BAB I PENDAHULUAN. rakyat dan memperhatikan kelestarian lingkungan hidup sekitar.

dokumen-dokumen yang mirip
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGASEM NOMOR 13 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN BATUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009

GUBERNUR BALI PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 4 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL BUKAN LOGAM DAN BATUAN

BAB I PENDAHULUAN. bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh negara

Pertambangan adalah salah satu jenis kegiatan yang melakukan ekstraksi mineral dan bahan tambang lainnya dari dalam bumi.

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG

BERITA NEGARA. KEMEN-ESDM. Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. PPM. PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOLAKA UTARA TENTANG REKLAMASI DAN PASCA TAMBANG

NOMOR 11 TAHUN 2OO9 TENTANG

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 108/PUU-XII/2014 Kontrak Karya. I. PEMOHON PT. Pukuafu Indah, diwakili oleh Dr. Nunik Elizabeth Merukh, MBA.

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TEGAL

BUPATI SAMBAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJAR NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SELATAN NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

BUPATI PENAJAM PASER UTARA PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN BUPATI PENAJAM PASER UTARA NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

FAKULTAS HUKUM, UNIVERSITAS SRIWIJAYA

PERATURAN BUPATI TANAH LAUT NOMOR 33 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA PENJUALAN DAN/ATAU RENCANA PENGIRIMAN HASIL TAMBANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 81/PUU-XIII/2015 Ijin Usaha Pertambangan Operasi Produksi

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 2 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KOTA SAWAHLUNTO NOMOR 6 TAHUN 2011 T E N T A N G PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATU BARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok

BERITA NEGARA. KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL. Izin Khusus. Pertambangan. Mineral Batu Bara. Tata Cara.

PEMERINTAH KABUPATEN MUARA ENIM

PERUBAHAN UNDANG-UNDANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA: Upaya Untuk Menata Kembali Pengelolaan Sumber Daya Alam Indonesia Oleh: Zaqiu Rahman *

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010

BAB I PENGANTAR. ekonomi tinggi. Penggalian terhadap sumber-sumber kekayaan alam berupa

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 70/PUU-XII/2014 Kewenangan Pengelolaan Hutan oleh Pemerintah Pusat

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

LEMBARAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG REKLAMASI LAHAN PASCA TAMBANG BATUBARA DI KALIMANTAN SELATAN

PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BEKASI NOMOR : 2 TAHUN 2013 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN UMUM

PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

WILAYAH PERTAMBANGAN DALAM TATA RUANG NASIONAL. Oleh : Bambang Pardiarto Kelompok Program Penelitian Mineral, Pusat Sumberdaya Geologi, Badan Geologi

BUPATI KEPULAUAN SELAYAR

- 3 - Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 81/PUU-XIII/2015 Ijin Usaha Pertambangan Operasi Produksi

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG PERIZINAN USAHA PERTAMBANGAN BATUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

BAB I PENDAHULUAN. hewan tumbuan dan organisme lain namun juga mencangkup komponen abiotik

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : TENTANG PENINGKATAN NILAI TAMBAH BATUBARA MELALUI KEGIATAN PENGOLAHAN BATUBARA

LEMBARAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BURU NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia, yang

BERITA NEGARA. KEMEN-ESDM. Evaluasi. Penerbitan. Izin Usaha Pertambangan. PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 12/PUU-XVI/2018 Privatisasi BUMN menyebabkan perubahan kepemilikan perseroan dan PHK

BUPATI JEPARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN JEPARA

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 31 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL LOGAM BESI GUBERNUR JAWA BARAT

UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA [LN 2009/4, TLN 4959]

RANCANGAN UNDANG-UNDANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

WALIKOTA KENDARI PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI

DAMPAK PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 25/PUU-VIII/2010 DI BIDANG PERIZINAN PERTAMBANGAN TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI

b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud butir air di atas, perlu ditetapkan dalam Peraturan Daerah;

BUPATI BANDUNG BARAT

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSII JAWA TENGH NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI BOYOLALI PROVINSI JAWA TENGAH

BACKGROUND PAPER ANALISIS KPPU TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KAJIAN POLITIK HUKUM TENTANG PERUBAHAN KEWENANGAN PEMBERIAN IZIN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR : 08 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1646); 3.

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 70/PUU-XII/2014 Kewenangan Pengelolaan Hutan oleh Pemerintah Pusat

BUPATI GARUT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KERINCI TAHUN 2012 NOMOR 20 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KERINCI NOMOR 20 TAHUN 2012 BUPATI KERINCI,

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG

NCA N LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG

GUBERNUR SULAWESI BARAT PERATURAN GUBERNUR SULAWESI BARAT NOMOR 38 TAHUN 2014 TENTANG PERIZINAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL, BATUBARA DAN BATUAN

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 51/PUU-XI/2013 Tentang Kewenangan KPU Dalam Menetapkan Partai Politik Peserta Pemilu

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 31 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DI PROVINSI JAWA TENGAH

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. kerja dan pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri. 1 Oleh karena itu, pencaharian bertani dan berkebun, 2

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 80/PUU-XII/2014 Ketiadaan Pengembalian Bea Masuk Akibat Adanya Gugatan Perdata

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 58/PUU-VI/2008 Tentang Privatisasi BUMN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KETAPANG NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PERTAMBANGAN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KETAPANG,

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

BAB I PENDAHULUAN. meliputi emas, perak, tembaga, minyak dan gas bumi, batu bara, bijih besi, dan

Apabila ada tanggapan terhadap draft ini mohon dikirimkan ke:

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 7 Tahun : 2013

BUPATI TANAH LAUT PERATURAN BUPATI TANAH LAUT NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN REKLAMASI DAN JAMINAN PASCA TAMBANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2010 TENTANG REKLAMASI DAN PASCATAMBANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PERTAMBANGAN WILAYAH LAUT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2010 TENTANG REKLAMASI DAN PASCATAMBANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan sumber daya alam. Kekayaan sumber daya alam merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa, yang sudah sepatutnya dijaga dan dilestarikan. Sumber daya alam merupakan salah satu modal dasar dalam pembangunan ekonomi nasional, oleh karena itu harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat dan memperhatikan kelestarian lingkungan hidup sekitar. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) ditentukan bahwa bumi, dan air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Berkenaan dengan makna dari kalimat dikuasai oleh negara, Sutedi (2011:24) berpendapat bahwa negara berdaulat atas kekayaan sumber daya alam, tetapi tujuan akhir dari pengelolaan kekayaan alam adalah sebesarbesarnya untuk kemakmuran rakyat. Salah satu kekayaan alam yang dimiliki oleh Indonesia adalah berupa sumber daya bahan tambang mineral dan batubara. Pertambangan mineral dan batubara diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Negara mempunyai peran yang penting dalam bidang pertambangan. Secara ketatanegaraan, bentuk keterlibatan negara dalam pengelolaan sumber daya mineral ada tiga, yakni pengaturan (regulasi), pengusahaan (mengurus) dan pengawasan (Sutedi, 2011:25). Aspek pengaturan merupakan hak mutlak 1

2 negara yang tidak boleh diserahkan kepada swasta dan merupakan aspek yang paling utama diperankan negara di antara aspek lainnya. Supramono (2012:43) menyebutkan bahwa, di bidang pertambangan pemerintah/negara berkedudukan sebagai pihak yang menguasai, karena pertambangan merupakan kekayaan alam yang menguasai hajat hidup orang banyak. Salim (2013:5) berpendapat: Meskipun pemerintah/negara berkedudukan sebagai pihak yang menguasai sumber daya alam tambang, tetapi pemerintah/negara tidak mampu melakukan usaha pertambangan itu sendiri. Untuk dapat melaksanakan kegiatan itu, pemerintah memberikan wewenang kepada pihak lainnya untuk melakukan usaha pertambangan atas sumber daya alam tambang. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang menggantikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan diharapkan dapat memberikan dampak terhadap pembangunan ekonomi di Indonesia. Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara juga diharapkan akan menciptakan iklim industri yang lebih kondusif dan memulihkan kepercayaan publik terhadap investasi pertambangan Indonesia (Sutedi, 2011:104). Kegiatan untuk melakukan usaha pertambangan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara adalah melalui sistem perizinan, yaitu Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Selain IUP dan IUPK, terdapat juga Izin Pertambangan Rakyat (IPR). Ketentuan mengenai Kuasa Pertambangan (KP), Kontrak Karya (KK), dan Perjanjian

3 Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok Pertambangan tidak dipergunakan lagi. Ketentuan bagi perusahaan pertambangan yang menggunakan sistem perjanjian/kontrak sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, diatur dalam ketentuan peralihan Pasal 169 huruf (a), (b), dan (c) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yaitu sebagai berikut: a. Kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara yang telah ada sebelum berlakunya undang-undang ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian b. Ketentuan yang tercantum dalam pasal kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara sebagaimana dimaksud pada huruf a disesuaikan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak undang-undang ini diundangkan kecuali mengenai penerimaan negara. c. Pengecualian terhadap penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada huruf b adalah upaya peningkatan penerimaan negara. Dalam Perkembangan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara adalah, adanya gugatan yang diajukan kepada Mahkamah Konsitusi (MK), oleh para pengusaha tambang terhadap salah satu pasal mengenai perizinan yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Hal ini kemudian dipertegas dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan gugatan tersebut, dan menyatakan tidak sah terhadap salah satu pasal mengenai perizinan. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 juncto Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24

4 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang mengatur bahwa, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang- Undang Dasar, memutus Sengketa Kewenangan Lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus Pembubaran Partai Politik dan Memutus Perselisihan tentang Hasil Pemilihan Umum. Putusan Mahkamah konstitusi yang menyatakan tidak sah terhadap salah satu pasal mengenai perizinan tersebut adalah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-VIII/2010. Putusan tersebut dikeluarkan berdasarkan permohonan uji materi yang diajukan oleh pengusaha tambang Fatriansyah Karya dan Fahrizan dalam hal ini sebagai pemohon. Para Pemohon mendalilkan Pasal 22 huruf f, Pasal 52 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2), dan Pasal 33 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945. Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 yang menentukan bahwa Pemegang IUP Eksplorasi mineral logam diberi WIUP dengan luas paling sedikit 5.000 (lima ribu) hektare dan paling banyak 100.000 (seratus ribu) hektare. Dalam pokok permohonan para pemohon menegaskan bahwa ketentuan pasal tersebut secara terselubung telah menghalang-halangi dan menjegal pengusaha menengah/kecil untuk mendapatkan IUP dengan mengatasnamakan hukum, karena persyaratan luas minimal Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) eksplorasi tersebut tidak mungkin mampu

5 dipenuhi oleh perusahaan kecil/menengah. Luas WIUP seluas 5.000 (lima ribu) hektar menurut Pemohon telah membatasi hak orang lain yang tidak memiliki cukup modal untuk berusaha di bidang pertambangan. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 25/PUU-VIII/2010, dalam amar putusannnya menyatakan bahwa: 1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya; 2. Pasal 22 huruf e sepanjang frasa dan/atau dan Pasal 22 huruf f Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 3. Pasal 22 huruf e sepanjang frasa dan/atau dan Pasal 22 huruf f Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 4. Pasal 52 ayat (1) sepanjang frasa dengan luas paling sedikit 5.000 (lima ribu) hektare dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 5. Pasal 52 ayat (1) sepanjang frasa dengan luas paling sedikit 5.000 (lima ribu) hektare dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 6. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Dalam bagian konsideran menimbang huruf (b) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara ditentukan bahwa: kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara yang merupakan kegiatan usaha pertambangan di luar panas bumi, minyak dan gas

6 bumi serta air tanah mempunyai peranan penting dalam memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional dan pembangunan daerah secara berkelanjutan. Berdasarkan penjelasan bagian konsideran tersebut dapat dinilai bahwa yang ditekankan oleh pemerintah adalah bukan untuk menciptakan pembangunan ekonomi tetapi untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi nasional. Seperti yang diketahui bahwa dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara masih terdapat pasal-pasal yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, sehingga yang dibutuhkan tidak saja melalui pertumbuhan ekonomi tetapi juga mementingkan pembangunan ekonomi yang merata bagi seluruh masyarakat Indonesia. Adisasmita (2013:4) berpendapat bahwa: Teori pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai upaya peningkatan kapasitas produksi untuk mencapai penambahan output, yang diukur menggunakan Produk Domestik Bruto (PDB) untuk tingkat nasional dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) untuk tingkat regional. Pembangunan ekonomi (Economic Develpoment) lebih luas dari pertumbuhan ekonomi (Economic Growth), meliputi beberapa aspek seperti modernisasi kelembagaan, karena kelembagaan berkembang cukup cepat dan luas sehingga pengaruhnya cukup besar terhadap keberhasilan pembangunan yang dicapai. Pertumbuhan ekonomi merupakan bagian dari pembangunan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi merupakan indikator (tolak ukur) keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara atau suatu daerah, pertumbuhan ekonomi harus dianalisis tingkat perkembangannya dari tahun ke tahun meningkat tinggi atau stabil, dan harus dilihat pula sektor-sektor mana (sektor primer, sekunder, atau tersier) terjadi pertumbuhan yang cukup siginifikan (Adisasmita, 2013:V).

7 B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan diatas, maka dapat dikemukakan rumusan masalah sebagai berikut: 1. Apa akibat hukum putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU- VIII/2010 terhadap pengusaha pertambangan? 2. Bagaimana dampak putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU- VIII/2010 di bidang perizinan pertambangan terhadap pembangunan ekonomi? C. Batasan Masalah dan Batasan Konsep 1. Batasan Masalah Permasalahan dalam penelitian ini dibatasi pada akibat hukum putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-VIII/2010 terhadap pengusaha pertambangan, dan dampak putusan tersebut di bidang perizinan pertambangan terhadap pembangunan ekonomi. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 25/PUU-VIII/2010 adalah putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi berdasarkan permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang diajukan oleh pengusaha tambang Fatriansyah Aria dan Fahrizan dalam hal ini sebagai pemohon. Para Pemohon mendalilkan Pasal 22 huruf f, Pasal 52 Ayat (1) Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2009 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2), dan Pasal 33 ayat (1), ayat (2), dan

8 ayat (3) UUD 1945. Dalam penelitian ini hanya dibatasi pada putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan tidak sah terhadap Pasal 52 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang menentukan bahwa pemegang izin usaha pertambangan (IUP) eksplorasi mineral logam diberi WIUP dengan luas paling sedikit 5.000 (lima ribu) hektare dan paling banyak 100.000 (seratus ribu) hektare. Bidang perizinan pertambangan yang diteliti adalah perizinan pertambangan mineral dan batubara sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, sedangkan di bidang perizinan pertambangan minyak dan gas bumi sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi tidak dibahas dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini dibatasi dampak terhadap pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses yang menyebabkan pendapatan perkapita riil penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka panjang (Sukirno, 1978:13). 2. Batasan Konsep Pembatasan konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Putusan Mahkamah Konstitusi Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi ditentukan bahwa:

9 b. Perizinan Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: a) menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; c) memutus pembubaran partai politik; dan d) memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Pudyatmoko (2009:22) menyebutkan bahwa izin merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan, dengan izin akan menjadi dasar (Legal Base) bagi siapapun (pemerintah, perorangan atau kelompok usaha) untuk bertindak, dalam artian punya pijakan atau dasar hukum yang jelas untuk bertindak. c. Pertambangan Pertambangan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang. d. Pertambangan Mineral dan Batubara Pengertian Pertambangan Mineral diatur dalam Pasal 1 angka (4) ditentukan bahwa Pertambangan Mineral adalah pertambangan kumpulan mineral yang berupa bijih atau batuan, di luar panas bumi,

10 minyak dan gas bumi, serta air tanah. Pengertian Pertambangan Batubara diatur dalam Pasal 1 angka 5 yang menentukan bahwa, Pertambangan Batubara adalah pertambangan endapan karbon yang terdapat di dalam bumi, termasuk bitumen padat, gambut, dan batuan aspal. e. Pembangunan Ekonomi Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses yang menyebabkan pendapatan perkapita riil penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka panjang (Sukirno, 1978:13). Adisasmita (2013:V) menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan indikator (tolak ukur) keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara atau suatu daerah. D. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran melalui kepustakaan, diperolah 3 (tiga) hasil penelitian tentang pertambangan, akan tetapi penelitian tersebut berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis yang berjudul Dampak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-VIII/2010 di Bidang Perizinan Pertambangan terhadap Pembangunan Ekonomi. Penelitian ini bukan merupakan hasil plagiasi dari hasil karya milik orang lain. Keaslian materi ini dapat dibuktikan dengan membandingkannya dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh peneliti lain sebelumnya yang membahas tema yang serupa, yaitu:

11 1. Feri Hyang Daika, Nomor Mahasiswa 115201718, Program Studi Magister Ilmu Hukum pada Program Pasca Sarjana Universitas Atma Jaya Yogyakarta tahun 2012. Judul tesis Harmonisasi Kebijakan Penerbitan Izin Usaha Pertambangan Mineral Di Kabupaten Ketapang- Kalimantan Barat Dalam Rangka Menjamin Kepastian Hukum. a. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1) Bagaimana harmonisasi kebijakan penerbitan izin usaha pertambangan mineral di Kabupaten Ketapang? 2) Apa kendala-kendala dalam harmonisasi penerbitan izin usaha pertambangan mineral tersebut? 3) Bagaimanakah solusi hukum terhadap kendala-kendala harmonisasi kebijakan penerbitan izin usaha pertambangan mineral tersebut dalam rangka menjamin kepastian hukum? b. Tujuan penelitiannya adalah: 1) Mengetahui, menganalisis dan mengevaluasi harmonisasi dalam penerbitan izin usaha pertambangan mineral di Kabupaten Ketapang. 2) Mengetahui, menganalisis dan mengevaluasi kendala dalam harmonisasi kebijakan penerbitan izin usaha pertambangan mineral di Kabupaten Ketapang. 3) Mengetahui, menganalisis dan mengevaluasi solusi hukum dalam harmonisasi kebijakan penerbitan izin usaha pertambangan mineral di Kabupaten Ketapang. c. Hasil penelitiannya adalah: 1) Harmonisasi kebijakan penerbitan izin usaha pertambangan mineral di Kabupaten Ketapang masih mengalami banyak permasalahan atau kendala. Untuk mengatasi

12 permasalahan tumpang tindih, Bupati Kabupaten Ketapang, telah mengeluarkan Keputusan Bupati Nomor 76 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Tim Terpadu Sosialisasi Sinergisitas Pelaksanaan Investasi di Kabupaten Ketapang. Namun SK tersebut masih belum memberikan jaminan kepastian hukum bagi pelaku usaha, sebab tim sinergisitas tersebut hanya bertindak sebagai fasilitator, dan penyelesaian permasalahan tumpang tindih dikembalikan lagi kepada masing-masing pihak yang bermasalah 2) Kendala-kendala dalam harmonisasi penerbitan izin usaha pertambangan mineral terbagi ke dalam dua kategori, yaitu kendala yang bersifat normatif, dan kendala-kendala yang bersifat teknis. Kendala yang bersifat normatif yaitu bahwa landasan konstitusi Pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar 1945 sendiri pun sudah membuka kemungkinan untuk terjadinya peristiwa tumpang tindih, sebab mengenai bumi yang dibagi menjadi permukaan bumi (tanah), dan di bawah permukaan bumi diatur oleh ketenturan peraturan perundang-undangan yang berbeda. Lebih lanjut, dari segi teknis, adanya peristiwa tumpang tindih ini juga disebabkan salah satunya karena tidak terlepas dari kekurang cermatan Bupati Ketapang dalam menerbitan izin usaha pertambangan dan perkebunan sehingga menyebabkan terjadinya tumpang tindih lahan di lapangan antara perusahaan pertambangan dan perusahaan perkebunan. 3) Solusi hukum terhadap kendalakendala harmonisasi kebijakan penerbitan izin usaha pertambangan

13 tersebut dibagi kedalam dua bagian, yaitu solusi hukum di tingkat pusat dan solusi hukum di tingkat daerah. Penelitian ini berfokus pada harmonisasi kebijakan penerbitan izin usaha pertambangan mineral di Kabupaten Ketapang, kendalakendala dalam harmonisasi penerbitan izin usaha pertambangan mineral, dan solusi hukum terhadap kendala-kendala harmonisasi kebijakan penerbitan izin usaha pertambangan mineral dalam rangka menjamin kepastian hukum. Penelitian yang dibuat oleh penulis dimaksudkan untuk mengetahui dan mengkaji akibat hukum putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-VIII/2010 terhadap pengusaha pertambangan, dan juga untuk mengetahui dan mengkaji dampak putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-VIII/2010 di bidang perizinan pertambangan terhadap pembangunan ekonomi. 2. Wencislaus Sirjon Nansi, Nomor Mahasiswa 105201450, Program Studi Magister Ilmu Hukum pada Program Pasca Sarjana Universitas Atma Jaya Yogyakarta tahun 2011. Judul tesis Resistensi Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas Bidang Pertambangan di Kabupaten Manggarai Nusa Tenggara Timur. a. Rumusan Masalah dalam penelitian ini adalah: 1) Bagaimanakah Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (Corporate Social Responsibility) dari Perseroan Terbatas Bidang Pertambangan di Kabupaten Manggarai-Nusa Tenggara Timur? 2) Bagaimanakah bentuk resistensi masyarakat sebagai akibat pelaksanaan Tanggung

14 Jawab Sosial dan Lingkungan pada Perseroan Terbatas Bidang Pertambangan di Kabupaten Manggarai Nusa Tenggara Timur? b. Tujuan Penelitiannya adalah: 1) Untuk mengetahui dan mengevaluasi Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (Corporate Social Responsibility) dari Perseroan Terbatas bidang Pertambangan di Kabupaten Manggarai-Nusa Tenggara Timur. 2) Untuk mengetahui dan mengevaluasi bentuk-bentuk resistensi masyarakat terhadap pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas bidang pertambangan di Kabupaten Menggarai-Nusa Tenggara Timur. c. Hasil Penelitiannya adalah: 1) Pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan terbatas bidang pertambangan di kabupaten Manggarai belum maksimal dan jauh dari konsep CSR yang sesungguhnya, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dan juga diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Pelaksanaan CSR yang tidak maksimal tersebut ditengarai disebabkan oleh regulasi yang tidak tuntas dalam mengatur CSR di lapangan. Hal ini terindikasi dari belum dibuatnya peraturan pemerintah sebagai pelaksana dari Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Implikasi dari hal tersebut adalah perusahaan tambang tidak memiliki standar dan pedoman dalam melaksanakan CSR. Persoalan tersebut didukung pula oleh

15 kurangnya political will dari pemerintah daerah Kabupaten Manggarai dalam mengeluarkan izin kuasa pertambangan yang lebih mengutamakan kepentingan perusahaan dengan mengabaikan aspekaspek lingkungan dan kearifan-kearifan lokal masyarakat Manggarai. 2) Implikasi Logis dari aktivitas pertambangan di kabupaten Manggarai yang mengabaikan aspek CSR adalah terjadinya perlawanan atau resistensi masyarakat. Resistensi dilakukan secara bertahap mulai dari yang lunak sampai dengan kekerasan (protes dan sabotase). Penelitian ini berfokus pada Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (Corporate Social Responsibility) dari Perseroan Terbatas Bidang Pertambangan di Kabupaten Manggarai-Nusa Tenggara Timur, dan bentuk-bentuk resistensi masyarakat terhadap pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas bidang pertambangan di Kabupaten Menggarai-Nusa Tenggara Timur. Penelitian yang dibuat oleh penulis dimaksudkan untuk mengetahui dan mengkaji akibat hukum putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-VIII/2010 terhadap pengusaha pertambangan, dan juga untuk mengetahui dan mengkaji dampak putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-VIII/2010 di bidang perizinan pertambangan terhadap pembangunan ekonomi. 3. Nirmala Sari, Nomor Mahasiswa B4A. 096. 018, Program Studi Magister Ilmu Hukum pada Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang tahun 1999. Judul tesis Kebijakan Hukum Pidana

16 Dalam Penanggulangan Dampak Lingkungan Hidup Akibat Pengusahaan Pertambangan Batubara. a. Rumusan Masalah dalam penelitian ini adalah: 1) Bagaimana kebijakan hukum pidana dalam perundang-undangan yang berkaitan dengan penanggulangan dampak lingkungan hidup, khususnya akibat pegusahaan pertambangan batubara? 2) Bagaimana kebijakan hukum pidana di masa yang akan datang dalam menanggulangi dampak lingkungan hidup serta memberikan perlindungan terhadap korban akibat pengusahaan pertambangan batubara? b. Tujuan Penelitiannya adalah: 1) Untuk mengetahui kebijakan hukum pidana yang tertuang dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penanggulangan dampak lingkungan hidup, khususnya akibat pengusahaan pertambangan batubara. 2) Untuk mengetahui dampak lingkungan serta korban yang timbul akibat pengusahaan pertambangan, dan untuk memperoleh gambaran hukum pidana di masa yang akan datang dalam rangka menanggulangi dampak lingkungan hidup serta memberikan perlindungan terhadap korban akibat pengusahaan pertambangan batubara. c. Hasil Penelitiannya adalah: 1) Kebijakan hukum pidana yang tertuang dalam perundang-undangan yang berkaitan penanggulangan dampak lingkungan dampak lingkungan hidup, khususnya akibat pengusahaan pertambangan batubara memperlihatkan bahwa: a)

17 Kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan dampak lingkungan hidup mempunyai keterkaitan yang erat dengan kebijakan hukum administrasi, bahkan pada tataran pelaksanaannya kebijakan hukum pidana secara implicit telah menerima kesatuan tertib hukum, dimana perbuatan yang telah dinyatakan sebagai perbuatan yang diperbolehkan oleh hukum administrasi, tidak dapat dinyatakan sebagai perbuatan terlarang oleh hukum pidana. b) Sebagai konsekuensi bahwa sarana hukum pidana hanya digunakan bilamana sarana lain tidak lagi memadai (ultimum remidium), kebijakan hukum pidana lebih bersifat hanya sebagai pengaman dari kebijakan hukum administrasi. c) Penentuan suatu perbuatan sebagai tindak pidana pada umumnya didasarkan pada pelanggaran kewajiban administratif yang harus dipenuhi oleh pemegang Kuasa Pertambangan. d) Penentuan sanksi lebih menitikberatkan pada pertimbangan ekonomis ketimbang ekologis. e) Pertanggungjawaban pidana meliputi orang dan badan hukum yang bersangkutan. 2) Kebijakan hukum pidana di masa yang akan datang dalam menanggulangi dampak lingkungan dan memberikan perlindungan terhadap korban akibat pengusahaan pertambangan batubara merupakan suatu hal yang sangat urgen mengingat besarnya dampak lingkungan hidup dan korban yang timbul akibat pengusahaan pertambangan batubara.

18 Penelitian ini berfokus pada kebijakan hukum pidana dalam perundang-undangan yang berkaitan dengan penanggulangan dampak lingkungan hidup sebagai akibat pegusahaan pertambangan batubara, dan dampak lingkungan serta korban yang timbul akibat pengusahaan pertambangan, untuk memperoleh gambaran hukum pidana di masa yang akan datang dalam rangka menanggulangi dampak lingkungan hidup serta memberikan perlindungan terhadap korban akibat pengusahaan pertambangan batubara. Penelitian yang dibuat oleh penulis dimaksudkan untuk mengetahui dan mengkaji akibat hukum putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-VIII/2010 terhadap pengusaha pertambangan, dan juga untuk mengetahui dan mengkaji dampak putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-VIII/2010 di bidang perizinan pertambangan terhadap pembangunan ekonomi. E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu hukum, yaitu tentang akibat hukum putusan Mahkamah Konstitusi terhadap pengusaha pertambangan, dan dampak putusan Mahkamah Konstitusi di bidang perizinan pertambangan terhadap pembangunan ekonomi. 2. Manfaat Praktis Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:

19 a. Pemerintah Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada pemerintah, dalam hal ini Dewan Pewakilan rakyat (DPR) untuk penyempurnaan regulasi dan aturan dalam bidang perizinan pertambangan, sehingga dapat menciptakan rasa keadilan dalam masyarakat. b. Masyarakat Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan gambaran kepada masyarakat mengenai akibat hukum putusan Mahkamah Konstitusi terhadap pengusaha pertambangan, dan dampak putusan Mahkamah Konstitusi di bidang perizinan pertambangan terhadap pembangunan ekonomi, sehingga dapat menciptakan rasa keadilan dalam masyarakat melalui proses perizinan pertambangan yang baik dan benar. c. Penulis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan wawasan mengenai akibat hukum putusan Mahkamah Konstitusi terhadap pengusaha pertambangan, dan dampak putusan Mahkamah Konstitusi di bidang perizinan pertambangan terhadap pembangunan ekonomi.

20 F. Tujuan Penelitian 1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengkaji akibat hukum putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-VIII/2010 terhadap pengusaha pertambangan. 2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengkaji dampak putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-VIII/2010 di bidang perizinan pertambangan terhadap pembangunan ekonomi. G. Sistematika Penulisan BAB I : PENDAHULUAN Bagian ini akan membahas tentang uraian latar belakang masalah yang terdiri dari landasan hukum tentang Pertambangan, alasan penulis untuk menulis bidang Pertambangan, dan realitas yang terjadi di masyarakat. Rumusan masalah terdiri dari 2 (dua) pertanyaan yang akan menuntun penulis untuk meneliti dan membahas penulisan Tesis ini. Batasan masalah dan batasan konsep digunakan untuk membatasi masalah dan konsep yang akan dibahas, agar maksud dan tujuan dalam penulisan ini dapat tercapai. Keaslian penelitian digunakan untuk memperbandingkan dengan Tesis yang di tulis oleh penulis lain, dan menjadi landasan bahwa Tesis yang dibuat oleh penulis bukan merupakan plagiasi/duplikasi.

21 Manfaat peneltian dan tujuan penelitian digunakan untuk memberikan deskripsi, agar dapat mengetahui manfaat dan tujuan dari penelitian ini. BAB II : TINJAUAN PUSTAKA Bagian ini berisi uraian penjelasan tentang Mahkamah Kontitusi, Perizinan, Pertambangan Mineral dan Batubara, dan Pembangunan Ekonomi. BAB III : METODE PENELITIAN Bagian ini berisi uraian tentang metode penelitian yang digunakan sebagai tahapan, langkah, dan cara dalam melakukan penelitian. Metode penelitian terdiri dari jenis penelitian, pendekatan yang digunakan, sumber data, metode pengumpulan data, metode analisis data, dan proses berpikir. BAB IV : PEMBAHASAN Bagian ini berisi tentang uraian penjelasan hasil penelitian yaitu mengenai analisis tentang akibat putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 25/PUU-VIII/2010 terhadap pengusaha pertambangan, dan dampak putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-VIII/2010 di bidang perizinan pertambangan terhadap pembangunan ekonomi BAB V : PENUTUP

22 Bagian ini berisi tentang kesimpulan dan saran. Kesimpulan yaitu merupakan jawaban terhadap masalah, yaitu mengenai akibat hukum putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-VIII/2010 terhadap pengusaha pertambangan, dan dampak putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-VIII/2010 di bidang perizinan pertambangan terhadap pembangunan ekonomi. Saran yang diajukan sebagai tindak lanjut dari temuan penelitian. Saran diajukan demi peningkatan ilmu hukum dalam artian teoritis maupun praktis.