BAB II KAJIAN TEORI. Masyarakat berpenghasilan rendah yang selanjutnya disingkat MBR adalah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. lainnya. Nelayan dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu nelayan buruh, nelayan

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan penduduk yang berlangsung dengan pesat telah. menimbulkan dampak terhadap berbagai aspek kehidupan bangsa terutama di

BAB I PENDAHULUAN. dilakukannya penelitian ini terkait dengan permasalahan-permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. laju pertumbuhan penduduk yang pesat sebagai akibat dari faktor-faktor

BAB I PENDAHULUAN. dalam pemenuhannya masih sulit dijangkau terutama bagi penduduk berpendapatan

ISSN No Jurnal Sangkareang Mataram 27 PEMETAAN TINGKAT RESIKO KEKUMUHAN DI LINGKUNGAN JURING LENENG KABUPATEN LOMBOK TENGAH.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota-kota besar di negara-negara berkembang umumnya mengalami laju

PEMETAAN TINGKAT RESIKO KEKUMUHAN DI KELURAHAN PANJISARI KABUPATEN LOMBOK TENGAH. Oleh:

BAB 1 PENDAHULUAN. perkembangan kawasan kawasan permukiman kumuh. Pada kota kota yang

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 2000 persentase penduduk kota di Negara Dunia Ketiga telah

BAB I PENDAHULUAN. yang terletak di bantaran Sungai Deli, Kelurahan Kampung Aur, Medan. Jika

BAB I PENDAHULUAN. lainnya. Oleh karena itu,bukan suatu pandangan yang aneh bila kota kota besar di

Peluang dan Tantangan Penanganan Permukiman Kumuh melalui Kemitraan Pemerintah, Swasta dan Masyarakat. oleh Oswar Mungkasa 1

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber

BAB 2 LANDASAN TEORI. kembali adalah upaya penataan kembali suatu kawasan kota dengan cara

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

berkembang seperti Indonesia dewasa ini adalah tingginya pertumbuhan penduduk terutama pada pusat-pusat perkotaan, dimana terpusatnya

EVALUASI STRATEGI PENGEMBANGAN KAWASAN PERUMAHAN MELALUI PENDEKATAN URBAN REDEVELOPMENT DI KAWASAN KEMAYORAN DKI JAKARTA TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Tinggi terletak pada LU dan BT. Kota Tebing Tinggi

KEBIJAKAN DAN PENANGANAN PENYELENGGARAAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai pendahuluan yang merupakan bagian

BAB I PENDAHULUAN. perlunya perumahan dan pemukiman telah diarahkan pula oleh Undang-undang Republik

3.3 KONSEP PENATAAN KAWASAN PRIORITAS

BAB I: PENDAHULUAN Latarbelakang.

BAB I PENDAHULUAN. Tingkat pertumbuhan jumlah penduduk di Kota Medan saling berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. Respon risiko..., Juanto Sitorus, FT UI., Sumber data : BPS DKI Jakarta, September 2000

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. berpenghasilan rendah (MBR) dapat juga dikatakan sebagai masyarakat miskin atau

CONTOH KASUS PEREMAJAAN KOTA DI INDONESIA (GENTRIFIKASI)

IDENTIFIKASI KONDISI PERMUKIMAN KUMUH DI KECAMATAN PANCORAN MAS KOTA DEPOK ( STUDI KASUS RW 13 KELURAHAN DEPOK )

Kebijakan Nasional Pengentasan Permukiman Kumuh. Direktorat Perkotaan, Perumahan, dan Permukiman, Kementerian PPN/Bappenas Manado, 19 September 2016

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Agung Hadi Prasetyo, 2013

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. 1.2 Pemahaman Judul dan Tema

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Permukiman Kumuh

TUJUAN DAN KEBIJAKAN. 7.1 Program Pembangunan Permukiman Infrastruktur Permukiman Perkotaan Skala Kota. No KOMPONEN STRATEGI PROGRAM

Salah satunya di Kampung Lebaksari. Lokasi Permukiman Tidak Layak

BAB I. Persiapan Matang untuk Desain yang Spektakuler

`BAB I PENDAHULUAN. tertentu. Pada dasarnya pembangunan dalam sektor permukiman adalah

Sabua Vol.7, No.2: Oktober 2015 ISSN HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Lingkungan permukiman merupakan bagian dari lingkungan binaan merupakan bagian

IDENTIFIKASI MASALAH PERMUKIMAN PADA KAMPUNG NELAYAN DI SURABAYA

BAB I PENDAHULUAN. persoalan kecenderungan meningkatnya permintaan dan kurangnya penyediaan di

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Istilah peran dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai arti perangkat

BAB 1 KONDISI KAWASAN KAMPUNG HAMDAN

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kota merupakan sebuah tempat permukiman yang sifatnya permanen

ARAHAN PENATAAN KAWASAN TEPIAN SUNGAI KANDILO KOTA TANAH GROGOT KABUPATEN PASIR PROPINSI KALIMANTAN TIMUR TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan jumlah penduduk dan urbanisasi merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. Kota dengan segala macam aktivitasnya menawarkan berbagai ragam

BAB 1 PENDAHULUAN. juta jiwa. Sedangkan luasnya mencapai 662,33 km 2. Sehingga kepadatan

perbaikan pola hidup diagnosa treatment

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN. prasarana lingkungan di kawasan Kelurahan Tegalpanggung Kota Yogyakarta ini

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PEDOMAN PENATAAN BANGUNAN DAN LINGKUNGAN (Permen PU 06/2007)

STUDI KARAKTERISTIK HOUSING CAREER GOLONGAN MASYARAKAT BERPENDAPATAN MENENGAH-RENDAH DI KOTA SEMARANG

Universitas Sumatera Utara

: Pendekatan ekologi terhadap tata guna lahan. b. Pemakaian Lahan Kota Secara Intensif

5.1 KEBIJAKSANAAN DASAR PENGEMBANGAN KOTA

BAB 2 EKSISTING LOKASI PROYEK PERANCANGAN. Proyek perancangan yang ke-enam ini berjudul Model Penataan Fungsi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pelaksanaan berasal dari kata laksana yang berarti kegiatan 5. Pelaksanaan

KEBIJAKAN NASIONAL PEMBANGUNAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu kebutuhan dasar yang sampai saat ini belum dapat dipenuhi oleh

BAB VII RENCANA. 7.1 Mekanisme Pembangunan Rusunawa Tahapan Pembangunan Rusunawa

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB III METODE PERANCANGAN. dilakukan berbagai metode perancangan yang bersifat analisa yang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan internasional yang lazim disebut dengan Global Governance. Peranan

BAB I PENDAHULUAN. Kawasan(PLP2K-BK) 1 Buku Panduan Penanganan Lingkungan Perumahan dan Permukiman Kumuh Berbasis

PENDAHULUAN. waktu terjadi pasang. Daerah genangan pasang biasanya terdapat di daerah dataran

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. berakar pada faktor-faktor geografi dan sejarah nusantara yang selama berabad-abad

PENGARUH PEMBANGUNAN KAMPUNG PERKOTAAN TERHADAP KONDISI FISIK LINGKUNGAN PERMUKIMAN DAN KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PERUMAHAN

Evaluasi Pemukiman Dan Perumahan Kumuh Berbasis Lingkungan Di Kel. Kalibanteng Kidul Kota Semarang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

IDENTIFIKASI PENGADAAN RUMAH SWADAYA OLEH MASYARAKAT BERPENGHASILAN RENDAH DI KECAMATAN TEMBALANG KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR

LAMPIRAN V KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI KOTA MEDAN. Kualitas yang diharapkan

Konsep Hunian Vertikal sebagai Alternatif untuk Mengatasi Masalah Permukiman Kumuh, Kasus Studi Kampung Pulo

TUGAS AKHIR RUMAH SUSUN SEWA DI KAWASAN INDUSTRI KABUPATEN KARANGANYAR

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas tentang pendahuluan yang merupakan bagian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Beberapa dekade terakhir, pembangunan kota tumbuh cepat fokus pada

VI. PERENCANAAN LANSKAP PEDESTRIAN SHOPPING STREET

Persentase Jumlah Penduduk yang Tinggi, versus Lahan yang Terbatas

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk kalangan menengah ke-atas (high-middle income). lebih dari batas UMR termasuk golongan menengah ke atas.

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan untuk memiliki tempat tinggal yaitu rumah sebagai unit hunian tunggal

KEBIJAKAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN KAWASAN PERMUKIMAN PERKOTAAN DAN PERDESAAN

INFO TEKNIK Volume 9 No. 1, Juli 2008 (43-50)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

IDENTIFIKASI TINGKAT KERENTANAN MASYARAKAT PERMUKIMAN KUMUH PERKOTAAN MELALUI PENDEKATAN SUSTAINABLE URBAN LIVELIHOOD

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kota berkembang dari tempat-tempat pemukiman yang sangat sederhana hingga

Permasalahan Perumahan dan Permukiman di Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Masyarakat Berpenghasilan Rendah Masyarakat berpenghasilan rendah yang selanjutnya disingkat MBR adalah masyarakat yang mempunyai keterbatasan daya beli sehingga perlu mendapat dukungan pemerintah untuk memperoleh rumah (Pasal 1 Angka 24 UU Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman). Masyarakat berpenghasilan rendah yang selanjutnya disebut MBR adalah masyarakat yang mempunyai keterbatasan daya beli sehingga perlu mendapat dukungan pemerintah untuk memperoleh sarusun umum (Pasal 1 Angka 14 UU Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun). Pertambahan penduduk daerah perkotaan mengakibatkan kebutuhan sarana dan pasarana perkotaan semakin meningkat terutama kebutuhan perumahan. Mengingat pengadaan perumahan daerah perkotaan sangat terbatas, masalah pemenuhan kebutuhan perumahan sampai saat ini masih sulit dipecahkan, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Di lain pihak, kebutuhan perumahan daerah perkotaan selalu meningkat dengan pesat (Panudju, 2009). Manakala kita bicara tentang perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah, potret yang terbayang dan muncul di benak kepala biasanya adalah perumahan yang padat, kacau balau tidak teratur, kotor, merusak atau menodai citra kota (Budihardjo, 1987). Menurut Sumarwanto (2014) potret masyarakat 9

berpenghasilan rendah ini tercermin dari kondisi sosial ekonomi dalam kehidupannya dan ditunjukkan dengan kondisi perumahan masyarakat diberbagai wilayah. Baik di perdesaan maupun di perkotaan masih dalam kondisi yang tidak layak. Di pedesaan banyak dijumpai rumah penduduk berdinding kayu, beratap daun dan berlantai tanah. Ketidaklayakan rumah mereka juga terlihat dari kondisi prasarana, sarana dan utilitas yang masih belum memadai bagi kelangsungan hidup mereka. Khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan miskin yang menghuni perumahan dan tempat-tempat yang tidak layak, mereka hidup dengan keterpaksaan di kampung-kampung kumuh, di kolong-kolong jembatan, pinggiran rel kereta api, bantaran sungai, pasar, dan fasilitas-fasilitas umum lainnya yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan, kenyamanan, dan keselamatan hidupnya. Lebih lanjut Turner (1968) dalam Hutapea (2012) menyatakan bahwa terdapat kaitan antara kondisi ekonomi dengan tingkat prioritas kebutuhan perumahan pada setiap manusia. Bagi masyarakat golongan berpenghasilan rendah, terdapat 3 tingkat prioritas kebutuhan perumahan yaitu : 1. faktor jarak menjadi prioritas utama 2. faktor status lahan dan rumah menjadi prioritas kedua 3. faktor bentuk dan kualitas rumah menjadi prioritas ketiga Menurut Wijaya dalam Budihardjo (2009) pembangunan permukiman bagi masyarakat berpenghasilan rendah bukan merupakan usaha yang terisolisir. Karena, pembangunan tersebut mempunyai multiplier effect yang besar, baik peningkatan industri dan jasa kota maupun penyediaan lapangan kerja baru. 10

Dalam pembangunannya, usaha-usaha baru yang bersifat mendasar perlu dipikirkan untuk memberi landasan kerja yang mantap. Pertama, nilai dan sikap masyarakat terhadap permukiman dan perumahan perlu ditinjau. Rumah harus dibangun sekali dan baik untuk selamanya tidak merupakan kebutuhan pokok yang mendesak, di samping tidak sesuai dengan realita kemampuan masyarakat. Permukiman merupakan kepentingan bersama semua anggota masyarakat, bukan hanya Pemerintah. Pemerintah hanya membantu mempermudah masyarakat memelihara permukimannya di kota. Pemerintah perlu memikirkan untuk memberi pembinaan dan penerangan yang luas tentang peranan masyarakat dalam pembinaan lingkungan; antara lain pembuangan sampah dan penghematan pengeluaran konsumsi rumah tangga untuk membeli dan memiliki tempat tinggal yang layak. Kedua, untuk membuat permukiman baru yang terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah memerlukan beberapa kombinasi dan kebijaksanaan untuk di satu pihak menekan biaya dan di lain pihak meningkatkan daya beli masyarakat berpenghasilan rendah. Harga tanah semakin tinggi di daerah yang mendekati pusat kota, maka perkampungan yang dekat pusat kota tetapi yang parah keadaan perumahannya diremajakan dengan pembanguna flat bertingkat 4 atau maksimum 6 dengan tangga kaki. Menurut Panudju (2009) dalam menentukan prioritas kebutuhan rumah, masyarakat golongan berpenghasilan rendah cenderung meletakkan prioritas utama pada lokasi rumah yang berdekatan dengan tempat yang dapat memberikan kesempatan kerja. Tanpa kesempatan kerja yang dapat menopang kebutuhan 11

sehari-hari, sulit bagi mereka untuk dapat mempertahankan hidupnya. Status pemilikan rumah dan lahan menempati prioritas kedua, sedangkan bentuk maupun kualitas rumah menjadi prioritas terakhir. Yang terpenting bagi mereka adalah tersedianya rumah untuk berlindung dan istirahat dalam upaya mempertahankan hidupnya. Begitu juga Santoso (2002) dalam Kurniasih (2007) yang mengungkapkan bahwa rumah bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah adalah : (Hutapea, 2012) 1. dekat dengan tempat kerja atau di tempat yang berpeluang untuk mendapatkan pekerjaan, minimal pekerjaan di sektor informal 2. kualitas fisik rumah dan lingkungan, tidak penting sejauh masih dapat menyelenggarakan kehidupan 3. hak-hak penguasaan khususnya hak milik atas tanah dan bangunan, tidak penting. Yang penting adalah tidak diusir atau digusur, sesuai dengan cara berpikir mereka bahwa rumah adalah sebuah fasilitas 2.2. Permukiman Kumuh 2.2.1. Pengertian Permukiman Permukiman ialah sebagai suatu tempat bermukim manusia yang menunjukkan suatu tujuan tertentu. Permukiman sudah seharusnya memberikan kenyamanan kepada penghuninya (termasuk orang yang datang ke tempat tersebut). Apabila dikaji dari segi makna, permukiman berasal dari terjemahan kata human settlements yang mengandung pengertian suatu proses bermukim. 12

Terlihat jelas bahwa kata permukiman mengandung unsur dimensi waktu dalam prosesnya (Suparno dan Marlina, 2005). Pengertian permukiman menurut Undang-undang No. 1 Tahun 2011 Pasal 1 tentang perumahan dan kawasan permukiman, permukiman adalah bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau kawasan pedesaan. Rumah adalah suatu bangunan dimana manusia tinggal dan melangsungkan kehidupannya. Menurut Sarwono dkk dalam Budihardjo (2009) perumahan merupakan sekelompok rumah. Setiap perumahan memiliki sistem nilai serta kebiassan sendiri yang berlaku bagi warganya. Sistem nilai tersebut berbeda antara satu perumahan dengan yang lain, tergantung pada daerah ataupun keadaan masyarakat setempat. Menurut Rapoport (1969) rumah adalah suatu bentuk fenomena budaya dan pengaturannya sangat dipengaruhi oleh budaya lingkungannya. Hierarki kebutuhan menurut Maslow terlihat dalam gambar 2.1. menunjukkan tingkat intensitas dan arti penting dari kebutuhan dasar manusia. Pada tingkat terbawah, rumah memberikan perlindungan terhadap gangguan alam dan binatang, berfungsi sebagai tempat istirahat, tidur, dan pemenuhan fungsi badani. Pada tingkat di atasnya, rumah harus bisa menciptakan rasa aman sebagai tempat menjalankan kegiatan ritual, penyimpanan harta milik yang berharga dan menjamin hak pribadi (Budihardjo, 1987). 13

Gambar 2.1. Hierarki Kebutuhan Abraham Maslow (Sumber : Budihardjo, 1987) Menurut Doxiadis (1971) dalam Ahyat (2012) permukiman adalah paduan antara unsur alam, manusia dengan masyarakatnya, dan unsur buatan berupa naungan dan networking. Menurut Turner (1972) dalam Batudoka (2005) rumah adalah bagian yang utuh dari permukiman, dan bukan hasil fisik sekaligus tetapi merupakan sebuah proses yang terus berkembang dan terkait dengan mobilitas ekonomi penghuninya dalam kurun waktu tertentu. Oleh karena itu, yang terpenting dari rumah adalah dampak terhadap penghuni, bukan wujud dan standar fisiknya. Buku yang berjudul An Introduction to the Science of Human Settlements (1969) oleh dalam Hutapea (2012) Doxiadis menyebutkan bahwa mempelajari tentang kawasan perumahan permukiman tidak hanya mempelajari area terbangun dan area terbuka saja tetapi juga fungsi dari kawasan tersebut. Oleh karenanya dalam mempelajari tentang perumahan permukiman atau fungsinya, kita harus 14

mengetahui hubungan kawasan tersebut dengan lingkungan di sekitar luar kawasan tersebut dan mengetahui jalur transportasi yang menghubungkan kawasan tersebut dengan kawasan lainnya, karena aktifitas di sekitar kawasan permukiman juga sangat mempengaruhi fungsi dari permukiman. 2.2.2. Pengertian Permukiman Kumuh Menurut Yudohusodo (1991) permukiman kumuh adalah suatu kawasan dengan bentuk hunian yang tidak berstruktur, tidak berpola (misalnya letak rumah dan jalannya tidak beraturan, tidak tersedianya fasilitas umum, prasarana dan sarana air bersih, MCK) bentuk fisiknya yang tidak layak misalnya secara reguler tiap tahun kebanjiran. Keberadaan kawasan permukiman kumuh diperkotaan dapat menjadi masalah serius bagi masyarakat maupun pemerintah, baik ditinjau dari aspek keruangan, estetika, lingkungan dan sosial. Lingkungan permukiman kumuh menurut Komarudin (1997) didefinisikan sebagai lingkungan permukiman yang berpenghuni padat (melebihi 500 orang per Ha), kondisi sosial ekonomi rendah, jumlah rumah yang sangat padat dan ukurannya dibawah standar, prasarana lingkungan hampir tidak ada atau tidak memenuhi persyaratan teknis dan kesehatan, dibangun di atas tanah negara atau tanah milik orang lain, dan diluar peraturan perundang-undangan yang berlaku. Johan Silas, seorang pakar dalam bidang arsitektur dan permukiman kumuh menjelaskan bahwasanya kriteria pokok untuk menemukan permukiman kumuh/marjinal adalah: bila berada di lokasi yang ilegal, dengan keadaan fisiknya yang sub standar; penghasilan penghuni amat rendah (miskin), tak dapat dilayani 15

berbagai fasilitas kota; dan tidak diingini kehadirannya oleh publik (kecuali yang berkepentingan) (Titisari dan Kurniawan, 1999 dalam Hutapea, 2012). Permukiman kumuh adalah lingkungan hunian yang kualitasnya sangat tidak layak huni. Ciri-ciri permukiman kumuh antara lain berada pada lahan yang tidak sesuai dengan peruntukan/tata ruang, kepadatan bangunan sangat tinggi dalam luasan yang sangat terbatas, rawan penyakit sosial dan penyakit lingkungan, serta kualitas bangunan yang sangat rendah, tidak terlayani prasarana lingkungan yang memadai dan membahayakan keberlangsungan kehidupan dan penghidupan penghuninya (Budihardjo, 1987). Permukiman kumuh mengacu pada aspek lingkungan hunian atau komunitas. Permukiman kumuh dapat diartikan sebagai suatu lingkungan permukiman yang telah mengalami penurunan kualitas atau memburuk baik secara fisik, sosial ekonomi maupun sosial budaya, yang tidak mungkin dicapainya kehidupan yang layak bagi penghuninya, bahkan dapat pula dikatakan bahwa para penghuninya benar-benar dalam lingkungan yang sangat membahanyakan kehidupannya. Pada umumnya permukiman kumuh memiliki ciri-ciri tingkat kepadatan penduduk yang sangat rendah, tidak memadainya kondisi sarana dan prasarana dasar, seperti halnya air bersih, jalan, drainase, sanitasi, listrik, fasilitas pendidikan, ruang terbuka/rekreasi, fasilitas pelayanan kesehatan dan perbelanjaan (Masrun, 2009 dalam Hutapea, 2012). Lingkungan permukiman kumuh, secara estimologis dapat dibedakan menjadi dua yaitu slum dan squatter. Pengertian dari keduanya adalah : (Budihardjo, 1997 dalam Sulaiman, 2005) 16

a. slum yaitu kawasan kumuh tetapi sah sebagai sebagai daerah permukiman b. squatter yaitu permukiman kumuh liar, yang menenempati lahan tidak ditetapkan untuk kawasan hunian, misalnya di sepanjang rel KA, pinggir sungai, pembuangan sampah dan sebagainya 2.2.3. Penyebab Utama Tumbuhnya Permukiman Kumuh Tumbuhnya permukiman kumuh merupakan akibat dari urbanisasi, migrasi yang tinggi, masyarakat berbondong-bondong datang ke kota untuk mencari nafkah. Hidup di kota sebagai warga dengan mata pencaharian terbanyak pada sektor informal. Pada dasarnya pertumbuhan sektor informal bersumber pada urbanisasi penduduk dari pedesaan ke kota, atau dari kota satu ke kota lainnya. Hal ini disebabkan oleh lahan pertanian di mana mereka tinggal, sudah terbatas, bahkan kondisi desapun tidak dapat lagi menyerap angkatan kerja yang terus bertambah, sedangkan yang migrasi dari kota ke kota lain, kota tidak lagi mampu menampung, karena lapangan kerja sangat terbatas. Akhirnya dengan adanya pemanfaatan ruang yang tidak terencana di beberapa daerah, terjadi penurunan kualitas lingkungan bahkan kawasan permukiman, terutama di daerah perkotaan yang padat penghuni, berdekatan dengan kawasan industri, kawasan bisnis, kawasan pesisir dan pantai yang dihuni oleh keluarga para nelayan, serta di bantaran sungai, dan bantaran rel kereta api (Marwati, 2004 dalam Mulia, 2011). Menurut Komarudin (1997) penyebab utama lingkungan kumuh antara lain : 1. urbanisasi dan migrasi yang tinggi terutama bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah 17

2. sulitnya mencari pekerjaan 3. sulitnya mencicil atau menyewa rumah 4. kurang tegasnya pelaksanaan peraturan perundang-undangan 5. program perbaikan lingkungan yang hanya dinikmati oleh para pemilik rumah (misalnya tarif sewa rumah makin tinggi) 6. disiplin warga yang rendah Penyebab adanya permukiman kumuh menurut Nawagamuwa dan Viking (2003) dalam Hutapea (2012) adalah : 1. karakter bangunan yaitu umur bangunan yang sudah terlalu tua, tidak terorganisasi, ventilasi, pencahayaan dan sanitasi yang tidak memenuhi syarat 2. karakter lingkungan yaitu tidak ada open space (ruang terbuka hijau) dan tidak tersedia fasilitas untuk rekreasi keluarga, kepadatan penduduk yang tinggi, sarana prasarana yang tidak terencana dengan baik Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa permukiman kumuh ialah permukiman yang kondisi lingkungannya tidak layak untuk dihuni dan lokasinya yang berada di lahan milik negara (berstatus ilegal). Penyebab timbulnya permukiman kumuh menurut para ahli diantaranya disebabkan oleh tingkat pertumbuhan dan perpindahan penduduk, masyarakat berpenghasilan rendah, serta tingginya harga tanah dan kurangnya lahan untuk permukiman. Menurut Doxiadis (1968) dalam Hutapea (2012) disebutkan bahwa pertumbuhan permukiman kumuh dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu : 18

growth of density (pertambahan penduduk), dengan adanya pertambahan jumlah penduduk yaitu dari kelahiran dan adanya pertambahan jumlah keluarga, maka akan membawa masalah baru. Secara manusiawi mereka ingin menempati rumah milik mereka sendiri. Dengan demikian semakin bertambahlah jumlah hunian yang ada di kawasan permukiman tersebut yang menyebabkan pertumbuhan perumahan permukiman urbanization (urbanisasi), dengan adanya daya tarik pusat kota maka akan menyebabkan arus migrasi desa ke kota maupun dari luar kota ke pusat kota. Kaum urbanisasi yang bekerja di pusat kota ataupun masyarakat yang membuka usaha di pusat kota, tentu saja memiliki untuk tinggal di permukiman di sekitar pusat kota. Hal ini juga akan menyebabkan pertumbuhan perumahan permukiman di kawasan pusat kota 2.2.4. Karakteristik Permukiman Kumuh Menurut Kuswartojo dkk (2005) permukiman kumuh yaitu permukiman yang padat, kualitas konstruksi rendah, prasarana, dan pelayanan permukiman minim adalah pengejawantahan kemiskinan. Meskipun ada pengecualian dan keadaan khusus, pada umumnya kita sepakat kalau kita memformulakan bahwa di permukiman kumuhlah masyarakat miskin tinggal. Ini terutama kita jumpai di kawasan perkotaan. Karakteristik permukiman kumuh menurut Silas (1996) dalam Hutapea (2012) adalah sebagai berikut : 19

keadaan rumah pada permukiman kumuh terpaksa dibawah standar, rata-rata 6 m²/orang. Sedangkan fasilitas kekotaan secara langsung tidak terlayani karena tidak tersedia. Namun karena lokasinya dekat dengan permukiman yang ada, maka fasilitas lingkungan tersebut tak sulit mendapatkannya permukiman ini secara fisik memberikan manfaat pokok, yaitu dekat tempat mencari nafkah (opportunity value) dan harga rumah juga murah (asas keterjangkauan) baik membeli atau menyewa manfaat permukiman disamping pertimbangan lapangan kerja dan harga murah adalah kesempatan mendapatkannya atau aksesibilitas tinggi Menurut Sinulingga (2005) dalam Hutapea (2012) ciri-ciri kampung/permukiman kumuh terdiri dari : 1. penduduk sangat padat antara 250-400 jiwa/ha. Pendapat para ahli perkotaan menyatakan bahwa apabila kepadatan suatu kawasan telah mencapai 80 jiwa/ha maka timbul masalah akibat kepadatan ini, antara perumahan yang dibangun tidak mungkin lagi memiliki persyaratan fisiologis, psikologis dan perlindungan terhadap penyakit 2. jalan-jalan sempit dapat dilalui oleh kendaraan roda empat, karena sempitnya, kadang-kadang jalan ini sudah tersembunyi dibalik atap-atap rumah yang sudah bersinggungan satu sama lain 3. fasilitas drainase sangat tidak memadai, dan malahan biasa terdapat jalan-jalan tanpa drainase, sehingga apabila hujan kawasan ini dengan mudah akan tergenang oleh air 20

4. fasilitas pembuangan air kotor/tinja sangat minim sekali. Ada diantaranya yang langsung membuang tinjanya ke saluran yang dekat dengan rumah 5. fasilitas penyediaan air bersih sangat minim, memanfaatkan air sumur dangkal, air hujan atau membeli secara kalengan 6. tata bangunan sangat tidak teratur dan bangunan-bangunan pada umunya tidak permanen dan malahan banyak sangat darurat 7. pemilikan hak atas lahan sering legal, artinya status tanahnya masih merupakan tanah negara dan para pemilik tidak memiliki status apa-apa Menurut Turner (1976) dalam Mulyati (2008) permukiman Spontan merupakan salah satu alternatif pemecahan yang mereka lakukan yaitu permukiman yang tidak teratur, tidak legal baik tanah, rumah, atau keduanya. Biasanya merupakan rumah gubuk dengan fasilitas yang tidak memadai tata letak fisiknya, ciri pemilikannya atau lokasinya. Gambaran lingkungan kumuh menurut Komarudin (1997) yaitu lingkungan permukiman yang kondisi tempat tinggal atau tempat huniannya berdesakan, luas rumah tidak sebanding dengan jumlah penghuni, rumah hanya sekedar tempat berlindung dari panas dan hujan, hunian bersifat sementara dan dibangun di atas tanah yang bukan milik penghuni, lingkungan dan tata permukimannya tidak teratur tanpa perencanaan, prasarana kurang (mck, air bersih, saluran buangan, listrik, jalan lingkungan, fasilitas sosial kurang (sekolah, rumah ibadah, balai pengobatan), mata pencaharian tidak tetap dan usaha non-formal, serta pendidikan masyarakat rendah. 21

Menurut Yudohusodo (1991) dalam bukunya yang berjudul Rumah Untuk Seluruh Rakyat, perumahan liar tumbuhnya agak jauh dari jalan kendaraan, di pinggir-pinggir sungai dan bantaran sungai, di sepanjang jalan kereta api, di sekitar pasar dan stasiun kereta api, dan di daerah rendah yang sering kebanjiran. Daerah-daerah tersebut pada umumnya adalah berupa tanah yang belum dipergunakan, ditinggalkan atau yang tidak diawasi oleh pemegang haknya. Penghuninya merupakan pendatang dari pedesaan dan kota-kota lainnya, berpenghasilan rendah bahkan sangat rendah. Mereka tinggal di gubuk-gubuk dari bahan-bahan yang tidak tahan lama dan bahan-bahan bekas, tetapi kadang-kadang terdapat pula bangunan permanen yang cukup baik. Lingkungan permukiman kumuh mempunyai karakteristikk sebagai berikut : kondisi fisik lingkungan yang tidak memenuhi persyaratan teknis dan kesehatan, yaitu kurangnya atau tidak tersedianya prasarana, fasilitas dan utilitas lingkungan. Walaupun ada, kondisinya sangat buruk dan disamping itu, tata letak bangunan tidak teratur. kondisi bangunan yang sangat buruk serta bahan-bahan bangunan yang digunakan adalah bahan bangunan yang bersifat semi permanen. kepadatan bangunan dengan KDB yang lebih besar dari yang diijinkan, dengan kepadatan penduduk yang sangat tinggi (lebih dari 500 jiwa per ha) fungsi-fungsi kota yang bercampur dan tidak beraturan Siswono (1991) dalam Sulaiman (2005) membagi lingkungan kumuh dalam lima kelompok : 22

1. berada pada lokasi yang sangat strategis dalam mendukung fungsi kota yang menurut rencana kota dapat dibangun untuk komersial atau pelayanan masyarakat kota yang baik 2. lokasinya yang kurang strategis dalam mendukung fungsi kota dan memberi pelayanan kepada masyarakat kota. Meskipun dalam rencana kota untuk dijadikan kawasan komersial namun kurang memiliki potensi 3. lokasinya kurang strategis dan menurut rencana kota hanya boleh dibangun untuk perumahan 4. permukiman kumuh yang berada pada lokasi yang menurut rencana kota tidak diperuntukkan bagi perumahan 5. permukiman kumuh yang berada pada lokasi yang berbahaya, yang menurut rencana kota disediakan untuk jalur pengaman, seperti bantaran sungai, jalur jalan kereta api dan jalur tegangan listrik 2.3. Garis Sempadan Rel Kereta Api Penyediaan RTH (Jalur Hijau) pada garis sempadan jalan rel kereta api merupakan RTH yang memiliki fungsi utama untuk membatasi interaksi antara kegiatan masyarakat dengan jalan rel kereta api. Berkaitan dengan hal tersebut perlu dengan tegas menentukan lebar garis sempadan jalan kereta api di kawasan perkotaan (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 05/PRT/M/2008 tentang penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan). 23

Jalan Rel Kereta Api terletak di : a. Jalan rel kereta api lurus b. Jalan rel kereta api belokan/lengkungan - Lengkung dalam - Lengkung luar Obyek Tanaman Bangunan > 11 m > 20 m > 23 m > 23 m > 11 m > 11 m Tabel 2.1. Lebar Garis Sempadan Rel Kereta Api (Sumber : Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 05/PRT/M/2008) 2.4. Penggunaan Tanah Negara Untuk Hunian Di daerah perkotaan, tidak tersedianya perumahan yang cukup mengakibatkan tumbuhnya slums dan semi slums yang pada gilirannya menimbulkan berbagai masalah sosio ekonomis. Di samping itu padatnya penduduk di kota akan mengakibatkan semakin kurang memadainya fasilitas permukiman seperti jalan dan prasarana lainnya. Salah satu masalah utama yang menghambat pembangunan perumahan di daerah perkotaan ialah kurang tersedianya tanah yang siap dibangun dan terus menigkatnya harga tanah serta kesulitan-kesulitan dalam proses pembebasan tanah untuk perumahan. Kebijksanaan mengenai tata guna tanah di daerah perkotaan (urban and policy) masih belum didukung oleh peraturan perundangan yang memadai (Cosmas dalam Budihardjo, 2009). Lahan publik merupakan aset yang dimiliki oleh populasi kota dan hendaknya dimanfaatkan oleh populasi tersebut. Sayangnya saat ini lahan yang 24

dimiliki pemerintah cenderung dilihat sebagai komoditas yang dapat dipasarkan tinimbang sebagai lahan untuk kepentingan bersama, sehingga penjualan atau penyewaan seringkali diberikan kepada penawar tertinggi untuk pusat perbelanjaan, lahan parkir, hotel mewah dan lapangan golf, alih-alih taman kota, sekolah, taman bermain, pasar rakyat, dan perumahan murah yang sangat diperlukan oleh kota-kota kita (Sumarwanto, 2014). Salah satu cara jitu mengurangi biaya lahan untuk perumahan bagi kalangan berpenghasilan rendah adalah menggunakan lahan publik, yang dapat disewakan oleh badan pemerintah yang memilikinya, atau ditetapkan sebagai lahan berhak guna bagi perumahan komunitas berpenghasilan rendah. Ini dapat direncanakan dan dibangun dengan berbagai strategi maupun bentuk kemitraan (Thomas A.Keer-AHCR, 2009) dalam Sumarwanto (2014). 2.5. Bentuk Pola Permukiman Kumuh di Indonesia Apabila dikaji berdasarkan strukturnya, kampung merupakan salah satu elemen pembentuk kota. Secara fisik, kondisi kampung di kota-kota besar saat ini pada umumnya sangat buruk. Hal ini terutama dipicu karena masalah kepadatan. Tingginya angka kepadatan penduduk di kampung-kampung di perkotaan membawa berbagai dampak negatif bagi kondisi kampung tersebut, yaitu : (Suparno dan Marlina, 2005) 1. kehidupan sosial yang tidak teratur 2. tingkat ketersediaan fasilitas umum dan fasilitas sosial yang rendah 3. kurangnya infrastruktur 25

4. tataguna lahan yang tidak teratur 5. kondisi rumah yang kurang sehat Permukiman mempunyai berbagai pola yang umum terjadi akibat berbagai faktor yang mempengaruhi, antara lain: (Ahyat, 2012) sub kelompok komunitas, pola permukiman tipe ini berbentuk cluster, terdiri dari beberapa unit atau kelompok unit hunian, memusat pada ruang-ruang penting, seperti penjemuran, ruang terbuka umum, masjid dan sebagainya (Gambar 2.2.) Gambar 2.2. Pola Permukiman Sub Kelompok Komunitas (Sumber : Ahyat, 2012) face to face, pola permukiman tipe ini berbentuk linier, antara unit-unit hunian sepanjang permukiman dan secara linier terdapat perletakan pusat aktivitas yaitu tambatan perahu atau dermaga, ruang penjemuran, pasar dan sebagainya (Gambar 2.3.) 26

Gambar 2.3. Pola Permukiman Face to face (Sumber : Ahyat, 2012) 2.6. Kebijakan Pemerintah Dalam Mengatasi Permukiman Kumuh Program pemerintah dalam penanganan permukiman kumuh telah dimulai sejak tahun 1969 melalui Program Perbaikan Kampung (Kampoeng Improvement Program/KIP) dan berakhir tahun 1989. Kemudian dilanjutkan dengan Pembangunan Perumahan Berbasis pada Kelompok (P2BPK) sepanjang periode 1989-2000. Pada saat bersamaan juga dilaksanakan KIP Komprehensif (1998-2002) yang telah mengadopsi aspek modal manusia dan modal sosial. Program sejenis juga dilaksanakan dengan menambahkan aspek modal ekonomi yaitu Program Pengentasan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) pada tahun 1999, dan Community-Based Initiatives for Housing and Local Development (COBILD) (2000-2003). Pada tahun 2004 diluncurkan Neighborhood Upgrading and Shelter Sector Project (NUSSP) yang mengadopsi aspek fisik, sosial, manusiadan ekonomi, dan kegiatan Urban Renewal yang fokus pada aspek fisik berupa pembangunan rumah susun, peremajaan kawasan dan penataan lingkungan. Kegiatan terbaru yang dicanangkan oleh presiden pada tahun 2011 adalah 27

program Pro Rakyat Klaster IV yang berfokus pada penataan kawasan kumuh (Mungkasa, 2012). Terlihat pada era tahun 2000, program yang dilaksanakan terbagi dalam 2 (dua) kategori yaitu yang bersifat menyeluruh dan fokus aspek fisik saja. Selain itu, perubahan yang terjadi tidak terlihat benang merahnya, kemungkinan karena kegiatan yang bersifat proyek dan tidak didukung oleh ketersediaan payung kebijakan penanganan permukiman kumuh (Mungkasa, 2012). Sementara Kementerian Perumahan Rakyat pada tahun 2010 meluncurkan kegiatan Penanganan Lingkungan Perumahan dan Permukiman Kumuh Berbasis Kawasan (PLP2K-BK) dengan pendekatan Tridaya (manusia, lingkungan, ekonomi), kesesuaian dengan tata ruang, penyediaan Prasarana, Sarana dan Utilitas (PSU), dan keterpaduan dengan sektor lain. Kegiatan ini didukung dengan kegiatan bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) berupa penyediaan stimulan peningkatan kualitas (PK) dan pembangunan baru (PB) bagi rumah tangga kumuh, kegiatan pembangunan rumah susun sederhana sewa (rusunawa), dan disediakan skema pembiayaan melalui Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) (Mungkasa, 2012). Pada prinsipnya KIP (Kampoeng Improvement Program) bertujuan untuk memperbaiki kondisi lingkungan secara menyeluruh. KIP ini dikembangkan dengan 3 program, yaitu : (Suparno dan Marlina, 2005) 1. program perbaikan lingkungan (bina lingkungan) 2. program pengembangan manusia (bina manusia) 3. program pengembangan ekonomi (bina usaha) 28

Berdasarkan tujuan KIP, contoh contoh kegiatan yang dapat dilakukan pada KIP adalah sebagai berikut : (Suparno dan Marlina, 2005) 1. perbaikan jalan masuk ke lingkungan 2. perbaikan jalan untuk pejalan kaki 3. perbaikan saluran drainase 4. perbaikan saluran pembuangan 5. penyediaan air bersih 6. penyediaan MCK 7. pengadaan fasilitas sosial sebagai tambahan (misal fasilitas kesehatan, dll) 8. penyuluhan kesehatan kepada warga Secara keseluruhan, program-program yang dilaksanakan tidak sepenuhnya dapat membantu usaha penataan dan perbaikan permukiman kumuh. Poerbo dalam Komarudin (1997) berpendapat program-program yang dijalankan pemerintah masih cenderung bersifat top down, serta kurang mampu menggali aspirasi dan karakteristik dari masyarakat itu sendiri. Selain itu, banyaknya proyek peremajaan permukiman kumuh yang tidak didahului oleh survei sosial merupakan penyebab lainnya. Karakteristik masyarakat yang perlu dikenali, antara lain : aspek sosial, sumber daya manusia, ekonomi (mata pencaharian), alam, dan fisik seperti kondisi fisik rumah dan lingkungan, dan lain sebagainya (Lestari, 2006). 29

2.7. Diagram Kepustakaan Permukiman Kumuh Doxiadis, 1968; Yudohusodo, 1991; Silas, 1996; Komarudin, 1997; Budihardjo, 1997; Kuswartojo, 2005 Permukiman Rapoport, 1969; Doxiadis, 1969 & 1971; Turner, 1972; Budihardjo, 1987; Suparno dan Marlina, 2005; Budihardjo, 2009 Masyarakat Berpenghasilan Rendah Turner 1968; Budihardjo, 1987; Santoso, 2002; Panudju, 2009 Budaya Bermukim Rapoport 1969 Daya Beli Yudohusodo 1991; Komarudin 1997 Permukiman Di Pinggiran Rel Kereta Api Gambar 2.4. Diagram Kepustakaan 30

2.8. Studi Kasus Sejenis 2.8.1. Kajian Luas Rumah Tinggal Masyarakat Berpenghasilan Rendah di Kawasan Pusat Kota, Ahda Mulyati, 2008 Permukiman masyarakat berpenghasilan rendah merupakan kampung, yang umumnya terletak di sekitar pusat kota, mempunyai kepadatan tinggi tanpa halaman yang cukup, serta prasarana fisik lingkungan yang kurang memadai. Rumah merupakan kebutuhan dasar manusia selain sandang, pangan dan kesehatan, dan berfungsi sebagai tempat tinggal, tempat bermukim, sebagai proses yang berlanjut, sebagai shelter, mesin kehidupan, tempat bercengkerama, menjamu sahabat, mendidik anak, bekerja dan berprestasi, sebagai aset dan modal kehidupan. Karena keterbatasan lahan, ruang terbuka merupakan ruang yang paling dominan dipergunakan untuk segala aktivitas. Hasil penelitian menunjukkan : Sesuai dengan fungsinya ruang-ruang publik sebagai ruang multi fungsi merupakan ruang yang paling dominan dimanfaatkan untuk kegiatankegiatan dalam menunjang kehidupan pemukim, dibuat tanpa pembatas karena ruang-ruang adalah milik bersama; karena keterbatasan lahan, rumah tinggal dibangun sesuai dengan keinginan dan kemampuan pemukim tanpa mempertimbangkan faktor keamanan, kesehatan dan persyaratan-persyaratan lingkungan permukiman yang layak untuk hunian; luasan rumah tinggal masih bervariasi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan jumlah penghuni. Sesuai dengan fungsinya ruang-ruang publik yang multi fungsi merupakan ruang yang paling dominan dimanfaatkan untuk kegiatan-kegiatan yang menunjang kehidupan pemukim, dibuat tanpa pembatas karena ruang-ruang 31

adalah milik bersama. Karena keterbatasan lahan, rumah tinggal dibangun sesuai dengan keinginan dan kemampuan pemukim tanpa mempertimbangkan faktor keamanan, kesehatan dan persyaratan-persyaratan lingkungan permukiman yang layak untuk hunia. Luasan rumah tinggal masih bervariasi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan jumlah penghuni. 2.8.2. Dampak Urbanisasi Terhadap Permukiman Kumuh (Slum Area) di Daerah Perkotaan, Waston Malau, 2013 Urbanisasi menyebabkan laju pertumbuhan penduduk yang pesat di daerah perkotaan sehingga menimbulkan beragam permasalahan, salah satu diantaranya adalah semakin banyaknya permukiman kumuh (slum area) pada lahan-lahan kosong di daerah perkotaan seperti bantaran sungai, bantaran rel kereta api, taman kota, maupun di bawah jalan layang. Penghuni permukiman kumuh (daerah slum) adalah sekelompok orang yang datang dari desa menuju kota dengan tujuan ingin mengubah nasib. Mereka umumnya tidak memiliki keahlian dan jenjang pendidikan yang cukup untuk bekerja di sektor industri di perkotaan. Mereka hanya bisa memasuki sektor informal dengan penghasilan yang rendah, sehingga tidak mampu mendiami perumahan yang layak. Angka kelahiran dan urbanisasi merupakan dua faktor utama yang menyebabkan pertambahan penduduk yang pesat di daerah perkotaan. Pertambahan penduduk yang pesat ini mengakibatkan terjadinya sejumlah permasalahan di daerah perkotaan, salah satu diantaranya adalah munculnya permukiman kumuh atau daerah slum (slum area) yaitu daerah yang sifatnya kumuh dan tidak beraturan yang terdapat di daerah perkotaan. Penghuni 32

permukiman kumuh (daerah slum) adalah sekelompok orang yang datang dari desa menuju kota dengan tujuan ingin mengubah nasib. Mereka tidak memiliki keahlian dan jenjang pendidikan yang cukup untuk bekerja di sektor industri di daerah perkotaan, sehingga akhirnya memasuki sektor informal. Akibatnya mereka berada dalam kehidupan ekonomi yang miskin karena hanya memiliki penghasilan yang rendah tetapi harus berhadapan dengan biaya hidup yang tinggi dikota. 33