BAB I PENDAHULUAN. telah berlangsung sebelum legalitas hukum formal ditetapkan oleh pemerintah.

dokumen-dokumen yang mirip
HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) Oleh Agus Budhi Prasetyo

I. PENDAHULUAN. ekonomi dan sosial budaya. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang

TENTANG HUTAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN,

Oleh : Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Hutan Desa Oleh: Arief Tajalli dan Dwi P. Lestari. Serial: BADAN USAHA MILIK DESA (BUM Desa)

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 47 / KPTS-II / 1998 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 37/Menhut-II/2007 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN,

Kemitraan Kehutanan di Hutan Lindung Jawa Tengah

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 37/Menhut-II/2007 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN,

SERBA SERBI HUTAN DESA (HD)

Policy Brief. Skema Pendanaan Perhutanan Sosial FORUM INDONESIA UNTUK TRANSPARANSI ANGGARAN PROVINSI RIAU. Fitra Riau

TAMBANG DI KAWASAN HUTAN LINDUNG

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 82/KPTS-II/2001 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SUMATERA BARAT, SEBAGAI JANTUNG SUMATERA UNTUK PERLINDUNGAN HUTAN MELALUI SKEMA HUTAN NAGARI DAN HKM, DAN KAITANNYA DENGAN SKEMA PENDANAAN KARBON

LAND AVAILABILITY FOR FOOD ESTATE. Oleh : MENTERI KEHUTANAN RI ZULKIFLI HASAN, SE, MM

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA TAHUN 2001 NOMOR 79 SERI C NOMOR 4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 48 TAHUN 2001

NOMOR 6 TAHUN 1999 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI

BAB I PENDAHULUAN. bawah tanah. Definisi hutan menurut Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Sejak akhir tahun 1970-an, Indonesia mengandalkan hutan sebagai penopang

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN

BAB I PENDAHULUAN. itu merupakan suatu anugrah dari Tuhan Yang Maha Esa. Menurut UU RI No.

KONDISI KAWASAN HUTAN PROVINSI SUMATERA UTARA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN NOMOR : 859/Kpts-VI/1999 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN

Permasalahan hutan dan upaya penanganan oleh pemerintah

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 33/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PELEPASAN KAWASAN HUTAN PRODUKSI YANG DAPAT DIKONVERSI

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang

Oleh : Ketua Tim GNPSDA. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pontianak, 9 September 2015

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Letak geografis KPHL Batutegi terletak pada BT dan 5 5 -

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA TAHUN 2001 NOMOR 80 SERI C NOMOR 5 PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 49 TAHUN 2001

PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2004 TENTANG IZIN PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU LINTAS KABUPATEN/KOTA DI PROPINSI JAWA TENGAH

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN. Nomor : P.14/Menhut-II/2006 TENTANG PEDOMAN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.23/Menhut-II/2007 TENTANG

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMBANGUNAN

I. PENDAHULUAN. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 58/Menhut-II/2009. Tentang

BUPATI TANAH DATAR PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN BUPATI TANAH DATAR NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

Idham Arsyad Sekretaris Jendral Konsorsium Pembaruan Agraria

BUPATI KEPALA DAERAH TINGKAT II SINTANG

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan daerah setempat. Kebijakan pembangunan dalam GBHN dimaksudkan

PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS. NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Presiden Republik Indonesia,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

Keputusan Menteri Kehutanan No. 31 Tahun 2001 Tentang : Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan

BAB II. PERENCANAAN KINERJA

PERATURAN DAERAH PROPINSI LAMPUNG NOMOR 6 TAHUN 2001 TENTANG

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN NOMOR 677/KPTS-II/1998 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEHUTANAN. Dekonsentrasi. Pemerintah. Provinsi.

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional.hal ini disebabkan hutan itu bermanfaat bagi sebesar-besarnya

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan waktu pertumbuhan penduduk yang cepat. fungsi. Masalah pertanahan akan selalu timbul dari waktu ke waktu.

PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI

PERUBAHAN KEBIJAKAN DALAM PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN

I. PENDAHULUAN. Berdasarkan pasal 5 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,

BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA

Menimbang : Mengingat :

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 14 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN,

I. PENDAHULUAN. Kehutanan, 2008). Hutan Indonesia sebagai salah satu sub sektor pertanian

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUTAI,

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan dasar masyarakat seperti pangan, papan, obat-obatan dan pendapatan

KEBIJAKAN PELEPASAN KAWASAN HUTAN PRODUKSI YANG DAPAT DIKONVERSI UNTUK PEMBANGUNAN DILUAR KEGIATAN KEHUTANAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

PERANAN BALAI PEMANTAPAN KAWASAN HUTAN DALAM PEMBANGUNAN PLANOLOGI KEHUTANAN KATA PENGANTAR

NOMOR 18 TAHUN 1994 TENTANG PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM DI ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA, DAN TAMAN WISATA ALAM

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 7 TAHUN 1990 (7/1990) Tentang HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI

Menimbang : Mengingat :

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.14/Menhut-II/2006 TENTANG PEDOMAN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN,

KRITERIA DAN STANDAR IJIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU HUTAN TANAMAN PADA HUTAN PRODUKSI

PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 249/KPTS-II/1998 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG IRIGASI DI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 244/KPTS-II/2000 TENTANG

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

ISU ISU STRATEGIS KEHUTANAN. Oleh : Ir. Masyhud, MM (Kepala Pusat Humas Kemhut) Pada Orientasi Jurnalistik Kehutanan Jakarta, 14 Juni 2011

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya hutan tropis untuk kepentingan pertanian terkait dengan upayaupaya

REVITALISASI KEHUTANAN

I. PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan, menyebabkan permasalahan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1990 TENTANG HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI. Presiden Republik Indonesia,

BAB I PENDAHULUAN. memperbaiki berbagai aspek kehidupan masyarakat. Sebagai proses perubahan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 1990 TENTANG HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PERLINDUNGAN HUTAN

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG

PENDAHULUAN Latar Belakang

2011, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik I

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

PR MENTERI LKH: TUTUP CELAH KORUPSI MELALUI REVISI REGULASI SEKTOR KEHUTANAN

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Nomor : 677/Kpts-II/1998 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. kesempatan untuk tumbuhan mangrove beradaptasi (Noor dkk, 2006). Hutan

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

BUPATI BULUNGAN PERATURAN BUPATI BULUNGAN NOMOR 08 TAHUN 2006 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejarah pengelolaan hutan oleh masyarakat lokal Indonesia di beberapa tempat telah berlangsung sebelum legalitas hukum formal ditetapkan oleh pemerintah. Oleh karena itu berbagai klaim kepemilikanpun muncul yang menyebabkan konflik antara pemerintah dengan masyarakat, dan antara pemegang konsesi Hak Pengelolaan Hutan atau Hak Pengelolaan Hutan Tanaman Industri (HPH/HPHTI) dengan masyarakat. Untuk penyelesaian konflik tersebut, perlu pengaturan yang lebih adil dalam menetapkan siapa subyek dalam pengelolaan hutan agar pengelolaan berlangsung secara efektif. Faktor kesejahteraan merupakan salah satu faktor penting yang harus dipertimbangkan dalam pengelolaan hutan. Sesuai dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Tentunya hutan adalah termasuk kekayaan alam yang tekandung pada tanah Indonesia, sehingga segala jenis pengelolaan hutan diutamakan untuk digunakan sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat. Kebijakan yang digunakan untuk melegitimasi masyarakat hukum adat memanfaatkan hutan ialah Pasal 67 Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan. Pasal itu antara lain menetapkan masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak mengambil hasil hutan untuk kebutuhan hidup sehari-hari, berhak mengelola hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undangundang, dan berhak mendapatkan pemberdayaan untuk meningkatkan kesejahteraannya. Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menetapkan pengukuhan keberadaan dan penghapusan masyarakat hukum adat ditetapkan oleh perda. Pemerintah pusat akan mengatur hak-hak masyarakat hukum adat itu melalui peraturan pemerintah. Ketentuan di atas, disatu sisi membuka peluang bagi masyarakat hukum adat memungut hasil hutan. Disisi lain beberapa rumusan dalam ketentuan tersebut belum memberikan rasa keadilan dan ada ketidak jelasan. Tidak jelas hak antara pemungutan hasil hutan dengan pengelolaan dan pemanfaatan hasi hutan lengkap. Merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan, yang dimaksud dengan pemungutan hasil hutan adalah segala bentuk kegiatan mengambil hasil hutan berupa kayu dan atau bukan kayu dengan tidak merusak lingkungan dan tidak mengurangi fungsi pokok hutan. Ketentuan umum ini dijabarkan dalam Pasal 32 PP No. 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Pemanfaatan dan Penggunaan Kawasan Hutan yang juga menyatakan pemungutan hasil hutan kayu hanyalah untuk memenuhi kebutuhan hidup individu dan atau fasilitas umum penduduk sekitar dengan volume satu izin tidak boleh melebihi 20 meter kubik. 2

Sedang hasil hutan bukan kayu seperti rotan, manau, getah, buah-buahan dapat diperdagangkan dengan volume maksimal 20 ton setiap izin. Jadi hasil hutan kayu tidak untuk diperdagangkan. Hutan Indonesia mengalami kerusakan pada tingkat sangat mengkhawatirkan. Hutan Indonesia telah hilang dengan skala sekitar 30 juta ha dari tahun 1965 sampai tahun 1997, dan 5 juta ha dari tahun 1997 sampai tahun 2000 1. Luas kawasan hutan Indonesia tahun 2012 mencapai 130,61 juta ha. Kawasan tersebut diklasifikasi sesuai dengan fungsinya menjadi kawasan konservasi (21,17 juta ha), kawasan lindung (32,06 juta ha), kawasan produksi terbatas (22,82 juta ha), kawasan produksi (33,68 juta ha) dan kawasan produksi yang dapat dikonversi (20,88 juta ha). Luas kawasan hutan tersebut mencapai 68,6 % dari total luas daratan Indonesia sehingga menjadi salah satu potensi sumber daya alam yang rawan terjadi kerusakan karena kepentingan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Tingkat kerusakan hutan di Indonesia tahun 2012 mencapai 0,45 terbagi menjadi kerusakan kawasan hutan 0,32 dan di luar kawasan hutan 0,13 per tahun 2. Hutan di Provinsi Lampung pun tidak luput dari kerusakan. Berdasarkan data dari departemen kehutanan, pada tahun 2000 hutan Provinsi Lampung mencapai luas 1.004.735 ha. Dengan rincian hutan konservasi seluas 462.030 ha, Hutan Lindung seluas 317.615 ha, dan hutan produksi seluas 450.180 ha. Dan dengan laju pengurangan hutan (deforestasi) berdasarkan hasil perbandingan dari peta 1 Jatna Supriyatna, Melestarikan Alam Indonesia, Yayasan Obor Indonesia: Jakarta, 2008, hlm. 62. 2 Naskah Pidato Presiden TENTANG Hutan Dan Ketahanan Energi Berbasis Bahan Bakar Nabati Di Depan Sidang Bersama Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Jakarta, 16 Maret 2014 3

Penutupan lahan RePProT tahun 1985 dan peta penutupan lahan hasil penafsiran citra tahun 1997 Pusat Data dan Perpetaan Badan Planologi diperoleh hasil bahwa selama periode waktu 13 tahun telah terjadi perubahan penutupan lahan hutan dengan rata-rata pertahun mencapai sekitar 23.873 Ha/tahun. 3 Kerusakan hutan yang terjadi hampir dipastikan 70 sampai dengan 80 persen merupakan akibat perbuatan manusia. Oleh karens itu, dalam PP No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan telah mengatur mengenai manusia sebagai salah satu penyebab terjadinya kerusakan hutan. Dijelaskan dalam Pasal 7 PP NO. 45 Tahun 2004 tersebut dinyatakan bahwa, untuk mencegah, membatasi, dan mempertahankan serta menjaga hutan dari kerusakan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, pemerintah, dan pemerintah daerah dan masyarakat harus melakukan tindakan: (a) sosialisasi dan penyuluhan peraturan perundangundangan di bidang kehutanan; (b) melakukan inventarisasi permasalahan; (c) mendorong peningkatan produktivitas masyarakat; (d) memfasilitasi terbentuknya kelembagaan masyarakat; (e) meningkatkan peran serta masyarakat dalam kegiatan pengelolaan hutan; (f) melakukan kerja sama dengan pemegang hak atau pemegang izin; (g) meningkatkan efektifitas koordinasi kegiatan perlindungan hutan; (h) mendorong terciptanya alternative mata pencaharian masyarakat; (i) meningkatkan efektivitas pelaporan terjadinya gangguan keamanan hutan; (j) mengambil tindakan pertama yang diperlukan terhadap gangguan keamanan hutan; atau (k) mengenakan sanksi terhadap pelanggaran hukum. 4 Untuk mewujudkan hal tersebut, salah satu caranya adalah dengan melaksanakan 3 http://www.dephut.go.id/halaman/pdf/infprop/inf-lamp.pdf diakses pada 15 Juni 2014 pukul 12.39 WIB. 4 Supriadi, Hukum Kehutanan dan Hukum Perkebunan di Indonesia, Sinar Grafika: Jakarta, 2010, hlm. 387. 4

program Hutan Kemasyarakatan (HKm). HKm adalah suatu bentuk pengusahaan lahan yang ditanami berbagai jenis tanaman (pangan, obat, perkebunan, kehutanan), baik di dalam kawasan hutan maupun luar hutan untuk mendukung fungsi hutan sekaligus mendukung kepentingan masyarakat tanpa mengurangi fungsi hutan itu sendiri. 5 Provinsi Lampung merupakan wilayah pionir dalam pengelolaan hutan melalui pola HKm. HKm sejak 2007 sebagai solusi mengatasi kerusakan dan perambahan hutan yang cukup tinggi 6. Dibeberapa lokasi di Lampung, contoh-contoh penyelenggaraan HKm menunjukkan bahwa pola HKm berkembang secara baik serta dapat diterima dan dilakukan baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Kini Provinsi Lampung kembali mendapatkan penetapan areal kerja HKm melalui SK dengan No. SK.761/Menhut-II/2013 tertanggal 1 November 2013. Dasar hukum penyelenggaraan HKm adalah Permenhut No. P.37/Menhut-II/2007 jo. P.52/Menhut-II/2011. Sementara jangka waktu perizinan pengelolaan HKm 35 tahun. Realisasi areal kerja HKm sampai November 2013 sudah seluas 63.999 ha. Dengan rincian pada Kabupaten Tanggamus seluas 27.965 ha, Kabupaten Lampung Barat seluas 8.460 ha, Kabupaten Lampung Utara seluas 6.155 ha, Kabupaten Lampung Tengah seluas 13.088 ha, Kabupaten Waykanan seluas 7.411 ha, dan Kabupaten Lampung Timur seluas 920 ha. 7 Melihat data luas pemberian penetapan areal kerja di atas, terlihat bahwa pembagiannya sangat tidak merata di tiap-tiap kabupaten. Kabupaten yang 5 Arief Arifin, Hutan dan Kehutanan. Kanisius: Yogyakarta, 2001. hlm. 154. 6 http://www.lampungprov.go.id/92000-hektare-jadi-hutan-kemasyarakatan-lampung.html di akses pada 16 september 2014 pukul 21.56 WIB 7 Harian Lampung Post edisi Jum at, 25 April 2014 5

mendapatkan sedikit penetapan areal kerja HKm bisa saja diakibatkan karena sedikitnya masyarakat yang memohonkan penetapan areal kerja di kabupaten tersebut. Akan tetapi yang menjadi masalah adalah penetapan areal kerja HKm tersebut bukan hanya bisa diberikan ketika ada permohonan dari masyarakat setempat, melainkan pemerintah juga bisa memberikannya dengan mempertimbangkan kritisnya hutan lindung yang ada di wilayah tersebut. Hal tersebut sepertinya tidak diterapkan oleh pemerintah. Ini terlihat pada kondisi hutan lindung yang diberikan penetapan areal kerja HKm. Karena banyak sekali hutan lindung yang lebih kritis kondisinya daripada Kawasan Register 22 Way Waya di Lampung Tengah ternyata tidak diberikan penetapan areal kerja HKm. Seperti contoh Kawasan Register 38 Gunung Balak di Lampung Timur, bahkan kini kondisi Register 38 yang ada di Lampung Timur tersebut yang luasnya 22.292,5 hektar itu, kini hanya tinggal 4.458,5 hektar, atau hanya tinggal 20% dari luas sebenarnya. "Sekitar 40% atau seluas 8.917 hektar menjadi areal pemukiman dan 40% atau 8.917 hektar menjadi areal perkebunan palawija, seperti Singkong dan Jagung. 8 Ini adalah salah satu alasan kenapa karya ilmiah ini dibuat, yakni untuk mengetahui pertimbangan pemerintah dalam menetapkan areal kerja HKm. Terkait terhadap pelaksanaan HKm, para pengelola HKm sering melakukan pelanggaran seperti penanaman jenis tanaman yang dilarang. Contohnya tanaman palawija yang seharusnya tidak boleh ditanam pada areal HKm, namun masih banyak yang menanamnya. Dan yang paling parah adalah melakukan peluasan lahan hingga menerobos batas areal kerja HKm. Sehingga, fungsi utama dari 8 http://lampost.co/berita/hutan-register-38-tinggal-20-persen di akses pada tanggal 12 Desember 2014 pukul 16.40 WIB 6

penyelenggaran HKm yakni mengurangi perusakan hutan akibat aktivitas manusia tidak tercapai. Justru izin HKm tersebut dijadikan alasan untuk dapat merambah hutan lebih dalam. Dengan begitu, sangat diperlukannya pengawasan terhadap penyelenggaraan HKm agar tujuan dari program ini bisa tercapai. Dari uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih jauh mengenai penyelenggaraan hutan kemasyarakatan di Provinsi Lampung terkait dengan permasalahan-permasalahan yang timbul dari pelaksanaannya dengan bentuk analisis yang penulis tuangkan dalam bentuk skripsi dengan judul: Kebijakan Mengenai Penetapan Areal Kerja Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan Di Provinsi Lampung. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian yang terdapat dalam latar belakang, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah: a. Apa dasar pertimbangan penetapan areal kerja hutan kemasyarakatan di Provinsi Lampung? b. Bagaimana pengawasan terhadap pelaksanaan penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan di Provinsi Lampung? 1.3. Ruang Lingkup Mengingat luasnya kajian ilmu hukum, maka penulis membatasi ruang lingkup penelitian pada bidang Hukum Administrasi Negara pada umumnya, yaitu melihat dari literatur-literatur, undang-undang yang terkait dalam pokok pembahasan ini, serta pendapat-pendapat dari para ahli mengenai pokok pembahasan ini. 7

1.4. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah dan pokok bahasan di atas, maka tujuan dalam penelitian ini adalah: a. Untuk mengetahui secara jelas terkait dasar pertimbangan penetapan areal kerja pelaksanaan hutan kemasyarakatan di Provinsi Lampung. b. Untuk mengetahui pengawasan yang dilakukan terhadap pelaksanaan HKm guna menjaga kelestarian hutan disekitar areal kerja HKm di Provinsi Lampung. 1.5. Kegunaan Penelitian a. Kegunaan Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap pendidikan hukum, khususnya dalam hukum lingkungan. Lebih spesifiknya terhadap pelestarian dan pencegahan perusakan hutan melalui pelaksanaan system HKm. Sehingga bisa menjadi pedoman untuk mengidentifikasi permasalahan yang terjadi terhadap pelaksanaan HKm. b. Kegunaan Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat yang berada di sekitar kawasan hutan yang termasuk dalam areal kerja pelaksanaan hutan kemasyarakatan terhadap hal-hal yang diperbolehkan dan yang dilarang demi menjaga hutan Lampung tetap lestari. Dan penelitian ini juga merupakan syarat dalam menyelesaikan pendidikan sarjana yang merupakan kebutuhan peneliti. 8