BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Komunikasi manusia banyak dipengaruhi oleh budaya yang diyakini yaitu budaya yang melekat pada diri seseorang karena telah diperkenalkan sejak lahir. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa komunikasi memiliki hubungan yang erat dengan budaya. Budaya-lah yang nantinya akan mempengaruhi bagaimana cara seseorang berkomunikasi. Kebudayaan merupakan elemen subjektif dan objektif yang dibuat manusia di masa lalu untuk meningkatkan kemungkinan bertahan hidup dan berakibat dalam kepuasan pelaku dalam ceruk ekologis, sehingga di antara mereka dapat berkomunikasi satu sama lain, karena mereka mempunyai kesamaan bahasa dan mereka hidup dalam waktu dan tempat yang sama (Triandis, dalam Samovar 2010:27). Dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa budaya adalah pandangaan yang bertujuan untuk mempermudah hidup dengan mengajarkan orang-orang bagaimana cara beradaptasi dengan lingkungannya. Budaya terdiri dari beberapa elemen, yaitu sejarah, agama, nilai, organisasi sosial, dan bahasa (Samovar, 2010:29). Dari elemen-elemen tersebut tersimpulkan bahwa sejarah dan nilai memiliki hubungan yang kuat dengan budaya. Sejarah-lah yang nantinya akan dikomunikasikan kepada generasi selanjutnya secara terus menerus, sehingga nantinya akan berkembang menjadi budaya, dan nilai-lah yang nantinya akan mengatur baik atau buruk dan bagaimana seseorang harusnya 6
berperilaku. Nilai merupakan kritikan atas pemeliharaan budaya secara keseluruhan karena hal ini mewakili kualitas yang dipercayai orang yang penting untuk kelanjutan hidup mereka (Peoples dan Bailey dalam Samovar, 2010:30). Berdasarkan penjelasan mengenai budaya di atas, terlihat bahwa, setiap budaya itu unik, terdapat elemen-elemen budaya yang harus diperhatikan, karena adanya elemen yang berbeda dari setiap budaya. Hal tersebut bertujuan untuk menciptakan komunikasi yang efektif tanpa menimbulkan konflik antar budaya. Beda budaya, berbeda pula cara berkomunikasinya. Misal, orang yang berasal dari Medan (Batak) cenderung berbicara dengan nada yang tinggi, walaupun bagi mereka hal tersebut adalah biasa, sebagai lawan bicaranya yang bukan berasal dari Medan, sudah seharusnya memahami hal tersebut tanpa merasa sakit hati. Mereka berbicara dengan nada tinggi, karena pengaruh sejarah mereka, dan itu sudah menjadi budaya mereka yang tidak bisa diterima atau ditolak. Indonesia dikenal sebagai negara multietnis. Kebudayaan di Indonesia sangat beranekaragam, termasuk hadirnya budaya-budaya yang sudah terasimilasi, seperti budaya Betawi yang terlahir dari percampuran budaya Sunda, Jawa, Arab, Bali, Bugis, Makassar, Ambon, Melayu dan China / Tionghoa. Itu berarti, sebagai warga negara Indonesia yang tumbuh dengan budaya yang beraneka ragam, sudah seharusnya setiap warga negara memiliki sikap toleransi yang baik terhadap budaya di luar budaya yang diyakini. Gender merupakan pembeda-bedaan tempat, waktu, alat-alat, tugas-tugas, bentuk pembicaraan, tingkah laku dan persepsi yang dikaitkan dengan perempuan 7
dalam budaya sosial (Ivan Illich, 1998:3). Secara umum, gender dapat diartikan, pembagian peran kedudukan, dan tugas antara laki-laki dan perempuan ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan sifat perempuan dan laki-laki yang dianggap pantas sesuai norma-norma, adat istiadat, kepercayaan, atau kebiasaan masyarakat. Misal, seorang istri (perempuan) bertugas mengurus anak dan pekerjaan rumah tangga, sedangkan suami (laki-laki) bertugas mencari uang. Masyarakat Indonesia sendiri, memiliki pemikiran bahwa laki-laki-lah yang memiliki peranan penting dalam memimpin ataupun melakukan suatu hal penting, dan kaum perempuan dianggap sebagai kaum nomor dua. Oleh karena itu, muncul-lah istilah kesetaraan gender di kalangan masyarakat, di mana kaum wanita berusaha membuktikan bahwa mereka juga berhak mendapatkan perlakuan yang sama dan menjalankan hak mereka sama seperti kaum lelaki. Masalah perbedaan gender ini akan menjadi hal yang cukup serius, apabila didiamkan akan berkembang menjadi konflik. Di tambah dengan adanya fakta bahwa penduduk Indonesia lebih banyak laki-laki dibandingkan perempuan. Menurut publikasi BPS (Badan Pusat Statistik) pada bulan Agustus 2010, jumlah penduduk Indonesia berdasarkan hasil sensus tahun 2010 adalah sebanyak 237.556.363 orang, yang terdiri atas 119.507.580 laki-laki dan 118.048.783 perempuan. Berikut adalah tabel jumlah penduduk Indonesia secara lengkap. 8
Dari data tersebut apabila dikaitan dengan perbedaan gender yang masih dianut oleh masyarakat Indonesia, berarti terdapat 118.048.783 jiwa perempuan yang di nomor dua kan atau memiliki sedikit kesempatan untuk berpendapat dan berekspresi. Masalah perbedaan gender ini sebenarnya tidak hanya dialami oleh Indonesia saja, tetapi juga dialami oleh banyak negara lainnya. Dengan adanya perbedaan gender ini secara tidak langsung telah memberlakukan sikap diskriminatif terhadap kaum perempuan ataupun sebaliknya. Dalam suatu penelitian ditemukan bahwa laki-laki lebih memiliki perilaku mendominasi dan berkompetisi, sedangkan perempuan memiliki perilaku yang cenderung menghindar dalam menghadapi suatu masalah dan lebih mudah diajak kompromi. Dalam mengartikan atau menangkap sebuah pesan pun, perempuan lebih menggunakan perasaan sedangkan laki-laki lebih menggunakan fisik seperti gerak. tubuh,dll (Wilmot and Hocker, 2007:53-55). Perbedaan-perbedaan inilah 9
yang nantinya akan menyebabkan munculnya perlakuan diskriminatif dan berkembang menjadi konflik gender. Dalam berkomunikasi pun laki-laki dan perempuan memiliki pola komunikasi yang berbeda. Ketika melakukan pembicaraan biasanya kaum lakilaki langsung mengarah pada topik pembicaraan dan hanya dapat menyerap satu permasalahan dalam satu kesempatan, karakter mereka tegas dan langsung pada persoalan. Sedangkan, kaum perempuan lebih suka berbicara tentang diri mereka sendiri dan sering menceritakan masalah finansial dan tidak ragu-ragu untuk meminta bantuan jika dirasakan perlu. Ketika sudah merasa dekat dengan lawan bicara mereka, perempuan lebih mudah untuk mencurahkan perasaan mereka, karena mereka lebih mengutamakan persahabatan (Liaw, 2005:42). Dalam menjalin sebuah hubungan, laki-laki melambangkan hubungan mereka dengan sesama laki-laki sebagai lambang persahabatan. Mereka lebih banyak membicarakan hal-hal yang bersifat topikal seperti, politik, pekerjaan, kendaraan, dan bukan hal-hal yang bersifat pribadi. Keakraban dan kedekatan dalam hubungan, dapat terjadi melalui banyak bentuk. Pria dapat menggunakan jalan pengganti menuju keakraban dengan mengandalkan pada aktivitas bersama dan berbuat kebaikan, bukan melalui pengungkapan pribadi sebagai cara untuk lebih saling mendekatkan. Kaum laki-laki lebih banyak menggunakan lelucon untuk mengisyaratkan kedekatan dalam hubungan persahabatan mereka (Wood dalam Budyatna dan Ganiem 2011:160). 10
Apabila dalam hubungan pertemanan antar laki-laki, mereka jarang sekali mengkomunikasikan perasaan mereka, berbeda dengan perempuan yang hubungan pertemanan mereka lebih banyak diisi dengan saling mengungkapkan perasaan mereka dan lebih banyak melibatkan rasa emosional yang luar biasa. Perbedaan perbedaan karakter dan pola komunikasi itulah, yang menjadi salah satu faktor terjadinya perbedaan gender, karena kaum laki-laki dan kaum perempuan saling merasa bahwa keberadaan satu sama lain hanya akan menciptakan konflik, sehingga harus ada salah satu pihak yang dikalahkan. Perbedaan pola perlakuan antara laki-laki dan perempuan secara mendasar kerap dibangun pada masa pertumbuhan seorang anak dalam lingkungan keluarganya. Faktor budaya keluarga menjadi pedoman bagi perlakuan atas perbedaan gender, salah satunya adalah kebudayaan China yang memiliki pedoman tersendiri dalam pengasuhan anak berbasis perbedaan gender. Budaya China atau sering disebut budaya Tionghoa, juga merupakan salah satu dari beragam budaya yang dimiliki Indonesia. Berdasarkan sensus penduduk yang dilakukan pada tahun 2010 populasi etnis tionghoa di Indonesia mencapai 3.7% atau lebih dari 8,8 juta jiwa. Bahkan dapat bertambah 4%-5% setiap tahunnya. 1 1 Nikodemus Yudho Sulistyo, Cina Atau Tionghoa, 19 Januari 2013, http://sosbud.kompasiana.com/2013/01/19/cina-atau-tionghoa-521027.html, diakses pada tanggal 3 Juni 2013, Pukul 18.35 11
Dalam budaya etnis China sendiri, anak laki-laki merupakan emas dan dapat membawa keberuntungan. Keluarga etnis China, sangat mementingkan kehadiran anak laki-laki, sebagai penerus marga / keturunan keluarga mereka. Kehadiran anak laki-laki dalam keluarga, menandakan bahwa garis keturunan mereka pun akan semakin panjang. Misal, anak laki-laki bermarga Tan, ketika menikah dan memiliki anak, maka anak mereka akan mengikuti marga ayahnya yaitu Tan. Dengan adanya budaya seperti itu, secara tidak langsung telah me - nomor dua kan anak perempuan karena anak perempuan dianggap tidak dapat meneruskan garis keturunan keluarga mereka. Hal tersebut nantinya juga akan berpengaruh dalam pola komunikasi yang diterapkan oleh orangtua terhadap anak-anaknya. Akan terjadi perbedaan cara berkomunikasi antara orangtua dengan anak laki-laki dan orangtua dengan anak perempuan, yang tidak menutup kemungkinan akan terjadi diskriminasi terhadap salah satu pihak. Selain faktor budaya, bentuk komunikasi yang diterapkan oleh tiap-tiap keluarga pasti memiliki perbedaan walaupun tetap memiliki basic yang sama, tetapi proses penerapannya akan berbeda. Terdapat orangtua yang memberikan kasih sayang yang adil kepada anak-anak mereka tanpa melihat jenis kelamin dan umur mereka, tetapi ada juga orangtua yang memberikan kasih sayang yang berbeda pada anak-anak mereka, baik itu berdasarkan jenis kelamin, umur, tingkat kepandaian ataupun alasan lainnya yang mengharuskan mereka memberikan kasih sayang yang lebih pada anak tersebut, seperti adanya masalah kesehatan, dll. Bahkan terdapat pula orangtua, baik Ayah maupun Ibu yang memberikan kasih 12
sayang yang berbeda terhadap anak-anak mereka, ada Ibu yang lebih sayang terhadap anak laki-lakinya ataupun Ayah yang lebih sayang terhadap anak perempuannya, dan sebaliknya. Hal ini tergantung cara pandang mereka dan latar belakang budaya mereka, atau bisa juga karena dipengaruhi oleh mitos-mitos yang ada. Budaya sangat berpengaruh dalam bagaimana seseorang memandang gender (Samovar, 2010:188). Misal, dalam budaya Cina, anak laki-laki adalah segala-galanya dan dipandang sebagai anak yang membawa keberuntungan dibandingkan anak perempuan. Menurut Suriyadi (2004), perlakuan diskriminatif dan adanya ketidaksetaraan dapat menimbulkan kerugian dan menurunkan kesejahteraan hidup bagi pihak-pihak yang terdiskriminasi. Dalam konteks ini, kaum perempuan yang paling berpotensi mendapatkan perlakuan yang diskriminatif, meski tidak menutup kemungkinan laki-laki juga dapat mengalaminya. Akan tetapi, sejauh ini jika dilihat persoalan gender secara global, kaum perempuan-lah yang lebih berpotensi merasakan dampak negatifnya. Orangtua yang tumbuh dengan pola pikiran yang masih tradisional menjadi salah satu faktor mengapa adanya perlakuan berbeda terhadap anak-anak mereka. Efek samping dari perlakuan diskriminatif tidak hanya berpengaruh pada anak yang lebih diperhatikan dan diutamakan, tetapi akan berpengaruh pada anak yang lain bahkan kedua orang tua itu sendiri. Perlakuan yang berbeda inilah yang dapat mengubah kepribadian seseorang bahkan menyebabkan depresi. Perlakuan 13
diskriminatif ini juga dapat menimbulkan rasa iri atau rasa diabaikan. Biasanya orangtua yang masih berpikiran tradisional cenderung mempercayai mitos-mitos yang mengatakan bahwa anak laki-laki lebih membawa keberuntungan dan dapat diandalkan dibandingkan anak perempuan. Dengan adanya pemikiran seperti itu, banyak orangtua dalam keluarga etnis China yang lebih banyak memberikan perhatian lebih kepada anak laki-lakinya. Adanya perbedaan gender ini harus segera diatasi agar tidak adanya pihak yang merasa dirugikan ataupun dibatasi hak-haknya sehingga laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama. Ketidaksetaraan gender menyebabkan ketidakadilan sosial, di mana seharusnya keadilan merupakan hak semua orang tanpa memandang gender, status, dan latar belakang. Sejauh ini sudah mulai dilakukan upaya-upaya untuk menyetarakan gender tersebut, baik dilaksukan secara individu, kelompok, bahkan negara dan dalam lingkup lokal, nasional dan internasional. 2 Upaya tersebut diarahkan untuk mengatasi adanya, ketimpangan jenjang pendidikan, dimana pendidikan merupakan hak bagi setiap manusia, baik laki-laki dan perempuan. Namun pada kenyataannya, partisipasi perempuan dalam pendidikan makin menurun pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Anak-anak perempuan merupakan pihak yang paling rentan terhadap kecenderungan putus sekolah apabila keuangan keluarga tidak mencukupi. Hal tersebut disebabkan oleh suatu pandangan kultural yang mengutamakan anak laki-laki, baik sebagai 2 Siti Ruhaini Dzuhayatin, Demokratisasi dan Masalah Kesetaraan Gender, Monday 13 June 2005, http://www.komunitasdemokrasi.or.id/comments.php?id=p80_0_13_0_c, diakses pada 8 Maret 2012, pukul 19.05 14
penerus keluarga maupun sebagai mencari nafkah utama. Pandangan tersebut sangat merugikan perempuan dalam tingkat ekonomi menengah ke bawah di mana mereka juga harus memberikan kontribusi ekonomi keluarga. Akses pendidikan yang rendah sangat berpengaruh pada akses terhadap sumber-sumber produksi di mana mereka lebih banyak terkonsentrasi pada pekerjaan informal yang berupah rendah. Pola pendidikan paling awal adalah lingkup keluarga. Pada fase inilah perlakuan perbedaan gender dapat teramati, terutama melalui pola komunikasi dalam pengasuhan anak yang berbeda jenis kelamin. Berdasarkan paparan tersebut penelitian ini ingin membahas mengenai keterkaitan kebudayaan dengan pola komunikasi orangtua terhadap anak, khususnya pada etnis China Peranakan. Penulis berharap dengan melakukan penelitian ini dapat melihat pola komunikasi yang dilakukan orangtua terhadap anak laki-laki dan anak perempuan pada keluarga etnis China Peranakan, secara verbal, apakah orangtua yang tumbuh di budaya China / Tionghoa, akan mendidik dan berkomunikasi dengan anak-anak mereka berdasarkan dengan budaya yang mereka yakini dan Apakah orangtua akan memberikan perlakuan lebih terhadap anak laki-laki mereka atau sebaliknya. 1.2 Rumusan Masalah Setiap budaya pasti memiliki aturan dan cara berkomunikasi yang berbeda-beda. Hal tersebut juga berpengaruh terhadap cara orangtua mendidik dan berkomunikasi dengan anak-anak mereka, terutama dalam keluarga etnis China 15
Peranakan, yang memiliki kepercayaan bahwa anak laki-laki membawa keberuntungan. Pengaruh budaya inilah yang nantinya akan menciptakan sikap diskrminatif dalam pola asuh orangtua terhadap anak, terutama dalam berkomunikasi. Padahal apabila berbicara mengenai kesetaraan gender, kaum laki-laki dan kaum perempuan memiliki kesempatan yang sama. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka perumusan masalah dari penelitian ini adalah Bagaimana pola komunikasi orangtua terhadap anak, berbasis gender pada keluarga etnis China? 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : - Untuk mengetahui pola komunikasi yang diterapkan orangtua terhadap anak laki - laki dan anak perempuan mereka, dalam latar belakang budaya China - Untuk melihat bias gender dalam perbedaan perlakuan komunikasi antara laki-laki dan perempuan pada keluarga etnis China 1.4 Signifikansi Penelitian 1.4.1 Signifikansi Akademik Penulis berharap agar penelitian yang menggunakan teori Genderlect ini dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya, tidak hanya 16
terbatas pada keluarga etnis China, tetapi dapat dilakukan pada budaya lain. 1.4.2 Signifikansi Praktis Penulis berharap agar penelitian ini dapat memberikan masukan bagi para keluarga etnis China yang memiliki anak laki-laki dan anak perempuan bahwa dalam pola komunikasi yang berbeda secara gender karena latar belakang budaya, dapat diusahakan agar tidak ada pihak yang merasa diabaikan. 17