BAGIAN KETIGA PENGEMBANGAN AGRIBISNIS BERBASIS KOMODITAS DAN SUMBERDAYA

dokumen-dokumen yang mirip
10Pilihan Stategi Industrialisasi

BAGIAN KEEMPAT MEMBANGUN AGRIBISNIS MEMBANGUN EKONOMI RAKYAT

Barat yang Integratif Melalui Pegembangan Agribisnis

PENGEMBANGAN AGRIBISNIS BERBASIS PETERNAKAN YANG TERINTEGRASI DE-NGAN PEMBANGUNAN WILAYAH (KASUS JAWA BARAT)

PENDAHULUAN Latar Belakang

AGRIBISNIS DAN AGROINDUSTRI

Krisis ekonomi yang melanda lndonesia sejak pertengahan bulan. Sektor pertanian di lndonesia dalam masa krisis ekonomi tumbuh positif,

14Pengembangan Agribisnis

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar

19Pengembangan Agribisnis

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

ANALISIS FINANSIAL USAHA PUPUK ORGANIK KELOMPOK TANI DI KABUPATEN BANTUL I. PENDAHULUAN

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

ACARA 3. KELEMBAGAAN !! Instruksi Kerja : A. Aspek Kelembagaan

MEMBANGUN SISTEM AGRIBISNIS

untuk Mendukung Pengembangan Agribisnis dan Ekonomi Pedesaan

PROSPEK AGRIBISNIS 2001 DAN EVALUASI PEMBANGUNAN PERTANIAN 2000

REVITALISASI PERTANIAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Komoditas hortikultura yang terdiri dari tanaman buah-buahan dan sayuran,

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan terigu dicukupi dari impor gandum. Hal tersebut akan berdampak

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: Upaya Peningkatan Produksi Komoditas Pertanian Strategis

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun

III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN 3.3. PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN : ALTERNATIF PEMIKIRAN

I PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian

BAB I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sektor pertanian adalah salah satu sektor sandaran hidup bagi sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Kemampuan sektor pertanian dalam

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Sustainabilitas Pembangunan Sektor Pertanian: Inovasi Teknologi atau Inovasi Sosial Kelembagaan BAB VI. IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN AGENDA KE DEPAN

REKONSILIASI PELAKU PERUNGGASAN DEMI MEMBANGUN AGRIBISNIS PERUNGGASAN YANG BERDAYA SAING

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS KEDELAI. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan hidup dan kehidupannya. Undang-Undang Nomor 18 Tahun

I. PENDAHULUAN. setiap rakyat Indonesia. Salah satu komoditas pangan yang penting di Indonesia

Strategi Pembangunan Pertanian di Indonesia. Sistem Ekonomi Indonesia Hubungan Internasional

Analisis Kebijakan Pembiayaan Sektor Pertanian

I. PENDAHULUAN. pembangunan nasional, baik berupa sumbangan langsung seperti peningkatan

I. PENDAHULUAN. Gambar 1 Proyeksi kebutuhan jagung nasional (Sumber : Deptan 2009, diolah)

I. PENDAHULUAN. Pembangunan yang dilakukan di negara-negara dunia ketiga masih menitikberatkan

STRATEGI SISTIM PEMASARAN DAN DISTRIBUSI BERAS, JAGUNG, KEDELAI

INDUSTRIALISASI MADURA: PENGEMBANGAN AGRIBISNIS DAN AGROPOLITAN

I. PENDAHULUAN. Otonomi Daerah dengan sistem desentralisasi diimplementasikan di

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PETERNAKAN

SAMBUTAN GUBERNUR PAPUA PADA FORUM SKPD DINAS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA SE PROVINSI PAPUA TANGGAL, 7 MARET 2016

RINGKASAN PENELITIAN UNGGULAN PERGURUAN TINGGI

PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA Nomor : 3C Tahun 2008 Lampiran : 1 (satu) berkas TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian memegang peranan

5Kebijakan Terpadu. Perkembangan perekonomian Indonesia secara sektoral menunjukkan. Pengembangan Agribisnis. Pengertian Agribisnis

I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia.

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS PADI. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

PENINGKATAN NILAI TAMBAH JAGUNG SEBAGAI PANGAN LOKAL Oleh : Endah Puspitojati

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhannya meningkat, sementara sektor lain mengalami pertumbuhan

PENGEMBANGAN KOPERASI AGRIBISNIS PETERNAKAN

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAWIT-SAPI DI KABUPATEN ROKAN HULU PROVINSI RIAU

Ringkasan Eksekutif Analisis Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk dan Benih: Studi Kasus Tanaman Padi dan Jagung 1

GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 52 TAHUN 2002 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. produksi beras nasional sangat penting sebagai salah satu faktor yang

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang sekaligus

PEMBANGUNAN AGRIBISNIS BERBASIS PETERNAKAN DAN IMPLIKASINYA BAGI PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 ANALISIS SISTEM PERBENIHAN KOMODITAS PANGAN DAN PERKEBUNAN UTAMA

I. PENDAHULUAN. banyak menghadapi tantangan dan peluang terutama dipacu oleh proses

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

SEKTOR PERTANIAN : Dari Stagnasi Menuju Pertumbuhan Tinggi Berkelanjutan. Orasi Ilmiah di Universitas Medan Area Tanggal 8 Mei 2004

V GAMBARAN UMUM PERKEMBANGAN DAN IMPOR KEDELAI INDONESIA

PENDAHULUAN. dan tidak bisa dipisahkan yaitu pertama, pilar pertanian primer (on-farm

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I P E N D A H U L U A N. 1. Latar Belakang

PEMERINTAH KABUPATEN

I. PENDAHULUAN. masyarakat adil dan makmur. Dengan demikian segala upaya pelaksanaan

I. PENDAHULUAN. kemampuan daerah tersebut dalam swasembada pangan atau paling tidak

ISU STRATEGIS DAN ARAH KEBIJAKAN

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Pengembangan Jagung Nasional Mengantisipasi Krisis Pangan, Pakan dan Energi Dunia: Prospek dan Tantangan

SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat.

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. sebagai sentra bisnis yang menggiurkan. Terlebih produk-produk tanaman

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang

I. PENDAHULUAN. Kegiatan agroindustri atau industri hasil pertanian merupakan bagian integral

KEBIJAKAN PENINGKATAN PRODUKSI PADI PADA LAHAN PERTANIAN BUKAN SAWAH

Pelaksanaan Revitalisasi Pertanian

Politik Pangan Indonesia - Ketahanan Pangan Berbasis Kedaulatan dan Kemandirian Jumat, 28 Desember 2012

RANCANGAN RENCANA STRATEGIS (RENSTRA) DINAS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA KABUPATEN GARUT TAHUN PEMERINTAH KABUPATEN GARUT

Kalau kita membicarakan upaya pemberdayakan ekonomi rakyat, maka

SAMBUTAN GUBERNUR KALIMANTAN BARAT PADA ACARA PANEN RAYA PADI DI DESA SENAKIN KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK

CUPLIKAN PROGRAM PEMBANGUNAN PERTANIAN : VISI, MISI DAN STRATEGI PEMBANGUNAN PERTANIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. terpadu dan melanggar kaidah pelestarian lahan dan lingkungan. Eksploitasi lahan

BAB.I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. pengekspor jagung (net exporter), namun situasi ini secara drastis berubah setelah

PENETAPAN KINERJA ( PK ) TAHUN 2013 (REVISI) DINAS PERTANIAN PROVINSI JAWA TIMUR

4. ANALISIS SISTEM 4.1 Kondisi Situasional

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya mata pencaharian penduduk Indonesia bergerak pada sektor

PENDAHULUAN. Peranan studi kelayakan dan analisis proyek dalam kegiatan pembangunan. keterbatasan sumberdaya dalam melihat prospek usaha/proyek yang

VII DAMPAK PENCAPAIAN KEBIJAKAN GERNAS DAN PENERAPAN BEA EKSPOR KAKAO TERHADAP KINERJA INDUSTRI HILIR DAN PENERIMAAN PETANI

RENCANA KINERJA TAHUNAN DINAS PERTANIAN KABUPATEN JOMBANG TAHUN 2015 KETERANGAN

Transkripsi:

BAGIAN KETIGA PENGEMBANGAN AGRIBISNIS BERBASIS KOMODITAS DAN SUMBERDAYA

12Pemberdayaan Petani Tanaman Pangan dan Hortikultura Keluar dari Jeratan Lingkaran Setan Sosial Ekonomi Pendahuluan Kegiatan ekonomi yang berbasis pada tanaman pangan dan hortikultura merupakan kegiatan yang sangat penting (strategis) di Indonesia. Disamping melibatkan tenaga kerja terbesar dalam kegiatan produksi, produknya juga merupakan bahan pangan pokok dalam konsumsi pangan di Indonesia. Dengan kedudukannya sebagai bahan pangan pokok, produk tanaman pangan dan hortikultura menjadi faktor utama dalam menentukan biaya hidup di Indonesia sedemikian rupa, sehingga memungkinkan pangsa biaya tenaga kerja dalam struktur biaya produksi barang dan jasa tergolong terendah di dunia. Dilihat dari sisi bisnis, kegiatan ekonomi yang berbasis tanaman pangan dan hortikultura merupakan kegiatan bisnis terbesar dan tersebar luas di Indonesia. Peranannya sebagai penghasil bahan pangan pokok, menyebabkan setiap orang dari 200 juta penduduk Indonesia terlibat setiap hari dalam kegiatan ekonomi tanaman pangan dan hortikultura. Ironisnya, para petani tanaman pangan dan hortikultura berada pada kegiatan bisnis terbesar, kehidupan sosial ekonomi mereka masih tetap tertinggal dari kelompok masyarakat lainnya. Bahkan ada kecenderungan bahwa petani tanaman pangan dan hortikultura terperangkap dalam lingkaran setan sosial-ekonomi bentuk modern. Bentuk modern lingkaran setan sosial-ekonomi ini berbeda dengan fenomena lingkaran setan sosial-ekonomi tradisional, yang umum ditemui pada wilayah-wilayah pertanian terbelakang. Bila pada fenomena lingkaran setan sosial-ekonomi tradisional ini disebabkan permodalan dan penguasaan teknologi yang rendah sehingga produktivitas, pendapatan dan pembentukan modal rendah, maka pada fenomena lingkaran setan sosial ekonomi modern justru terjadi pada kondisi pennodalan, penguasaan teknologi, dan produktivitas fisik yang relatif tinggi, namun nilai moneter produktivitasnya rendah sebagai akibat harga yang diterima petani relatif rendah. Akibatnya, pendapatan petani tetap rendah, Keadaan yang demikian ini dapat kita telusuri dari pembangunan ekonomi petani yang berlangsung selama ini.

Dalam makalah ini akan didiskusikan bagaimana fenomena tersebut terjadi pada petani tanaman pangan dan hortikultura, apa penyebabnya dan bagaimana pemberdayaan mereka untuk keluar dari lingkaran setan tersebut. Ekonomi Usahatani Dan Paradoks Produktivitas Tragedi kekurangan pangan, khususnya beras, yang dialami bangsa kita pada akhir Orde Lama telah mempengaruhi keputusan politik pembangunan pertanian sejak awal Orde Baru. Keputusan politik pembangunan pertanian yang dimaksud adalah mempercepat peningkatan produksi bahan pangan, khususnya beras. Politik pertanian dengan orientasi peningkatan produksi ini dioperasionalkan melalui program Bimbingan Massal (BIMAS) dengan menerapkan berbagai teknologi anjuran yang lebih dikenal dengan pola Intensifikasi Massal (INMAS), Meskipun prioritas utama pada waktu itu adalah beras, namun politik dan pola operasionalnya telah menjadi anutan bagi komoditas tanaman pangan dan hortikultura, bahkan untuk seluruh komoditas pertanian dalam arti luas. Dalam politik pertanian yang berorientasi peningkatan produksi, pengembangan teknologi, pengembangan organisasi dan kelembagaan petani, pengembangan struktur dan kelembagaan pertanian-pedesaan serta kebijakan harga, dan tataniaga ditujukan untuk meningkatkan dan menyelamatkan produksi pertanian. Hasilnya memang cukup menggembirakan, Penguasaan teknologi budidaya meningkat, luas areal beririgasi meningkat dan berbagai varietas unggul dari berbagai tanaman pangan dan hortikultura berhasil dikembangkan dan dimasyarakatkan sehingga produktivitas (fisik) usahatani meningkat Sebagai contoh, produktivitas usahatani padi meningkat dari 2,21 ton per hektar tahun 1968 menjadi 4,61 ton per hektar pada tahun 1994, Demikian juga produtivitas tanaman lain juga meningkat secara signiflkan. Secara keseluruhan, sampai akhir PJP-I, produksi komoditas tanaman pangan dan hortikultura telah meningkat antara 200 sampai 1000 persen dari tingkat produksi awal PJP-L. Secara makro, prestasi peningkatan produksi tanaman pangan dan hortikultura tersebut pantas dibanggakan. Namun yang sangat merisaukan adalah peningkatan produksi tersebut belum disertai peningkatan pendapatan riil petard secara memadai. Padahal petani merupakan aktor utama dan 164

peningkatan produksi tersebut. Dengan menggunakan nilai tukar petani (NTP) sebagai ukuran kasar pendapatan riil petani, NTP ternyata berfluktuasi sekitar 30 persen dengan kecenderungan menurun. Hasil perhitungan Mubyarto (1991) dan data BPS (1994) yang menggunakan tahun dasar 1984, NTP yang pada tahun 1976 mencapai angka 113, turun menjadi 95 pada tahun 1993. NTP tertinggi yang pernah dicapai adalah 117 yaitu pada tahun 1979,dan 1989 dan terendah pada tahun 1985 yaitu 87. Mengapa demikian? Disadari atau tidak, politik pertanian di masa lalu yang berorientasi pada peningkatan produksi, telah memfasilitasi para petani untuk tetap berada dan menggantungkan hidupnya pada ekonomi usahatani yang justru merupakan kegiatan ekonomi yang memiliki nilai tambah yang kecil. Sementara kegiatan ekonomi yang memiliki nilai tambah terbesar, yaitu pada kegiatan pengadaan dan perdagangan saprotan, alsintan serta kegiatan pengolahan hasil dan perdagangan produknya (off-farm), diserahkan kepada mereka yang bukan petani. Akibatnya, setiap peningkatan produksi, nilai tambah yang dinikmati petani tetap kecil, sementara mereka yang berada pada ekonomi nonusahtani menikmati nilai tambah yang besar, baik nilai tambah perubahan bentuk (form utility), tempat (place utility) maupun nilai tambah karena waktu (time utility). Nilai tambah yang dinikmati oleh petani pada usahatani semakin diperkecil pula oleh struktur nonusahatani yang dispersal, asimetris, dan cenderung terdistorsi, sehingga menimbulkan masalah transmisi (pass through problems) seperti transmisi harga tidak simetris. Penurunan harga di tingkat konsumen ditransmisikan dengan cepat dan sempurna kepada petani, sedangkan kenaikan harga ditransmisikan dengan lambat dan tidak sempurna. Disamping itu, informasi pasar, seperti preferensi konsumen, ditahan dan bahkan digunakan untuk mengeksploitasi petani. Masalah tersebut menjadi Iebih parah karena sifat produk usahatani yang cepat rusak (perishable) dan petani tidak memiliki teknologi penyimpanan. Akibatnya, harga yang diterima petani tetap rendah. Pada kondisi yang demikian, petani menghadapi suatu paradoks produktivitas. Semakin meningkat produktivitas (produksi) usahatani, semakin besar nilai tambah yang dinikmah oleh mereka yang berada pada nonusahatani, sehingga tingkat pendapatan riil petani semakin tertinggal dari tingkat pendapatan mereka yang berada pada nonusahatani. Dalam kondisi paradoks tersebut, segala upaya yang dilakukan untuk meningkatkan produksi pertanian seperti perbaikan teknologi, kebijakan harga, kebijakan perkreditan, dan bahkan pembangunan prasarana dan sarana 165

pertanian-pedesaan, sebagian besar manfaatnya dinikmati oleh mereka yang berada di non-usahatani. Sehingga wajar apabila mereka ini cepat bertumbuh menjadi pengusaha menengah hingga konglomerat yang kita kenal dewasa ini. Sementara petani hanya mampu mengeluh, menjalani kehidupan ekonomi yang terjerumus pada lingkaran setan sosial-ekonomi bentuk modern. Dengan nilai tambah yang dinikmati petani yang relatif rendah, berarti pendapatannya juga relatif rendah, maka pembentukan modal (capital formation) pada usahatani tidak berjalan. Meskipun sumber permodalan eksternal dapat memenuhi kebutuhan modal petani dan teknologi budidaya telah mereka kuasai, tetapi karena pendapatan yang diakibatkannya tetap rendah, maka tetap saja kondisi sosial-ekonomi mereka tidak banyak berubah. Bahkan banyak diantara petani kita harus gali lobang-tutup lobang dalam pembiayaan usahataninya. Pemberdayaan Ekonomi Petani Untuk memberdayakan ekonomi petani, kita perlu terlebih dahulu mengubah politik pembangunan pertanian ke masa depan yaitu perubahan dari politik pembangunan pertanian yang berorientasi peningkatan produksi ke politik pembangunan pertanian dengan pendekatan agribisnis. Dengan pendekatan agribisnis, maka segala upaya, yang di masa lalu hanya tertuju pada usahatani dan kurang pada nonusahatani, akan semakin berimbang dalam arti membangun dan mengembangkan usahtani dan nonusahatani secara simultan dan terkoordinasi dalam satu sistem yang terintegrasi. Dengan demikian, terbuka kesempatan untuk memfasilitasi petani untuk dapat merebut nilai tambah yang ada pada kegiatan nonusahatani. Namun demikian, untuk menjamin nilai tambah dari kegiatan nonusahatani dapat dinikmati petani maka pembangunan pertanian dengan pendekatan agribisnis harus diikuti pengembangan koperasi agribisnis sebagai organisasi bisnis petani. Pengembangan koperasi agribisnis dalam hal ini tidak sama dengan pengembangan koperasi di masa lalu, yang hanya terbatas pada penyaluran saprotan dan pengumpulan hasil serta menangani seluruh komoditas di pedesaan. Lebih jauh dari itu, pengembangan koperasi agribisnis perlu ditujukan untuk menjadi aktor utama dalam nonusahatani untuk merebut nilai tambah. Dalam opersaionalisasi pengembangan koperasi agribisnis ini hendaknya suatu koperasi primer agribisnis memfokuskan suatu komoditas tertentu 166

sebagai bisnis inti (core business) sesuai dengan keunggulan komparatif masing-masing wilayah. Dengan demikian, pengembangan agribisnis suatu komoditas mulai dari hulu hingga ke hilir dapat dilakukan secara intensif, efisien dan progresif. Pengembangan koperasi primer agribisnis perlu dilanjutkan dengan pengembangan jaringan bisnis (business network) koperasi, baik antar koperasi primer agribisnis dengan bisnis inti yang sama (koperasi sekunder agribisnis), misalnya; untuk mencapai skala ekonomi untuk suatu agroindustri, antar koperasi primer dengan bisnis inti yang berbeda namun bersifat sinergis (misalnya antara koperasi petani jagung, singkong dengan koperasi peternak), aliansi koperasi dengan perusahaan swasta maupun aliansi koperasi dengan BUMN. Dengan cara demikian, kita harapkan, secara bertahap agroindustri hilir maupun agroindustri hulu beserta kegiatan perdagangannya dapat dikuasai oleh petani melalui koperasinya, baik secara pemilikan tunggal maupun secara modal patungan (joint venture). Dalam pengembangannya lebih lanjut, koperasi agribisnis diharapkan mampu bertarung dalam perdagangan internasional, baik melalui aliansi strategis, perusahaan global, maupun perusahaan multinasional. Pengembangan agribisnis yang disertai dengan pengembangan koperasi agribisnis, tentunya memerlukan reorientasi layanan-layanan yang disediakan oleh pemerintah. Bila di masa lalu sistem perkreditan pertanian hanya ditujukan pada usahatani, maka di masa yang akan datang perlu diorientasikan juga pada non-usahatani. Demikian juga penyuluhan pertanian yang di masa lalu hanya berorientasi pada penyuluhan agroteknis, perlu diperluas menjadi penyuluh agribisnis, bahkan berubah peran sebagai konsultan agribisnis. Secara keseluruhan, pengembangan agribisnis menuntut kebijaksanaan pemerintah yang integratif. Bila pembangunan pertanian dengan pendekatan agribisnis yang disertai dengan pengembangan koperasi agribisnis dapat diberhasilkan, maka kita bukan hanya menarik, petani keluar dari lingkaran setan sosial-ekonomi, tetapi juga sekaligus membangun agribisnis nasional yang berdaya saing. Alasannya adalah: pertama, pendekatan agribisnis yang disertai dengan pengembangan koperasi agribisnis mampu menghilangkan paradoks produktivitas di tingkat usahatani, sehingga dapat keluar dari lingkaran setan sosial-ekonomi. Setiap peningkatan produktivitas akan disertai oleh peningkatan pendapatan, baik bersumber dari nilai tambah usahatani maupun non-usahatani melalui koperasi. 167

Kedua, dengan menghadirkan koperasi agribisnis pada nonusahatani yang mempunyai ikatan institusional dengan petani, antar koperasi, maupun dengan perusahaan swasta dan BUMN, akan mampu menghilangkan masalah transmisi harga dan margin ganda. Dengan demikian, harga saprotan yang diterima petani akan lebih murah, sehingga merangsang ekspansi usahatani, dan harga produk akhir dari agribisnis secara keseluruhan dapat lebih murah di tingkat konsumen (mendorong peningkatan konsumsi). Selain itu, konsistensi dan kontinuitas mutu produk akhir dapat terjamin. Secara keseluruhan, hal ini akan memampukan produk agribisnis bersaing di pasar internasional. Ketiga, hilangnya masalah transmisi harga akan mengintegrasikan ekonomi petani dengan ekonomi nonpetani. Kenaikan pendapatan nonpetani akan meningkatkan konsumsi produk akhir agroindustri yang umumnya bersifat elastis terhadap perubahan pendapatan. Hal ini akan meningkatkan pendapatan petani melalui koperasinya. Keempat, karena nilai tambah pada nonusahatani sebagian jatuh ke tangan koperasi petani, maka mereka mampu mempercepat pemupukan kapital koperasi sehingga akan mampu memandirikan petani beserta koperasinya. Kesimpulan Politik pembangunan pertanian di masa lalu yang berorientasi peningkatan produksi dan memfasilitasi petani untuk berada pada usahatani telah mengakibatkan petani terperangkap paradoks produktivitas, sehingga ada kecenderungan petani terjerat dalam lingkaran setan sosial-ekonomi bentuk modern. Untuk memberdayakan petani keluar dari kondisi yang demikian, kita perlu mengubah paradigma pembangunan pertanian dari pendekatan peningkatan produksi ke paradigma agribisnis. Dengan pendekatan agribisnis berarti kita telah membuka peluang bagi petani untuk merebut nilai tambah yang ada di kegiatan non-usahatani. Pembangunan pertanian dengan pendekatan agribisnis perlu disertai dengan pengembangan organisasi bisnis petani yaitu koperasi agribisnis, baik koperasi primer maupun koperasi sekunder, agar mampu berperan sebagai aktor utama pada kegiatan nonusahatani. Dengan demikian, nilai tambah yang ada pada non-usahatani dapat direbut para petani di masa yang akan datang. 168