LUMAKSONO GITO KUSUMO PENAL REFORM DAN UNIFIKASI HUKUM PIDANA MATERIIL 0
PENAL REFORM DAN UNIFIKASI HUKUM PIDANA MATERIIL Oleh: Lumaksono Gito Kusumo Copyright 2011 by Lumaksono G.K. Penerbit Nulis Buku (NB) PRess www.nulisbuku.com Desain Sampul: Siska Andriani Diterbitkan melalui: www.nulisbuku.com 1
Ucapan Terimakasih: Kepada Nulisbuku.com Terimakasih Banyak.. Kau Membuat kami Para PenuLis JaLanan Menjadi Semangat untuk Berkarya. Sembah Sujudku pada Allah SWT, yang selalu mencurahkan rahmat serta hidayah-nya kepadaku dan yang selalu mengiringi setiap langkahku dengan kebesaran-nya. Nabi Muhammad SAW sang pembimbing umat Hormat dan Baktiku Kepada Ayahanda Sumarsono dan Ibunda Ninuk Hariani Kakak-kakakku yang tersayang (Mbak Dian, Mas Putut, Mbak Indah, Mas Gatot) serta Keponakanku tercinta Tata dan Radit Dan Semua keluarga besarku khususnya Pak Dib yang menjadi teladanku Kepada ICEL (Indonesian Center For Environmental Law) Saya Bangga bisa menjadi KeLuarga Besar ICEL. terimakasih. Dan terakhir untuk Siska Andriani yang setia menemaniku dikala suka maupun duka. Yakin Usaha Sampai...!!! Jakarta, Februari 2011 Penulis 2
DAFTAR ISI I. Pendahuluan. 7 II. Kajian Umum Mengenai Politik Hukum Dan Penal Policy (Kebijakan Hukum Pidana).. 17 1) Pengertian Politik Hukum. 17 2) Politik Hukum Sebagai Ilmu. 18 3) Sifat Politik Hukum... 21 4) Pengertian Dan Ruang Lingkup Kebijakan. 23 5) Hukum Pidana. 26 III. Kajian Umum Tentang Upaya Paksa.. 29 IV. Kajian Umum Tentang Asas Equality Before The Law 31 V. Kajian Umum Tentang Negara Hukum... 34 VI. Pengertian dan Ruang Lingkup Negara Hukum.. 38 Tipe-Tipe Negara Hukum.. 41 VII. Kajian Umum Tentang Uji Materiil (Judicial Review). 46 1) Sejarah Terbentuknya Mahkamah Konstitusi dan Pengertian Uji Materiil (Judicial Review). 46 2) Pengujian Konstitusional.. 49 3) Pemohon.. 52 3
VIII. Penal Policy (Kebijakan Hukum Pidana) Tentang Tata Cara Dan Atau Persyaratan Upaya Paksa Dalam Hukum Positif (Ius Constitutum) di Indonesia 56 1) Tata Cara Dan Atau Persyaratan Upaya Paksa Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana a) Penangkapan... 57 b) Penahanan. 61 c) Penggeledahan... 63 d) Penyitaan... 68 2) Tata Cara Dan Atau Persyaratan Upaya Paksa Di Luar Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) atau Terhadap Beberapa Pejabat Tertentu... 79 a) Penangkapan dan Penahanan Terhadap Anggota Badan Legislatif.. 79 b) Penangkapan dan Penahanan Terhadap Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah.. 81 c) Penangkapan dan Penahanan Terhadap Pimpinan Mahkamah Agung serta Hakim Agung.. 83 d) Penangkapan dan Penahanan Terhadap Jaksa... 84 e) Penangkapan dan Penahanan Terhadap Pimpinan dan Hakim Pengadilan 86 4
f) Penangkapan dan Penahanan Terhadap Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).86 g) Penangkapan dan Penahanan Terhadap Pimpinan dan Anggota Komisi Yudisial... 88 h) Penangkapan dan Penahanan Dalam Perkara Tindak Pidana Terorism.. 89 XI. Permasalahan Yang Timbul Dari Penal Policy (Kebijaksanaan Hukum Pidana Tentang Tata Cara Dan Atau Persyaratan Upaya Paksa Dalam Hukum Positif (Ius Constitutum) Di Indonesia. 91 a) Bertentangan Dengan Asas Equality Before The Law... 91 b) Susunan Redaksinya Terasa Berlebihan dan Membingungkan (Kabur).. 96 X. Alternatif Solusi Yang Dapat Digunakan Untuk Menyelesaikan Permasalahan Yang Timbul Dari Penal Policy (Kebijaksanaan Hukum Pidana Tentang Tata Cara Dan Atau Persyaratan Upaya Paksa Dalam Hukum Positif (Ius Constitutum)Di Indonesia 101 5
a) Pembaharuan Hukum Pidana (Penal Reform)... 101 b) Uji Materiil (Judicial Review) Ketentuan Tentang Tata Cara Dan Atau Persyaratan Upaya Paksa Terhadap Beberapa Pejabat Tertentu 113 Kesimpulan... 113 Saran... 114 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN 6
Pendahuluan Pada tanggal 31 Desember 1981 Pemerintah menetapkan Hukum Acara Pidana yang diberi nama Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau terkenal dengan singkatan KUHAP yang mengatur mengenai tata cara dan persyaratan untuk melakukan tindakan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan, sebagaimana kita ketahui bahwa KUHAP dibuat untuk menggantikan Hukum Acara Pidana warisan pemerintah kolonial yang terkenal dengan nama Het Herziene Inlandsch Reglement atau disingkat dengan HIR. KUHAP merupakan Hukum Pidana Formil yaitu sejumlah peraturan tentang tata cara negara mempergunakan haknya untuk melaksanakan pidana. 1 Dan Hukum Pidana Materiilnya adalah Kitab Undang- Undang Hukum Pidana atau disingkat dengan KUHP hlm: 2. 1 Masruchin Ruba I, 2001, Asas-asas Hukum Pidana, Malang, UM Press, 7
yang berisikan peraturan-peraturan tentang perbuatan yang diancam pidana, pertanggunganjawab dalam hukum pidana dan hukum penitensier yaitu jenis pidana yang dapat dijatuhkan kepada orang yang melanggar ketentuan hukum pidana. 2 Sedangkan hukum pidana sendiri dapat digolongkan menjadi beberapa macam yaitu Ius commune (hukum pidana umum) dan Ius speciale (hukum pidana khusus), hukum pidana yang dikodifikasikan dan hukum pidana yang tidak dikodifikasikan, hukum pidana umum dan hukum pidana lokal, hukum pidana tertulis dan hukum pidana tidak tertulis. Dari macam-macam hukum pidana yang telah disebutkan diatas dapat kita ketahui bahwa dalam kenyataannya berlaku peraturan perundang-undangan di luar KUHP dan KUHAP yang mengatur tentang hukum pidana atau lebih kita kenal dengan hukum pidana yang tidak dikodifikasikan. Hal tersebut sangat erat kaitannya dengan kedudukan hukum pidana bersifat menunjang penegakan norma yang berada di bidang hukum lain. Hukum pidana dalam hal ini digunakan sebagai sarana untuk meningkatkan rasa tanggungjawab negara dalam rangka mengelola 2 Ibid. 8
kehidupan masyarakat modern yang semakin kompleks. Sanksi pidana antara lain digunakan secara maksimal untuk mendukung norma hukum administratif dalam berbagai bidang, hal inilah yang dinamakan administrative penal law. 3 Peraturan perundang-undangan diluar KUHP dan KUHAP yang mengatur tentang hukum pidana (hukum pidana formil dan hukum pidana materiil), pada dasarnya ditujukan demi tercapai tujuan hukum. Mengingat hukum pidana dikenal sebagai ultimum remedium (obat terakhir), yaitu hukum pidana baru digunakan apabila upaya-upaya pada bidang hukum lain tidak mampu atau dianggap tidak mempan. Oleh karena itu, adanya hukum pidana yang tersebar di luar KUHP baik hukum pidana sebagai administrative penal law maupun hukum pidana digunakan sebagai ultimum remedium (obat terakhir) ialah merupakan fenomena yang sedang terjadi pada hukum pidana di negara kita. Akan tetapi yang harus menjadi perhatian kita disini adalah ketika hukum pidana sebagai administrative penal law maupun hukum pidana digunakan sebagai ultimum remedium (obat terakhir) karena sanksi hukum pidana paling tajam. Dan kita 3 Tongat, 2009, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan, UMM Press, Malang, hlm: 23 9
ketahui bahwa sanksi dalam hukum pidana ialah termasuk dalam hukum pidana materiil. Sehingga timbul pertanyaan disini, yaitu tentang dasar dan atau landasan dari berlakunya hukum acara pidana yang tersebar di luar KUHAP (hukum pidana formil). Berbicara mengenai adanya hukum acara pidana yang tersebar di luar KUHAP, bukan hanya dasar dan landasan berlakunya yang kita pertanyakan. Akan tetapi juga apakah peraturan tersebut tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 atau KUHAP itu sendiri. Selain itu berdasarkan fakta-fakta hukum yang ada, terkait dengan berlakunya beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang masalah hukum acara pidana khususnya mengatur tentang tata cara dan atau persyaratan upaya paksa yang diberlakukan secara khusus untuk para pejabat tertentu salah satunya ialah Undang- Undang Republik Indonesia No.22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial, pada pasal 10 mengatur tentang tata cara penangkapan dan penahanan terhadap Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Komisi Yudisial. Keberadaan dari adanya peraturan tentang tata cara dan atau persyaratan upaya paksa yang 10
diberlakukannya secara khusus untuk para pejabat tertentu. Hal tersebut sama sekali tidak mencerminkan fungsi hukum pidana yaitu berfungsi mengatur hidup kemasyarakatan atau menyelenggarakan ketertiban dalam masyarakat sebagai fungi umumnya dan fungsi khususnya yaitu melindungi kepentingan hukum terhadap peraturan yang memperkosanya dengan sanksi yang berupa pidana yang sifatnya lebih tajam jika dibandingkan dengan sanksi yang terdapat pada cabang-cabang hukum lainnya. 4 Dan sangat ironis sekali ketika keberadaan peraturan tersebut malah cenderung melegalkan adanya difersifikasi terhadap tata cara dan atau persyaratan upaya paksa. Difersifikasi terhadap tata cara dan atau persyaratan upaya paksa seperti dijelaskan di atas, sangat bertentangan dengan asas-asas penting yang terdapat dalam hukum acara pidana. Tepatnya yaitu asas Semua Orang Diperlakukan Sama di Depan Hakim, sebagaimana dijelaskan di KUHAP dalam penjelasan umum butir 3a. Dan asas yang umum dianut di negara-negara yang berdasarkan hukum ini tegas tercantum pula dalam Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman Pasal 5 ayat (1) yang berbunyi: 4 Sudarto, 1986, Hukum dan Hukum Pidana. Bandung, ALUMNI, hlm: 9. 11
Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. Oleh karena itu sering dipakai bahasa Sanskerta tan hana dharma manrua yang dijadikan moto Persaja (Persatuan Jaksa). 5 Selain itu, dari uraian mengenai tindakan hukum berupa adanya difersifikasi terhadap tata cara dan atau persyaratan upaya paksa sebagaimana dikemukakan diatas diketahui bahwa hal tersebut bertentangan dengan pasal 27 ayat (1) UUD 1945 dan masih dipertegas lagi dengan pasal 28 D ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, penjaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum (equality before the law). Sekali lagi bahwa adanya difersifikasi terhadap tata cara dan atau persyaratan upaya paksa tersebut telah menimbulkan banyak masalah, mulai dari bertentangan dengan UUD 1945 sampai dengan tidak mewujudkan cita-cita dan fungsi hukum pidana itu sendiri. Dan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang ditimbulkan dari adanya difersifikasi tersebut, diperlukan kajian yuridis terkait dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah itu. Grafika, hlm: 19. 5 Andi Hamzah, 2001, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, Sinar 12
Mengingat negara kita adalah negara hukum (rechtsstaat) bukan negara yang berdasarkan kekuasaan belaka (machtstaat). Sehingga diharapkan adanya alternatif solusi yang dapat menyelesaikan masalah tersebut. Dalam hal untuk lebih menjamin kepastian hukum, selain asas legalitas dalam hukum pidana juga diperlukan adanya sebuah unifikasi terhadap hukum yang mengatur masalah pidana khususnya hukum acara pidana. Sehingga disini dirasa perlu untuk mengkaji ulang peraturan perundang-undangan di luar KUHAP yang mengatur tentang tata cara dan atau persyaratan upaya paksa. Tentunya dengan mekanisme yang sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Dan sekedar informasi bahwa dengan ditetapkanya Undang-Undang No.23 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Konstitusi, di Indonesia dikenal adanya uji materil Undang-Undang terhadap Undang- Undang Dasar 1945 atau sering disebut dengan Judicial Review. Dimana mekanisme uji materiil ini dapat menjaga tata hukum negara Indonesia dengan sistem hukumnya Civil Law System (peraturan tertulis merupakan sumber hukum utama), dalam hal ini dapat menjadi alternatif solusi penyelesaian masalah yang 13
ditimbulkan dari adanya difersifikasi terhadap tata cara dan atau persyaratan upaya paksa. Untuk mendapatkan solusi yang tepat dari permasalahan di atas, tentunya dibutuhkan pembahasan yang lebih dalam lagi dan melakukan analisa tidak hanya melihat dari satu sisi saja melainkan secara komprehensif. Oleh karena itu, penulis disini tertarik untuk melakukan kajian terhadap permasalahan tersebut. Dengan harapan terwujudnya asas equality before the law, yaitu adanya pengakuan, penjaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis merasa perlu dan harus untuk melakukan kajian terhadap permasalahan tersebut. Mengingat banyaknya permasalahan hukum yang menjadi catatan hitam dalam dunia peradilan di negara kita. Dan hal ini merupakan tanggung jawab dari penulis sebagai seorang calon Jurist dan generasi penerus bangsa (agent of change) untuk mengawal segala bentuk kebijakan Pemerintah di bidang Hukum. Agar tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta adanya keberpihakkan terhadap 14
rakyat. Dalam hal ini tidak membedakan perlakuan hukum antara pejabat dengan rakyat biasa. 15