajak dan retribusi daerah dari usaha masyarakat. Semakin besar PAD maka semakin besar pula kembali dana yang dialokasikan untuk membiayai kegiatan yang berkaitan dengan penyediaan sarana dan prasarana publik yang kembali berdampak terhadap kesejahteraan masyarakat dan seterusnya hingga dapat meningkatan PAD kembali. Dengan PAD yang besar maka Belanja Modal dapat dibiayai sendiri melalui PAD tanpa harus menunggu bantuan Pemerintah Pusat, sehingga proses percepatan pembangunan, penyediaan fasilitas pelayanan publik dapat terlaksana dengan cepat. Peningkatan kualitas layanan publik akan mampu meningkatkan kontribusi publik terhadap pembangunan melalui peningkatan PAD (Mardiasmo, 2002). 2.1.3 Dana Alokasi Umum (DAU) Dana Alokasi Umum dijelaskan dalam Permendagri Nomor 33 Tahun 2004 sebagai dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Yang termasuk dalam pengertian tersebut adalah jaminan kesinambungan penyelenggaraan pemerintahan daerah di

seluruh daerah dalam rangka penyediaan pelayanan dasar kepada masyarakat dan merupakan kesatuan dengan penerimaan umum APBD (Widjaja, 2002). DAU merupakan dana yang bersifat Block Grant yang artinya ketika dana tersebut diberikan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah, maka Pemerintah Daerah bebas untuk menggunakan dan mengalokasikan dana ini sesuai prioritas dan kebutuhan daerah untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. DAU merupakan dana perimbangan Pemerintah Pusat yang memiliki persentase paling besar diantara jumlah dana perimbangan lainnya yang diberikan kepada Pemerintah Daerah dalam APBN. DAU diberikan Pemerintah untuk mengatasi masalah horizontal imbalance, yaitu untuk menjamin keseimbangan sumber-sumber alokasi antar unit-unit pemerintah pada tingkat pemerintah yang sama (Solihin, 2011) Dibeberapa daerah sebagian besar DAU dialokasikan untuk membiayai belanja pegawai dan sisanya digunakan untuk belanja lainnya seperti belanja modal. Pada dasarnya tidak terdapat batasan dalam penggunaan DAU, sehingga daerah dapat leluasa dalam mengalokasikan dana tersebut sesuai kebutuhan. Yang menjadi permasalahan apabila DAU tidak dikelola dengan efektif dan efisien. Pemanfaatan DAU yang dominan terhadap belanja pegawai berdampak pada berkurangnya alokasi DAU pada Belanja Modal, ataupun berkurangnya alokasi dana untuk kegiatan yang berdampak langsung pada penyediaan layanan masyarakat seperti program penanggulangan kemiskinan, program pemberdayaan masyarakat dan sebagainya. Pemanfaatan DAU harus dialokasikan pada kegiatan yang sangat penting tapi juga tidak mengesampingkan pengalokasian terhadap

belanja pegawai sebagai suatu keharusan daerah dalam mengembangkan potensi sumber daya pegawainya. 2.1.4 Dana Bagi Hasil (DBH) Dana Bagi Hasil dijelaskan sebagai dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004). Dalam penjelasannya Dana Bagi Hasil pada APBN merupakan pendapatan yang diperoleh dari sumber-sumber daya nasional yang berada di daerah berupa pajak dan sumber daya alam. Dana Bagi Hasil diberikan Pemerintah Pusat untuk mengatasi masalah vertical fiscal balance yaitu untuk menjamin keseimbangan antara kebutuhan fiskal dengan sumber-sumber fiskal pada berbagai tingkat pemerintah (Solihin, 2011). Kegunaan DBH sama dengan DAU. Kedua dana tersebut bersifat block grant artinya apabila dana tersebut telah diterima Pemerintah Daerah dalam Kas Daerah maka dana tersebut dapat dialokasikan pada berbagai belanja daerah sesuai dengan kebutuhan sehingga DBH dapat menjadi salah satu sumber dana untuk membiayai belanja modal. 2.1.5 Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) menurut Abdullah (2013) merupakan penerimaan daerah yang bersumber dari sisa kas tahun anggaran sebelumnya sesuai Permendagri No. 13 Tahun 2006. Menurut Tanjung (2009), SiLPA didefenisikan sebagai selisih antara surplus/defesit dengan pembiayaan

neto. SiLPA merupakan salah satu sumber pembiayaan yang digunakan untuk menutup defisit APBD akibat dari usaha peningkatan kualitas pelayanan dan kesejahteraan masyarakat sesuai penjelasan dalam PMK No.45/PMK.02/2006. Jika SiLPA daerah cukup besar dan diperkirakan mampu membiayai seluruh Belanja Modal Daerah maka untuk penyediaan sarana dan prasarana untuk meningkatkan pelayanan publik tidak harus menunggu bantuan dana transfer dari Pemerintah Pusat. Dana Transfer dapat dialokasikan untuk belanja operasional dan belanja tak terduga daerah. Di samping itu jumlah SiLPA suatu daerah dapat juga mengindikasikan sejauh mana Pemerintah Daerah mengalokasikan anggaran daerah secara efisien dan ekonomis dalam setiap anggaran belanja daerah. Menurut Tanjung (2009) bahwa kelebihan SiLPA yang cukup besar dapat mengindikasikan bahwa Pemerintah tidak tepat dalam menganggarkan anggaran belanja daerah sehingga seharusnya kelebihan penganggaran tersebut dapat digunakan untuk membiayai beberapa kegiatan belanja modal yang berguna untuk penyediaan pelayanan publik pada tahun berjalan menjadi tertunda. 2.1.6 Luas Wilayah Luas Wilayah merupakan salah satu variabel yang mencerminkan kebutuhan akan penyediaan sarana dan prasana daerah sesuai dengan penjelasan dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004. Maksudnya semakin besar luas wilayah suatu daerah pemerintahan maka semakin banyak juga sarana dan prasarana yang harus disediakan Pemerintah Daerah agar tersedia pelayanan publik yang baik. Dikaitkan dengan pemekaran daerah maka luas wilayah kemungkinan erat kaitannya dengan penganggaran belanja modal. Daerah Otonom Baru (DOB) hasil

pemekaran tentunya berupaya membangun daerahnya dengan berbagai fasilitas layanan publik yang lebih layak terutama di wilayah-wilayah yang belum menikmati pembangunan layanan publik seperti Rumah Sakit/Puskesmas, Gedung Sekolah, pembuatan tower telekomunikasi, pembangunan pasar-pasar tempat berdagang, pembukaan jalur perhubungan berupa dermaga atau jalan-jalan kota yang memudahkan mobilitas masyarakat terutama dari wilayah-wilayah yang belum terjangkau pemerintah sebelumnya. Jadi semakin luas daerah yang perlu dibangun maka semakin besar belanja modal yang harus dianggarkan. Penyediaan prasarana berdasarkan wilayah ini tidak lepas juga kaitannya dengan penyebaran penduduk di wilayah tersebut. Semakin banyak jumlah penduduk dalam satu wilayah maka semakin banyak prasarana dan sarana yang disediakan Pemerintah Daerah. Sebaliknya semakin baik prasarana dan sarana yang disediakan disuatu wilayah akan menarik penduduk untuk berdomisili di wilayah tersebut. Dimana ada penduduk maka disana terjadi kegiatan ekonomi. Jika kegiatan ekonomi masyarakat berkembang dengan baik maka kesejahteraan masyarakat di daerah setempat juga meningkat. Hal ini terkait dengan teori dasardasar ekonomi wilayah yaitu efisiensi dan keadilan. Efisensi pembangunan wilayah untuk menunjang alokasi sumber daya secara efektif diberbagai wilayah, hal ini berkaitan dengan persoalan bagaimana memanfaatkan sumber daya secara lebih baik. Keadilan artinya pemerintah mempunyai tanggung jawab untuk membantu wilayah-wilayah yang kurang maju. Karena penduduk mempuyai mobilitas, maka upaya terbaik adalah membantu penduduk yang kurang makmur yang tinggal di suatu wilayah tertentu agar berani pindah ke wilayah lain (Adisasmita, 2005).

2.1.7 Dana Alokasi Khusus (DAK) Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah tertentu yang mempunyai kebutuhan khusus dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah sesuai dengan prioritas nasional (UU No. 33 Tahun 2004). Bratakusumah dan Solihin (2003) menjelaskan bahwa kebutuhan khusus yang dimaksud adalah kebutuhan yang secara umum tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus alokasi umum dan juga tidak sama dengan kebutuhan daerah lainnya yang mana kebutuhan tersebut merupakan prioritas nasional, misalnya pembangunan jalan di kawasan terpencil, proyek-proyek kemanusiaan, proyek yang dibiayai donor. Dalam penjelasan UU No. 33 Tahun 2004 semakin dipertegas bahwa DAK dimaksudkan untuk membiayai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat yang belum mencapai standar tertentu atau untuk mendorong percepatan pembangunan daerah. Jumlah DAK ditetapkan setiap tahun dalam APBN berdasarkan masing-masing bidang pengeluaran yang disesuaikan dengan kebutuhan. DAK yang dialokasikan kepada daerah tertentu berdasarkan usulan kegiatan, dan sumber-sumber pembiayaannya yang diajukan kepada Menteri Teknis oleh daerah tersebut. Bila kegiatan yang diusulkan oleh daerah termasuk dalam kebutuhan yang tidak dapat diperhitungkan, daerah perlu membuktikan bahwa daerah kurang mampu membiayai seluruh pengeluaran usulan kegiatan tersebut dari PAD, Bagian daerah dari PBB, Bagian daerah dari BPHTB, Bagian daerah dari penerimaan SDA, DAU, Pinjaman Daerah, dan lain-lain penerimaan

yang sah, yang penggunaannya dapat ditentukan sepenuhnya oleh daerah (Bratakusumah dan Solihin, 2002). Pembiayaan kebutuhan khusus memerlukan dana pendamping dari penerimaan umum APBD sekurang-kurangnya 10% (sepuluh persen) sebagai komitmen dan tanggungjawab daerah dalam pembiayaan program-program yang merupakan kebutuhan khusus tersebut. Jika usulan kegiatan Belanja Modal daerah seluruhnya diterima Menteri Teknis, maka sumber pembiayaan belanja modal daerah juga dapat berasal dari DAK. Tentunya dengan adanya alokasi DAK dari pusat, pemerintah daerah dapat semakin memperbesar alokasi dana untuk kegiatan Belanja Modal daerah. 2.2 Tinjauan Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu yang terkait dengan penelitian ini adalah Jean-Faguet (2005) dalam penelitiannya yang berjudul The Effects of Decentralisation on Public Investment: Evidence and Four Lessons From Bolivia and Colombia, menggunakan variabel desentralisasi sebagai variabel independen dan investasi publik sebagai variabel dependen. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa di Bolivia, desentralisasi membuat pemerintah menjadi lebih tanggap dan mengarahkan investasi publik pada daerah-daerah dengan kebutuhan besar, sedangkan di Columbia, desentralisasi berdampak signifikan terhadap investasi kota, sedangkan biaya operasional kota berkurang. Abdullah (2008) dalam penelitiannya yang berjudul Studi atas Belanja Modal pada Anggaran Pemerintah Daerah Dalam hubungannya dengan Belanja Pemeliharaan dan Sumber Pendapatan, di Kabupaten/Kota di beberapa Provinsi di

pulau Sumatera, menggunakan PAD, Pendapatan dari Pemerintah sebagai variabel independen, sedangkan Belanja Modal dan Belanja Pemeliharaan sebagai variabel dependen. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa pertama, Belanja Modal berpengaruh terhadap Belanja Pemeliharaan. Kedua, sumber dana pendapatan berupa dana perimbangan berpengaruh terhadap Belanja Modal sementara PAD tidak berpengaruh terhadap Belanja Modal. Situngkir (2009) dengan judul penelitian Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, PAD, DAU dan DAK terhadap Anggaran Belanja Modal di Pemko/Pemkab Sumatera Utara, menggunakan PAD, DAU dan DAK sebagai variabel independen dan Belanja Modal sebagai variabel dependen. Hasil penelitiannya menemukan bahwa secara simultan Pertumbuhan Ekonomi, PAD, DAU dan DAK berpengaruh terhadap Belanja Modal namun secara parsial Pertumbuhan Ekonomi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap Belanja Modal. Putro (2011) dalam penelitiannya yang berjudul Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, PAD dan DAU terhadap pengalokasian Belanja Modal pada Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah, menggunakan Pertumbuhan Ekonomi, PAD dan DAU sebagai variabel independen dan Belanja Modal sebagai variabel dependen. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa DAU berpengaruh terhadap pengalokasian Belanja Modal sedangkan Pertumbuhan Ekonomi dan PAD tidak berpengaruh terhadap pengalokasian Belanja Modal. Kusnandar dan Siswantoro (2012) dengan judul penelitian Pengaruh DAU, PAD, SiLPA dan Luas Wilayah terhadap Belanja modal di Kabupaten/Kota se Indonesia. Penelitian ini menggunakan DAU, PAD, SiLPA dan Luas Wilayah sebagai variabel independen dan Belanja Modal sebagai variabel dependen. Hasil

penelitiannya mengatakan bahwa DAU, PAD, SiLPA, dan Luas Wilayah berpengaruh terhadap Belanja Modal, namun secara parsial DAU tidak berpengaruh terhadap Belanja Modal. Secara ringkas tinjauan atas penelitian terdahulu dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut ini: Nama Peneliti/ Tahun Jean-Faguet (2005) Abdullah (2008) Situngkir (2009) Putro (2011) Kusnandar dan Siswantoro (2012) Tabel 2.1. Tinjauan atas Penelitian Terdahulu Judul Penelitian The Effects of Decentralisation on Public Investment: Evidence and Four Lessons From Bolivia and Colombia Studi atas Belanja Modal pada Anggaran Pemerintah Daerah Dalam Hubungannya dengan Belanja Pemeliharaan dan Sumber Pendapatan Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, PAD, DAU dan DAK terhadap Anggaran Belanja Modal pada Pemko/Pemkab Sumatera Utara Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, PAD dan DAU terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal (Study Kasus pada Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah) Pengaruh DAU, PAD, SiLPA dan Luas Wilayah terhadap Belanja Modal (Penelitian Kabupaten/Kota se Indonesia) Variabel yang Digunakan Independen: Desentralisasi Dependen: Investasi Publik Independen: PAD, Pendapatan dari Pemerintah Dependen1: Belanja Modal Dependen 2: Belanja Pemeliharaan Independen: Pertumbuhan Ekonomi, PAD, DAU, DAK Dependen: Belanja Modal Independen: Pertumbuhan Ekonomi, PAD dan DAU Dependen: Pengalokasian Anggaran Belanja Modal Independen: DAU, PAD, SiLPA dan Luas Wilayah Dependen: Belanja Modal Hasil Penelitian Di Bolivia, desentralisasi membuat pemerintah menjadi lebih tanggap dan mengarahkan investasi publik pada daerah-daerah dengan kebutuhan besar Di Colombia, desentralisasi berdampak signifikan terhadap investasi kota, sedangkan biaya operasional kota menurun. - Belanja Modal berpengaruh terhadap Belanja Pemeliharaan. - Sumber dana pendapatan berupa dana perimbangan berpengaruh terhadap Belanja Modal sementara PAD tidak berpengaruh. Pertumbuhan Ekonomi, PAD, DAU dan DAK secara keseluruhan berpengaruh terhadap Belanja Modal namun secara parsial Pertumbuhan Ekonomi tidak berpengaruh terhadap Belanja Modal. DAU berpengaruh terhadap Pengalokasian Belanja Modal sedangkan Pertumbuhan Ekonomi dan PAD tidak berpengaruh terhadap Pengalokasian Belanja Modal. DAU, PAD, SiLPA dan Luas Wilayah secara keseluruhan berpengaruh terhadap Belanja Modal namun secara parsial DAU tidak berpengaruh terhadap Belanja Modal.