RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA"

Transkripsi

1 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Tuhan Yang Maha Esa telah memberikan karunia sumber daya alam yang tak terbarukan untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya dengan berwawasan lingkungan dan berkelanjutan, karena itu penguasaan atas mineral dan batubara oleh Negara harus mendorong kemandirian dalam negeri dan kesejahteraan rakyat sebesar-besarnya; b. bahwa kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara mempunyai peranan strategis dalam menggerakan perekonomian dan pembangunan nasional, untuk itu dalam pengusahaannya harus mengutamakan ekonomi kerakyatan, peningkatan nilai tambah, dan keberlangsungan usaha; c. bahwa untuk menjawab tantangan internasional dan mempertimbangkan kewenangan pengelolaan pertambangan mineral batubara nasional, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara sudah tidak sesuai lagi sehingga dibutuhkan perubahan peraturan perundangundangan di bidang pertambangan mineral dan batubara yang dapat memaksimalkan potensi mineral dan batubara secara mandiri, efisien, berdaya saing, transparan dan berwawasan lingkungan, guna menjamin pembangunan nasional secara berkelanjutan; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Mineral dan Batubara. Mengingat: Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Dengan Persetujuan Bersama: DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan: 1 / 38

2 UNDANG-UNDANG TENTANG MINERAL DAN BATUBARA. BAB I KETENTUAN UMUM Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: Pasal 1 1. Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang. 2. Penyelidikan dan penelitian pertambangan adalah kegiatan untuk mengetahui kondisi geologi umum (formasi batuan pembawa), data indikasi, potensi sumber daya dan/atau cadangan mineral dan/atau batubara. 3. Mineral adalah senyawa anorganik yang terbentuk di alam, yang memiliki sifat fisik dan kimia tertentu serta susunan kristal teratur atau gabungannya yang membentuk batuan, baik dalam bentuk lepas atau padu. 4. Batubara adalah endapan senyawa organik karbonan yang terbentuk secara alamiah dari sisa tumbuhtumbuhan. 5. Mineral Logam adalah Mineral yang unsur utamanya mengandung logam, memiliki kilap logam, dan umumnya bersifat sebagai penghantar panas dan listrik yang baik; 6. Mineral Bukan Logam adalah Mineral yang unsur utamanya terdiri atas bukan logam, misalnya bentonit, kalsit (batu kapir/gamping), pasir kuarsa, dan lain-lain. 7. Batuan adalah massa padat yang terdiri atas satu jenis Mineral atau lebih yang membentuk kerak bumi, baik dalam keadaan terikat (massive) maupun lepas (loose). 8. Mineral Radioaktif adalah mineral yang memancarkan radiasi pengion dengan aktivitas jenis lebih besar dari pada 70 kbq/kg (2 nci/g). 9. Mineral Logam Tanah Jarang adalah logam yang terdiri dari 17 unsur pada sistem period unsur yaitu 15 unsur-unsur lanthanide yang terdiri dari lanthanum (La), cerium (Ce), praseodymium (Pr), neodymium (Nd), promethium (Pm), samarium (Sm), europium (Eu), gadolinium (Gd), terbium (Tb), dysprosium (Dy), holmium (Ho), erbium (Er), thulium (Tm), ytterbium (Yb) dan lutetium (Lu) serta yttrium (Y) dan scandium (Sc). 10. Pertambangan Mineral adalah pertambangan kumpulan mineral yang berupa bijih atau batuan, di luar panas bumi, minyak dan gas bumi, serta air tanah. 11. Pertambangan Batubara adalah pertambangan endapan karbon yang terdapat di dalam bumi, termasuk bitumen padat, gambut, dan batuan aspal. 12. Usaha Pertambangan adalah kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta pascatambang. 13. Izin Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disebut IUP, adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan. 14. IUP Eksplorasi adalah izin usaha yang diberikan untuk melakukan tahapan kegiatan penyelidikan umum, 2 / 38

3 eksplorasi, dan studi kelayakan. 15. IUP Operasi Produksi adalah izin usaha yang diberikan setelah selesai pelaksanaan IUP Eksplorasi untuk melakukan tahapan kegiatan operasi produksi. 16. Izin Pertambangan Rakyat, yang selanjutnya disebut IPR, adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan investasi terbatas. 17. Izin Usaha Pertambangan Khusus, yang selanjutnya disebut dengan IUPK, adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan di wilayah izin usaha pertambangan khusus. 18. IUPK Eksplorasi adalah izin usaha yang diberikan untuk melakukan tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan di wilayah izin usaha pertambangan khusus. 19. IUPK Operasi Produksi adalah izin usaha yang diberikan setelah selesai pelaksanaan IUPK Eksplorasi untuk melakukan tahapan kegiatan operasi produksi di wilayah izin usaha pertambangan khusus. 20. Penyelidikan Umum adalah tahapan kegiatan pertambangan untuk mengetahui kondisi geologi regional dan indikasi adanya mineralisasi. 21. Eksplorasi adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh informasi secara terperinci dan teliti tentang lokasi, bentuk, dimensi, sebaran, kualitas dan sumber daya terukur dari bahan galian, serta informasi mengenai lingkungan sosial dan lingkungan hidup. 22. Studi Kelayakan adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh informasi secara rinci seluruh aspek yang berkaitan untuk menentukan kelayakan ekonomis dan teknis usaha pertambangan, termasuk analisis mengenai dampak lingkungan serta perencanaan pascatambang. 23. Operasi Produksi adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan yang meliputi konstruksi, penambangan, pengolahan, pemurnian, termasuk pengangkutan dan penjualan, serta sarana pengendalian dampak lingkungan sesuai dengan hasil studi kelayakan. 24. Konstruksi adalah kegiatan usaha pertambangan untuk melakukan pembangunan seluruh fasilitas operasi produksi, termasuk pengendalian dampak lingkungan. 25. Penambangan adalah bagian kegiatan usaha pertambangan untuk memproduksi mineral dan/atau batubara dan mineral ikutannya. 26. Pengolahan dan Pemurnian adalah kegiatan usaha pertambangan untuk meningkatkan mutu mineral dan/atau batubara serta untuk memanfaatkan dan memperoleh mineral ikutan. 27. Peningkatan mutu batubara dapat dilakukan dengan blending (pencampuran) batubara. 28. Pengangkutan adalah kegiatan usaha pertambangan untuk memindahkan mineral dan/atau batubara dari daerah tambang dan/atau tempat pengolahan dan pemurnian sampai tempat penyerahan. 29. Badan Usaha adalah setiap badan hukum yang bergerak di bidang pertambangan yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 30. Penanaman modal asing yang selanjutnya disingkat PMA adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri. 31. Divestasi saham adalah jumlah saham asing yang harus ditawarkan untuk dijual kepada peserta Indonesia. 32. peserta Indonesia adalah pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota, BUMN, BUMD, atau badan usaha swasta nasional. 33. Jasa Pertambangan adalah jasa penunjang yang berkaitan dengan kegiatan usaha pertambangan. 3 / 38

4 34. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, yang selanjutnya disebut amdal, adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. 35. Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan untuk menata, memulihkan, dan memperbaiki kualitas lingkungan dan ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai peruntukannya. 36. Kegiatan pascatambang, yang selanjutnya disebut pascatambang, adalah kegiatan terencana, sistematis, dan berlanjut setelah akhir sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan untuk memulihkan fungsi lingkungan alam dan fungsi sosial menurut kondisi lokal di seluruh wilayah penambangan. 37. Pemberdayaan Masyarakat adalah usaha untuk meningkatkan kemampuan masyarakat, baik secara individual maupun kolectif, agar menjadi lebih baik tingkat kehidupannya. 38. Wilayah Pertambangan, yang selanjutnya disebut WP, adalah wilayah yang memiliki potensi mineral dan/atau batubara dan tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan yang merupakan bagian dari tata ruang nasional. 39. Wilayah Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disebut WUP, adalah bagian dari WP yang telah memiliki ketersediaan data, potensi, dan/atau informasi geologi. 40. Wilayah Izin Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disebut WIUP, adalah wilayah yang diberikan kepada pemegang IUP. 41. Wilayah Pertambangan Rakyat, yang selanjutnya disebut WPR, adalah bagian dari WP tempat dilakukan kegiatan usaha pertambangan rakyat. 42. Wilayah Pencadangan Negara, yang selanjutnya disebut WPN, adalah bagian dari WP yang dicadangkan untuk kepentingan strategis nasional. 43. Wilayah Usaha Pertambangan Khusus yang selanjutnya disebut WUPK, adalah bagian dari WPN yang dapat diusahakan. 44. Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus dalam WUPK, yang selanjutnya disebut WIUPK, adalah wilayah yang diberikan kepada pemegang IUPK. 45. Konservasi adalah upaya pengelolaan dan pemanfaatan Mineral dan Batubara secara bertanggungjawab untuk dimanfaatkan secara optimal pada saat ini dan masa yang akan datang. 46. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. 48. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertambangan mineral dan batubara. Pasal 2 Pertambangan Mineral dan Batubara dikelola berasaskan: a. manfaat, keadilan, dan keseimbangan; b. keberpihakan kepada kepentingan bangsa; c. partisipatif, transparansi, dan akuntabilitas; dan d. berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. 4 / 38

5 Pasal 3 Dalam rangka mendukung pembangunan nasional yang berkesinambungan, tujuan pengelolaan mineral dan batubara adalah: a. menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian kegiatan usaha pertambangan secara berdaya guna, berhasil guna, dan berdaya saing; b. menjamin manfaat pertambangan mineral dan batubara secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup; c. menjamin tersedianya mineral dan batubara sebagai bahan baku dan/atau sebagai sumber energi untuk kebutuhan dalam negeri; d. mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional agar lebih mampu bersaing di tingkat nasional, regional, dan internasional; e. meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan negara, serta menciptakan lapangan kerja untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat; dan f. menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan kegiatan usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. BAB II PENGUASAAN MINERAL DAN BATUBARA Pasal 4 (1) Mineral dan Batubara sebagai sumber-daya alam tak terbarukan yang merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat. (2) Penguasaan Mineral dan Batubara oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan melalui pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah provinsi. (3) Pengelolaan Mineral dan Batubara oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara terpadu, terencana, dan bersinergi. Pasal 5 (1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah provinsi dalam pengelolaan usaha Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dilakukan melalui tahapan: a. perencanaan pengelolaan usaha Pertambangan Mineral dan Batubara nasional dan daerah; b. pemberian izin di bidang usaha Pertambangan Mineral dan Batubara; c. pembinaan dan pengawasan; dan d. monitoring dan evaluasi. (2) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah provinsi hanya dapat memberikan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b setelah membuat perencanaan pengelolaan usaha Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. 5 / 38

6 BAB III KEWENANGAN PENGELOLAAN MINERAL DAN BATUBARA Pasal 6 (1) Pemerintah Pusat dalam menyelenggarakan pengelolaan usaha Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5 berwenang: a. menetapkan kebijakan Mineral dan Batubara nasional; b. menetapkan peraturan perundang-undangan; c. menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria; d. menetapkan wilayah pertambangan sebagai bagian dari rencana tata ruang wilayah nasional, yang terdiri atas WUP, WPR dan WPN serta WUPK; e. menetapkan WIUP Mineral Logam dan Batubara; f. menetapkan WIUPK; g. menetapkan WIUP Mineral Bukan Logam dan Batuan yang berada pada lintas Daerah provinsi dan wilayah laut lebih dari 12 mil; h. menerbitkan IUP pada: 1. WIUP yang berada pada wilayah lintas Daerah provinsi; 2. WIUP yang berbatasan langsung dengan negara lain; dan 3. WIUP yang berada pada wilayah laut lebih dari 12 mil; i. menerbitkan IUP dalam rangka PMA; j. menerbitkan IUP BUMN; k. menerbitkan IUPK; l. menerbitkan IUJP dan surat keterangan terdaftar dalam rangka penanaman modal asing yang kegiatan usahanya di seluruh wilayah Indonesia; m. menerbitkan IUP Operasi Produksi khusus; n. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan usaha Pertambangan Mineral dan Batubara oleh pemegang IUP, IUPK, IUP Operasi Produksi khusus, IUJP, dan SKT yang diterbitkan; o. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pengelolaan usaha Pertambangan Mineral dan Batubara oleh Pemerintah Daerah provinsi; p. pembinaan dan pengawasan penyusunan peraturan daerah di bidang pertambangan; q. memberikan registrasi IUP; r. pengevaluasian IUP Operasi Produksi yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah; s. menetapkan jumlah produksi Mineral dan Batubara; t. menetapkan harga patokan Mineral Logam dan Batubara; u. pengelolaan inspektur tambang dan pejabat pengawas Pertambangan; 6 / 38

7 v. peningkatan kemampuan aparatur Pemerintah dan pemerintah provinsi. (2) Kewenangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 7 (1) Pemerintah Daerah provinsi dalam menyelenggarakan pengelolaan usaha Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5 berwenang: a. menetapkan peraturan perundang-undangan daerah; b. menetapkan WIUP Mineral Bukan Logam dan Batuan yang berada dalam 1 (satu) Daerah provinsi dan wilayah laut sampai dengan 12 (dua belas) mil; c. menerbitkan IUP dalam rangka penanaman modal dalam negeri pada: 1. WIUP yang berada dalam Daerah provinsi; 2. WIUP yang berada pada wilayah laut sampai dengan 12 mil; d. menerbitkan IPR; e. menerbitkan IUP Operasi Produksi khusus; f. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan usaha Pertambangan Mineral dan Batubara oleh pemegang IUP, IUPK, IUP Operasi Produksi khusus, dan IUJP yang diterbitkan; g. menetapkan harga patokan Mineral Bukan Logam dan Batubara; h. menerbitkan IUJP dan surat keterangan terdaftar dalam rangka penanaman modal dalam negeri yang kegiatan usahanya dalam 1 (satu) Daerah provinsi; i. peningkatan kemampuan aparatur Daerah provinsi. (2) Kewenangan Pemerintah Daerah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB IV WILAYAH PERTAMBANGAN Pasal 8 (1) Menteri menetapkan WP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a setelah ditentukan oleh pemerintah Daerah provinsi. (2) WP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. WUP; b. WPR; c. WPN; dan d. WUPK. (3) Penetapan dan penentuan WP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10 dilaksanakan: 7 / 38

8 a. secara transparan, partisipatif, dan bertanggung jawab; b. secara terpadu dengan memperhatikan pendapat dari instansi pemerintah terkait, masyarakat, dan dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya, serta berwawasan lingkungan; dan c. dengan memperhatikan aspirasi daerah. Pasal 9 Pemerintah dan pemerintah Daerah provinsi wajib melakukan Penyelidikan Dan Penelitian Pertambangan dalam rangka penyiapan WP dan penetapan WP sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 10 (1) Penentuan WP oleh pemerintah Daerah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) terdiri atas: a. penentuan WUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf a yang berada dalam Daerah provinsi dan wilayah laut sampai dengan 12 (dua belas) mil; dan b. WPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b. (2) Penentuan WUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) yang berada pada lintas Daerah provinsi dan wilayah laut lebih dari 12 mil laut, WUP Mineral Radioaktif, WPN, dan WUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dan huruf d ditentukan oleh Menteri. (3) Penentuan WUP, WPR, WPN, dan WUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) berdasarkan: a. hasil Penyelidikan Dan Penelitian Pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3); b. potensi sumber-daya Mineral dan/atau Batubara; c. data dan informasi yang dimiliki Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah; dan d. kriteria WUP, WPR, WPN atau WUPK. Pasal 11 (1) Kriteria WUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) terdiri atas: a. memiliki sebaran formasi batuan pembawa, data indikasi, data sumber-daya, dan/atau data cadangan Mineral dan/atau Batubara; b. memiliki 1 (satu) atau lebih jenis Mineral termasuk Mineral ikutannya dan/atau Batubara; dan c. merupakan wilayah yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan Pertambangan secara berkelanjutan. (2) Kriteria WPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) terdiri atas: a. mempunyai cadangan primer logam atau Batubara dengan kedalaman maksimal 25 (dua puluh lima) meter; b. luas maksimal WPR adalah 25 (dua puluh lima) hektare; c. menyebutkan jenis komoditas yang akan ditambang. (3) Kriteria WPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) terdiri atas: 8 / 38

9 a. memiliki formasi batuan pembawa Mineral Radioaktif, Mineral Logam, dan/atau Batubara; b. memiliki singkapan geologi untuk Mineral Radioaktif, Mineral Logam, dan/atau batubara; c. memiliki potensi, sumber-daya, cadangan Mineral dan/atau Batubara. (4) Kriteria WUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) terdiri atas: a. memiliki data sumber-daya dan/atau data cadangan Mineral dan/atau Batubara; b. memiliki 1 (satu) atau lebih jenis Mineral termasuk Mineral ikutannya dan/atau Batubara; dan c. merupakan wilayah yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pertambangan secara berkelanjutan demi kepentingan nasional dalam memenuhi bahan baku industri dan energi dalam negeri. Pasal 12 Satu WUP terdiri atas 1 (satu) atau beberapa WIUP yang berada pada lintas Daerah provinsi, lintas Daerah kabupaten/kota, dan/atau dalam 1 (satu) Daerah kabupaten/kota. Pasal 13 WIUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 terdiri atas: a. WIUP Mineral Radioaktif; b. WIUP Mineral Logam; c. WIUP Mineral Bukan Logam; d. WIUP Mineral Tanah Jarang; e. WIUP Batuan; dan/atau f. WIUP Batubara. Pasal 14 WIUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ditetapkan oleh: a. Mineral Radioaktif ditetapkan oleh Menteri berdasarkan permohonan penugasan yang diajukan oleh Instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenaganukliran; b. WIUP Mineral Logam dan Batubara ditetapkan oleh Menteri setelah ditentukan oleh pemerintah Daerah; c. WIUP Mineral Tanah Jarang ditetapkan oleh Menteri; dan d. WIUP Mineral Bukan Logam dan Batuan ditetapkan oleh Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya berdasarkan permohonan dari Badan Usaha, Koperasi, perusahaan firma, atau perusahaan komanditer. Pasal 15 Satu WUPK terdiri atas 1 (satu) atau beberapa WIUPK yang berada pada lintas Daerah provinsi, lintas Daerah kabupaten/kota, dan/atau dalam 1 (satu) Daerah kabupaten/kota. Pasal 16 9 / 38

10 Luas dan batas WIUPK Mineral Logam dan Batubara ditetapkan oleh Menteri berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah. Pasal 17 WIUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ditetapkan berdasarkan kriteria: a. letak geografis; b. kaidah konservasi; c. daya dukung lindungan lingkungan; d. optimalisasi sumber daya mineral dan/ atau batubara; dan e. tingkat kepadatan penduduk. Pasal 18 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan WP, tata cara penentuan WUP, WPN, dan WUPK serta tata cara penetapan WIUP dan WIUPK diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 19 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan WPR diatur dalam peraturan daerah provinsi. BAB V USAHA PERTAMBANGAN Pasal 20 (1) Usaha Pertambangan dikelompokkan atas: a. Pertambangan Mineral; dan b. Pertambangan Batubara. (2) Pertambangan Mineral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a digolongkan atas: a. Pertambangan Mineral Radioaktif; b. Pertambangan Mineral Logam; c. Pertambangan Mineral Bukan Logam; d. Pertambangan Mineral Tanah Jarang; dan e. Pertambangan Batuan. Pasal 21 Usaha Pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dilaksanakan dalam bentuk: a. IUP; 10 / 38

11 b. IPR; dan c. IUPK. BAB VI IZIN USAHA PERTAMBANGAN Bagian Kesatu Umum Pasal 22 (1) IUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf a terdiri atas: a. IUP Eksplorasi; dan b. IUP Operasi Produksi. (2) IUP Eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf a terdiri atas: a. IUP Eksplorasi Mineral Logam; b. IUP Eksplorasi Mineral Bukan Logam; c. IUP Eksplorasi Mineral Tanah Jarang; d. IUP Eksplorasi Batuan; dan e. IUP Eksplorasi Batubara. (3) IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas: a. IUP Operasi Produksi Mineral Logam; b. IUPK Operasi Produksi Mineral Bukan Logam; c. IUP Operasi Produksi Mineral Tanah Jarang; d. IUP Operasi Produksi Batuan; dan e. IUP Operasi Produksi Batubara. Pasal 23 (1) IUP Operasi Produksi Batuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan: a. peningkatan dari IUP Eksplorasi; b. peningkatan dari SIP; atau c. hasil lelang WIUP yang sudah mempunyai data hasil kajian Studi Kelayakan. (2) SIP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diberikan untuk pengusahaan Batuan jenis tertentu. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Batuan jenis tertentu ditetapkan oleh Menteri. Pasal / 38

12 (1) IUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 diberikan untuk 1 (satu) jenis Mineral atau Batubara. (2) Pemegang IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang menemukan komoditas tambang lain di dalam WIUP yang dikelola diberikan prioritas untuk mengusahakannya. (3) Pemegang IUP yang bermaksud mengusahakan komoditas tambang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib mengajukan permohonan IUP baru dengan membentuk badan usaha baru kepada Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya. (4) Pemegang IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat menyatakan tidak berminat untuk mengusahakan komoditas tambang lain yang ditemukan tersebut. (5) Pemegang IUP yang tidak berminat untuk mengusahakan komoditas tambang lain yang ditemukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), wajib menjaga Mineral lain tersebut agar tidak dimanfaatkan pihak lain. (6) IUP untuk komoditas tambang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat diberikan kepada pihak lain oleh Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya. Pasal 25 IUP dan SIP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dan Pasal 24 ayat (2) diberikan kepada: a. Badan Usaha; b. koperasi; c. perusahaan firma; dan d. perusahaan komanditer. Bagian Kedua IUP Eksplorasi Paragraf 1 Umum Pasal 26 (1) IUP Eksplorasi Mineral Logam, IUP Eksplorasi Mineral Bukan Logam, IUP Eksplorasi Batuan, dan IUP Eksplorasi Batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf e diberikan oleh: a. gubernur apabila WIUP berada dalam 1 (satu) Daerah provinsi dan dalam rangka penanaman modal dalam negeri; dan b. Menteri apabila: 1. WIUP berada pada lintas Daerah provinsi; 2. WIUP berada pada wilayah laut; atau 3. dalam rangka PMA. (2) IUP Eksplorasi Mineral Tanah Jarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) huruf d diberikan 12 / 38

13 oleh Menteri. Pasal 27 SIP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) diberikan oleh: a. gubernur apabila WIUP berada dalam 1 (satu) Daerah provinsi dan dalam rangka penanaman modal dalam negeri; dan b. Menteri apabila: 1. WIUP berada pada lintas Daerah provinsi; 2. WIUP berada pada wilayah laut; atau 3. dalam rangka PMA. Pasal 28 IUP Eksplorasi dan SIP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 28 wajib memuat ketentuan sekurang-kurangnya: a. nama perusahaan; b. lokasi dan luas wilayah; c. jaminan kesungguhan; d. modal investasi; e. jangka waktu berlakunya tahap kegiatan; f. jenis usaha yang diberikan; dan g. hak dan kewajiban pemegang IUP. Paragraf 2 Tata Cara Pemberian IUP Eksplorasi Pasal 29 (1) IUP Eksplorasi dan SIP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 28 diberikan melalui tahapan: a. pemberian WIUP; dan b. pemberian IUP. (2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah provinsi sesuai dengan kewenangannya berkewajiban mengumumkan rencana kegiatan usaha pertambangan di WIUP dan memberikan IUP Eksplorasi kepada masyarakat secara terbuka. Pasal 30 (1) WIUP Mineral Logam dan WIUP Batubara diberikan kepada Badan Usaha, koperasi, perusahaan firma, dan perusahaan komanditer dengan cara lelang. 13 / 38

14 (2) WIUP Mineral Logam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling banyak paling banyak (seratus ribu) hektare. (3) WIUP Batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling banyak paling banyak (lima puluh ribu) hektare. Pasal 31 (1) WIUP Mineral Bukan Logam dan WIUP Batuan diberikan kepada Badan Usaha, koperasi, perusahaan firma, dan perusahaan komanditer dengan cara permohonan. (2) WIUP Mineral Bukan Logam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling banyak (dua puluh lima ribu) hektare. (3) WIUP Batuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling banyak (lima ribu) hektare. (4) WIUP Batuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berupa Batuan jenis tertentu diberikan paling banyak (seribu) hektare. Pasal 32 (1) WIUP Mineral Tanah Jarang diberikan kepada BUMN melalui permohonan. (2) WIUP Mineral Tanah Jarang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling banyak (seratus ribu) hektare. Pasal 33 Dalam WIUP yang telah diberikan kepada Badan Usaha, koperasi, perusahaan firma, dan perusahaan komanditer dapat diberikan IUP kepada pihak lain untuk komoditas tambang lain yang keterdapatannya berbeda. Pasal 34 Badan Usaha, koperasi, perusahaan firma, perusahaan komanditer, dan BUMN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 31, dan Pasal 32 diberikan IUP Eksplorasi atau SIP berdasarkan permohonan yang telah memenuhi persyaratan administratif, persyaratan teknis, persyaratan lingkungan, dan persyaratan finansial. Pasal 35 IUP dan SIP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 28 tidak dapat digunakan selain yang dimaksud dalam pemberian IUP atau SIP. Pasal 36 (1) IUP Eksplorasi untuk Pertambangan Mineral Logam diberikan untuk jangka waktu 8 (delapan) tahun. (2) IUP Eksplorasi untuk Pertambangan Mineral Bukan Logam diberikan untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun dan Mineral Bukan Logam jenis tertentu diberikan untuk jangka waktu 7 (tujuh) tahun. (3) IUP Eksplorasi untuk Pertambangan Mineral Tanah Jarang diberikan untuk jangka waktu 8 (delapan) tahun. 14 / 38

15 (4) IUP Eksplorasi untuk Pertambangan Batuan diberikan untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun. (5) IUP Eksplorasi untuk Pertambangan Batubara diberikan untuk jangka waktu 7 (tujuh) tahun. SIP diberikan untuk jangka waktu 6 (enam) bulan. Pasal 37 Pasal 38 Setiap pemegang IUP Eksplorasi dan SIP dijamin untuk memperoleh IUP Operasi Produksi sebagai kelanjutan kegiatan usaha pertambangannya. Bagian Ketiga IUP Operasi Produksi IUP Operasi Produksi diberikan oleh: Pasal 39 a. gubernur apabila lokasi penambangan serta lokasi pengolahan dan pemurnian serta berada di dalam Daerah provinsi dan dalam rangka penanaman modal dalam negeri; dan b. Menteri apabila lokasi penambangan serta lokasi pengolahan dan pemurnian berada di Daerah provinsi yang berbeda atau dalam rangka PMA. Pasal 40 IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 28 wajib memuat ketentuan sekurangkurangnya: a. nama perusahaan; b. luas wilayah; c. lokasi penambangan; d. lokasi pengolahan dan pemurnian; e. pengangkutan dan penjualan; f. modal investasi; g. jangka waktu tahap kegiatan; h. jangka waktu berlakunya IUPK; i. perpanjangan IUPK; dan j. hak dan kewajiban. Pasal 41 (1) IUP Operasi Produksi Mineral Logam dapat diberikan untuk jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) 15 / 38

16 tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun. (2) IUP Operasi Produksi Mineral Bukan Logam dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 5 (lima) tahun. (3) IUP Operasi Produksi Mineral Bukan Logam jenis tertentu dapat diberikan untuk jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 1 0 (sepuluh) tahun. (4) IUP Operasi Produksi Batuan dapat diberikan untuk jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 5 (lima); (5) IUP Operasi Produksi Batubara dapat diberikan untuk jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan dapat diperpanjang 2 (dua kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun. Pasal 42 (1) WIUP Operasi Produksi Mineral Logam diberikan dengan luas paling banyak (dua puluh lima ribu) hektare. (2) WIUP Operasi Produksi Bukan Logam diberikan dengan luas paling banyak (lima ribu) hektare. (3) WIUP Operasi Produksi Mineral Tanah Jarang diberikan dengan luas paling banyak (dua puluh lima ribu) hektare. (4) WIUP Operasi Produksi Batuan diberikan dengan luas paling banyak (seribu) hektare. (5) WIUP Operasi Produksi Batubara diberikan dengan luas paling banyak (lima belas ribu) hektare. Pasal 43 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian WIUP, tata cara pemberian IUP, persyaratan administratif, finansial, teknis, dan lingkungan diatur dalam Peraturan Pemerintah. BAB VII IZIN PERTAMBANGAN RAKYAT Pasal 44 IPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 b huruf terdiri atas: a. IPR Mineral Logam; b. IPR Mineral Bukan Logam; c. IPR Batuan; dan/atau d. IPR Batubara. Pasal 45 (1) Gubernur memberikan IPR terutama kepada penduduk setempat yang membentuk kelompok masyarakat. (2) Kelompok masyarakat sebagaimana tersebut pada ayat 1 wajib membentuk koperasi. 16 / 38

17 Pasal 46 (1) Luas wilayah untuk 1 (satu) IPR paling banyak 10 (sepuluh) hektare. (2) IPR diberikan untuk jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang. Pemegang IPR berhak: Pasal 47 a. mendapat pembinaan dan pengawasan di bidang keselamatan dan kesehatan kerja, lingkungan, teknis pertambangan, dan manajemen dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah. b. mendapat bantuan modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. c. Pemerintah Pusat bersama pemerintah provinsi melakukan penataan terhadap pelaku penambangan rakyat yang belum mendapatkan IPR. Pemegang IPR wajib: Pasal 48 a. melakukan kegiatan penambangan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah IPR diterbitkan; b. mematuhi peraturan perundang-undangan di bidang keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan, pengelolaan lingkungan, dan memenuhi standar yang berlaku; c. mengelola lingkungan hidup bersama pemerintah daerah; d. membayar iuran tetap dan iuran produksi; dan e. menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan rakyat secara berkala kepada pemberi IPR. Pasal 49 (1) Selain kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48, pemegang IPR wajib menaati ketentuan persyaratan teknis pertambangan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah. Pasal 50 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian IPR diatur dengan peraturan Daerah provinsi. Pasal 51 (1) Pemerintah Daerah provinsi melaksanakan pembinaan di bidang pengusahaan, teknologi pertambangan, serta permodalan dan pemasaran dalam usaha meningkatkan kemampuan usaha pertambangan rakyat. (2) Pemerintah Daerah provinsi bertanggung jawab terhadap pengamanan teknis pada usaha pertambangan rakyat yang meliputi: a. keselamatan dan kesehatan kerja; 17 / 38

18 b. pengelolaan lingkungan hidup; dan c. pascatambang. (3) Untuk melaksanakan pengamanan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pemerintah provinsi berkoordinasi dengan Menteri untuk pelaksanaan pengawasan oleh pejabat fungsional inspektur tambang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Pemerintah provinsi wajib mencatat hasil produksi dari seluruh kegiatan usaha pertambangan rakyat yang berada dalam wilayahnya dan melaporkannya secara berkala kepada Menteri. BAB VIII IZIN USAHA PERTAMBANGAN KHUSUS Pasal 52 (1) IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf c terdiri atas: a. IUPK Eksplorasi; dan b. IUPK Operasi Produksi. (2) IUPK Eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf a terdiri atas: a. IUPK Eksplorasi Mineral Logam; b. IUPK Eksplorasi Mineral Tanah Jarang; c. IUPK Eksplorasi Batubara. (3) IUPK Operasi Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas: a. IUPK Operasi Produksi Mineral Logam; b. IUPK Operasi Produksi Mineral Tanah Jarang; dan c. IUPK Operasi Produksi Batubara. (1) IUPK diberikan melalui tahapan: a. pemberian WIUPK; dan b. pemberian IUP. Pasal 53 (2) Pemerintah berkewajiban mengumumkan rencana kegiatan usaha pertambangan di WIUPK dan memberikan IUPK kepada masyarakat secara terbuka. Pasal 54 (1) IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 diberikan untuk 1 (satu) jenis Mineral Logam, Mineral Tanah Jarang, atau Batubara. (2) Pemegang IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang menemukan komoditas tambang lain di dalam WIUPK yang dikelola diberikan prioritas untuk mengusahakannya. (3) Pemegang IUPK yang bermaksud mengusahakan komoditas tambang lain sebagaimana dimaksud pada 18 / 38

19 ayat (2) wajib mengajukan permohonan IUPK baru dengan membentuk badan usaha baru kepada Menteri. (4) Pemegang IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat menyatakan tidak berminat untuk mengusahakan komoditas tambang lain yang ditemukan tersebut. (5) Pemegang IUPK yang tidak berminat untuk mengusahakan komoditas tambang lain yang ditemukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), wajib menjaga Mineral lain tersebut agar tidak dimanfaatkan pihak lain. (6) IUPK untuk komoditas tambang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat diberikan kepada pihak lain oleh Menteri. Pasal 55 (1) IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dapat diberikan kepada badan usaha yang berbadan hukum Indonesia, baik berupa BUMN, BUMD, maupun Badan Usaha swasta. (2) BUMN dan BUMD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mendapat prioritas dalam mendapatkan IUPK. (3) Badan Usaha swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk mendapatkan IUPK dilaksanakan dengan cara lelang WIUPK. Pasal 56 BUMN, BUMD, dan Badan Usaha Swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 diberikan IUPK berdasarkan permohonan yang telah memenuhi persyaratan administratif, persyaratan teknis, persyaratan lingkungan, dan persyaratan finansial. Pasal 57 IUPK Eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf a sekurang-kurangnya wajib memuat: a. nama perusahaan; a. luas dan lokasi wilayah; b. jaminan kesungguhan; c. modal investasi; d. jangka waktu berlakunya tahap kegiatan; e. jenis usaha yang diberikan; dan f. hak dan kewajiban pemegang IUPK. Pasal 58 (1) Setiap pemegang IUPK Eksplorasi dijamin untuk memperoleh IUPK Operasi Produksi sebagai kelanjutan kegiatan usaha pertambangannya. (2) IUPK Operasi Produksi dapat diberikan kepada BUMN, BUMD, dan Badan Usaha swasta sebagai hasil lelang WIUPK yang telah mempunyai data hasil kajian studi kelayakan. 19 / 38

20 Pasal 59 IUPK Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 sekurang-kurangnya wajib memuat: a. nama perusahaan; b. luas wilayah; c. lokasi penambangan; d. lokasi pengolahan dan pemurnian; e. pengangkutan dan penjualan; f. modal investasi; g. jangka waktu tahap kegiatan; h. jangka waktu berlakunya IUPK; i. perpanjangan IUPK; dan j. hak dan kewajiban. Pasal 60 (1) IUPK Eksplorasi Mineral Logam diberikan untuk jangka waktu 8 (delapan) tahun. (2) IUPK Eksplorasi Mineral Tanah Jarang diberikan untuk jangka waktu 8 (delapan) tahun. (3) IUPK Eksplorasi Batubara diberikan untuk jangka waktu 7 (tujuh) tahun. Pasal 61 (1) WIUPK Eksplorasi Mineral Logam diberikan dengan luas paling banyak (dua ratus ribu) hektare. (2) WIUPK Eksplorasi Mineral Tanah Jarang diberikan dengan luas paling banyak (dua ratus ribu) hektare. (3) WIUPK Eksplorasi Batubara diberikan dengan luas paling banyak (seratus ribu) hektare. Pasal 62 IUPK Operasi Produksi Mineral Logam, Mineral Tanah Jarang, atau Batubara diberikan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun. Pasal 63 (1) WIUPK Operasi Produksi Mineral Logam diberikan dengan luas paling banyak (tujuh puluh lima ribu) hektare. (2) WIUPK Operasi Produksi Mineral Tanah Jarang diberikan dengan luas paling banyak (tujuh puluh lima ribu) hektare; (3) WIUPK Operasi Produksi Mineral Logam diberikan dengan luas paling banyak (lima puluh ribu) hektare. 20 / 38

21 Pasal 64 IUPK tidak dapat digunakan selain yang dimaksud dalam pemberian IUPK. Pasal 65 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian WIUPK, pemberian IUPK, persyaratan administratif, finansial, teknis, dan lingkungan diatur dalam Peraturan Pemerintah. BAB IX HAK DAN KEWAJIBAN Bagian Kesatu Hak (1) Pemegang IUP dan IUPK dapat: Pasal 66 a. melakukan sebagian atau seluruh tahapan usaha pertambangan baik dalam IUP Eksplorasi maupun IUP Operasi Produksi; b. memiliki lebih dari 1 (satu) IUP atau IUPK untuk komoditas yang sama dalam Daerah provinsi; c. memanfaatkan prasarana dan sarana umum untuk keperluan pertambangan setelah memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan; d. mengajukan izin sementara untuk melakukan pengangkutan dan penjualan atas Mineral atau Batubara yang tergali pada kegiatan eksplorasi kepada Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya; e. mengajukan permohonan wilayah di luar WIUP atau WIUPK untuk menunjang usaha kegiatan pertambangannya kepada Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya; f. bekerja sama dengan pihak lain dalam melaksanakan kegiatan usaha pertambangannya; g. menggunakan tenaga kerja asing setelah mendapatkan rekomendasi dari Menteri. (2) Tahapan IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berupa penambangan dapat dilakukan dengan cara: a. tambang permukaan; b. tambang bawah tanah; dan c. tambang bawah laut/lepas pantai. (3) Kegiatan operasi produksi tambang bawah tanah dan tambang bawah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c diberikan oleh Menteri. (4) Kriteria tambang permukaan, tambang bawah tanah, dan tambang bawah laut/lepas pantai ditetapkan oleh Menteri. (5) Tahapan IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berupa pengangkutan dan penjualan dapat dilakukan sendiri atau melalui kerja sama dengan pihak lain yang telah mendapatkan IUP 21 / 38

22 Operasi Produksi khusus untuk pengangkutan dan penjualan dari Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya. Pemegang IUP dan IUPK berhak: Pasal 67 a. memiliki mineral, termasuk mineral ikutannya, atau batubara yang telah diproduksi apabila telah memenuhi iuran produksi, kecuali mineral ikutan radioaktif; b. untuk melakukan usaha pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; c. mengajukan permohonan penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan Pemegang IUP atau IUPK wajib: a. menerapkan kaidah pertambangan yang baik; Pasal 68 b. mengelola keuangan sesuai dengan sistem akuntansi Indonesia; c. meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara; d. menyusun dan melaksanakan program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat; e. mematuhi batas toleransi daya dukung lingkungan; f. menjamin penerapan standar dan baku mutu lingkungan sesuai dengan karakteristik suatu daerah; g. membuat dan menyampaikan rencana kerja tahunan untuk mendapatkan persetujuan dari Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya; h. menyampaikan laporan realisasi atas rencana kerjanya; i. menyampaikan laporan kegiatan eksplorasi, estimasi sumber daya, dan estimasi cadangan mineral atau batubara mengacu pada standar nasional dan ditandatangani oleh orang yang berkompeten (competent person) yang terakreditasi; j. melakukan pemasangan tanda batas pada WIUP Operasi Produksi atau WIUPK Operasi Produksi; k. menyerahkan seluruh data yang diperoleh dari hasil eksplorasi dan operasi produksi kepada Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya; l. pemanfaatan tenaga kerja setempat, barang, dan jasa dalam negeri sesuai dengan ketentuan perundangundangan; m. melakukan peningkatan nilai tambah Mineral dan Batubara di dalam negeri; n. melakukan divestasi saham kepada peserta Indonesia; o. menjaga kelestarian fungsi dan daya dukung sumber daya air yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; p. menjamin penerapan standar dan baku mutu lingkungan sesuai dengan karakteristik suatu daerah; q. mengikutsertakan pengusaha lokal yang ada di daerah tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 22 / 38

23 Pasal 69 (1) Dalam penerapan kaidah teknik pertambangan yang baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 huruf a pemegang IUP dan IUPK wajib melaksanakan: a. teknis pertambangan; b. keselamatan pertambangan; c. pengelolaan dan pemantauan lingkungan pertambangan termasuk kegiatan reklamasi dan pascatambang; d. upaya konservasi sumber daya mineral dan batubara; e. pengelolaan sisa tambang dari suatu kegiatan usaha pertambangan dalam bentuk padat, cair, atau gas sampai memenuhi standar baku mutu lingkungan sebelum dilepas ke media lingkungan; dan f. penerapan teknologi yang efektif dan efisien. (2) Pemegang IUP dan IUPK wajib mengangkat Kepala Teknik Tambang sebagai pemimpin tertinggi di lapangan dalam penerapan kaidah teknik pertambangan yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Dalam hal pemegang IUP/IUPK belum mengangkat Kepala Teknik Tambang, pemegang IUP/IUPK dilarang melakukan kegiatan eksplorasi atau operasi produksi. (4) Pemegang IUP dan IUPK wajib memiliki tenaga teknis pertambangan yang kompeten. Pasal 70 (1) Setiap pemegang IUP dan IUPK wajib menyerahkan rencana reklamasi dan rencana pascatambang pada saat mengajukan permohonan IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi. (2) Pelaksanaan reklamasi dan kegiatan pascatambang dilakukan sesuai dengan peruntukan lahan pascatambang. (3) Peruntukan lahan pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dicantumkan dalam perjanjian penggunaan tanah antara pemegang IUP atau IUPK dan pemegang hak atas tanah. Pasal 71 (1) Pemegang IUP dan IUPK wajib menyediakan dana jaminan reklamasi dan dana jaminan pascatambang. (2) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dapat menetapkan pihak ketiga untuk melakukan reklamasi dan pascatambang dengan dana jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberlakukan apabila pemegang IUP atau IUPK tidak melaksanakan reklamasi dan pascatambang sesuai dengan rencana yang telah disetujui. Pasal 72 Pemegang IUP/IUPK Operasi Produksi sebelum melaksanakan kegiatan operasi produksi dan/atau penerapan teknologi baru wajib menyampaikan permohonan uji kesiapan (commissioning) kepada Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya. Pasal / 38

24 (1) Pemegang IUP dan IUPK dilarang mengalihkan IUP dan IUPK-nya kepada pihak lain. (2) Pengecualian terhadap larangan pengalihan IUP dan IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada: a. badan usaha yang memiliki lebih dari 1 (satu) IUP atau IUPK yang berbeda komoditas dan/atau memiliki WIUP pada lebih dari 1 (satu) provinsi; dan b. Badan Usaha Milik Negara. (3) Pengalihan IUP atau IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan setelah memenuhi persyaratan: a. pihak yang melakukan pengalihan IUP menguasai sekurang-kurangnya 51% (lima puluh satu persen) saham pihak lain yang menerima pengalihan; b. dilakukan setelah menyelesaikan kegiatan eksplorasi dibuktikan dengan laporan akhir eksplorasi yang ditandatangani oleh orang yang berkompeten (competent person) yang terakreditasi; dan c. mendapatkan persetujuan Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya. Pasal 74 (1) IUP atau IUPK yang dimiliki oleh BUMN sebagian atau seluruh WIUP Operasi Produksi atau WIUPK Operasi Produksi-nya dapat dialihkan kepada pihak lain. (2) Pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi badan usaha yang 51% (lima puluh satu persen) atau lebih sahamnya dimiliki oleh BUMN pemegang IUP atau IUPK. Pasal 75 (1) Pelaksana kegiatan konstruksi dan/atau pematangan lahan yang bermaksud menjual Mineral dan/atau Batubara yang tergali akibat kegiatan konstruksi dan/atau pematangan lahan wajib terlebih dahulu memiliki IUP Operasi Produksi untuk penjualan. (2) IUP Operasi Produksi untuk penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan untuk 1 (satu) kali penjualan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. (3) Mineral atau batubara yang tergali dan akan dijual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai iuran produksi. (4) Pelaksana kegiatan konstruksi dan/atau pematangan lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib menyampaikan laporan hasil penjualan mineral dan/atau batubara yang tergali kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. BAB X PENINGKATAN NILAI TAMBAH MINERAL DAN BATUBARA Pasal 76 (1) Pemegang IUP dan IUPK wajib meningkatkan nilai tambah Mineral atau Batubara hasil penambangan di dalam negeri. (2) Peningkatan nilai tambah Mineral atau Batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: 24 / 38

25 a. pengolahan Mineral Logam; b. pengolahan dan pemurnian Mineral Logam; c. pengolahan Mineral Bukan Logam; d. pengolahan Batuan; e. pengolahan Batubara; atau f. pemanfaatan Batubara. (3) Pemegang IUP dan IUPK yang telah dan akan melaksanakan peningkatan nilai tambah Mineral atau Batubara berhak mendapatkan insentif fiskal dan non fiskal dari Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 77 Peningkatan nilai tambah Mineral atau Batubara dilaksanakan dengan mempertimbangkan keseimbangan antara jumlah cadangan nasional dan kebutuhan industri dalam negeri. Pasal 78 (1) Dalam pelaksanaan peningkatan nilai tambah Mineral dan Batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2), pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi dapat melakukan kerja sama dengan: a. pemegang IUP Operasi Produksi lain; b. pemegang IUPK Operasi Produksi lain; atau c. badan usaha, koperasi, perusahaan firma, dan perusahaan komanditer yang telah mendapatkan IUP Operasi Produksi Khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian dari Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya. (2) Pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang melakukan pengolahan dan/atau pemurnian dari hasil penambangan yang tidak memiliki IUP, IPR, atau IUPK. BAB XI DIVESTASI SAHAM Pasal 79 (1) Setelah 5 (lima) tahun berproduksi, badan usaha pemegang IUP dan IUPK yang sahamnya dimiliki oleh asing wajib melakukan divestasi saham kepada peserta Indonesia. (2) Divestasi sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan dengan mekanisme penawaran saham secara prioritas kepada peserta Indonesia. (3) Mekanisme penawaran saham secara prioritas kepada peserta Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara berjenjang kepada: a. Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah provinsi dan pemerintah Daerah kabupaten/kota; b. BUMN dan/atau BUMD; 25 / 38

26 c. Badan Usaha Swasta Nasional. (4) Apabila divestasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak tercapai, penawaran saham dilakukan di bursa saham. (5) Dalam hal penawaran saham sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) tidak tercapai, kewajiban divestasi saham dikumulatifkan pada tahun berikutnya sesuai mekanisme penawaran saham sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran, klasifikasi, waktu, dan tata cara divestasi saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah. BAB XII PENDAPATAN NEGARA DAN DAERAH Pasal 80 (1) Pemegang IUP atau IUPK wajib membayar pendapatan negara dan pendapatan daerah. (2) Pendapatan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas penerimaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak. (3) Penerimaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas: a. pajak-pajak yang menjadi kewenangan Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang perpajakan; dan b. bea masuk dan cukai. (4) Penerimaan negara bukan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas: a. iuran tetap; b. iuran produksi; c. kompensasi data informasi; d. biaya pengganti investasi; e. jasa penyediaan sistem informasi data mineral dan batubara; f. pendapatan lain yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. (5) Pendapatan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. pajak daerah; b. retribusi daerah; dan c. pendapatan lain yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 81 (1) Pemegang IUP dan IUPK wajib membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang Terutang dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. (2) Jumlah penerimaan negara bukan pajak yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan dengan cara: 26 / 38

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.4, 2009 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERTAMBANGAN. KETENTUAN-KETENTUAN POKOK. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa mineral dan batubara yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa mineral dan batubara yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa mineral dan batubara yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG PEMERINTAH KABUPATEN MALANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MALANG NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MALANG, Menimbang :

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN, Mengingat : a. bahwa mineral dan

Lebih terperinci

2017, No sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas Peratur

2017, No sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas Peratur No.668, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-ESDM. Perizinan di Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara. Pencabutan. PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SELATAN NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SELATAN NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SELATAN NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI OGAN KOMERING ULU SELATAN, Menimbang

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 2 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 2 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 2 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang Mengingat : a.

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN UMUM

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN UMUM PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA UTARA, Menimbang : a. bahwa mineral dan batubara merupakan

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSII JAWA TENGH NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSII JAWA TENGH NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG 1 PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSII JAWA TENGH NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJAR NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJAR NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJAR NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANJAR, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang

Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang - 2 - Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN, Menimbang : a. bahwa pengelolaan pertambangan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA BARAT, Menimbang : a. bahwa mineral

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT

LEMBARAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT No. Urut: 03, 2012 LEMBARAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM, UNIVERSITAS SRIWIJAYA

FAKULTAS HUKUM, UNIVERSITAS SRIWIJAYA UU No. 4/2009 Pertambangan Mineral dan Batubara. Usaha pertambangan dikelompokkan atas: a. pertambangan mineral; dan b. pertambangan batubara. Pertambangan mineral sebagaimana dimaksud pada pertambangan

Lebih terperinci

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan: -2-4. Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5172); Dengan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MUARA ENIM

PEMERINTAH KABUPATEN MUARA ENIM 1 PEMERINTAH KABUPATEN MUARA ENIM PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARA ENIM NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MUARA ENIM, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA SAWAHLUNTO NOMOR 6 TAHUN 2011 T E N T A N G PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATU BARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KOTA SAWAHLUNTO NOMOR 6 TAHUN 2011 T E N T A N G PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATU BARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KOTA SAWAHLUNTO NOMOR 6 TAHUN 2011 T E N T A N G PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATU BARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SAWAHLUNTO, Menimbang : a. bahwa pengelolaan

Lebih terperinci

NOMOR 11 TAHUN 2OO9 TENTANG

NOMOR 11 TAHUN 2OO9 TENTANG /).' PEMERINTAH KABUPATEN TULUNGAGUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG NOMOR 11 TAHUN 2OO9 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang Meng ingat

Lebih terperinci

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 7 TAHUN 2014

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM, UNIVERSITAS SRIWIJAYA

FAKULTAS HUKUM, UNIVERSITAS SRIWIJAYA Wilayah Pertambangan, yang selanjutnya disebut WP, adalah wilayah yang memiliki potensi mineral dan/atau batubara dan tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan yang merupakan bagian dari tata

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BEKASI NOMOR : 2 TAHUN 2013 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BEKASI NOMOR : 2 TAHUN 2013 TENTANG NOMOR : 2 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BEKASI TAHUN 013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BEKASI NOMOR : 2 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN BUPATI BEKASI, Menimbang : a. bahwa bahan tambang merupakan

Lebih terperinci

BUPATI BANDUNG BARAT

BUPATI BANDUNG BARAT BUPATI BANDUNG BARAT PERATURAN BUPATI BANDUNG BARAT NOMOR 18 TAHUN 2013 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PERTAMBANGAN WILAYAH LAUT

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PERTAMBANGAN WILAYAH LAUT LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 3 TAHUN 2012 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PERTAMBANGAN WILAYAH LAUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGASEM NOMOR 13 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN BATUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGASEM NOMOR 13 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN BATUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGASEM NOMOR 13 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN BATUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARANGASEM, Menimbang : a. bahwa dengan semakin meningkatnya

Lebih terperinci

GUBERNUR BALI PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 4 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL BUKAN LOGAM DAN BATUAN

GUBERNUR BALI PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 4 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL BUKAN LOGAM DAN BATUAN GUBERNUR BALI PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 4 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL BUKAN LOGAM DAN BATUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : a. bahwa potensi

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 31 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DI PROVINSI JAWA TENGAH

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 31 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DI PROVINSI JAWA TENGAH GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 31 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menjamin

Lebih terperinci

BUPATI MAMASA PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAMASA NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI MAMASA PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAMASA NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAMASA PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAMASA NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAMASA Menimbang Mengingat : a. bahwa mineral merupakan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 23 TAHUN 2010 TENTANG PELAKSANAAN KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN

Lebih terperinci

IZIN USAHA PERTAMBANGAN KHUSUS FAKULTAS HUKUM, UNIVERSITAS SRIWIJAYA

IZIN USAHA PERTAMBANGAN KHUSUS FAKULTAS HUKUM, UNIVERSITAS SRIWIJAYA IZIN USAHA PERTAMBANGAN KHUSUS IUPK diberikan oleh Menteri dengan memperhatikan kepentingan daerah. Diberikan untuk 1 (satu) jenis mineral logam atau batubara dalam 1 (satu) WIUPK. Apabila pemegang IUPK

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 18 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 18 TAHUN 2012 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 18 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAN PERIZINAN PERTAMBANGAN MINERAL, DAN RETRIBUSI PENGGANTIAN BIAYA CETAK PETA INFORMASI PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOLAKA UTARA TENTANG REKLAMASI DAN PASCA TAMBANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOLAKA UTARA TENTANG REKLAMASI DAN PASCA TAMBANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOLAKA UTARA NOMOR TENTANG REKLAMASI DAN PASCA TAMBANG DISUSUN OLEH : BAGIAN HUKUM SETDA KOLAKA UTARA PEMERINTAH KABUPATEN KOLAKA UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOLAKA UTARA

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TEGAL

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TEGAL - 2 - LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TEGAL Tahun : 2013 Nomor : 5 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEGAL NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL BUKAN LOGAM DAN BATUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI BANGKA SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA, Menimbang : a. bahwa mineral merupakan

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 31 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL LOGAM BESI GUBERNUR JAWA BARAT

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 31 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL LOGAM BESI GUBERNUR JAWA BARAT Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 31 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL LOGAM BESI GUBERNUR JAWA BARAT Menimbang : a. bahwa dalam rangka pengusahaan mineral

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERANG Menimbang PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERANG : a. bahwa pertambangan merupakan salah satu sumber yang

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM, UNIVERSITAS SRIWIJAYA

FAKULTAS HUKUM, UNIVERSITAS SRIWIJAYA Hak Pemegang IUP dan IUPK dijamin haknya untuk melakukan usaha pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan Pemegang IUP dan IUPK dapat memanfaatkan prasarana dan sarana umum untuk

Lebih terperinci

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG PERIZINAN USAHA PERTAMBANGAN BATUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG PERIZINAN USAHA PERTAMBANGAN BATUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG PERIZINAN USAHA PERTAMBANGAN BATUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : bahwa dengan adanya perubahan kewenangan

Lebih terperinci

BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 26 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 26 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 26 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO, Menimbang : a. bahwa mineral

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENETAPAN WILAYAH USAHA PERTAMBANGAN DAN SISTEM INFORMASI WILAYAH PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA No. 4959 TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI PERTAMBANGAN. KETENTUAN-KETENTUAN POKOK. Pencabutan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

LEMBARAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT 1 LEMBARAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 4 TAHUN 2012 PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

Pertambangan adalah salah satu jenis kegiatan yang melakukan ekstraksi mineral dan bahan tambang lainnya dari dalam bumi.

Pertambangan adalah salah satu jenis kegiatan yang melakukan ekstraksi mineral dan bahan tambang lainnya dari dalam bumi. Pengertian Pertambangan Pertambangan adalah : 1. Kegiatan, teknologi, dan bisnis yang berkaitan dengan industri pertambangan mulai dari prospeksi, eksplorasi, evaluasi, penambangan, pengolahan, pemurnian,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 23 TAHUN 2010 TENTANG PELAKSANAAN KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN

Lebih terperinci

BUPATI SAMBAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI SAMBAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SAMBAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SAMBAS, Menimbang : a. bahwa pertambangan rakyat di Kabupaten

Lebih terperinci

GUBERNUR SULAWESI BARAT PERATURAN GUBERNUR SULAWESI BARAT NOMOR 38 TAHUN 2014 TENTANG PERIZINAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL, BATUBARA DAN BATUAN

GUBERNUR SULAWESI BARAT PERATURAN GUBERNUR SULAWESI BARAT NOMOR 38 TAHUN 2014 TENTANG PERIZINAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL, BATUBARA DAN BATUAN SALINAN GUBERNUR SULAWESI BARAT PERATURAN GUBERNUR SULAWESI BARAT NOMOR 38 TAHUN 2014 TENTANG PERIZINAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL, BATUBARA DAN BATUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 45,2012 PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 23 TAHUN 2010 TENTANG PELAKSANAAN KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN

Lebih terperinci

BUPATI SEMARANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL BUKAN LOGAM DAN BATUAN

BUPATI SEMARANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL BUKAN LOGAM DAN BATUAN BUPATI SEMARANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL BUKAN LOGAM DAN BATUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SEMARANG, Menimbang : a.

Lebih terperinci

BUPATI KAUR PROVINSI BENGKULU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAUR NOMOR 02 TAHUN 2014 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN RAKYAT

BUPATI KAUR PROVINSI BENGKULU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAUR NOMOR 02 TAHUN 2014 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN RAKYAT BUPATI KAUR PROVINSI BENGKULU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAUR NOMOR 02 TAHUN 2014 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KAUR, Menimbang : a. bahwa Kabupaten Kaur

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH

GUBERNUR JAWA TENGAH h GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 23 TAHUN 2012 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 23 TAHUN 2010 TENTANG PELAKSANAAN KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

Kewenangan Pengelolaan FAKULTAS HUKUM, UNIVERSITAS SRIWIJAYA

Kewenangan Pengelolaan FAKULTAS HUKUM, UNIVERSITAS SRIWIJAYA Kewenangan Pengelolaan 21 kewenangan berada di tangan Pusat 1. penetapan kebijakan nasional; 2. pembuatan peraturan perundang-undangan; 3. penetapan standar nasional, pedoman, dan kriteria; 4. penetapan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. Mengingat : 1. BUPATI BANDUNG BARAT,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2010 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL (Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul) Nomor : 2 Tahun : 2014

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL (Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul) Nomor : 2 Tahun : 2014 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL (Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul) Nomor : 2 Tahun : 2014 PERATURAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG USAHA PERTAMBANGAN MINERAL

Lebih terperinci

- 3 - BAB I KETENTUAN UMUM

- 3 - BAB I KETENTUAN UMUM - 2-2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2010 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PENGELOLAAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

-2- Batubara; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pe

-2- Batubara; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pe No.4, 2017 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERTAMBANGAN. Usaha Pertambangan. Pelaksanaan. Perubahan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6012) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 77 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 23 TAHUN 2010 TENTANG PELAKSANAAN KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

GUBERNUR BENGKULU PERATURAN DAERAH PROVINSI BENGKULU NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

GUBERNUR BENGKULU PERATURAN DAERAH PROVINSI BENGKULU NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA - 1 - GUBERNUR BENGKULU PERATURAN DAERAH PROVINSI BENGKULU NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BENGKULU, Menimbang : a. Mengingat

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL. Izin Khusus. Pertambangan. Mineral Batu Bara. Tata Cara.

BERITA NEGARA. KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL. Izin Khusus. Pertambangan. Mineral Batu Bara. Tata Cara. No.1366, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL. Izin Khusus. Pertambangan. Mineral Batu Bara. Tata Cara. PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2012 TENTANG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 23 TAHUN 2010 TENTANG PELAKSANAAN KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.512, 2014 KEMEN ESDM. Rekomendasi. Penjualan Mineral. Luar Negeri. Hasil Pengolahan. Pemurnian. Tata Cara. Persyaratan. PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BURU NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BURU NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BURU NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN IZIN PERTAMBANGAN RAKYAT MINERAL LOGAM, MINERAL BUKAN LOGAM DAN BATUAN DI KABUPATEN BURU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA PEMERINTAH KABUPATEN TULUNGAGUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TULUNGAGUNG Menimbang

Lebih terperinci

2017, No Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Repub

2017, No Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Repub BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.98, 2017 KEMEN-ESDM. Nilai Tambah Mineral. Peningkatan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 05 TAHUN 2017 TENTANG PENINGKATAN

Lebih terperinci

Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1646); 3.

Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1646); 3. GUBERNUR JAMBI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG REKLAMASI DAN PASCATAMBANG DI PROVINSI JAMBI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

- 3 - BAB I KETENTUAN UMUM

- 3 - BAB I KETENTUAN UMUM - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. KEMEN-ESDM. Evaluasi. Penerbitan. Izin Usaha Pertambangan. PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA. KEMEN-ESDM. Evaluasi. Penerbitan. Izin Usaha Pertambangan. PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA No.2014, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-ESDM. Evaluasi. Penerbitan. Izin Usaha Pertambangan. PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA 43 TAHUN 2015 TENTANG TATA

Lebih terperinci

PERUBAHAN ATAS PP NO. 23 TAHUN 2010 TENTANG PELAKSANAAN KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

PERUBAHAN ATAS PP NO. 23 TAHUN 2010 TENTANG PELAKSANAAN KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA PERUBAHAN ATAS PP NO. 23 TAHUN 2010 TENTANG PELAKSANAAN KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA NO PENJELASAN 1. Judul: Judul: PERATURAN PEMERINTAH PENJELASAN REPUBLIK INDONESIA ATAS NOMOR 23

Lebih terperinci

- 4 - MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL TENTANG PENGUSAHAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA.

- 4 - MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL TENTANG PENGUSAHAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA. - 2 - Perubahan Kelima atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2012 tentang Jenis

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PERIZINAN KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL BUKAN LOGAM DAN BATUAN

PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PERIZINAN KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL BUKAN LOGAM DAN BATUAN PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PERIZINAN KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL BUKAN LOGAM DAN BATUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI ENERGI DAN

Lebih terperinci

PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA 1 PEMERINTAH KABUPATEN TOLITOLI RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TOLITOLI NOMOR 21 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TOLITOLI

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 09 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA DIVESTASI SAHAM DAN MEKANISME PENETAPAN HARGA SAHAM DIVESTASI PADA KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN

Lebih terperinci

file://\\ \web\prokum\uu\2003\uu panas bumi.htm

file://\\ \web\prokum\uu\2003\uu panas bumi.htm Page 1 of 16 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2003 TENTANG PANAS BUMI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa panas bumi adalah sumber daya alam

Lebih terperinci

- 3 - BAB I KETENTUAN UMUM

- 3 - BAB I KETENTUAN UMUM - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4724); 2. Undang-Undang

Lebih terperinci

- 3 - Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara

- 3 - Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara - 2 - b. bahwa untuk memberikan kepastian berusaha bagi pemegang Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi khusus untuk pengangkutan dan penjualan, perlu mengatur kembali hak dan larangan bagi pemegang

Lebih terperinci

DIY. 3. Dinas 1) 2) 3) 4) B. Permohonan 1)

DIY. 3. Dinas 1) 2) 3) 4) B. Permohonan 1) 1 2 4 3 KETERANGAN : 1. Pemohon mengajukan permohonan izin kepada Gerai Pelayanan Perizinan Terpadu (GP2T) BKPM DIY 2. Gerai Pelayanan Perizinan Terpadu (GP2T) BKPM DIY meminta rekomendasi teknis penerbitan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.35, 2014 KEMENESDM. Peningkatan. Nilai Tambah. Mineral. Pencabutan. PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PENINGKATAN

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2011 NOMOR 8 SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2011 NOMOR 8 SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2011 NOMOR 8 SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DI KABUPATEN BANJARNEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

Apabila ada tanggapan terhadap draft ini mohon dikirimkan ke:

Apabila ada tanggapan terhadap draft ini mohon dikirimkan ke: Apabila ada tanggapan terhadap draft ini mohon dikirimkan ke: puu.sdbh.minerba@gmail.com MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR:

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PERIZINAN KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL LOGAM DAN BATUBARA

PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PERIZINAN KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL LOGAM DAN BATUBARA - 1 - PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PERIZINAN KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL LOGAM DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI ENERGI

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG IZIN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUAN DI KABUPATEN PASURUAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG IZIN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUAN DI KABUPATEN PASURUAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG IZIN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUAN DI KABUPATEN PASURUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN, Menimbang : a. bahwa mineral

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KERINCI TAHUN 2010 NOMOR 4

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KERINCI TAHUN 2010 NOMOR 4 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KERINCI TAHUN 2010 NOMOR 4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KERINCI NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN PANAS BUMI Menimbang : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KERINCI, bahwa

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1, 2014 PERTAMBANGAN. Usaha Pertambangan. Pelaksanaan. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5489) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

Apabila ada tanggapan terhadap draft ini mohon dikirimkan ke:

Apabila ada tanggapan terhadap draft ini mohon dikirimkan ke: Draft 11/03/2011 Apabila ada tanggapan terhadap draft ini mohon dikirimkan ke: puu.sdbh.minerba@gmail.com PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : TENTANG TATA CARA PEMBERIAN IZIN USAHA

Lebih terperinci

~ 1 ~ BUPATI KAYONG UTARA PERATURAN BUPATI KAYONG UTARA NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG REKLAMASI DAN PASCATAMBANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

~ 1 ~ BUPATI KAYONG UTARA PERATURAN BUPATI KAYONG UTARA NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG REKLAMASI DAN PASCATAMBANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ~ 1 ~ BUPATI KAYONG UTARA PERATURAN BUPATI KAYONG UTARA NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG REKLAMASI DAN PASCATAMBANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KAYONG UTARA, Menimbang : a. bahwa kegiatan usaha

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2010 TENTANG REKLAMASI DAN PASCATAMBANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2010 TENTANG REKLAMASI DAN PASCATAMBANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2010 TENTANG REKLAMASI DAN PASCATAMBANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1, 2014 PERTAMBANGAN. Usaha Pertambangan. Pelaksanaan. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5489) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.138, 2010 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERTAMBANGAN. Reklamasi. Pasca Tambang. Prosedur. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5172) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KERINCI TAHUN 2012 NOMOR 20 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KERINCI NOMOR 20 TAHUN 2012 BUPATI KERINCI,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KERINCI TAHUN 2012 NOMOR 20 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KERINCI NOMOR 20 TAHUN 2012 BUPATI KERINCI, LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KERINCI TAHUN 2012 NOMOR 20 Menimbang : PERATURAN DAERAH KABUPATEN KERINCI NOMOR 20 TAHUN 2012 TENTANG PERTAMBANGAN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KERINCI, bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2010 TENTANG REKLAMASI DAN PASCATAMBANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2010 TENTANG REKLAMASI DAN PASCATAMBANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2010 TENTANG REKLAMASI DAN PASCATAMBANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2010 TENTANG REKLAMASI DAN PASCATAMBANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2010 TENTANG REKLAMASI DAN PASCATAMBANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id Menimbang : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2010 TENTANG REKLAMASI DAN PASCATAMBANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci